Sejak diselamatkan dari rumah kecil yang telah menjadi saksi bisu perbuatan Adianto, Jo pun dibawa ke panti sosial anak milik negara. Namun, hidupnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia tetap menjadi anak yang teraniaya, terkucilkan, dan mengenaskan. Ia tak diterima di sana, seakan ia tak punya hak untuk hidup di dunia ini. Ya begitulah kejamnya takdir terhadap hidupnya.
Jo sedang berjongkok di depan kandang kelinci dan ayam, peternakan kecil di halaman belakang asrama. Tiba-tiba, seseorang mendorong tubuhnya hingga terjerembab setengah badannya masuk ke kandang tersebut dan terkena kotoran kelinci dan ayam yang sedang ia kumpulkan untuk kebersihan kandang. Ya, saat itu ia sedang bertugas membersihkan peternakan kecil bersama dua teman asramanya. Jo tak merintih, hanya meringis kecil karena terkejut. Meski ia kini kotor oleh kotoran hewan, tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya membersihkan tubuhnya dengan mengibas-ngibaskan tangannya.
"Duh, anak jorok!" tukas seorang laki-laki kecil di belakang.
"Nggak jauh beda sama bapaknya. Sama-sama menjijikkan," ungkap yang lain.
"Jangan-jangan, nanti kita dibunuh juga kalau macem-macem? Yuk, ah, pergi. Merinding, deh, deket-deket sama Anak Pembunuh kayak dia."
Dengan tawa sinis dan arogan, ketiga anak lelaki itu pun pergi meninggalkan taman belakang tanpa rasa bersalah. Mereka adalah penghuni panti sosial anak yang terbilang sudah lama menghuni tempat ini. Tentu saja, tak ada satupun anak panti sosial itu yang berani menentang mereka. Meski Jo diperlakukan kejam, tak ada yang berani membantunya, atau mereka akan ikut kena imbasnya.
Jo paham itu, dan Jo pun tak menuntut apapun. Ia bersikap seakan tidak apa-apa, namun sebenarnya dalam hati ia merasa sangat tersakiti. Ia harus menerima penghinaan yang tidak ia lakukan, melainkan Adianto, papanya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Jo tidak bisa meminta hukum membebaskan papanya agar ia bisa kembali tinggal dengan papanya. Ia tahu papanya bersalah dengan melanggar banyak pasal hukum. Tapi, baginya, tinggal dengan papanya jauh lebih baik daripada tinggal di panti sosial anak ini.
"Jolanka," panggil seorang wanita. "Duh, kok, kamu kotor gini?" Ia bergegas menghampiri dengan cemas ketika Jo membalikkan badan usai membersihkan kandang. "Kamu, kok bisa kotor kayak gini?" Tanpa jijik, ia membersihkan tubuh Jo yang masih dianggapnya kotor.
"Nggak papa, Ibu. Tadi Jo jatuh kepeleset, terus kena kotoran kelinci dan ayam," tanggap Jo, lalu ia terkekeh-kekeh, seraya menghentikan wanita itu membersihkan dirinya. Ia tak mau tangan wanita itu ikut kotor. "Ibu Rara mencari Jo?" tanyanya polos.
Wanita itu mengangguk. Ia bernama Rara, salah satu ibu panti yang bertanggung jawab di panti sosial anak ini. "Ada tamu yang nyariin kamu. Kamu mending mandi dan ganti baju dulu. Nanti, ke rumah depan, ya?"
Jo mengangguk, seraya berjalan bersama wanita itu menuju asrama.
Usai mandi dan berganti pakaian, Jo keluar dari kamar asramanya dan bergegas ke rumah depan, rumah kecil yang lebih seperti sebuah kantor. Ia sudah terlambat 20 menit semenjak Ibu Rara memanggilnya. Ia harus mencuci pakaiannya yang kotor dan menjemurnya di tempat tersembunyi, atau pakaian itu akan menghilang seperti sebelum-sebelumnya. Tentu saja, mereka hilang bukan karena tanpa alasan.
"Assalamu'alaikum," ucap Jo, seraya melangkah masuk ke dalam rumah utama melalui pintu belakang yang terhubung dengan asrama.
"Ah, Jo. Sini, sini," panggil wanita bermata sayu dengan senyum hangat. "Ini, Mas Hazell dan Bu Daisy nyariin kamu. Duduklah. Ibu tinggal kalian, ya." Wanita itu pun berdiri dan beranjak pergi setelah menarik tubuh Jo untuk duduk di sofa kecil yang berada di sisi kiri kedua tamu yang mencarinya.
"Makasih, Bu Yanti," ungkap wanita awal 40 tahun yang duduk tepat di kiri Jo pada wanita bermata sayu dengan senyum hangat itu. Ia bernama Daisy.
"Jo, gimana kabarmu?" tanya lelaki berumur pertengahan 20 tahun itu. Ia adalah lelaki bernetra dingin yang selalu menatap Jo dengan hangat. Hazell namanya. Ia adalah polisi yang menyelamatkannya malam itu.
Jo mengangguk sambil mengulas senyum. "Baik." Jawaban singkat yang sepenuhnya adalah kebohongan.
"Kami datang untuk memberikan sesuatu," sebut Daisy. Ia mengeluarkan sebuah amplop putih persegi panjang dari dalam tas jinjingnya. "Ini adalah surat dari bundamu yang kami temukan di rumah kalian saat polisi sedang membereskan rumah itu, dibantu tetangga-tetangga kalian, karena rumah itu akan dijual dan uangnya akan diberikan padamu."
Jo menerima surat itu. "Apa boleh Jo buka?" tanyanya, memohon izin.
"Nggak usah nanya. Surat itu memang untukmu," ujar Hazell. Meski terkesan ketus, namun Jo mendengar sebaliknya.
Jo melihat namanya tertulis di bagian depan amplop itu. Lima detik kemudian, ia telah memegang secarik kertas yang sebelumnya terlipat tiga di dalam amplop. Kini, maniknya menyusuri aksara yang ditorehkan oleh Mawar, bundanya, dengan bentuk tulisan yang sangat khas.
'Jo, anakku. Bunda minta maaf.
Maaf, karena Bunda hanya bisa mengatakannya melalui surat ini. Ada beberapa kebenaran yang harus kamu ketahui, Nak. Maaf, selama ini Bunda merahasiakannya karena Bunda sayang kamu. Bunda harap kamu mengerti perasaan Bunda. Bunda sayang kamu.'Bunda dan Papa bukanlah orang tua kandungmu. Bunda dan Papa memang suami istri, tapi kami tidak punya anak. Kamu adalah anak dari orang tua yang kaya raya dan hidupnya selalu dalam kebahagiaan.
'Kami menemukanmu tergeletak di teras rumah kami. Kami pun merawatmu seperti anak kami. Saat itu, keluarga kita masih baik-baik saja. Sampai akhirnya Papa menemukan orang tua kandungmu yang sudah membuangmu ke rumah kami. Papa menuntut mereka atas perbuatan mereka padamu, namun berakhir dengan kehancuran perusahaan Papa dan berakhirlah keluarga kita seperti sekarang.
'Papa nggak membencimu, percayalah. Papa menyayangimu, sangat.
'Kamu mungkin akan sulit menerima kebenaran ini. Ayah kandungmu bernama Rendyka Chakraditya, dan ibu kandungmu adalah Jully Erlita Salsabila. Mereka bukan suami istri. Rendyka punya keluarga, begitu juga dengan Jully. Kamu akan paham, kamu anak cerdas.
'Kamu mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang mereka meski kamu menuntut hakmu sebagai anak. Kami telah mencobanya.
Tapi, percayalah, Bunda dan Papa tetap menyayangimu, Nak. Kami sangat menyayangimu.'Maaf, Bunda harus menyampaikannya dengan cara seperti ini.
Maafin Papa karen sudah melakukan semua hal yang menyusahkan dan menyiksamu.Maafin kami karena kami nggak bisa memberimu kehidupan yang pantas dan layak.Maaf untuk semuanya.Kami menyayangimu - Bunda'Jo tak mengeluarkan air mata, namun netranya terbaca jelas bahwa ia sedang mencoba untuk menahan luapan emosi marah dan kecewa di saat yang sama. Bibirnya tertutup rapat, sangat rapat. Ia menggigit bagian dalam bibirnya untuk menahan semua itu.
"Terima kasih, Kak Hazell dan Tante Diasy. Ini surat dari Bunda yang sangat berharga untuk Jo." Jo memeluk surat itu, mendekapnya di dada. Ia mengulas senyum yang menyakitkan hati siapapun yang melihatnya. Senyum yang seakan mengatakan ia baik-baik saja, namun sebenarnya tidak.
Daisy mendekat dan meraih tangan kiri Jo, menggenggamnya dengan erat. "Kami sudah membaca surat itu, Jo. Kami tahu ini akan sangat berat untukmu. Jika kamu mau -"
Kepala Jo menggeleng sebelum Daisy menyelesaikan kalimatnya. "Tante dan Kakak nggak perlu berbuat apa-apa. Jo nggak apa-apa, kok." Ia masih saja mengulas senyum yang terlihat dipaksakan.
Daisy menarik tubuh Jo ke dalam dekapannya. Ia mencoba memeluk erat tubuh kecil yang terasa begitu rapuh itu, namun ia harus hati-hati. "Maafin Tante, Jo. Tante nggak bisa bantu apa-apa."
Jo menjawab pelukan itu, lalu mengusap-usap punggung Daisy. Ia mencoba menenangkan wanita yang sangat baik itu. "Tante udah bantu banyak untuk Jo. Jo malah nggak bisa bales apa-apa untuk semuanya. Nanti kalau Jo udah besar, Jo akan balas semua kebaikan Tante."
"Nggak perlu, Jo. Tante melakukannya ikhlas. Tante nggak butuh apa-apa darimu. Asalkan kamu babagia, udah cukup buat Tante."
Jo mendengar jelas bahwa suara Daisy bergetar, bahkan ia bisa sedikit merasakan punggungnya agak basah oleh air yang menetes hangat dari wajah Daisy.
"Aku bisa buat mereka mendapatkan hukuman untukmu, Jo," ujar Hazell.
Jo menggeleng. "Nggak, Kak. Itu nggak perlu. Jo nggak mau nyusahin banyak orang lagi." Ia masih juga menyunggingkan senyum seakan ia baik-baik saja.
Daisy menjauhkan tubuhnya. Matanya menatap lekat pada Jo, memperlihatkan sebuah tekad. "Kamu ikut Tante pu -"
"Nggak," selak Hazell dingin, spontan membuat Daisy mengerutkan kening dan menatap kesal pada Hazell yang jelas lebih muda darinya. "Jo, kamu ikut aku pulang. Kita ketemu langsung sama orang tuamu yang nggak bertanggung jawab itu."
Suara Hazell terdengar marah oleh kekecewaan. Daisy dan Jo pun menatap netra dingin Hazell yang penuh kebencian itu. Ia terlihat sangat dikecewakan, seakan ia mengenal betul orang yang dimaksud.
"Maksud Kakak?" Jo mungkin masih 12 tahun, tapi ia mengerti bahwa ada maksud lain dalam ucapan Hazell.
Hazell berdiri dan mengulurkan tangan kanannya ke wajah Jo. "Kita bakal mempermalukan ayahku, Rendyka, dan tanteku, Jully."
"Hah?!" Sontak Daisy berseru.
Jo tak banyak mengeluarkan reaksi. Ia hanya menggeser netranya pada tangan besar yang selalu menggandeng dan merangkulnya dengan hangat. Lalu, netranya kembali digerakkan untuk menatap netra Hazell yang dingin, namun kali ini tidak ada rasa hangat di sana, hanya ada kekecewaan yang selama ini telah dipendamnya.
Situasi Jo saat ini saja sudah sulit. Jika ia menerima uluran tangan Hazell, ia tidak yakin bahwa hidupnya akan lebih baik dari saat ini. Ia terlalu takut mengambil pilihan yang beresiko.
Jo menggeleng. "Makasih, Kak. Tapi, Jo nggak mau. Jo gini aja." Ia mengulas senyum, dan jelas tergambar di sana betapa ia telah kelelahan untuk bersikap tegar dan dewasa sampai saat ini.
Hazell mengernyit, ia ikut merasakan sakit begitu melihat ekspresi pada wajah mungil adiknya. Ya, Jo adalah adik kandungnya dari hubungan gelap ayahnya dengan kakak dari ibunya.
"Oke," tegas Hazell. Ada kekecewaan di sana. "Aku udah punya sampel darah dan rambutmu. Aku akan cek DNA dan mencocokkannya dengan ayah dan tanteku. Begitu semua hasil keluar dan terbukti benar seperti surat dari bundamu, kamu akan ikut denganku. Aku nggak suka ditolak untuk hal kayak gini. Kamu adalah adikku, keluargaku."
Jo mendengar amarah, tapi entah kenapa Jo malah terkekeh-kekeh. "Iya, Kakakku Sayang." Jo berdiri, lalu ia menghampiri Hazell dan memeluknya. Untuk pertama kalinya, Jo memeluk seseorang lebih dulu. "Makasih, ya, Kak."
Hazell memeluk tubuh kecil itu. "Kamu mau berjuang sekali lagi, 'kan, buat dapetin hakmu?"
Meski ragu, tapi Jo merasakan ketulusan Hazell dalam pelukannya. "Iya, mau." Semakin erat Jo memeluk Hazell, semakin ia merasakan kekuatan baru untuk kembali memperjuangkan haknya memiliki orang tua.
Daisy yang melihat adegan bak sinetron receh di televisi Indonesia pun hanya bisa menyunggingkan senyum. Meski ia terkejut, tapi ia harus bisa bersikap dewasa. Dan kali ini, ia akan kembali memperjuangkan hak milik Jo sebagai seorang anak atas tanggung jawab tindakan Rendyka Chakraditya dan Jully Erlita Salsabila, baik itu membuang Jo, maupun menyebabkan hancurnya perusahaan Adianto yang mengakibatkan nasib buruk pada Jo dan kematian Mawar.
Tidak apa-apa jika tidak tidur berhari-hari lagi, asalkan Jo bisa hidup bahagia dan layak, batin Daisy.
🌼🌼🌼
Hasil DNA mengungkapkan kebenaran terkuat. Kini, bukti berupa surat tulisan tangan Mawar dan hasil pemeriksaan DNA sudah lebih dari cukup untuk menuntut pertanggungjawaban Rendyka dan Jully untuk nasib hidup Jo setelah ini.Hari ini, Hazell membawa Jo pergi dari panti sosial, lengkap dengan barang-barang milik Jo. Hazell membawa Jo ke rumah orang tuanya yang berada di Bandung. Di sana, Hazell juga telah menyiapkan panggung pertunjukan besar, karena ia turut mengundang Jully. Tak lupa, Daisy selaku pengacara Jo juga akan datang dengan sejumlah berkas yang akan membantu proses tuntutan. Kali ini, mereka tidak akan membawa nama kepolisian. Mereka akan mencoba melalui cara yang kekeluargaan."Kamu tidur aja, Dek. Perjalanannya cukup jauh," kata Hazell dengan lembut, seraya mengusap kepala Jo yang duduk tepat di kirinya.Jo mengangguk sebagai tanggapan.
Selama ini, bangunan yang bisa ia sebut sebagai rumah hanyalah saksi bisu yang kini sudah terjual, dengan uang hasil penjualan telah Jo terima sepertiganya, sisanya ia berikan pada Daisy dan Hazell sebagai biaya kebutuhan persidangan selama ini. Meski Daisy dan Hazell menolak, tapi Jo memaksa dengan sangat keras kepala.Kini, Jo telah memiliki tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah tanpa membuatnya harus berpikir berkali-kali untuk pulang, karena di rumah ini ia tak perlu merasa takut. Di rumah ini, ia merasa sangat nyaman dan aman. Bahkan, kalau bisa, ia ingin ada di rumah seharian penuh dan berkumpul bersama kakak-kakaknya, Hazell dan Oliver.Sejak masalah itu, Hazell membawa Jo tinggal di apartemen miliknya. Setahun kemudian, Oliver ikut merantau ke Jakarta untuk bersekolah di SMA swasta elite dengan beasiswa yang ia terima. Rendyka memang awalnya tak mau mengakui Jo sebagai anaknya, tapi ia akhirnya m
Jo dan Oliver tiba di parkiran tepat pukul 06.30, masih ada waktu 30 menit sebelum bel berbunyi. Seperti biasa, Oliver akan mengantar Jo sampai depan kelas, lalu meninggalkannya setelah Jo duduk di bangkunya. Walaupun kelas mereka sama-sama di lantai tiga, tapi kelas mereka benar-benar berjauhan. Kelas Jo ada di ujung gedung sayap kanan, dan kelas Oliver ada di sisi berlawanan. Meski Jo selalu menolak, pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kakaknya melalukan apa yang dia mau.Kelas masih sepi, seperti biasa. Jo membuka buku sakunya dan mengulang pelajaran yang telah ia rangkum sejak awal masuk sekolah dua bulan lalu. Seperti inilah cara ia belajar. Ia tidak begitu memaksakan diri dalam hal belajar. Meski orang-orang beranggapan ia sangat santai, sejujurnya ia belajar setiap ada waktu senggang dengan membaca buku sakunya ini."Morning, Babe." Seseorang memeluknya dari samping. "How are you today? How's your Ha
Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya."Ah, Kak Zell,"
Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan
Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,
Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka
Cuaca di akhir pekan sangat cerah, membuat orang-orang tetap semangat untuk produktif. Terutama Jo. Seorang Jolanka yang paling tidak bisa diam saat ada waktu senggang. Baginya, waktu senggang adalah waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dari sekedar rebahan dan bermalas-malasan.Kebetulan, Hazell sedang libur dari pekerjaannya. Sementara Oliver harus ke sekolah, dan akan terus berlangsung seperti itu setiap dua minggu sekali di hari Sabtu selama satu semester ini untuk kelas tambahan persiapan Ujian Nasional.Usai sarapan, Jo mengajak Hazell untuk menemaninya bermain basket di lapangan basket klaster mereka. Lapangan itu jarang dipakai, karena penghuni klaster ini rata-rata adalah orang dewasa dan suami-istri yang baru menikah, anak-anak pun lebih banyak pergi ke taman bermain. Sementara, para orang dewasa lebih senang bersantai di rumah.Hazell dan Oliv
Dulu, bagi Jo, nggak ada musim semi. Adanya musim dingin terus, sampai Jo nggak bisa gemuk karena lemak Jo dipake buat menghangatkan tubuh Jo.Walaupun nggak sampai setengah waktu Jo di musim dingin, akhirnya Jo ngerasain musim semi.Makasih buat:1. Papa yang udah ajarin Jo arti hidup2. Ayah yang udah ajarin Jo arti memaafkan3. Ibu yang udah ajarain Jo arti keadilan4. Kak Zell yang udah ajarin Jo arti kejujuran5. Kak Olv yang udah ajarin Jo arti persaudaraan6. Eva yang udah ajarin Jo arti persahabatan7. Ezra yang udah jagain Jo dari dulu, itu berarti banget buat Jo8. My first and last love, Jendra, yang udah ajarin Jo cinta dan kasih sayangNggak banyak yang bisa Jo sampaikan, soalnya Jo nggak kuat ngomong banyak. Ini aja udah take kesekian sampai bener-bener selesai. Jadi, maaf kalau rekaman suaranya putus-putus.Jo udah siapin kenang-kenangan buat kalian semua. Na
Jendra menggenggam tangan Jo yang terbebas dari infus, namun di jari telunjuknya tersemat pulse oxymeter yang terhubung ke monitor pasien untuk memastikan saturasi oksigen.Jo sudah sadar, tapi saat Jendra masuk, Jo kembali memejamkan mata. Kini, sudah 15 menit Jendra hanya memandangi Jo yang terlelap. Terdapat memar di pipi Jo. Meski terhalang oleh masker oksigen, tapi memar itu terlihat sangat jelas. Jendra mengelus pelan pipi itu. Tampaknya sangat menyakitkan. Amarah menggemuruh di dadanya. Kalau Rendyka bukan ayahnya Jo, Jendra pasti akan mencekik Rendyka sampai mati."Jen... mual..."Jendra terlonjak dan berdiri tiba-tiba. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil baskom untuk mandi. Ia kembali dan sudah melihat Ara terduduk dengan membungkuk sambil menutup mulutnya, membiarkan masker oksigen menggantung di lehernya. Jendra langsung menyelipkan ember itu di atas pangkuan Jo, membiarkan kekasihnya memuntahkan isi lambungny
Membunuh adalah tindakan dengan konsekuensi besar. Ia mati-matian memaki dan menghina Adianto karena membunuh istrinya sendiri akibat stres karena dirinya telah membuat Adianto menderita. Dan kini, tanpa ia sadari, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Ia sadar anaknya sekarat, tapi ia tak benar-benar serius akan membunuh anaknya. Yang ia inginkan hanyalah keputusan istri dan anak pertamanya untuk menarik tuntutan dengan mempertaruhkan anak perempuan hasil hubungan ilegalnya.Nafas Jo hilang dan timbul dengan jarak yang sangat panjang, bukan lagi Senin-Kamis, tapi sudah seperti dari Senin ke Senin. Pucat pasi di wajah, bahkan tangan yang terluka akibat jarum infus yang dilepas paksa itu sudah seputih mayat. Kepalanya terkulai ke depan, seiring dengan tubuhnya yang ikut jatuh ke depan. Kalau tidak terikat pada kursi, tubuh itu pasti sudah jatuh ke lantai."C-Cek nadinya!" titah Rendyka.Beberapa anak buahnya tampak ragu, bahkan
Perlahan, kondisi Jo mengalami perkembangan baik. Tidak, bukan berarti ia telah sembuh. Nafsu makannya perlahan kembali, ia mulai mencoba untuk berjalan dan menggunakan kedua tangannya dengan lebih aktif, daya ingatnya yang masih baik, dan tentunya adalah semangat untuk terus bertahan sekali lagi sebelum Mawar mengajaknya.Jo telah berhenti sekolah, sudah resmi. Tapi, setiap harinya pasti akan ada teman sekelas yang datang untuk menjenguk secara bergantian, tentu saja selain Eva, Ezra, dan Jendra. Jangan tanyakan mereka. Mereka akan datang kapanpun sesuka hati mereka, seakan rumah sakit sudah seperti rumah Jo yang bisa seenaknya mereka datangi tanpa izin.Sudah berlalu lima hari semenjak Jo sadar dari komanya. Siang ini, tak ada yang menemani Jo. Bukan berarti ia ditinggalkan. Ia yang memaksa semua orang untuk tidak menemaninya siang itu. Pun, takdir nyatanya memberi izin atas keinginan Jo. Hazell dan June pergi mengurus persidangan kedua yang masih
Jendra sedang duduk di kursi sebelah brangkar sambil mengupas jeruk yang dibawa teman-teman sekelasnya. Ia ingat Jo suka sekali dengan jeruk, terutama aromanya. Selama ia menemani Jo di kamar rawat ini, ia selalu memakan sebuah jeruk di sebelah Jo. Ia berharap itu bisa merangsang Jo untuk sadar. Meski sudah 10 hari ia mencoba dan Jo tak kunjung sadar, ia tetap mencoba. Ia tahu babwa kekasihnya itu akan bangun. Masih terlalu cepat bagi Jo untuk pergi selamanya.Beberapa menit lalu, teman-teman sekelasnya berpamitan untuk pulang. Hari masih cukup sore, masih jam 5. Seharusnya Oliver sudah datang, tapi entah di mana dan tak ada kabar. Sementara, June dan Hazell masih mengurus persidangan ketiga. Sidang kedua beberapa hari lalu tak bisa berlangsung sempurna, karena Rendyka belum bisa ditemukan. Waktu untuk menemani Jo pun berkurang, namun hal ini menjadi keuntungan bagi Jendra untuk berada di samping Jo lebih lama lagi."Bunda..."Jendr
Waktu bagi Jo seakan telah berhenti. Mata itu tidak pernah terbuka selama 5 hari ini. Entahlah. Tuhan mungkin sudah memberi kode, tapi umat-Nya mencoba untuk mempertahankan Jo hingga saat ini. Meski bertahan hidup dengan alat ventilator yang memberinya kesan mengenaskan, namun Jo seakan paham bahwa orang-orang disekitarnya menginginkannya untuk bertahan lebih lama, meski ia harus beristirahat cukup lama kali ini.Sementara itu, kehidupan terus berjalan seakan tak terpengaruh oleh ketidakhadiran Jo. Tidak, itu hanya untuk mereka yang tak menaruh banyak porsi keberadaan Jo di hati mereka. Bagi Jendra, Ezra, dan Eva, keberadaan Jo sudah melebihi setengah luas hati mereka. Hal tersebut pun begitu terasa di kelas. Teman-teman sekelas seakan bisa merasakan kekosongan dan kehampaan Jendra, Ezra, dan Eva. Mereka tahu bagaimana dekatnya hubungan mereka dengan Jo.Awalnya, pihak sekolah memang merahasiakan perihal kondisi Jo. Namun, June, Hazell, dan Oliver p
Kondisi Jo tidak mengalami peningkatan. Alih-alih June dan Hazell mengizinkannya menemui Rendyka, Jo berkali-kali mengalami mimisan, muntah, demam, hingga kejang. Sudah seminggu, namun tak ada perkembangan yang 'sedikit' membaik. Bahkan, meski Jo terus meminta June dan Hazell untuk mengizinkannya bertemu Rendyka, tapi janji tetap tak bisa Jo penuhi.Semakin Jo berusaha untuk membaik secepatnya, semakin ia tak yakin bahwa kondisinya akan membaik sebelum persidangan kedua dilangsunkan, yaitu dua minggu setelah persidangan pertama. Nyatanya, waktu Jo hanya tersisa tiga minggu dari prediksi. Ia semakin yakin bahwa ia memang tak punya kesempatan untuk berdamai dengan Rendyka, seperti yang ia lakukan pada Jully.Semalam, Jo mengalami kejang dan mimisan. Hingga pagi ini, suhu tubuh Jo masih berada di angka 39⁰C, belum menunjukkan tanda-tanda akan turun meski sudah diberi obat menurunkan demamnya. Tubuhnya semakin kurus, semakin terlihat lemah, semaki
Malam itu, kondisi Jo menurun secara mendadak dan tiba-tiba. Malam di hari persidangan pertama. Sikap aneh Jo saat sidang hingga saat mereka pergi makan bersama, tak dianggap serius oleh yang lain. Mereka hanya berpikir bahwa sikap Jo yang kekanakkan itu adalah hal biasa pada gejala penyakit mematikannya. Mereka tak sampai berpikir bahwa senyum yang Jo tunjukkan seharian itu adalah pengingat bahwa waktu Jo memang tidak banyak lagi.Sudah dua bulan berlalu semenjak Jo didiagnosis menderita Glioma Brainstem. Sejak saat itu, memang tak sering Jo mengeluh, bahkan hampir tidak pernah. Jo bersikap biasa, seakan ia baik-baik saja, seakan ia tidak sakit. Tapi, nyatanya, ia benar-benar menderita tanpa ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir.Malam itu, saat ia baru saja pulang setelah bersenang-senang dan makan-makan, begitu kakinya menyentuh teras rumah, tubuhnya jatuh seakan tak bertulang. Debuman keras benturan tubuh dan kepalanya pada lantai tera
Keberadaan Ferdy tidak bisa dijangkau oleh Jo, sehingga Jo hanya mengirimkan sebuah amplop berisikan dua lembar surat yang ia tulis dengan tangannya yang mulai sering mengalami kelumpuhan sementara. Bersyukur Ferdy tidak merahasiakan kepindahannya ke daerah Jawa Timur. Meski sudah dua hari Jo mengirimkan surat itu, ia tak berharap Ferdy membalas suratnya. Asalkan suratnya sudah diterima, selanjutnya akan menjadi keputusan Ferdy untuk membacanya atau membuangnya.Tepat sehari setelah Jo menemui Jully, tiga polisi datang dengan membawa surat panggilan untuk Jully. Tanpa penolakan, Jully menerima panggilan itu. Dan, di sinilah Jully, seminggu kemudian, duduk di tengah-tengah ruang sidang, didampingi pengacara yang menawarkan diri untuk membantunya. Bukan membantu untuk memenangkan persidangan, melainkan membantunya untuk melewati persidangan dan mendapatkan hukuman yang adil untuk semua tindakannya.Jika kalian berpikir Jo tidak datang, itu salah. Jo s