“Apa papamu akan setuju?” tanya Ive sambil menoleh Alex yang sedang menyetir.“Dia akan setuju,” jawab Alex penuh keyakinan.Ive menatap Alex yang sama sekali tak menoleh ke arahnya. Dia merasa jika sebenarnya Alex pun ragu setelah dirinya mengatakan ke Jonathan kalau keluarganya berantakan sampai perusahaan pun bangkrut.Ive memang jujur akan kondisi keluarganya, sebab tak ingin ada masalah di belakang saat Jonathan kekeh ingin melamarnya langsung. Dia sendiri bingung, padahal mereka berniat berpura bertunangan saja, tapi siapa sangka malah melibatkan banyak orang.“Tapi tatapanmu memperlihatkan kalau kamu tidak yakin,” ucap Ive kemudian memilih memperhatikan jalanan.“Jika aku tidak yakin, apa kamu akan menyerah? Jika kamu tidak yakin, lebih baik memang kamu mati saja daripada tidak punya semangat menghancurkan orang yang menyakitimu. Bukankah kamu percaya, yang harusnya hancur mereka yang jahat bukan kamu yang baik.”Ucapan Alex memang pedas, tapi semua itu benar. Dia sengaja membu
“Lihat kelakuannya. Kemarin menangis-nangis ayahnya mati, sekarang dia tidak pulang sehari dua malam. Aku heran dengan Mas Adit, kenapa dia harus punya anak yang menyusahkan seperti itu.”Wanita berpenampilan elegan duduk memegang cangkir teh sambil mengomel karena anak tirinya tidak pulang dua malam tanpa kabar.Emanuel—kakak tiri Ive melirik sang mama yang terus mengomel, sepertinya ibunya itu memang sejak awal keberatan karena dititipi Ive saat ayahnya meninggal.“Jika dia tidak pulang bukankah akan lebih baik lagi? Lagi pula, bisa mengharapkan apa kita darinya. Saham yang dimilikinya juga tak cukup untuk membantu menutup hutang Papa,” balas Emanuel sambil melipat koran yang sedang dipegangnya.Carista menatap putranya yang terlihat santai, hingga kemudian dia kembali berkata, “Ini semua karena papamu, nambah beban di rumah karena memintaku menjaga Ive. Benar katamu, memang lebih baik kalau dia menghilang saja. Kenapa juga pesawat yang ditumpanginya tidak meledak atau hilang di seg
“Sudah semua?” tanya Alex saat melihat Ive menghampiri membawa koper besar. Ive hanya mengangguk menjawab pertanyaan Alex, lantas melirik ke ibu tirinya. Alex menatap Carisa dan Emanuel bergantian, sebelum kemudian berdiri sambil merapikan jasnya. “Kami pergi dulu. Semoga besok kalian tidak mengecewakanku,” ucap Alex lantas berjalan ke arah Ive. Alex langsung menggandeng tangan Ive, kemudian menarik koper gadis itu dan mengajaknya keluar dari rumah. Carisa benar-benar tak menyangka akan kedatangan Alex yang hendak menikahi Ive, padahal setahunya Ive menjalin hubungan dengan Eric. “Ada apa ini sebenarnya? Jika dia pemilik perusahaan kita yang sekarang, bagaimana bisa Ive bersamanya? Ada apa ini, hah?” Carisa panik karena merasa akan kalah dari Ive. Apalagi Alex terlihat sangat melindungi dan mencintai Ive. Emanuel pun berpikir keras, sejak kapan Ive bersama Alex. “Aku akan cari tahu.” Alex mengemudikan mobil meninggalkan rumah keluarga Ive. Dia melirik Ive yang terus diam, bah
“Kenapa tidak menghubungiku jika ingin bertemu?” tanya Eric langsung berdiri saat melihat siapa yang datang.“Apa kamu berpikir sangat penting sampai ingin menemuimu pun harus menghubungi atau membuat janji, hah!” Emanuel bersikap arogan ke Eric yang berumur lebih mudah darinya.Eric sangat terkejut mendengar ucapan Emanuel. Dia langsung berdiri untuk menjelaskan maksudnya.“Bukan seperti itu. Maksudnya, jika tahu kamu akan datang, aku pasti akan menyiapkan sesuatu untuk menyambutmu,” ucap Eric mencoba merayu agar Emanuel tidak marah.Emanuel tak membalas ucapan Eric. Dia memilih duduk di sofa meski tanpa dipersilakan.Eric pun menghampiri dan duduk berhadapan dengan Emanuel.“Apa yang membuatmu ke sini? Apa ada masalah?” tanya Eric sedikit cemas karena sudah membuat kesalahan. Bahkan menebak jika Emanuel pasti ke sana untuk mengamuknya.Benar saja, Emanuel langsung memberikan tatapan tajam ke Eric, membuat kekasih adik tirinya itu merinding dibuatnya.“Kamu tidak menjalankan rencanak
Ive baru saja selesai mandi. Dia kini duduk di tepian ranjang sambil memandangi seluruh kamar yang kini ditinggali. Ive sedang berpikir akan nasibnya, awalnya dia merasa begitu sial karena sudah kehilangan mahkotanya karena kebodohannya, kini entah kenapa dia begitu bersyukur karena orang yang mengambilnya malah memaksa bertanggung jawab, padahal jika ingin, Alex pun bisa saja kabur.“Apa jalan ini memang yang sudah Engkau gariskan, Tuhan?”Ive memandang langit-langit kamar, seolah sedang bicara dengan Tuhan-nya di sana.Hingga terdengar suara bel dari pintu depan. Ive langsung menoleh keluar pintu, hingga bertanya-tanya siapa yang datang.“Tidak mungkin Alex menekan bel, bukankah dia bisa langsung masuk karena tahu sandinya?”Ive berjalan sambil bertanya-tanya, hingga dia melihat monitor untuk tahu siapa yang datang. Ive sangat terkejut melihat siapa yang ada di luar, hingga Ive buru-buru membuka pintu.“Kak.” Ive langsung menyapa Ayana yang berdiri di depannya.Ive pun bingung, kena
“Apa Ive memiliki rencana lain? Mungkinkah dia sengaja memikat pria itu agar bisa melawan kita?”Carisa begitu gelisah dan tak bisa tenang sama sekali semenjak Ive datang ke rumah bersama Alex.Emanuel pun diam berpikir. Dia sendiri sedang menyelidiki keterikatan antara Ive dan Alex apakah memang nyata atau ada sebuah keterikatan untuk saling menguntungkan satu sama lain.“Untuk saat ini, menunjukkan rasa tidak suka kita adalah hal yang perlu kita hindari, Ma. Kita sedang dalam posisi tidak bagus, salah satu langkah kita bisa hancur,” ujar Emanuel mencoba mengingatkan sang mama agar tidak bertindak gegabah.Carisa mendengkus kasar, dia tidak mungkin bisa mengalah atau bersikap baik kepada Ive.“Ini sangat menyebalkan, kenapa Ive harus bersama pria yang kini berkuasa di perusahaan kita?” Carisa terus menggerutu karena dirinya harus tunduk kepada Ive sebab memiliki pendukung seperti Alex di belakang anak tirinya.“Ma, bersabarlah. Ini hanya sementara, setelah semuanya stabil, aku akan p
Atsmophere di ruang tamu itu terasa begitu dingin dan menegangkan. Ayana duduk sambil membusungkan dada, memperlihatkan kuasa dengan keangkuhannya agar ibu tiri Ive tidak memandang rendah ke keluarganya. Alex dan yang lain pun duduk dengan tegap, menunjukkan wibawa mereka agar keluarga Ive tak memandang sepele ke mereka. Carisa melirik Ive yang hanya diam, hingga tatapan wanita itu jatuh ke Jonathan. Penampilan Jonathan yang terlihat sederhana tapi pakaian yang melekat terlihat mahal, membuat mata wanita itu langsung bebinar seolah menemukan harta karun terpendam. “Kami sangat senang kalian datang malam ini,” ucap Carisa sambil memandang semua orang secara bergantian sambil melebarkan senyum untuk menunjukkan jika dia ramah. Emanuel melirik sang mama, beberapa jam lalu ibunya terlihat kesal dan terus menggerutu, siapa sangka jika sekarang bisa berpura sangat ramah seperti itu. “Seperti yang putraku sampaikan sebelumnya, kami ke sini untuk melamar Ive agar bisa dinikahi oleh putrak
“Apa kakakmu selalu menatapmu seperti itu?”Ive terkejut mendengar pertanyaan Alex. Dia menoleh pria itu yang kini sedang menyetir.“Entah, aku tidak pernah memperhatikannya semenjak dia menolakku sebagai adiknya,” balas Ive tanpa menoleh Alex.Alex menoleh sekilas ke Ive, hingga kemudian kembali memandang jalanan.“Jika dia mengajakmu bertemu berdua, apalagi bertanya di mana kamu tinggal, jangan pernah pedulikan permintaannya!” Alex bicara dengan sangat tegas agar Ive tidak membantah.Sebagai sesama pria, Alex bisa melihat tatapan Emanuel yang berbeda ke Ive. Hal itu membuat Alex tidak senang sama sekali.Ive langsung menoleh Alex setelah mendengar apa yang dikatakan oleh pria itu. Dia mengangguk mengiakan, meski tak paham kenapa Alex berkata demikian.Mobil mereka sampai di apartemen. Alex menghentikan mobil tepat di depan lobi.“Ingat, jangan terima pesan atau telepon selain aku dan keluargaku!” Alex kemabli mengingatkan dengan penekanan. Hal itu ditujukan agar tidak ada yang menin