Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.
Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya.
"Ah, Kak Zell," ucap Jo yang sudah duduk di tepi brankar. Masih ada jarum infus di tangan kanannya. Wajahnya masih pucat, bahkan seakan kulitnya transparan. Kantung matanya hitam, bibirnya putih dan terlihat kering pecah-pecah. Hal yang lebih mengerikan, ada nasal kanula terpasang di hidungnya. Membuat kondisinya terlihat benar-benar mengenaskan.
"Ayo, ke rumah sakit!"
Hazell memperlebar langkahnya, mendekati Jo dan Oliver di sana hanya dengan tiga langkah besar. Tangannya yang berkeringat dingin oleh kecemasan itu langsung menyentuh wajah Jo yang pucat. Ia mencoba mengukur suhu tubuh Jo, menatap netra sayu Jo yang seakan memaksakan diri untuk terus terbuka lebar.
"Apa yang kamu rasakan?" tanya Hazell tegas, seakan ia menuntut jawaban jujur dari adiknya yang sering kali tak mau mengatakan hal yang sebenarnya tentang apa yang dirasakannya. "Jangan ada kata 'dikit' atau 'agak'. Kamu tahu Kakak nggak suka jawaban nggak terukur kayak gitu."
Jo mengulas senyum dan terkekeh-kekeh. "Pusing, mual, dan sakit perut," jawab Jo dengan ringan. "Jangan berlebihan, Kak. Maaf, bikin Kakak khawatir. Jo udah nggak apa-apa."
Hazell menatap Jo dengan dingin. Ia tahu bahwa ungkapan "udah nggak apa-apa" yang diungkapkan Jo adalah kebohongan.
Merasakan kehadiran seseorang di belakangnya, Hazell membalikkan badan dan menghadap perempuan berambut sepanjang bahu yang sedang berdiri dengan melipat kedua tangan di depan perutnya. Matanya membalas tatapan Hazell yang dingin dan mengintimidasi itu dengan tatapannya yang sinis. Tak peduli lelaki di hadapannya adalah polisi dan memiliki tubuh tinggi tegap, ia bahkan berani menatap Hazell dengan sinis.
"Jelaskan," tuntut Hazell.
"Nggak sopan. Masuk gitu aja, bikin gaduh, dan sekarang mengintimidasi orang. Memangnya saya pelaku kejahatan?" ujar Airin dengan sinis.
Hazell tidak menanggapi. Tapi, ia menurunkan intensitas emosinya. Kekhawatiran berlebihan pada Jo membuatnya seperti kesurupan. Sebenarnya, bukan hanya untuk Jo. Ia akan benar-benar gila jika itu sudah berhubungan dengan keluarganya.
Airin menghela napas keras. Ia tak mau beradu kekeraskepalaan dengan Hazell. "Jo anemia berat dan tekanan darahnya terlalu rendah. Kalau dibilang kurang gizi, sebenernya nggak. Tapi, menstruasi hari pertama dan kelelahan yang bikin dia kayak gini. Tadi, saya udah tanya langsung ke anaknya. Dia belajar semalaman, sampai hampir jam 1 malam," jelasnya.
Hazell memutar kembali tubuhnya, lalu menatap Jo dengan dingin. Jo tidak merasakan adanya kemarahan dan kebencian dalam netra dingin itu, melainkan kekhawatiran. Jo pun hanya bereaksi dengan kekehan. Akhirnya, Hazell hanya menghela napas dengan sangat berat dan kasar.
"Ayo, ke rumah sa -"
"Nggak," timpal Jo dengan agak berseru. "Kakak tahu Jo nggak suka rumah sakit, 'kan?"
Hazell tersadar. Ia ingat betul bagaimana Jo tiga tahun lalu saat dirawat di rumah sakit pasca ia diselamatkan olehnya dari Adianto.
Jo pingsan ketika Hazell menyelamatkannya usai menangis histeris. Ketika di rumah sakit, alih-alih ia merasa aman dan nyaman, Jo terus menerus mengalami mimpi buruk, mengigau, demam tinggi, hingga kejang. Jo mengalami itu karena ia merasa terkurung di kamar VIP rumah sakit yang dijaga oleh polisi. Menurut psikiater, Jo mengalami fobia dalam ruangan sepi akibat perlakuan Adianto. Butuh waktu lebih dari seminggu agar Jo bisa tenang dan bisa berada di ruangan sepi. Bahkan, saat ini Jo masih melakukan terapi untuk bisa tidur sendiri di kamar dengan ditemani oleh seekor kucing setiap malam.
Hazell kembali menghela napas. "Maaf." Hazell mendekati Jo dan memeluknya. "Kita pulang. Nanti, Kakak panggilin Ais buat periksa kamu di rumah."
Jo mengangguk, lalu ia mencoba untuk turun dari brankar dengan kekuatannya sendiri. Lutut seakan terlepas dari tempatnya. Jo jatuh begitu saja dengan lemas, membuat jarum infusnya hampir terlepas. Untungnya, Jo sudah melepas nasal kanula.
"Astagah!" Hazell dengan cepat meraih tubuh Jo untuk mengangkatnya dari atas lantai, lalu mendudukkannya kembali di tepi brankar.
"Dek, jangan langsung berdiri gitu, dong. Kalau anemia, nggak boleh langsung berdiri," ujar Oliver, sedikit berteriak seperti marah, tapi sebenarnya ia hanya panik. "Kak, gendong Adek. Biar infusnya aku yang bawain."
Hazell mengangguk. "Naik." Ia memunggungi Jo dengan sedikit merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Jo.
Jo mendekati punggung Hazell yang bidang. Ia merayap naik ke sana dengan perlahan-lahan, lalu melingkarkan kedua tangannya pada leher jenjang Hazell.
Hazell menyelipkan kedua tangannya di belakang lutut, lalu mengangkat tubuh Jo yang amat sangat ringan. Ia terkejut. Ia masih ingat betul saat ia mengangkat tubuh Jo tiga tahun lalu. Apa berat badan Jo tidak pernah naik? Atau, dia memang sekurus ini selama ini? Batinnya.
"Makasih, ya, Dok. Maafin Kak Zell, dia memang rada gila," ujar Oliver, seraya berjalan menyusul Hazell dan Jo.
"Iya, iya. Saya paham." Meski mengatakan hal itu, tapi sebenarnya Airin menahan emosi. Ia paling tidak suka jika tidak dihormati.
Mereka tiba di rumah setengah jam kemudian. Jo berbaring di kursi tengah dengan kantung infus menggantung di atas jendela. Sepanjang perjalanan, tidak ada seorang pun yang berbicara. Baik Hazell maupun Oliver, mereka seakan sadar bahwa saat ini Jo sedang menahan perasaan tidak nyaman. Sesekali Oliver menengok ke belakang untuk melihat Jo. Ia sadar, Jo memejamkan mata dengan sesekali meremat perutnya dan mengerutkan kening, kadang bibirnya terlihat bergetar dan merapat. Jo jelas sedang merasa kesakitan, tapi ia menahannya tanpa suara.
Setibanya di rumah, Hazell menggendong Jo hingga kamar. Kantung infus digantungkan pada lampu tidur yang menempel di dinding di atas kepala kasur. Hazell meninggikan kedua kaki Jo dengan menaruh tumpukan bantal di sana. Tak lupa, ia juga melepaskan hijab yang Jo pakai, melepaskan kait bra, membuka semua kancing kemeja, dan membuka rok abu sehingga Jo hanya memakai legging berbahan kaus, lalu menutupinya dengan selimut.
"Miing!"
"Mimi," panggil Jo pada kucing peliharaannya, Mimi. Kucing domestik belang tiga yang telah disteril hingga badannya bulat dan sehat.
Mimi melompat naik ke atas kasur, lalu berjalan dengan langkah ringan ke arah wajah Jo. Jo tidak membuka mata sejak tadi, karena ia tidak mau kepalanya semakin sakit akibat pencahayaan dan penglihatan yang terasa aneh. Tapi, Jo tahu bahwa Mimi mengendus wajahnya dan menjilat ujung hidung Jo. Jo pun terkekeh-kekeh.
Sekitar 15 menit semenjak mereka sampai di rumah, Aisyah pun tiba. Aisyah adalah dokter yang selama ini menangani Jo sejak tiga tahun lalu. Aisyah adalah dokter yang dulunya ada di bagian anak, kini pindah haluan menjadi dokter bedah umum. Setiap kali Jo sakit, Aisyah akan dipanggil untuk memeriksakan kondisi Jo. Untungnya, Jo jarang sekali sakit parah, paling maagnya yang kambuh. Setiap kali maagnya kambuh, kondisi Jo akan benar-benar terlihat mengenaskan.
Aisyah pun memeriksa Jo dengan sedikit peralatan, hanya ada termometer, spigmomanometer atau alat pengukur tekanan darah, dan pemeriksaan hemoglobin. Selama ia memeriksa, Hazell dan Oliver hanya berdiri di tengah ruangan dengan sabar menunggu Aisyah selesai memeriksa.
"Oke," gumam Aisyah. "Memang tekanan darahnya rendah, hemoglobin rendah, pucat anemia, dan maagnya juga kambuh. Walaupun dia makan teratur, stres juga bisa bikin maag kambuh. Dan, ditambah menstruasi hari pertama dan kelelahan karena tidur larut sekali, maka kondisinya benar-benar langsung drop kayak gini. Tentang mimisannya, kemungkinan besar trombositnya juga turun. Jadi, aku mau ambil sampel darahnya, biar aku bawa ke lab."
Hazell menghela napas berat. "Yaudah, ambil aja darahnya."
"Aku takut dia kena demam berdarah, sih," gumam Aisyah yang mulai mempersiapkan semua keperluan pengambilan darah, seperti jarum dan tabung darah dengan dua warna tutup yang berbeda, ungu dan kuning. "Kalau hasilnya udah keluar, ntar aku kabarin. Sementara, aku resepin antibiotik, obat maag, dan obat mual. Kalau ada tambahan obat, ntar aku kirimin."
"Oke. Makasih, Syah," ujar Hazell lembut.
Jo terkekeh-kekeh.
"Ngapain kamu ketawa? Nggak sadar apa kalau semua kayak gini gara-gara khawatirin kamu?" tukas Aisyah, tentu ia tidak serius.
Jo masih terkekeh-kekeh. Tawanya terdengar lirih. "Kak Zell kalau ketemu cewek jutek banget, cuma sama Kak Ais aja jadi lembut."
Oliver mengangguk setuju.
Hazell menepuk punggung Oliver agak keras, sampai membuat Oliver sedikit terdorong. Tapi, Oliver hanya tertawa.
"Oke, udah," gumam Aisyah yang telah selesai mengoleksi darah Jo. "Hasilnya mungkin agak sedikit berbeda, karena tadi udah dikasih Vitamin K1. Tapi, nggak masalah."
"Kak Ais," panggil Jo dengan suara lirih dan agak terbata. "Mu-Muntah." Jo menarik tubuhnya untuk bangkit, tapi ia terlalu lemas hingga sulit sekali untuk bergerak.
"Baskom, plastik, apapun!" seru Aisyah.
Oliver telah siaga dengan kantung plastik, ia tahu Jo mungkin akan muntah karena ia kerap mengeluh ingin muntah sejak di perjalanan. Ia menyerahkan kantung muntah itu pada Aisyah, sementara Hazell bergerak ke arah kepala kasur untuk membantu Jo duduk agar bisa muntah.
"Hoek! Hoek!" Jo mengeluarkan semua isi lambungnya, makan siangnya yang belum semuanya dicerna. "Uhuk! Uhuk!" Jo mengakhiri muntahnya. Ia tahu lambungnya sudah kosong, meski ia masih merasa mual.
Aisyah cepat-cepat mengambil sebuah ampul transparan, memotek tutupnya agar ampul itu terbuka, lalu menyedot cairan di dalamnya dengan syring steril dan memasukkannya ke dalam pembuluh darah Jo melalui salah satu katup jarum infus yang terpasang di punggung tangan Jo. Ia juga memasukkan antibiotik injeksi, karena ia tahu bahwa Jo akan terus menolak obat-obatan yang diminumnya.
Sambil merapikan barang-barangnya, Aisyah berkata, "Makan yang lembut-lembut dulu, ya. Bubur bayi aja untuk malem ini, biar gampang. Besok pagi aku ke sini lagi."
"Maaf, ya, Kak. Jo ngerepotin Kakak terus," ucap Jo dengan suara yang sangat lirih, hampir seperti bisikan.
Aisyah mengusap surai hitam Jo yang lepek karena keringat. "Ini udah jadi pekerjaanku, kok. Tapi, kalaupun bukan pekerjaan, aku juga bakal ke sini besok pagi. Aku udah nganggep kamu adekku sendiri," ucapnya dengan sangat lembut. "Istirahat, ya. Tapi, makan dulu sedikit, biar lambungmu nggak luka."
Jo hanya bisa mengangguk. Ia sudah tidak sanggup berbuat lebih. Kepalanya terlalu sakit dan pening, perutnya sakit, dan mual masih terus menghantuinya.
"Biar aku anter," ujar Hazell, seraya mengikuti Aisyah keluar dari kamar Jo.
Oliver pun mendekati kasur dan duduk di tepian. Ia menggenggam tangan kanan Jo yang berkeringat dingin, menggenggamnya dengan lembut namun erat, berharap kehangatannya bisa tersalurkan untuk Jo. "Sehat, ya, Dek. Gue nggak mau besok nemenin Ibu sendirian," ujarnya, meski ia yakin Jane tidak akan pergi kemana-mana jika tahu Jo sedang sakit.
Tanggapan Jo hanya cengiran. Ia sudah tidak sanggup mengeluarkan suara. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kesadarannya.
🌼🌼🌼
Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan
Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,
Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka
Cuaca di akhir pekan sangat cerah, membuat orang-orang tetap semangat untuk produktif. Terutama Jo. Seorang Jolanka yang paling tidak bisa diam saat ada waktu senggang. Baginya, waktu senggang adalah waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dari sekedar rebahan dan bermalas-malasan.Kebetulan, Hazell sedang libur dari pekerjaannya. Sementara Oliver harus ke sekolah, dan akan terus berlangsung seperti itu setiap dua minggu sekali di hari Sabtu selama satu semester ini untuk kelas tambahan persiapan Ujian Nasional.Usai sarapan, Jo mengajak Hazell untuk menemaninya bermain basket di lapangan basket klaster mereka. Lapangan itu jarang dipakai, karena penghuni klaster ini rata-rata adalah orang dewasa dan suami-istri yang baru menikah, anak-anak pun lebih banyak pergi ke taman bermain. Sementara, para orang dewasa lebih senang bersantai di rumah.Hazell dan Oliv
Hazell menutup pintu mobilnya dengan kuat, lebih seperti membantingnya. Jika tidak mengukur tenaga dan mengontrol emosinya, mungkin kaca mobilnya bisa pecah. Tapi, ia bukan orang bodoh yang tidak bisa mengontrol amarahnya. Baginya, lebih sulit mengontrol perasaan cemas dan rasa bersalah ketimbang amarah.Usai menghubungi Rendyka, ia pergi meninggalkan rumah sakit. Ia tak mau terlalu lama berpisah dengan adiknya yang kini masih setia dalam pejam lelahnya. Namun, ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini. Ia tak mau dihantui rasa bersalah karena belum berhasil memberikan kebahagiaan pada adik tirinya. Namun, besar perasaan bersalahnya saat ini tertutupi oleh kekecewaan pada sang ayah.Seperti takdir. Hari itu, Rendyka melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta, menghadiri sebuah pertemuan pebisnis di Hotel Shangri-La, Jakarta. Langsung saja Hazell memaksa sang ayah untuk bertemu dengannya. Sebagai anak sulung yang membanggakan, Rendyka tentu
Hazell dan Oliver duduk bersebelahan. Sudah lebih dari 30 menit mereka dalam keheningan, setia pada pikiran masing-masing. Hazell menunduk menatap lantai, sementara Oliver mendangak menatap langit-langit. Hanya satu yang sama pada mereka, perasaan kacau, tatapan kosong penuh kesedihan, dan perasaan yang tak tentu.Menghela napas adalah satu-satunya cara mereka untuk menghapus keheningan yang tercipta. Namun tetap tak ada yang mau membuka mulut untuk berbicara. Mereka masih mencoba mencerna penjelasan Aisyah beberapa saat sebelumnya. Bahkan, saat Aisyah menyuruh mereka untuk memindahkan Jo ke rumah sakit yang lebih baik pun mereka hanya menurut."Glioma Brainstem. Tumor ganas di batang otak yang tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi. Meski kemo dan radiasi dilakukan, umur Jo mungkin tak akan bertahan lebih dari 6 bulan lagi."Hazell menghela napas kasar dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Ucapannya pada
Akhir pekan, terutama hari Minggu, adalah hari bagi Jendra untuk menjadi bagian dari Tim Rebahan. Meski ia tetap bangun subuh untuk salat, setelahnya ia kembali membenamkan diri di kasur nyamannya, membungkus badannya bak lemper dengan selimut tebalnya, dan kembali menjelajahi alam bawah sadarnya.Ia terbangun karena mendengar suara dua perempuan di luar kamarnya. Ia tinggal di apartemen yang tidak begitu luas, sehingga ia bisa mendengar dengan cukup jelas bahwa ada tamu di ruang tengah yang berada tepat di samping kamarnya. Ia meraih ponselnya di atas nakas, ternyata masih jam 08.11. Siapa tamu yang datang ke apartemennya pagi-pagi seperti ini? Ia tak tahu. Pasalnya, jarang sekali sang tante menerima tamu di apartemen mereka sebelum jam 9 pagi. Karena, ia tahu betul bahwa sang tante sangat benci ketika hari liburnya dipakai untuk menemui tamu.Perutnya bergemuruh. Ia lapar. Memang biasanya ia sarapan jam 6, tapi ini sudah dua jam ia melewatkan sara
Berat bagi Jendra untuk melangkah kembali ke rumah sakit yang pertama kali mendiagnosis ayahnya menderita tumor otak. Kali ini, ia pun harus kembali ditampar oleh kenyataan bahwa gadis pujaannya menderita penyakit yang sama. Bedanya, penyakit sang gadis pujaan benar-benar tidak punya harapan untuk sembuh. Sulit baginya menerima kenyataan pahit untuk kedua kalinya.Jo bukan sekedar teman baru. Meski baru ia kenal dua minggu, tapi ia sudah yakin dengan perasaannya. Rasa sukanya semakin kuat seiring berjalannya waktu. Bahkan, ia bisa saja menggila karena chat yang dibalas cepat, berbicara di telepon pada malam hari, bahkan ia bisa gila karena tidak bertemu dengan Jo diakhir pekan. Jika hari ini ia tidak datang ke rumah sakit, ia takut tidak akan pernah bisa melihat Jo lagi.Saat ia dan Aisyah tiba, jam menunjukkan pukul 10 pagi. Memang belum jam besuk, tapi mereka dapat masuk berkat bantuan dari Fiona. Apalagi, Jendra cukup dikenal di rumah sak
Dulu, bagi Jo, nggak ada musim semi. Adanya musim dingin terus, sampai Jo nggak bisa gemuk karena lemak Jo dipake buat menghangatkan tubuh Jo.Walaupun nggak sampai setengah waktu Jo di musim dingin, akhirnya Jo ngerasain musim semi.Makasih buat:1. Papa yang udah ajarin Jo arti hidup2. Ayah yang udah ajarin Jo arti memaafkan3. Ibu yang udah ajarain Jo arti keadilan4. Kak Zell yang udah ajarin Jo arti kejujuran5. Kak Olv yang udah ajarin Jo arti persaudaraan6. Eva yang udah ajarin Jo arti persahabatan7. Ezra yang udah jagain Jo dari dulu, itu berarti banget buat Jo8. My first and last love, Jendra, yang udah ajarin Jo cinta dan kasih sayangNggak banyak yang bisa Jo sampaikan, soalnya Jo nggak kuat ngomong banyak. Ini aja udah take kesekian sampai bener-bener selesai. Jadi, maaf kalau rekaman suaranya putus-putus.Jo udah siapin kenang-kenangan buat kalian semua. Na
Jendra menggenggam tangan Jo yang terbebas dari infus, namun di jari telunjuknya tersemat pulse oxymeter yang terhubung ke monitor pasien untuk memastikan saturasi oksigen.Jo sudah sadar, tapi saat Jendra masuk, Jo kembali memejamkan mata. Kini, sudah 15 menit Jendra hanya memandangi Jo yang terlelap. Terdapat memar di pipi Jo. Meski terhalang oleh masker oksigen, tapi memar itu terlihat sangat jelas. Jendra mengelus pelan pipi itu. Tampaknya sangat menyakitkan. Amarah menggemuruh di dadanya. Kalau Rendyka bukan ayahnya Jo, Jendra pasti akan mencekik Rendyka sampai mati."Jen... mual..."Jendra terlonjak dan berdiri tiba-tiba. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil baskom untuk mandi. Ia kembali dan sudah melihat Ara terduduk dengan membungkuk sambil menutup mulutnya, membiarkan masker oksigen menggantung di lehernya. Jendra langsung menyelipkan ember itu di atas pangkuan Jo, membiarkan kekasihnya memuntahkan isi lambungny
Membunuh adalah tindakan dengan konsekuensi besar. Ia mati-matian memaki dan menghina Adianto karena membunuh istrinya sendiri akibat stres karena dirinya telah membuat Adianto menderita. Dan kini, tanpa ia sadari, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Ia sadar anaknya sekarat, tapi ia tak benar-benar serius akan membunuh anaknya. Yang ia inginkan hanyalah keputusan istri dan anak pertamanya untuk menarik tuntutan dengan mempertaruhkan anak perempuan hasil hubungan ilegalnya.Nafas Jo hilang dan timbul dengan jarak yang sangat panjang, bukan lagi Senin-Kamis, tapi sudah seperti dari Senin ke Senin. Pucat pasi di wajah, bahkan tangan yang terluka akibat jarum infus yang dilepas paksa itu sudah seputih mayat. Kepalanya terkulai ke depan, seiring dengan tubuhnya yang ikut jatuh ke depan. Kalau tidak terikat pada kursi, tubuh itu pasti sudah jatuh ke lantai."C-Cek nadinya!" titah Rendyka.Beberapa anak buahnya tampak ragu, bahkan
Perlahan, kondisi Jo mengalami perkembangan baik. Tidak, bukan berarti ia telah sembuh. Nafsu makannya perlahan kembali, ia mulai mencoba untuk berjalan dan menggunakan kedua tangannya dengan lebih aktif, daya ingatnya yang masih baik, dan tentunya adalah semangat untuk terus bertahan sekali lagi sebelum Mawar mengajaknya.Jo telah berhenti sekolah, sudah resmi. Tapi, setiap harinya pasti akan ada teman sekelas yang datang untuk menjenguk secara bergantian, tentu saja selain Eva, Ezra, dan Jendra. Jangan tanyakan mereka. Mereka akan datang kapanpun sesuka hati mereka, seakan rumah sakit sudah seperti rumah Jo yang bisa seenaknya mereka datangi tanpa izin.Sudah berlalu lima hari semenjak Jo sadar dari komanya. Siang ini, tak ada yang menemani Jo. Bukan berarti ia ditinggalkan. Ia yang memaksa semua orang untuk tidak menemaninya siang itu. Pun, takdir nyatanya memberi izin atas keinginan Jo. Hazell dan June pergi mengurus persidangan kedua yang masih
Jendra sedang duduk di kursi sebelah brangkar sambil mengupas jeruk yang dibawa teman-teman sekelasnya. Ia ingat Jo suka sekali dengan jeruk, terutama aromanya. Selama ia menemani Jo di kamar rawat ini, ia selalu memakan sebuah jeruk di sebelah Jo. Ia berharap itu bisa merangsang Jo untuk sadar. Meski sudah 10 hari ia mencoba dan Jo tak kunjung sadar, ia tetap mencoba. Ia tahu babwa kekasihnya itu akan bangun. Masih terlalu cepat bagi Jo untuk pergi selamanya.Beberapa menit lalu, teman-teman sekelasnya berpamitan untuk pulang. Hari masih cukup sore, masih jam 5. Seharusnya Oliver sudah datang, tapi entah di mana dan tak ada kabar. Sementara, June dan Hazell masih mengurus persidangan ketiga. Sidang kedua beberapa hari lalu tak bisa berlangsung sempurna, karena Rendyka belum bisa ditemukan. Waktu untuk menemani Jo pun berkurang, namun hal ini menjadi keuntungan bagi Jendra untuk berada di samping Jo lebih lama lagi."Bunda..."Jendr
Waktu bagi Jo seakan telah berhenti. Mata itu tidak pernah terbuka selama 5 hari ini. Entahlah. Tuhan mungkin sudah memberi kode, tapi umat-Nya mencoba untuk mempertahankan Jo hingga saat ini. Meski bertahan hidup dengan alat ventilator yang memberinya kesan mengenaskan, namun Jo seakan paham bahwa orang-orang disekitarnya menginginkannya untuk bertahan lebih lama, meski ia harus beristirahat cukup lama kali ini.Sementara itu, kehidupan terus berjalan seakan tak terpengaruh oleh ketidakhadiran Jo. Tidak, itu hanya untuk mereka yang tak menaruh banyak porsi keberadaan Jo di hati mereka. Bagi Jendra, Ezra, dan Eva, keberadaan Jo sudah melebihi setengah luas hati mereka. Hal tersebut pun begitu terasa di kelas. Teman-teman sekelas seakan bisa merasakan kekosongan dan kehampaan Jendra, Ezra, dan Eva. Mereka tahu bagaimana dekatnya hubungan mereka dengan Jo.Awalnya, pihak sekolah memang merahasiakan perihal kondisi Jo. Namun, June, Hazell, dan Oliver p
Kondisi Jo tidak mengalami peningkatan. Alih-alih June dan Hazell mengizinkannya menemui Rendyka, Jo berkali-kali mengalami mimisan, muntah, demam, hingga kejang. Sudah seminggu, namun tak ada perkembangan yang 'sedikit' membaik. Bahkan, meski Jo terus meminta June dan Hazell untuk mengizinkannya bertemu Rendyka, tapi janji tetap tak bisa Jo penuhi.Semakin Jo berusaha untuk membaik secepatnya, semakin ia tak yakin bahwa kondisinya akan membaik sebelum persidangan kedua dilangsunkan, yaitu dua minggu setelah persidangan pertama. Nyatanya, waktu Jo hanya tersisa tiga minggu dari prediksi. Ia semakin yakin bahwa ia memang tak punya kesempatan untuk berdamai dengan Rendyka, seperti yang ia lakukan pada Jully.Semalam, Jo mengalami kejang dan mimisan. Hingga pagi ini, suhu tubuh Jo masih berada di angka 39⁰C, belum menunjukkan tanda-tanda akan turun meski sudah diberi obat menurunkan demamnya. Tubuhnya semakin kurus, semakin terlihat lemah, semaki
Malam itu, kondisi Jo menurun secara mendadak dan tiba-tiba. Malam di hari persidangan pertama. Sikap aneh Jo saat sidang hingga saat mereka pergi makan bersama, tak dianggap serius oleh yang lain. Mereka hanya berpikir bahwa sikap Jo yang kekanakkan itu adalah hal biasa pada gejala penyakit mematikannya. Mereka tak sampai berpikir bahwa senyum yang Jo tunjukkan seharian itu adalah pengingat bahwa waktu Jo memang tidak banyak lagi.Sudah dua bulan berlalu semenjak Jo didiagnosis menderita Glioma Brainstem. Sejak saat itu, memang tak sering Jo mengeluh, bahkan hampir tidak pernah. Jo bersikap biasa, seakan ia baik-baik saja, seakan ia tidak sakit. Tapi, nyatanya, ia benar-benar menderita tanpa ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir.Malam itu, saat ia baru saja pulang setelah bersenang-senang dan makan-makan, begitu kakinya menyentuh teras rumah, tubuhnya jatuh seakan tak bertulang. Debuman keras benturan tubuh dan kepalanya pada lantai tera
Keberadaan Ferdy tidak bisa dijangkau oleh Jo, sehingga Jo hanya mengirimkan sebuah amplop berisikan dua lembar surat yang ia tulis dengan tangannya yang mulai sering mengalami kelumpuhan sementara. Bersyukur Ferdy tidak merahasiakan kepindahannya ke daerah Jawa Timur. Meski sudah dua hari Jo mengirimkan surat itu, ia tak berharap Ferdy membalas suratnya. Asalkan suratnya sudah diterima, selanjutnya akan menjadi keputusan Ferdy untuk membacanya atau membuangnya.Tepat sehari setelah Jo menemui Jully, tiga polisi datang dengan membawa surat panggilan untuk Jully. Tanpa penolakan, Jully menerima panggilan itu. Dan, di sinilah Jully, seminggu kemudian, duduk di tengah-tengah ruang sidang, didampingi pengacara yang menawarkan diri untuk membantunya. Bukan membantu untuk memenangkan persidangan, melainkan membantunya untuk melewati persidangan dan mendapatkan hukuman yang adil untuk semua tindakannya.Jika kalian berpikir Jo tidak datang, itu salah. Jo s