Siapapun yang mendengar, pasti akan tutup mata dan tutup telinga, seakan merekalah yang menjadi sasarannya. Nyatanya, korban yang sebenarnya hanya bisa mengernyit setiap kali cambukan itu mendarat di tubuhnya. Tidak ada keluhan, tidak ada desahan. Bahkan, sejauh yang bisa diingat, ia sama sekali tidak bernapas, seakan bernapas hanya akan menambahkan rasa sakit. Baginya, diam adalah cara terbaik.
"Nggak guna! Pembawa sial!" Maki lelaki bertubuh gempal sambil memainkan sabuk kulitnya yang panjang dan telah cukup usang. Bukan karena sering dipakai sebagaimana seharusnya. "Telat 10 menit, 10 cambukan. Gue udah bilang berkali-kali, 'kan? Gara-gara lo telat, gue jadi telat makan. Perut gue sakit. Tambah 10 cambukan."
Meski seharusnya menerima 20 cambukan dari dua kesalahan, tapi nyatanya yang didapat lebih dari itu. Tak ada keluhan, karena satu kata keluar dari mulutnya hanya akan mendatangkan 10 cambukan lainnya. Menerima adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keringanan hukuman.
Nafas berderu cepat keluar dari hidung dan mulut lelaki gempal beraroma alkohol itu. "Sana, masakin gue. Gue tunggu 30 menit. Telat 5 menit, lo nggak makan malem hari ini." Ia membalikkan badan dan keluar dari ruangan persegi yang luasnya tak lebih dari 2.5x2.5 meter. Ruangan yang telah menjadi saksi bisu selama belasan tahun.
Tak mau buang waktu. Perempuan bertubuh kecil akibat perkembangan yang terhambat karena penderitaan sejak kecil itu bangkit secepat mungkin, tak ada ringisan, tak ada desahan, tak ada suara. Bungkam. Sesulit apapun ia menggerakkan tubuhnya. Sesakit apapun setiap mili tubuhnya. Tak ada yang boleh ia tampakkan di depan lelaki gempal pemabuk itu. Ia akan semakin dimaki. Lebih buruknya, disiksa tanpa ampun.
Ia membuka kulkas, melihat bahan seadanya. Sebuah terong ungu, dua tahu berbentuk persegi, sepertiga papan tempe, seikat bayam, dan sebutir jagung. Meski masih 12 tahun, ia tahu apa yang harus dilakukan. Beruntungnya, lelaki bertubuh gempal itu tidak pilah-pilih makanan, melahap semua yang ia masakkan, sekalipun rasanya tak begitu sedap. Ia tahu bahwa lelaki bertubuh gempal itu memang memiliki kelainan indera pengecap akibat sebuah kecelakaan di masa lalu.
Sesekali melirik pada jam dinding di ruang tengah, tempat lelaki itu duduk-duduk santai bersama beberapa botol alkohol sambil sesekali tertawa terbahak oleh hiburan dari televisi. Masih ada banyak waktu. Ia berlama-lama sedikit untuk menyelesaikan semua masakannya. Jika ia selesai 10 menit lebih cepat, ia akan disiksa karena dituduh masak sembarangan dan menaruh racun. Maka, ia menyelesaikan semua masakannya pada menit 27, dan semua sudah selesai ia hidangkan di meja makan.
"Pa, makan malamnya udah jadi," ungkapnya dengan suara lantang, namun tetap merendahkan suaranya.
Lelaki itu berdiri, lalu membalikkan badan dan berjalan menuju meja makan. Ia berhenti di depan perempuan kecil yang memanggilnya 'papa'. Ia menaruh tangan besarnya di atas kepala anak itu, dan berkata, "Malam ini kamu boleh makan makanan sisa."
"Terima kasih, Papa." Ia tersenyum tulus
Meski diperlakukan layaknya anjing liar yang diberi makanan sisa, anak itu tetap berterima kasih. Baginya, makanan sisa adalah sebuah berkah. Makanan sisa yang didapatnya malam itu, mungkin saja akan memberinya tenaga sampai kembali bertemu dengan malam
🦋
Sepertinya baru saja terlelap. Perempuan itu membelalakkan mata ketika terdengar gebrakan pintu yang sangat keras dan teriakan banyak lelaki. Perempuan itu langsung melompat dari kasurnya yang hanya berupa tikar plastik yang mulai usang. Ia bergegas ke pintu, namun pintu itu dikunci dan sekeras apapun ia mencoba untuk membukanya, ia tak bisa. Ia ingat, sore sebelumnya ia dikurung di kamarnya karena memecahkan sebuah gelas yang sebenarnya itu adalah gelas miliknya.
"Papa!" Ia berteriak, mencoba memanggil lelaki bertubuh gempal itu sambil memukul-mukul pintu. "Papa, ada apa? Buka pintunya, Pa!" Sekalipun lelaki itu telah menyiksanya, ia masih memiliki kecemasan terhadap nasib lelaki itu. Baginya, lelaki yang ia panggil 'papa' itu adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Ia ingat pesan sang bunda, bahwa ia harus menjaga papanya apapun yang telah diperbuat.
"Adianto Mahavir, Anda kami tangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap istri Anda, Mawar Suryaningsih, dan penganiayaan anak terhadap Jolanka Mahavir. Anda dilarang melawan, namun Anda berhak memanggil pengacara atau ahli hukum setelah ini."
Suara milik laki-laki berusara bariton itu menggelegar di dalam rumah kecil yang langit-langitnya pun rendah, hingga suara sekecil apapun akan langsung terdengar hingga ke kamarnya yang berada di dekat dapur.
"Papa! Papa! Jangan bawa Papa pergi!" Ia berteriak keras sambil menggedor-gedorkan pintu kamarnya. "Papaaa!" Ia kini menjerit. Tak kuasa menahan air mata. Bahkan, selama ini ia tak pernah menangis meski dimaki maupun disiksa. "Jangan tinggalin Jo, Pa! Buka pintunya, Pa! Jangan tinggalin Jo! Papa!"
Lelah berteriak, perempuan itu jatuh lemas di belakang pintu sambil menangis terisak-isak. Ia bahkan tak bisa lagi memfokuskan telinga untuk mendengarkan kegaduhan di ruang tengah yang disebabkan oleh amukan lelaki bertubuh gempal bernama Adianto Mahavir. Ia takut ditinggalkan. Ia sudah ditinggalkan sang mama beberapa minggu lalu. Ia tidak mau lagi ditinggalkan oleh satu-satunya keluarga yang ia punya, tak peduli ia akan disiksa sedemikian rupa. Ia hanya ingin memiliki 'keluarga'.
Terdengar beberapa suara di balik pintu, membuat perempuan itu mendangak dan menatap pintu seakan dapat melihat tembus pandang. Kunci dibuka dua kali, lalu pintu itu terdorong ke arah dalam dengan perlahan-lahan. Perempuan itu masih bersimpuh di atas lantai, seketika air matanya berhenti mengalir lantaran melihat sepasang mata dingin yang entah bagaimana terasa hangat.
"Kamu bisa berdiri?" Lelaki pemilik mata dingin itu ternyata tak hanya memiliki tatapan yang hangat, tapi juga memiliki suara yang lembut dan hangat hingga terasa sampai ke lubuk hati.
"Namamu Jolanka Mahavir, 'kan?" Lelaki itu berlutut di depannya, mengulurkan tangannya yang besar ke hadapannya.
"Apa yang kalian lakukan pada Papa?" Kalimat tanya yang tak pernah ia ucapkan pada siapapun. Selama ini, ia tak diperbolehkan bertanya, seakan ia tak layak untuk tahu. Tapi, kali ini ia harus melakukannya demi papanya.
Lelaki itu melepas jaket merah maroon miliknya, lalu membungkus tubuh kurus dan mungil perempuan di hadapannya. "Papamu harus kami bawa ke kantor polisi karena kami mendapatkan laporan bahwa papamu sudah membunuh ibumu dan menyiksamu."
"Tapi, Jo nggak punya siapa-siapa kalau Papa dipenjara." Seketika, air mata yang sebelumnya sempat terhenti itu kembali mengalir. "Jo tahu Papa salah. Tapi, bukannya setiap orang pasti melakukan kesalahan? Mama selalu bilang gitu. Kenapa kalian ambil Papa dari Jo?" Tangisnya pecah. Ia menangis dengan raungan yang menyayat hati.
Lelaki bermata dingin itu mendekatkan tubuhnya dan memeluk perempuan kecil itu dengan lengannya yang besar. Pelukan hangat yang seakan ikut merasakan sakitnya hati yang dirasakan perempuan kecil itu. Meski perempuan itu tak membalas pelukannya, tapi ia semakin menguatkan pelukannya dengan hati-hati, seakan takut perempuan ini hancur remuk oleh lengannya yang berotot.
"Kesalahan yang dilakukan papamu bukanlah kesalahan kecil dan ringan. Sebagai orang dewasa, papamu harus bertanggung jawab atas perbuatannya selama ini. Kamu mengerti, 'kan?"
Perempuan itu tak memberikan tanggapan. Seakan telah lelah berjuang selama ini. Tangis histeris yang ia curahkan malam itu seakan adalah puncak rasa lelahnya. Sekejap, kegelapan merenggutnya. Menghilangkan suara tangis itu untuk mengubah rumah menjadi sangat hening dan menarik kecemasan lelaki yang tengah memeluknya erat.
"JOO!!"
🌼🌼🌼
Sejak diselamatkan dari rumah kecil yang telah menjadi saksi bisu perbuatan Adianto, Jo pun dibawa ke panti sosial anak milik negara. Namun, hidupnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia tetap menjadi anak yang teraniaya, terkucilkan, dan mengenaskan. Ia tak diterima di sana, seakan ia tak punya hak untuk hidup di dunia ini. Ya begitulah kejamnya takdir terhadap hidupnya.Jo sedang berjongkok di depan kandang kelinci dan ayam, peternakan kecil di halaman belakang asrama. Tiba-tiba, seseorang mendorong tubuhnya hingga terjerembab setengah badannya masuk ke kandang tersebut dan terkena kotoran kelinci dan ayam yang sedang ia kumpulkan untuk kebersihan kandang. Ya, saat itu ia sedang bertugas membersihkan peternakan kecil bersama dua teman asramanya. Jo tak merintih, hanya meringis kecil karena terkejut. Meski ia kini kotor oleh kotoran hewan, tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya membersihkan tubuhnya dengan mengibas-ngibaskan tangannya.
Hasil DNA mengungkapkan kebenaran terkuat. Kini, bukti berupa surat tulisan tangan Mawar dan hasil pemeriksaan DNA sudah lebih dari cukup untuk menuntut pertanggungjawaban Rendyka dan Jully untuk nasib hidup Jo setelah ini.Hari ini, Hazell membawa Jo pergi dari panti sosial, lengkap dengan barang-barang milik Jo. Hazell membawa Jo ke rumah orang tuanya yang berada di Bandung. Di sana, Hazell juga telah menyiapkan panggung pertunjukan besar, karena ia turut mengundang Jully. Tak lupa, Daisy selaku pengacara Jo juga akan datang dengan sejumlah berkas yang akan membantu proses tuntutan. Kali ini, mereka tidak akan membawa nama kepolisian. Mereka akan mencoba melalui cara yang kekeluargaan."Kamu tidur aja, Dek. Perjalanannya cukup jauh," kata Hazell dengan lembut, seraya mengusap kepala Jo yang duduk tepat di kirinya.Jo mengangguk sebagai tanggapan.
Selama ini, bangunan yang bisa ia sebut sebagai rumah hanyalah saksi bisu yang kini sudah terjual, dengan uang hasil penjualan telah Jo terima sepertiganya, sisanya ia berikan pada Daisy dan Hazell sebagai biaya kebutuhan persidangan selama ini. Meski Daisy dan Hazell menolak, tapi Jo memaksa dengan sangat keras kepala.Kini, Jo telah memiliki tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah tanpa membuatnya harus berpikir berkali-kali untuk pulang, karena di rumah ini ia tak perlu merasa takut. Di rumah ini, ia merasa sangat nyaman dan aman. Bahkan, kalau bisa, ia ingin ada di rumah seharian penuh dan berkumpul bersama kakak-kakaknya, Hazell dan Oliver.Sejak masalah itu, Hazell membawa Jo tinggal di apartemen miliknya. Setahun kemudian, Oliver ikut merantau ke Jakarta untuk bersekolah di SMA swasta elite dengan beasiswa yang ia terima. Rendyka memang awalnya tak mau mengakui Jo sebagai anaknya, tapi ia akhirnya m
Jo dan Oliver tiba di parkiran tepat pukul 06.30, masih ada waktu 30 menit sebelum bel berbunyi. Seperti biasa, Oliver akan mengantar Jo sampai depan kelas, lalu meninggalkannya setelah Jo duduk di bangkunya. Walaupun kelas mereka sama-sama di lantai tiga, tapi kelas mereka benar-benar berjauhan. Kelas Jo ada di ujung gedung sayap kanan, dan kelas Oliver ada di sisi berlawanan. Meski Jo selalu menolak, pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kakaknya melalukan apa yang dia mau.Kelas masih sepi, seperti biasa. Jo membuka buku sakunya dan mengulang pelajaran yang telah ia rangkum sejak awal masuk sekolah dua bulan lalu. Seperti inilah cara ia belajar. Ia tidak begitu memaksakan diri dalam hal belajar. Meski orang-orang beranggapan ia sangat santai, sejujurnya ia belajar setiap ada waktu senggang dengan membaca buku sakunya ini."Morning, Babe." Seseorang memeluknya dari samping. "How are you today? How's your Ha
Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya."Ah, Kak Zell,"
Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan
Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,
Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka
Dulu, bagi Jo, nggak ada musim semi. Adanya musim dingin terus, sampai Jo nggak bisa gemuk karena lemak Jo dipake buat menghangatkan tubuh Jo.Walaupun nggak sampai setengah waktu Jo di musim dingin, akhirnya Jo ngerasain musim semi.Makasih buat:1. Papa yang udah ajarin Jo arti hidup2. Ayah yang udah ajarin Jo arti memaafkan3. Ibu yang udah ajarain Jo arti keadilan4. Kak Zell yang udah ajarin Jo arti kejujuran5. Kak Olv yang udah ajarin Jo arti persaudaraan6. Eva yang udah ajarin Jo arti persahabatan7. Ezra yang udah jagain Jo dari dulu, itu berarti banget buat Jo8. My first and last love, Jendra, yang udah ajarin Jo cinta dan kasih sayangNggak banyak yang bisa Jo sampaikan, soalnya Jo nggak kuat ngomong banyak. Ini aja udah take kesekian sampai bener-bener selesai. Jadi, maaf kalau rekaman suaranya putus-putus.Jo udah siapin kenang-kenangan buat kalian semua. Na
Jendra menggenggam tangan Jo yang terbebas dari infus, namun di jari telunjuknya tersemat pulse oxymeter yang terhubung ke monitor pasien untuk memastikan saturasi oksigen.Jo sudah sadar, tapi saat Jendra masuk, Jo kembali memejamkan mata. Kini, sudah 15 menit Jendra hanya memandangi Jo yang terlelap. Terdapat memar di pipi Jo. Meski terhalang oleh masker oksigen, tapi memar itu terlihat sangat jelas. Jendra mengelus pelan pipi itu. Tampaknya sangat menyakitkan. Amarah menggemuruh di dadanya. Kalau Rendyka bukan ayahnya Jo, Jendra pasti akan mencekik Rendyka sampai mati."Jen... mual..."Jendra terlonjak dan berdiri tiba-tiba. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil baskom untuk mandi. Ia kembali dan sudah melihat Ara terduduk dengan membungkuk sambil menutup mulutnya, membiarkan masker oksigen menggantung di lehernya. Jendra langsung menyelipkan ember itu di atas pangkuan Jo, membiarkan kekasihnya memuntahkan isi lambungny
Membunuh adalah tindakan dengan konsekuensi besar. Ia mati-matian memaki dan menghina Adianto karena membunuh istrinya sendiri akibat stres karena dirinya telah membuat Adianto menderita. Dan kini, tanpa ia sadari, ia membunuh anak kandungnya sendiri. Ia sadar anaknya sekarat, tapi ia tak benar-benar serius akan membunuh anaknya. Yang ia inginkan hanyalah keputusan istri dan anak pertamanya untuk menarik tuntutan dengan mempertaruhkan anak perempuan hasil hubungan ilegalnya.Nafas Jo hilang dan timbul dengan jarak yang sangat panjang, bukan lagi Senin-Kamis, tapi sudah seperti dari Senin ke Senin. Pucat pasi di wajah, bahkan tangan yang terluka akibat jarum infus yang dilepas paksa itu sudah seputih mayat. Kepalanya terkulai ke depan, seiring dengan tubuhnya yang ikut jatuh ke depan. Kalau tidak terikat pada kursi, tubuh itu pasti sudah jatuh ke lantai."C-Cek nadinya!" titah Rendyka.Beberapa anak buahnya tampak ragu, bahkan
Perlahan, kondisi Jo mengalami perkembangan baik. Tidak, bukan berarti ia telah sembuh. Nafsu makannya perlahan kembali, ia mulai mencoba untuk berjalan dan menggunakan kedua tangannya dengan lebih aktif, daya ingatnya yang masih baik, dan tentunya adalah semangat untuk terus bertahan sekali lagi sebelum Mawar mengajaknya.Jo telah berhenti sekolah, sudah resmi. Tapi, setiap harinya pasti akan ada teman sekelas yang datang untuk menjenguk secara bergantian, tentu saja selain Eva, Ezra, dan Jendra. Jangan tanyakan mereka. Mereka akan datang kapanpun sesuka hati mereka, seakan rumah sakit sudah seperti rumah Jo yang bisa seenaknya mereka datangi tanpa izin.Sudah berlalu lima hari semenjak Jo sadar dari komanya. Siang ini, tak ada yang menemani Jo. Bukan berarti ia ditinggalkan. Ia yang memaksa semua orang untuk tidak menemaninya siang itu. Pun, takdir nyatanya memberi izin atas keinginan Jo. Hazell dan June pergi mengurus persidangan kedua yang masih
Jendra sedang duduk di kursi sebelah brangkar sambil mengupas jeruk yang dibawa teman-teman sekelasnya. Ia ingat Jo suka sekali dengan jeruk, terutama aromanya. Selama ia menemani Jo di kamar rawat ini, ia selalu memakan sebuah jeruk di sebelah Jo. Ia berharap itu bisa merangsang Jo untuk sadar. Meski sudah 10 hari ia mencoba dan Jo tak kunjung sadar, ia tetap mencoba. Ia tahu babwa kekasihnya itu akan bangun. Masih terlalu cepat bagi Jo untuk pergi selamanya.Beberapa menit lalu, teman-teman sekelasnya berpamitan untuk pulang. Hari masih cukup sore, masih jam 5. Seharusnya Oliver sudah datang, tapi entah di mana dan tak ada kabar. Sementara, June dan Hazell masih mengurus persidangan ketiga. Sidang kedua beberapa hari lalu tak bisa berlangsung sempurna, karena Rendyka belum bisa ditemukan. Waktu untuk menemani Jo pun berkurang, namun hal ini menjadi keuntungan bagi Jendra untuk berada di samping Jo lebih lama lagi."Bunda..."Jendr
Waktu bagi Jo seakan telah berhenti. Mata itu tidak pernah terbuka selama 5 hari ini. Entahlah. Tuhan mungkin sudah memberi kode, tapi umat-Nya mencoba untuk mempertahankan Jo hingga saat ini. Meski bertahan hidup dengan alat ventilator yang memberinya kesan mengenaskan, namun Jo seakan paham bahwa orang-orang disekitarnya menginginkannya untuk bertahan lebih lama, meski ia harus beristirahat cukup lama kali ini.Sementara itu, kehidupan terus berjalan seakan tak terpengaruh oleh ketidakhadiran Jo. Tidak, itu hanya untuk mereka yang tak menaruh banyak porsi keberadaan Jo di hati mereka. Bagi Jendra, Ezra, dan Eva, keberadaan Jo sudah melebihi setengah luas hati mereka. Hal tersebut pun begitu terasa di kelas. Teman-teman sekelas seakan bisa merasakan kekosongan dan kehampaan Jendra, Ezra, dan Eva. Mereka tahu bagaimana dekatnya hubungan mereka dengan Jo.Awalnya, pihak sekolah memang merahasiakan perihal kondisi Jo. Namun, June, Hazell, dan Oliver p
Kondisi Jo tidak mengalami peningkatan. Alih-alih June dan Hazell mengizinkannya menemui Rendyka, Jo berkali-kali mengalami mimisan, muntah, demam, hingga kejang. Sudah seminggu, namun tak ada perkembangan yang 'sedikit' membaik. Bahkan, meski Jo terus meminta June dan Hazell untuk mengizinkannya bertemu Rendyka, tapi janji tetap tak bisa Jo penuhi.Semakin Jo berusaha untuk membaik secepatnya, semakin ia tak yakin bahwa kondisinya akan membaik sebelum persidangan kedua dilangsunkan, yaitu dua minggu setelah persidangan pertama. Nyatanya, waktu Jo hanya tersisa tiga minggu dari prediksi. Ia semakin yakin bahwa ia memang tak punya kesempatan untuk berdamai dengan Rendyka, seperti yang ia lakukan pada Jully.Semalam, Jo mengalami kejang dan mimisan. Hingga pagi ini, suhu tubuh Jo masih berada di angka 39⁰C, belum menunjukkan tanda-tanda akan turun meski sudah diberi obat menurunkan demamnya. Tubuhnya semakin kurus, semakin terlihat lemah, semaki
Malam itu, kondisi Jo menurun secara mendadak dan tiba-tiba. Malam di hari persidangan pertama. Sikap aneh Jo saat sidang hingga saat mereka pergi makan bersama, tak dianggap serius oleh yang lain. Mereka hanya berpikir bahwa sikap Jo yang kekanakkan itu adalah hal biasa pada gejala penyakit mematikannya. Mereka tak sampai berpikir bahwa senyum yang Jo tunjukkan seharian itu adalah pengingat bahwa waktu Jo memang tidak banyak lagi.Sudah dua bulan berlalu semenjak Jo didiagnosis menderita Glioma Brainstem. Sejak saat itu, memang tak sering Jo mengeluh, bahkan hampir tidak pernah. Jo bersikap biasa, seakan ia baik-baik saja, seakan ia tidak sakit. Tapi, nyatanya, ia benar-benar menderita tanpa ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir.Malam itu, saat ia baru saja pulang setelah bersenang-senang dan makan-makan, begitu kakinya menyentuh teras rumah, tubuhnya jatuh seakan tak bertulang. Debuman keras benturan tubuh dan kepalanya pada lantai tera
Keberadaan Ferdy tidak bisa dijangkau oleh Jo, sehingga Jo hanya mengirimkan sebuah amplop berisikan dua lembar surat yang ia tulis dengan tangannya yang mulai sering mengalami kelumpuhan sementara. Bersyukur Ferdy tidak merahasiakan kepindahannya ke daerah Jawa Timur. Meski sudah dua hari Jo mengirimkan surat itu, ia tak berharap Ferdy membalas suratnya. Asalkan suratnya sudah diterima, selanjutnya akan menjadi keputusan Ferdy untuk membacanya atau membuangnya.Tepat sehari setelah Jo menemui Jully, tiga polisi datang dengan membawa surat panggilan untuk Jully. Tanpa penolakan, Jully menerima panggilan itu. Dan, di sinilah Jully, seminggu kemudian, duduk di tengah-tengah ruang sidang, didampingi pengacara yang menawarkan diri untuk membantunya. Bukan membantu untuk memenangkan persidangan, melainkan membantunya untuk melewati persidangan dan mendapatkan hukuman yang adil untuk semua tindakannya.Jika kalian berpikir Jo tidak datang, itu salah. Jo s