Hazell dan Oliver duduk bersebelahan. Sudah lebih dari 30 menit mereka dalam keheningan, setia pada pikiran masing-masing. Hazell menunduk menatap lantai, sementara Oliver mendangak menatap langit-langit. Hanya satu yang sama pada mereka, perasaan kacau, tatapan kosong penuh kesedihan, dan perasaan yang tak tentu.
Menghela napas adalah satu-satunya cara mereka untuk menghapus keheningan yang tercipta. Namun tetap tak ada yang mau membuka mulut untuk berbicara. Mereka masih mencoba mencerna penjelasan Aisyah beberapa saat sebelumnya. Bahkan, saat Aisyah menyuruh mereka untuk memindahkan Jo ke rumah sakit yang lebih baik pun mereka hanya menurut.
"Glioma Brainstem. Tumor ganas di batang otak yang tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi. Meski kemo dan radiasi dilakukan, umur Jo mungkin tak akan bertahan lebih dari 6 bulan lagi."
Hazell menghela napas kasar dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Ucapannya pada
Akhir pekan, terutama hari Minggu, adalah hari bagi Jendra untuk menjadi bagian dari Tim Rebahan. Meski ia tetap bangun subuh untuk salat, setelahnya ia kembali membenamkan diri di kasur nyamannya, membungkus badannya bak lemper dengan selimut tebalnya, dan kembali menjelajahi alam bawah sadarnya.Ia terbangun karena mendengar suara dua perempuan di luar kamarnya. Ia tinggal di apartemen yang tidak begitu luas, sehingga ia bisa mendengar dengan cukup jelas bahwa ada tamu di ruang tengah yang berada tepat di samping kamarnya. Ia meraih ponselnya di atas nakas, ternyata masih jam 08.11. Siapa tamu yang datang ke apartemennya pagi-pagi seperti ini? Ia tak tahu. Pasalnya, jarang sekali sang tante menerima tamu di apartemen mereka sebelum jam 9 pagi. Karena, ia tahu betul bahwa sang tante sangat benci ketika hari liburnya dipakai untuk menemui tamu.Perutnya bergemuruh. Ia lapar. Memang biasanya ia sarapan jam 6, tapi ini sudah dua jam ia melewatkan sara
Berat bagi Jendra untuk melangkah kembali ke rumah sakit yang pertama kali mendiagnosis ayahnya menderita tumor otak. Kali ini, ia pun harus kembali ditampar oleh kenyataan bahwa gadis pujaannya menderita penyakit yang sama. Bedanya, penyakit sang gadis pujaan benar-benar tidak punya harapan untuk sembuh. Sulit baginya menerima kenyataan pahit untuk kedua kalinya.Jo bukan sekedar teman baru. Meski baru ia kenal dua minggu, tapi ia sudah yakin dengan perasaannya. Rasa sukanya semakin kuat seiring berjalannya waktu. Bahkan, ia bisa saja menggila karena chat yang dibalas cepat, berbicara di telepon pada malam hari, bahkan ia bisa gila karena tidak bertemu dengan Jo diakhir pekan. Jika hari ini ia tidak datang ke rumah sakit, ia takut tidak akan pernah bisa melihat Jo lagi.Saat ia dan Aisyah tiba, jam menunjukkan pukul 10 pagi. Memang belum jam besuk, tapi mereka dapat masuk berkat bantuan dari Fiona. Apalagi, Jendra cukup dikenal di rumah sak
Untuk pertama kalinya dalam hidup hampir 15 tahun ini Jo merasakan yang namanya jantung berdebar-debar oleh jatuh cinta. Sebab, keesokan harinya, tepat jam 4 sore, Jendra datang dan menuntut jawaban dari Jo. Semalaman Jo sampai kurang tidur karena memikirkan jawaban untuk Jendra. Dan sore itu, Jo pun menjawab tanpa ragu, di depan Oliver.Oliver memberikan reaksi yang tentu saja sudah diperkirakan oleh Jo. Oliver mengamuk habis-habisan, mengajak Jendra ribut hingga menarik perhatian perawat-perawat yang berada di nurse station tepat bersebelahan dengan kamar rawat Jo. Malam itu, Oliver bersikap begitu dingin pada Jo. Jo paham alasan Oliver, namun tetap ia merasa tak enak hati dan sedikit takut pada Oliver. Namun, saat pagi, suasana Oliver sudah kembali semula. Meski sikap Oliver pada Jendra masih sama, masih terlihat bahwa Oliver tidak suka pada Jendra.Tentu saja satu kelas langsung mengetahui status hubungan Jo dan Jendra, tanpa ada seorang
Jendra tidak tahu tempat yang dituju oleh Jo. Ia benar-benar hanya mengikuti arahan dari Jo. Jika Jo memintanya berbelok, ia akan melakukannya. Jika Jo memintanya berhenti, ia akan melakukannya. Bahkan, ketika Jo meminta untuk berhenti di sebuah toko kue, ia pun menurut saja. Ia bahkan tak diperbolehkan untuk ikut turun, dan ketika Jo kembali, ternyata kekasihnya membeli dua kotak macaroon warna-warni. Satu kotak mereka buka sebagai camilan perjalanan, satu lainnya Jo simpan dan Jendra tidak mempertanyakannya.Hingga akhirnya pertanyaan Jendra sejak sejam sebelumnya pun terjawab. Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Tak perlu bertanya lebih jelas, ia pun tahu alasan Jo mengajaknya kencan ke tempat ini. Jendra akui bahwa kekasihnya itu unik dan memiliki cara sendiri untuk membuatnya menerima Jo apa adanya. Dan, tampaknya, ia akan diperkenalkan oleh Jo pada sang ayah yang tengah mendekam di lapas itu beberapa tahun ini.
Adianto berjongkok di sudut ruangan, menghadap dinding yang hampa bagaikan hati yang ia rasakan saat ini. Tetes demi tetes air mata terus membasahi lantai di bawahnya. Macaroon yang diberikan oleh Jo telah hancur oleh benturan, sebagian tampak meleleh oleh air matanya. Penyesalan terbesar dalam hidupnya dan kebodohan yang telah ia lakukan kini ia rasakan. Memang benar jika pepatah mengatakan bahwa penyesalan selalu datang di akhir."Hai, Papa. Anka harap Papa selalu sehat.Surat ini adalah surat terakhir dari Anka untuk Papa. Anka seneng kalau Papa mau baca surat Anka. Bahkan, Anka nggak tahu selama ini Papa baca surat Anka atau nggak. Tapi, surat Anka yang terakhir ini nggak akan buat Papa nyesel! ^^"Anka nggak tahu apa bisa hidup lebih lama lagi atau nggak. Jadi, Anka udah siapin rekening tabungannya Anka untuk Papa. Uangnya cuma bisa Papa ambil kalau Papa udah keluar dari penjara. Nanti, Anka minta ke Jendra buat bantu
Restoran Jepang yang dipilih Jendra atas dasar makanan favorit kekasihnya ternyata adalah pilihan tepat. Perjalanan dari pemakaman ke restoran tersebut membutuhkan waktu satu jam akibat kemacetan jalan raya karena kecelakaan. Sepanjang perjalanan itu, Jo tertidur lelap di bangku tengah dengan posisi berbaring miring dan meringkuk seperti anak kecil, membuat Jendra selalu curi-curi pandang untuk menatap wajah lelap kekasihnya.Seperti ponsel yang telah diisi dayanya. Jo terlihat lebih segar dan bersemangat, tampak jelas rona merah muda di pipinya, sekalipun kantung mata hitam itu tak luput darinya. Bahkan, ketika Jo meminta Jendra untuk menunggu selagi ia merapikan riasan untuk menutupi wajah sakitnya, Jendra melarang dan menyuruh Jo menjadi apa adanya. Tak ada bantahan, Jo menurut saja. Ia senang jika Jendra menerimanya apa adanya seperti ini.Tujuan terakhir sebelum acara kencan mereka berakhir adalah panti sosial anak tempat Jo pernah mera
Sejak berpacaran dengan Jendra, Jo merasakan adanya kejanggalan dalam hidupnya. Bukan masalah penyakit mematikan yang kini ia derita. Bukan pula tentang wish list yang belum terpenuhi, sementara waktu yang ia punya kini hanya dua bulan lebih seminggu dari waktu tiga bulan yang diperkirakan Dokter Fiona. Sesuatu yang membuat Jo merasa sedikit kesepian, lebih dari biasanya.Hari ini, Jendra kembali menjemput Jo untuk berangkat bersama dengan sepeda motornya. Meski Hazell dan Oliver tidak mengizinkan Jo untuk terpapar banyak angin dan polusi, tapi berangkat dengan Oliver pun akan sama, sementara Hazell belakangan ini sibuk dengan kasus yang tak kalah merepotkan dari kasus-kasus sebelumnya. Jadilah, Jo pun diperbolehkan berangkat sekolah bersama Jendra. Yah, walaupun alasan Oliver melarang bukan karena 'sepeda motor', tapi lebih pada rasa tak terima adiknya sudah berpacaran dengan murid baru.Memang sejak pagi tadi
Hubungan Jo dengan Ezra pun membaik, sekalipun Ezra belum sepenuhnya menerima keberadaan Jendra yang kini selalu berada di sekitar Jo. Namun, tetap tak bisa dipungkiri, bahwa Jo hanya menganggapnya sebagai kakak dan sahabat, tak pernah lebih. Ezra hargai itu, dan kini ia mencoba untuk benar-benar menerima kenyataan yang sedikit melukainya. Namun, hal yang paling menyakitinya adalah ketika melihat Jo takut padanya.Akhir pekan ini, Jendra yang mengajaknya untuk kencan dengan rencana yang Jendra buat. Pagi jam 8, Jendra menjemput Jo dengan mobil milik Fiona. Kebetulan, Fiona sedang dinas ke Bandung bersama rekan dokternya, sehingga mobil sengaja ditinggal. Sama seperti yang Jo lakukan, Jendra sama sekali tidak memberitahukan tujuan pertama mereka.Jo hanya duduk manis dan melihat pemandangan jalan kota Jakarta, sesekali mengajak Jendra berbicara, sesekali diam dan bernyanyi dengan suaranya yang membuat Jendra terk
Dulu, bagi Jo, nggak ada musim semi. Adanya musim dingin terus, sampai Jo nggak bisa gemuk karena lemak Jo dipake buat menghangatkan tubuh Jo.Walaupun nggak sampai setengah waktu Jo di musim dingin, akhirnya Jo ngerasain musim semi.Makasih buat:1. Papa yang udah ajarin Jo arti hidup2. Ayah yang udah ajarin Jo arti memaafkan3. Ibu yang udah ajarain Jo arti keadilan4. Kak Zell yang udah ajarin Jo arti kejujuran5. Kak Olv yang udah ajarin Jo arti persaudaraan6. Eva yang udah ajarin Jo arti persahabatan7. Ezra yang udah jagain Jo dari dulu, itu berarti banget buat Jo8. My first and last love, Jendra, yang udah ajarin Jo cinta dan kasih sayangNggak banyak yang bisa Jo sampaikan, soalnya Jo nggak kuat ngomong banyak. Ini aja udah take kesekian sampai bener-bener selesai. Jadi, maaf kalau rekaman suaranya putus-putus.Jo udah siapin kenang-kenangan buat kalian semua. Na
Jendra menggenggam tangan Jo yang terbebas dari infus, namun di jari telunjuknya tersemat pulse oxymeter yang terhubung ke monitor pasien untuk memastikan saturasi oksigen.Jo sudah sadar, tapi saat Jendra masuk, Jo kembali memejamkan mata. Kini, sudah 15 menit Jendra hanya memandangi Jo yang terlelap. Terdapat memar di pipi Jo. Meski terhalang oleh masker oksigen, tapi memar itu terlihat sangat jelas. Jendra mengelus pelan pipi itu. Tampaknya sangat menyakitkan. Amarah menggemuruh di dadanya. Kalau Rendyka bukan ayahnya Jo, Jendra pasti akan mencekik Rendyka sampai mati."Jen... mual..."Jendra terlonjak dan berdiri tiba-tiba. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil baskom untuk mandi. Ia kembali dan sudah melihat Ara terduduk dengan membungkuk sambil menutup mulutnya, membiarkan masker oksigen menggantung di lehernya. Jendra langsung menyelipkan ember itu di atas pangkuan Jo, membiarkan kekasihnya memuntahkan isi lambungny
Membunuh adalah tindakan dengan konsekuensi besar. Ia mati-matian memaki dan menghina Adianto karena membunuh istrinya sendiri akibat stres karena dirinya telah membuat Adianto menderita. Dan kini, tanpa ia sadari, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Ia sadar anaknya sekarat, tapi ia tak benar-benar serius akan membunuh anaknya. Yang ia inginkan hanyalah keputusan istri dan anak pertamanya untuk menarik tuntutan dengan mempertaruhkan anak perempuan hasil hubungan ilegalnya.Nafas Jo hilang dan timbul dengan jarak yang sangat panjang, bukan lagi Senin-Kamis, tapi sudah seperti dari Senin ke Senin. Pucat pasi di wajah, bahkan tangan yang terluka akibat jarum infus yang dilepas paksa itu sudah seputih mayat. Kepalanya terkulai ke depan, seiring dengan tubuhnya yang ikut jatuh ke depan. Kalau tidak terikat pada kursi, tubuh itu pasti sudah jatuh ke lantai."C-Cek nadinya!" titah Rendyka.Beberapa anak buahnya tampak ragu, bahkan
Perlahan, kondisi Jo mengalami perkembangan baik. Tidak, bukan berarti ia telah sembuh. Nafsu makannya perlahan kembali, ia mulai mencoba untuk berjalan dan menggunakan kedua tangannya dengan lebih aktif, daya ingatnya yang masih baik, dan tentunya adalah semangat untuk terus bertahan sekali lagi sebelum Mawar mengajaknya.Jo telah berhenti sekolah, sudah resmi. Tapi, setiap harinya pasti akan ada teman sekelas yang datang untuk menjenguk secara bergantian, tentu saja selain Eva, Ezra, dan Jendra. Jangan tanyakan mereka. Mereka akan datang kapanpun sesuka hati mereka, seakan rumah sakit sudah seperti rumah Jo yang bisa seenaknya mereka datangi tanpa izin.Sudah berlalu lima hari semenjak Jo sadar dari komanya. Siang ini, tak ada yang menemani Jo. Bukan berarti ia ditinggalkan. Ia yang memaksa semua orang untuk tidak menemaninya siang itu. Pun, takdir nyatanya memberi izin atas keinginan Jo. Hazell dan June pergi mengurus persidangan kedua yang masih
Jendra sedang duduk di kursi sebelah brangkar sambil mengupas jeruk yang dibawa teman-teman sekelasnya. Ia ingat Jo suka sekali dengan jeruk, terutama aromanya. Selama ia menemani Jo di kamar rawat ini, ia selalu memakan sebuah jeruk di sebelah Jo. Ia berharap itu bisa merangsang Jo untuk sadar. Meski sudah 10 hari ia mencoba dan Jo tak kunjung sadar, ia tetap mencoba. Ia tahu babwa kekasihnya itu akan bangun. Masih terlalu cepat bagi Jo untuk pergi selamanya.Beberapa menit lalu, teman-teman sekelasnya berpamitan untuk pulang. Hari masih cukup sore, masih jam 5. Seharusnya Oliver sudah datang, tapi entah di mana dan tak ada kabar. Sementara, June dan Hazell masih mengurus persidangan ketiga. Sidang kedua beberapa hari lalu tak bisa berlangsung sempurna, karena Rendyka belum bisa ditemukan. Waktu untuk menemani Jo pun berkurang, namun hal ini menjadi keuntungan bagi Jendra untuk berada di samping Jo lebih lama lagi."Bunda..."Jendr
Waktu bagi Jo seakan telah berhenti. Mata itu tidak pernah terbuka selama 5 hari ini. Entahlah. Tuhan mungkin sudah memberi kode, tapi umat-Nya mencoba untuk mempertahankan Jo hingga saat ini. Meski bertahan hidup dengan alat ventilator yang memberinya kesan mengenaskan, namun Jo seakan paham bahwa orang-orang disekitarnya menginginkannya untuk bertahan lebih lama, meski ia harus beristirahat cukup lama kali ini.Sementara itu, kehidupan terus berjalan seakan tak terpengaruh oleh ketidakhadiran Jo. Tidak, itu hanya untuk mereka yang tak menaruh banyak porsi keberadaan Jo di hati mereka. Bagi Jendra, Ezra, dan Eva, keberadaan Jo sudah melebihi setengah luas hati mereka. Hal tersebut pun begitu terasa di kelas. Teman-teman sekelas seakan bisa merasakan kekosongan dan kehampaan Jendra, Ezra, dan Eva. Mereka tahu bagaimana dekatnya hubungan mereka dengan Jo.Awalnya, pihak sekolah memang merahasiakan perihal kondisi Jo. Namun, June, Hazell, dan Oliver p
Kondisi Jo tidak mengalami peningkatan. Alih-alih June dan Hazell mengizinkannya menemui Rendyka, Jo berkali-kali mengalami mimisan, muntah, demam, hingga kejang. Sudah seminggu, namun tak ada perkembangan yang 'sedikit' membaik. Bahkan, meski Jo terus meminta June dan Hazell untuk mengizinkannya bertemu Rendyka, tapi janji tetap tak bisa Jo penuhi.Semakin Jo berusaha untuk membaik secepatnya, semakin ia tak yakin bahwa kondisinya akan membaik sebelum persidangan kedua dilangsunkan, yaitu dua minggu setelah persidangan pertama. Nyatanya, waktu Jo hanya tersisa tiga minggu dari prediksi. Ia semakin yakin bahwa ia memang tak punya kesempatan untuk berdamai dengan Rendyka, seperti yang ia lakukan pada Jully.Semalam, Jo mengalami kejang dan mimisan. Hingga pagi ini, suhu tubuh Jo masih berada di angka 39⁰C, belum menunjukkan tanda-tanda akan turun meski sudah diberi obat menurunkan demamnya. Tubuhnya semakin kurus, semakin terlihat lemah, semaki
Malam itu, kondisi Jo menurun secara mendadak dan tiba-tiba. Malam di hari persidangan pertama. Sikap aneh Jo saat sidang hingga saat mereka pergi makan bersama, tak dianggap serius oleh yang lain. Mereka hanya berpikir bahwa sikap Jo yang kekanakkan itu adalah hal biasa pada gejala penyakit mematikannya. Mereka tak sampai berpikir bahwa senyum yang Jo tunjukkan seharian itu adalah pengingat bahwa waktu Jo memang tidak banyak lagi.Sudah dua bulan berlalu semenjak Jo didiagnosis menderita Glioma Brainstem. Sejak saat itu, memang tak sering Jo mengeluh, bahkan hampir tidak pernah. Jo bersikap biasa, seakan ia baik-baik saja, seakan ia tidak sakit. Tapi, nyatanya, ia benar-benar menderita tanpa ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir.Malam itu, saat ia baru saja pulang setelah bersenang-senang dan makan-makan, begitu kakinya menyentuh teras rumah, tubuhnya jatuh seakan tak bertulang. Debuman keras benturan tubuh dan kepalanya pada lantai tera
Keberadaan Ferdy tidak bisa dijangkau oleh Jo, sehingga Jo hanya mengirimkan sebuah amplop berisikan dua lembar surat yang ia tulis dengan tangannya yang mulai sering mengalami kelumpuhan sementara. Bersyukur Ferdy tidak merahasiakan kepindahannya ke daerah Jawa Timur. Meski sudah dua hari Jo mengirimkan surat itu, ia tak berharap Ferdy membalas suratnya. Asalkan suratnya sudah diterima, selanjutnya akan menjadi keputusan Ferdy untuk membacanya atau membuangnya.Tepat sehari setelah Jo menemui Jully, tiga polisi datang dengan membawa surat panggilan untuk Jully. Tanpa penolakan, Jully menerima panggilan itu. Dan, di sinilah Jully, seminggu kemudian, duduk di tengah-tengah ruang sidang, didampingi pengacara yang menawarkan diri untuk membantunya. Bukan membantu untuk memenangkan persidangan, melainkan membantunya untuk melewati persidangan dan mendapatkan hukuman yang adil untuk semua tindakannya.Jika kalian berpikir Jo tidak datang, itu salah. Jo s