Share

Lima: Sekolah

Penulis: Catish13
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-22 05:32:06

Jo dan Oliver tiba di parkiran tepat pukul 06.30, masih ada waktu 30 menit sebelum bel berbunyi. Seperti biasa, Oliver akan mengantar Jo sampai depan kelas, lalu meninggalkannya setelah Jo duduk di bangkunya. Walaupun kelas mereka sama-sama di lantai tiga, tapi kelas mereka benar-benar berjauhan. Kelas Jo ada di ujung gedung sayap kanan, dan kelas Oliver ada di sisi berlawanan. Meski Jo selalu menolak, pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kakaknya melalukan apa yang dia mau.


Kelas masih sepi, seperti biasa. Jo membuka buku sakunya dan mengulang pelajaran yang telah ia rangkum sejak awal masuk sekolah dua bulan lalu. Seperti inilah cara ia belajar. Ia tidak begitu memaksakan diri dalam hal belajar. Meski orang-orang beranggapan ia sangat santai, sejujurnya ia belajar setiap ada waktu senggang dengan membaca buku sakunya ini.


"Morning, Babe." Seseorang memeluknya dari samping. "How are you today? How's your Handsome Brother?" 


Jo terkekeh-kekeh sambil menatap Eva, sahabatnya sejak masuk sekolah, sekaligus pacar Oliver sejak seminggu lalu. "Tadi, Kak Olv nunggu lama di depan kelas, tapi karna kamu nggak dateng-dateng, jadi dia ke kelasnya. Katanya dia piket pagi."


Eva melempar tasnya ke atas meja di barisan sebelah yang sejajar dengan Jo. "Aku ke kelasnya dulu, deh. Apel pagi." Ia menyengir lebar, lalu berlenggang pergi dengan gesit. Ia bahkan berlari dengan sangat riang dan semangat.


Jo terkekeh-kekeh pelan, lalu kembali membaca catatan sakunya.


Awalnya, Eva yang memang gatal mata dengan lelaki tampan itu hanya sering menggoda Oliver setiap kali ia menemui Jo di kelas saat istirahat pertama dan kedua, entah hanya untuk melihat Jo atau mengajaknya ke kantin dan makan bekal bersama di sana. Awalnya Oliver juga agak risih, bahkan sempat beberapa hari enggan ke kelas Jo karena tidak suka dengan keagresifan Eva padanya. Yah, tapi momen-momen seperti itu hanya berlangsung selama sebulan. Dua minggu lalu, Eva terkejut dan terpesona oleh tubuh Oliver yang tidak sengaja dilihatnya ketika berkunjung ke rumah Jo untuk kerja kelompok. Sejak itulah, keduanya sama-sama jatuh cinta. Jo tidak begitu paham, tapi ia mengamati kehidupan Eva-Oliver selama ini.


Pening di kepala Jo tiba-tiba saja makin menjadi, sampa mata Jo sempat menggelap dan tubuhnya seakan menjadi ringan. Cepat-cepat ia menutup buku sakunya dan menarik punggungnya untuk bersandar pada sandaran kursinya. Ia memijit pelipisnya usai menyeka keringat yang sempat merembes di sana. Perutnya pun semakin terasa aneh, sakit dan mual. Sakitnya bukan hanya dari bagian bawah perut akibat menstruasi, tapi juga dari uluh hati. Padahal ia sudah makan dan sudah minum vitamin, tapi ternyata tak banyak berpengaruh. Tak pernah seperti ini sebelumnya.


Sejak pening menyerang dengan menjadi-jadi, ia memejamkan mata. Bahkan, telinganya seakan tidak bisa mendengar apa-apa kecuali dengungan aneh yang membuat kepalanya semakin sakit. Ia bahkan tidak sadar bahwa seseorang telah berdiri di sebelah kirinya. Jo sampai terlonjak kecil ketika matanya ditutupi oleh tangan yang begitu hangat dan nyaman. Refleks ia menarik tangan itu menjauh agar ia dapat melihat pelakunya. Itu Ezra.


"Lo nggak papa, Jo? Kayak lagi nahan sakit," ujar Ezra. Meski ia terkenal dingin dan cuek, tapi ia selalu peduli pada Jo. Bagaimana tidak? Jo adalah temannya sejak SMP. Bukan karena mereka pernah satu sekolah, tapi karena Ezra adalah anak Daisy.


Jo kembali bersandar dan menaruh kembali tangan Ezra yang hangat itu di atas matanya. "Sakit kepala, mual, sakit perut," sebutnya. "Mungkin karena haid hari pertama. Padahal, udah minum vitamin darah dan penghilang rasa sakit," ungkapnya.


"Mau gue anter ke UKS? Atau gue panggilin Bang Olv?"


Jo menggeleng. "Bentar lagi juga baikan. Sebentar aja kayak gini."


Ezra tidak menanggapi. Ia bahkan tidak bergerak sedikitpun. Ia membiarkan Jo menikmati tangan itu yang menutupi matanya yang terpejam.


"Maaf, aku ngerepotin kamu lagi, Zra."


Ezra masih diam. Meski ia benci Jo yang selalu minta maaf dan berpikir dirinya menyusahkan, ia tidak pernah mau lagi menceramahi Jo karena hal ini. Sejujurnya, Ezra senang dirinya bisa berguna dan membantu Jo. Ia tahu betul bagaimana kehidupan Jo. Dulu, Jo menceritakan semuanya padanya. Sejak itu, ia akui ia telah sangat menyayangi dan mempedulikan Jo. Bahkan, belakangan ini ia sadar bahwa dirinya menyukai Jo lebih dari sahabat.


🦋


Sekolah berakhir pukul 3 sore. Banyak murid yang langsung meninggalkan sekolah, seakan mumet dengan pelajaran dan sistem sekolah full day yang menuntut mereka untuk fokus selama 8 jam penuh.


Oliver mendatangi kelas Jo, seperti biasa, seakan kelasnya selalu selesai lebih dulu dari kelas lainnya. Bahkan, ia masuk ke dalam kelas. Bukan hanya untuk menemui adiknya, tapi juga sahabat adiknya yang tak lain adalah pacarnya, Eva. Dan, selagi menunggu Jo selesai merapikan barang-barangnya, Oliver akan banyak menghabiskan waktu untuk bermesraan dengan Eva di hadapan Jo dan Ezra.


"Bang, lo bucin banget, sih," tukas Ezra yang masih membantu Jo mengangkat kursi ke atas meja.


"Berisik, deh. Bilang aja lo iri, dasar jomblo!" tukas Oliver ketus.


Jo terkekeh-kekeh. "Kak Olv pulang sama Eva aja, gih. Jo sama Ezra." Jo menarik tubuhnya ke sebelah Ezra, lalu menggandeng tangan Ezra yang selalu hangat dan menenangkan. Sejak dulu, Ezra-lah yang banyak menemaninya, bahkan selalu membantunya menenangkan diri selama mengikuti persidangan.


"Nggak bisa, gue bakal dibunuh A Zell kalau sampe lo nggak pulang bareng gue," ujar Oliver, terdengar panik. "Lagian, Eva juga selalu antar-jemput supir. Gue bisa digorok papanya kalau nganterin dia pulang naik motor tanpa helm," tambahnya.


Eva merangkul manja lengan Oliver yang kekar. "Besok ngapelin gue, dong, Kak. Besok malem, soalnya Papa-Mama pergi kondangan, gue sendirian. Ntar bawain gue martabak sekalian."


Oliver membelai kepala Eva dengan manis. "Sure."


Ezra bergidik. "Gila, geli gue," gumamnya. "Yuk, Jo, kita jalan duluan aja ke parkiran. Geli gue lama-lama di sini ngeliatin bucin."


Jo terkekeh-kekeh, tak mau berkomentar. 


"Yee! Bilang aja lo iri, Jombs," tukas Oliver.


Ezra mengabaikan itu. Ia tetap berjalan dengan menggandeng tangan kiri Jo yang seharian ini terasa dingin dan lembab. Tidak mungkin dirinya tidak sadar dan tidak cemas. Ia sangat cemas seharian ini.


Baru keluar kelas, tiba-tiba saja Jo merasa seperti hampir kehilangan kesadarannya. Kejadian terjadi begitu cepat tanpa pemberitahuan. Mata Jo menggelap dan tubuhnya menjadi ringan. Ia hampir saja jatuh ke atas lantai dingin yang keras kalau saja ia tak segera meraih sesuatu untuk berpegangan. Dan untungnya, ada Ezra di sana yang koloh bak benteng yang dengan sigap menahan tubuhnya.


"Jo!" Otomatis Ezra beraseru. Perlahan-lahan ia merendahkan tubuhnya yang tak begitu siap untuk menahan tubuh Jo yang terkulai lemas.


Tes


"Jo, lo mimisan." Tangan Ezra dengan cepat bergerak ke wajah Jo yang super pucat. Ia langsung menekan hidung Jo untuk menghentikan perdarahan. "Nafas lewat mulut. Jangan panik, jangan tidur. Stay with me, okey?


Derap langkah lari berhenti tepat di belakang mereka. Oliver berjongkok dan membantu Ezra menahan tubuh Jo yang seakan tak bertulang. "Dek, lo kenapa? Bisa denger suara gue?"


"Pu-sing." Bahkan, suara yang ia keluarkan lebih pelan dari sebuah bisikan.


"Bawa ke UKS aja," usul Eva.


"Zra, bantu gue angkat Jo ke punggung gue, ya."


Ezra tak perlu mengiyakan. Ia langsung sigap melakukan sedemikian cara untuk menaruh tubuh Jo di atas punggung Oliver. Ia turut menahan tubuh Jo agar tidak lepas ketika Oliver berdiri. Ia pun berjalan di belakang Oliver, menjaga dan memastikan Jo tidak melepaskan pelukannya pada leher Oliver, sementara darah masih terus keluar dari kedua lubang hidungnya.


Eva berlari di balakang kedua lelaki itu dengan membawakan tas ransel milik Jo yang cukup berat untuk tubuh Jo yang kurus dan tidak begitu tinggi itu. Bukan hanya Oliver dan Ezra yang cemas. Ia juga tahu bagaimana masa lalu Jo. Melihat Jo seperti ini, tentu saja ia ikut mencemaskan sahabatnya.


UKS berada di lantai satu. Mereka langsung membaringkan Jo di kasur yang pertama kali mereka lihat. Untungnya, dokter sekolah belum pulang. Setidaknya, ada yang bisa membantu Jo. Jujur saja, Oliver, Ezra, dan Eva sangat panik dan tidak tahu harus berbuat apa untuk Jo.


Dokter Airin, dokter sekolah, memiringkan tubuh Jo ke satu sisi, meski ia tahu mimisan yang Jo alami berasal dari kedua lubang hidungnya. Meski seprai putih brankar kotor oleh darah Jo, Airin bertindak cepat. Ia menyuruh Ezra menekan hidung Jo dan memastikan Jo bernapas dari mulut, sementara Oliver diminta untuk melepaskan ikat pinggang, pengait kerudung, melongarkan rok, bahkan melepaskan kait bra yang dikenakan Jo. Sementara Eva hanya bisa berdiri di kejauhan dengan wajah pucat karena cemas.


Tak perlu menunggu 15 menit. Airin meraih sebuah ampul dari lemari obat dan sebuah syringe. Ia memindahkan obat di dalam ampul itu ke dalam syringe, lalu dengan sigap menyuntikkan Vitamin K1 ke dalam pembuluh darah di tangan Jo dengan bantuan tekanan Oliver di lengan Jo. Ia hanya perlu menunggu darah berhenti selagi ia memasangkan infus dengan cairan kristaloid isotonik berupa ringer lactate untuk Jo yang telah hilang kesadaran.


"Jadi, Jo kenapa?" tanya Airin usai memberi tindakan pada Jo di tengah suasana yang menegangkan. 


"Tiba-tiba pingsan dan mimisan," jawab Ezra. "Dari pagi udah ngeluh pusing, mual, dan sakit perut -"


"Kok, lo nggak bilang gue, Zra?" Oliver terdengar marah.


Ezra tahu ia salah, tapi ia tetap tidak suka dibentak. Ia mencoba menahan emosi. "Jo maksa gue."


Oliver tidak melanjutkan amarahnya. Ia tahu betul sifat Jo yang satu ini, tidak suka menyusahkan orang. Sejujurnya, ia iri karena Jo mau berkeluh pada Ezra dibanding dirinya yang notabene adalah kakak kandungnya.


"Jo juga lagi menstruasi," timpal Eva yang diam sedari tadi.


Airin memgangguk. "Yah, emang, sih. Konjungtiva matanya pucat, sangat. Kulitnya putih kayak transparan. Tekanan darahnya 80/60, kerendahan. Dia anemia dan tekanan darah rendah," sebutnya. "Makan?"


"Dia masih makan siang tadi. Dia juga udah minum vitamin darah dan parasetamol," jawab Oliver. Lalu, ia berdecak. "Gue telpon A Zell dulu, minta jemput." Ia melebarkan langkahnya dan keluar dari UKS.


Airin menghela napas kasar, seraya membalikkan badan. "Kalian tunggu sini bentar, saya ambilin air dan baskom dulu buat bersihin darah di wajahnya Jo." Lalu, ia pergi keluar UKS.


"Jo, lo kenapa, sih?" gumam Eva dengan suara bergetar. Ia terduduk lemas di hadapan wajah pucat Jo. Ia menyeka keringat yang merembes mengenaskan di sana. "Kapan lo nggak menderita, sih? Nggak kuat gue lihat lo menderita. Alam nggak adil banget buat lo."


Ezra mengusap kepala Eva. Ia tahu Eva pacar Oliver, tapi Eva juga sahabatnya. "Jangan sampe Jo lihat muka lo kayak gini, Va. Dia bakal minta maaf."


"Padahal, dia nggak salah apa-apa," tanggap Eva.


Pintu UKS terbuka. Oliver kembali dengan langkah tegas. "Bentar lagi A Zell dateng. Kalian berdua kalau mau pulang, duluan aja. Nggak enak gue kalau kalian pulang kesorean."


Eva menggeleng. "Masih mau di sini, nunggu Jo sadar."


Oliver membelai kepala Eva. "Lo tahu Jo nggak suka wajah lo yang murung gitu." Eva mengangguk sambil menyeka air mata yang mengalir lembut di pipinya. "Udah, pulang aja. Ntar gue kabarin. Lo juga, Zra."


Ezra mengangguk. "Titip Jo, Bang." 


Ia menarik tubuh Eva untuk berdiri, lalu membantunya berjalan keluar dari UKS dengan langkah gontai.


"Dek, lo kenapa tiba-tiba gini? Apa yang lo sembunyiin dari gue, Dek?"


🌼🌼🌼

🌼🌼🌼

Bab terkait

  • My Spring (Indonesia)   Enam: Sakit

    Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya."Ah, Kak Zell,"

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-23
  • My Spring (Indonesia)   Tujuh: Keluarga

    Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-24
  • My Spring (Indonesia)   Delapan: Murid Baru

    Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-25
  • My Spring (Indonesia)   Sembilan: Cinta Pandangan Pertama

    Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-25
  • My Spring (Indonesia)   Sepuluh: Tumbang

    Cuaca di akhir pekan sangat cerah, membuat orang-orang tetap semangat untuk produktif. Terutama Jo. Seorang Jolanka yang paling tidak bisa diam saat ada waktu senggang. Baginya, waktu senggang adalah waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dari sekedar rebahan dan bermalas-malasan.Kebetulan, Hazell sedang libur dari pekerjaannya. Sementara Oliver harus ke sekolah, dan akan terus berlangsung seperti itu setiap dua minggu sekali di hari Sabtu selama satu semester ini untuk kelas tambahan persiapan Ujian Nasional.Usai sarapan, Jo mengajak Hazell untuk menemaninya bermain basket di lapangan basket klaster mereka. Lapangan itu jarang dipakai, karena penghuni klaster ini rata-rata adalah orang dewasa dan suami-istri yang baru menikah, anak-anak pun lebih banyak pergi ke taman bermain. Sementara, para orang dewasa lebih senang bersantai di rumah.Hazell dan Oliv

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-25
  • My Spring (Indonesia)   Sebelas: Ayah

    Hazell menutup pintu mobilnya dengan kuat, lebih seperti membantingnya. Jika tidak mengukur tenaga dan mengontrol emosinya, mungkin kaca mobilnya bisa pecah. Tapi, ia bukan orang bodoh yang tidak bisa mengontrol amarahnya. Baginya, lebih sulit mengontrol perasaan cemas dan rasa bersalah ketimbang amarah.Usai menghubungi Rendyka, ia pergi meninggalkan rumah sakit. Ia tak mau terlalu lama berpisah dengan adiknya yang kini masih setia dalam pejam lelahnya. Namun, ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini. Ia tak mau dihantui rasa bersalah karena belum berhasil memberikan kebahagiaan pada adik tirinya. Namun, besar perasaan bersalahnya saat ini tertutupi oleh kekecewaan pada sang ayah.Seperti takdir. Hari itu, Rendyka melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta, menghadiri sebuah pertemuan pebisnis di Hotel Shangri-La, Jakarta. Langsung saja Hazell memaksa sang ayah untuk bertemu dengannya. Sebagai anak sulung yang membanggakan, Rendyka tentu

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-28
  • My Spring (Indonesia)   Duabelas: Diagnosis

    Hazell dan Oliver duduk bersebelahan. Sudah lebih dari 30 menit mereka dalam keheningan, setia pada pikiran masing-masing. Hazell menunduk menatap lantai, sementara Oliver mendangak menatap langit-langit. Hanya satu yang sama pada mereka, perasaan kacau, tatapan kosong penuh kesedihan, dan perasaan yang tak tentu.Menghela napas adalah satu-satunya cara mereka untuk menghapus keheningan yang tercipta. Namun tetap tak ada yang mau membuka mulut untuk berbicara. Mereka masih mencoba mencerna penjelasan Aisyah beberapa saat sebelumnya. Bahkan, saat Aisyah menyuruh mereka untuk memindahkan Jo ke rumah sakit yang lebih baik pun mereka hanya menurut."Glioma Brainstem. Tumor ganas di batang otak yang tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi. Meski kemo dan radiasi dilakukan, umur Jo mungkin tak akan bertahan lebih dari 6 bulan lagi."Hazell menghela napas kasar dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Ucapannya pada

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-31
  • My Spring (Indonesia)   Tigabelas: Jendra

    Akhir pekan, terutama hari Minggu, adalah hari bagi Jendra untuk menjadi bagian dari Tim Rebahan. Meski ia tetap bangun subuh untuk salat, setelahnya ia kembali membenamkan diri di kasur nyamannya, membungkus badannya bak lemper dengan selimut tebalnya, dan kembali menjelajahi alam bawah sadarnya.Ia terbangun karena mendengar suara dua perempuan di luar kamarnya. Ia tinggal di apartemen yang tidak begitu luas, sehingga ia bisa mendengar dengan cukup jelas bahwa ada tamu di ruang tengah yang berada tepat di samping kamarnya. Ia meraih ponselnya di atas nakas, ternyata masih jam 08.11. Siapa tamu yang datang ke apartemennya pagi-pagi seperti ini? Ia tak tahu. Pasalnya, jarang sekali sang tante menerima tamu di apartemen mereka sebelum jam 9 pagi. Karena, ia tahu betul bahwa sang tante sangat benci ketika hari liburnya dipakai untuk menemui tamu.Perutnya bergemuruh. Ia lapar. Memang biasanya ia sarapan jam 6, tapi ini sudah dua jam ia melewatkan sara

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01

Bab terbaru

  • My Spring (Indonesia)   Surat Dari Jo: Musim Semi

    Dulu, bagi Jo, nggak ada musim semi. Adanya musim dingin terus, sampai Jo nggak bisa gemuk karena lemak Jo dipake buat menghangatkan tubuh Jo.Walaupun nggak sampai setengah waktu Jo di musim dingin, akhirnya Jo ngerasain musim semi.Makasih buat:1. Papa yang udah ajarin Jo arti hidup2. Ayah yang udah ajarin Jo arti memaafkan3. Ibu yang udah ajarain Jo arti keadilan4. Kak Zell yang udah ajarin Jo arti kejujuran5. Kak Olv yang udah ajarin Jo arti persaudaraan6. Eva yang udah ajarin Jo arti persahabatan7. Ezra yang udah jagain Jo dari dulu, itu berarti banget buat Jo8. My first and last love, Jendra, yang udah ajarin Jo cinta dan kasih sayangNggak banyak yang bisa Jo sampaikan, soalnya Jo nggak kuat ngomong banyak. Ini aja udah take kesekian sampai bener-bener selesai. Jadi, maaf kalau rekaman suaranya putus-putus.Jo udah siapin kenang-kenangan buat kalian semua. Na

  • My Spring (Indonesia)   Empatpuluhdua: Last

    Jendra menggenggam tangan Jo yang terbebas dari infus, namun di jari telunjuknya tersemat pulse oxymeter yang terhubung ke monitor pasien untuk memastikan saturasi oksigen.Jo sudah sadar, tapi saat Jendra masuk, Jo kembali memejamkan mata. Kini, sudah 15 menit Jendra hanya memandangi Jo yang terlelap. Terdapat memar di pipi Jo. Meski terhalang oleh masker oksigen, tapi memar itu terlihat sangat jelas. Jendra mengelus pelan pipi itu. Tampaknya sangat menyakitkan. Amarah menggemuruh di dadanya. Kalau Rendyka bukan ayahnya Jo, Jendra pasti akan mencekik Rendyka sampai mati."Jen... mual..."Jendra terlonjak dan berdiri tiba-tiba. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil baskom untuk mandi. Ia kembali dan sudah melihat Ara terduduk dengan membungkuk sambil menutup mulutnya, membiarkan masker oksigen menggantung di lehernya. Jendra langsung menyelipkan ember itu di atas pangkuan Jo, membiarkan kekasihnya memuntahkan isi lambungny

  • My Spring (Indonesia)   Empatpuluhsatu: She's Back

    Membunuh adalah tindakan dengan konsekuensi besar. Ia mati-matian memaki dan menghina Adianto karena membunuh istrinya sendiri akibat stres karena dirinya telah membuat Adianto menderita. Dan kini, tanpa ia sadari, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Ia sadar anaknya sekarat, tapi ia tak benar-benar serius akan membunuh anaknya. Yang ia inginkan hanyalah keputusan istri dan anak pertamanya untuk menarik tuntutan dengan mempertaruhkan anak perempuan hasil hubungan ilegalnya.Nafas Jo hilang dan timbul dengan jarak yang sangat panjang, bukan lagi Senin-Kamis, tapi sudah seperti dari Senin ke Senin. Pucat pasi di wajah, bahkan tangan yang terluka akibat jarum infus yang dilepas paksa itu sudah seputih mayat. Kepalanya terkulai ke depan, seiring dengan tubuhnya yang ikut jatuh ke depan. Kalau tidak terikat pada kursi, tubuh itu pasti sudah jatuh ke lantai."C-Cek nadinya!" titah Rendyka.Beberapa anak buahnya tampak ragu, bahkan

  • My Spring (Indonesia)   Empatpuluh: Miss(ing)

    Perlahan, kondisi Jo mengalami perkembangan baik. Tidak, bukan berarti ia telah sembuh. Nafsu makannya perlahan kembali, ia mulai mencoba untuk berjalan dan menggunakan kedua tangannya dengan lebih aktif, daya ingatnya yang masih baik, dan tentunya adalah semangat untuk terus bertahan sekali lagi sebelum Mawar mengajaknya.Jo telah berhenti sekolah, sudah resmi. Tapi, setiap harinya pasti akan ada teman sekelas yang datang untuk menjenguk secara bergantian, tentu saja selain Eva, Ezra, dan Jendra. Jangan tanyakan mereka. Mereka akan datang kapanpun sesuka hati mereka, seakan rumah sakit sudah seperti rumah Jo yang bisa seenaknya mereka datangi tanpa izin.Sudah berlalu lima hari semenjak Jo sadar dari komanya. Siang ini, tak ada yang menemani Jo. Bukan berarti ia ditinggalkan. Ia yang memaksa semua orang untuk tidak menemaninya siang itu. Pun, takdir nyatanya memberi izin atas keinginan Jo. Hazell dan June pergi mengurus persidangan kedua yang masih

  • My Spring (Indonesia)   Tigapuluhsembilan: Kembali

    Jendra sedang duduk di kursi sebelah brangkar sambil mengupas jeruk yang dibawa teman-teman sekelasnya. Ia ingat Jo suka sekali dengan jeruk, terutama aromanya. Selama ia menemani Jo di kamar rawat ini, ia selalu memakan sebuah jeruk di sebelah Jo. Ia berharap itu bisa merangsang Jo untuk sadar. Meski sudah 10 hari ia mencoba dan Jo tak kunjung sadar, ia tetap mencoba. Ia tahu babwa kekasihnya itu akan bangun. Masih terlalu cepat bagi Jo untuk pergi selamanya.Beberapa menit lalu, teman-teman sekelasnya berpamitan untuk pulang. Hari masih cukup sore, masih jam 5. Seharusnya Oliver sudah datang, tapi entah di mana dan tak ada kabar. Sementara, June dan Hazell masih mengurus persidangan ketiga. Sidang kedua beberapa hari lalu tak bisa berlangsung sempurna, karena Rendyka belum bisa ditemukan. Waktu untuk menemani Jo pun berkurang, namun hal ini menjadi keuntungan bagi Jendra untuk berada di samping Jo lebih lama lagi."Bunda..."Jendr

  • My Spring (Indonesia)   Tigapuluhdelapan: Hampa

    Waktu bagi Jo seakan telah berhenti. Mata itu tidak pernah terbuka selama 5 hari ini. Entahlah. Tuhan mungkin sudah memberi kode, tapi umat-Nya mencoba untuk mempertahankan Jo hingga saat ini. Meski bertahan hidup dengan alat ventilator yang memberinya kesan mengenaskan, namun Jo seakan paham bahwa orang-orang disekitarnya menginginkannya untuk bertahan lebih lama, meski ia harus beristirahat cukup lama kali ini.Sementara itu, kehidupan terus berjalan seakan tak terpengaruh oleh ketidakhadiran Jo. Tidak, itu hanya untuk mereka yang tak menaruh banyak porsi keberadaan Jo di hati mereka. Bagi Jendra, Ezra, dan Eva, keberadaan Jo sudah melebihi setengah luas hati mereka. Hal tersebut pun begitu terasa di kelas. Teman-teman sekelas seakan bisa merasakan kekosongan dan kehampaan Jendra, Ezra, dan Eva. Mereka tahu bagaimana dekatnya hubungan mereka dengan Jo.Awalnya, pihak sekolah memang merahasiakan perihal kondisi Jo. Namun, June, Hazell, dan Oliver p

  • My Spring (Indonesia)   Tigapuluhtunuh: Rendyka

    Kondisi Jo tidak mengalami peningkatan. Alih-alih June dan Hazell mengizinkannya menemui Rendyka, Jo berkali-kali mengalami mimisan, muntah, demam, hingga kejang. Sudah seminggu, namun tak ada perkembangan yang 'sedikit' membaik. Bahkan, meski Jo terus meminta June dan Hazell untuk mengizinkannya bertemu Rendyka, tapi janji tetap tak bisa Jo penuhi.Semakin Jo berusaha untuk membaik secepatnya, semakin ia tak yakin bahwa kondisinya akan membaik sebelum persidangan kedua dilangsunkan, yaitu dua minggu setelah persidangan pertama. Nyatanya, waktu Jo hanya tersisa tiga minggu dari prediksi. Ia semakin yakin bahwa ia memang tak punya kesempatan untuk berdamai dengan Rendyka, seperti yang ia lakukan pada Jully.Semalam, Jo mengalami kejang dan mimisan. Hingga pagi ini, suhu tubuh Jo masih berada di angka 39⁰C, belum menunjukkan tanda-tanda akan turun meski sudah diberi obat menurunkan demamnya. Tubuhnya semakin kurus, semakin terlihat lemah, semaki

  • My Spring (Indonesia)   Tigapuluhenam: Permintaan Terakhir

    Malam itu, kondisi Jo menurun secara mendadak dan tiba-tiba. Malam di hari persidangan pertama. Sikap aneh Jo saat sidang hingga saat mereka pergi makan bersama, tak dianggap serius oleh yang lain. Mereka hanya berpikir bahwa sikap Jo yang kekanakkan itu adalah hal biasa pada gejala penyakit mematikannya. Mereka tak sampai berpikir bahwa senyum yang Jo tunjukkan seharian itu adalah pengingat bahwa waktu Jo memang tidak banyak lagi.Sudah dua bulan berlalu semenjak Jo didiagnosis menderita Glioma Brainstem. Sejak saat itu, memang tak sering Jo mengeluh, bahkan hampir tidak pernah. Jo bersikap biasa, seakan ia baik-baik saja, seakan ia tidak sakit. Tapi, nyatanya, ia benar-benar menderita tanpa ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir.Malam itu, saat ia baru saja pulang setelah bersenang-senang dan makan-makan, begitu kakinya menyentuh teras rumah, tubuhnya jatuh seakan tak bertulang. Debuman keras benturan tubuh dan kepalanya pada lantai tera

  • My Spring (Indonesia)   Tigapuluhlima: Sidang

    Keberadaan Ferdy tidak bisa dijangkau oleh Jo, sehingga Jo hanya mengirimkan sebuah amplop berisikan dua lembar surat yang ia tulis dengan tangannya yang mulai sering mengalami kelumpuhan sementara. Bersyukur Ferdy tidak merahasiakan kepindahannya ke daerah Jawa Timur. Meski sudah dua hari Jo mengirimkan surat itu, ia tak berharap Ferdy membalas suratnya. Asalkan suratnya sudah diterima, selanjutnya akan menjadi keputusan Ferdy untuk membacanya atau membuangnya.Tepat sehari setelah Jo menemui Jully, tiga polisi datang dengan membawa surat panggilan untuk Jully. Tanpa penolakan, Jully menerima panggilan itu. Dan, di sinilah Jully, seminggu kemudian, duduk di tengah-tengah ruang sidang, didampingi pengacara yang menawarkan diri untuk membantunya. Bukan membantu untuk memenangkan persidangan, melainkan membantunya untuk melewati persidangan dan mendapatkan hukuman yang adil untuk semua tindakannya.Jika kalian berpikir Jo tidak datang, itu salah. Jo s

DMCA.com Protection Status