“Kenapa mukamu kusut begitu?” tanya Ayana saat melihat Alex datang sambil memasang wajah masam.Ive mengulum bibir mendengar pertanyaan Ayana, lantas melirik Alex yang memasang muka cemberut.Ayana menoleh Ive, lantas menatap sang adik ipar seolah meminta penjelasan tapi Ive menggelengkan kepala pelan.Alex dan Ive duduk berhadapan dengan Ayana dan Deon, mereka pun mulai makan malam bersama.Alex masih kesal karena kegiatannya gagal padahal sudah tak sabar ingin bercocok tanam. Hal itu membuat tubuhnya tak nyaman sehingga moodnya pun ikut berubah.“Lusa visa dan tiketnya siap, kalian bisa pergi berlibur ke tempat yang kalian inginkan,” ujar Ayana di sela makan malam.“Ya,” balas Alex masih saja kesal padahal mendapat kabar baik.Ayana menaikkan satu sudut alis mendengar Alex tak bersemangat, Jonathan pun melirik Alex yang terlihat kesal.“Kenapa? Tak suka? Ga jadi pergi?” tanya Ayana keheranan.“Jadi,” jawab Alex kemudian memasukkan makanan ke mulut. Dia bahkan tak mau menatap sang ka
Alex sedang mengecek video rekaman Cctv apartemen. Dia ingin memastikan dan mencari tahu siapa yang sudah membobol apartemennya. “Bagaimana orang seperti ini bisa masuk tanpa diketahui?” Alex frustasi sendiri karena wajah pelaku tidak terlihat, apalagi pelaku selalu menunduk saat berada di tempat yang tersorot kamera Cctv. Alex pun berpikir sejenak, hingga dia merasa jika butuh bantuan Ayana yang lebih berpengalaman juga tahu segala hal di kota itu ketimbang dirinya yang baru tinggal di sana. “Ya, mungkin Ayana bisa bantu,” gumam Alex hendak berdiri. Namun, saat akan berdiri, dia kembali ingat rasa kesalnya soal Ayana yang menganggu kegiatannya tadi. Membuat Alex urung pergi dan akan bicara dengan Ayana esok hari saat pikirannya sudah tidak panas. Ive masuk kamar sambil menyembunyikan sesuatu di belakang punggung. Dia melihat Alex yang duduk di sofa kamar, membuatnya buru-buru ke kamar mandi agar Alex tak melihatnya. “Ive, kenapa lari ke kamar mandi?” tanya Alex keheranan karena
Alex terlihat begitu segar di pagi hari. Dia keluar dari kamar lebih dulu karena ingin membuat kopi. Hingga Alex berpapasan dengan Ayana yang membawa secangkir kopi untuk suaminya.“Ay.” Alex memanggil Ayana karena ingin membahas soal keinginannya semalam. Lagi pula sekarang moodnya sudah bagus, jadi dia sudah tak kesal lagi.Ayana langsung menyipitkan mata melihat Alex menghampirinya, hingga memandang rambut sang adik yang masih setengah basah.“Apa? Sudah ga ngambek lagi? Sudah mau bicara lagi? Sudah dapat asupan, ya.” Ayana langsung menggoda sang adik karena ingat kekonyolan tingkah Alex semalam.Tentu saja ucapan Ayana membuat wajah Alex bersemu merah. Dia benar-benar tak menyangka kalau Ayana akan menggodanya.Alex mencebik untuk menutupi rasa malunya, lantas memilih mengambil cangkir di tangan Ayana lantas menyesapnya.Ayana sangat terkejut karena adiknya itu malah mengambil kopi miliknya.“Lex!” Ayana ingin mengambil kembali cangkir itu, sayangnya Alex sudah lebih dulu menyesap
“Di Swiss bulan ini sangat dingin karena memasuki musim dingin. Jadi kamu harus punya baju lebih tebal,” ujar Alex.Siang itu Alex mengajak Ive berbelanja pakaian dan kebutuhan lain, sebelum besok malam berangkat ke Swiss.Ive hanya menuruti perintah Alex saja, lagi pula pria itu yang akan menghabiskan uang untuk belanja, bukan dirinya.Mereka masuk ke toko yang menjual jaket dan mantel. Alex sendiri yang memilihkan pakaian untuk Ive, sedangkan gadis itu memilih mengambil apa pun yang Alex tawarkan.“Sepertinya sudah semua,” ucap Alex sambil mengecek banyaknya paper bag di meja kasir.“Setelah dari Swiss, pakaian ini tidak akan terpakai,” ujar Ive memandang barang-barang yang dibeli Alex.“Jika ke Swiss tidak memakai pakaian tebal, kamu akan jadi manusia salju,” balas Alex saat mendengar Ive menggerutu.Alex meminta toko untuk mengirimkan semua barang belanjaannya karena dia masih ingin mengajak Ive jalan-jalan.Mereka berjalan di mall sambil melihat-lihat pertokoan yang berjajar rapi
“Hati-hati di sana. Cuaca di sana sedang dingin-dinginnya, jadi jangan lupa pakai mantel tebal,” ucap Ayana saat mengantar Alex dan Ive di bandara. “Iya, Kak. Kami sudah mempersiapkan semuanya,” balas Ive. Ayana mengangguk, lantas menoleh Alex yang berdiri di samping Ive. “Jaga Ive dengan baik. Jika terjadi sesuatu, segera pulang,” kata Ayana ke Alex. “Siap, kamu jangan mencemaskan kami,” balas Alex. Alex mengambil koper Ive, lantas mengajak istrinya itu untuk masuk ke ruang tunggu. Ayana dan Deon berdiri memandang Alex yang pergi bersama Ive. “Tidak kusangka, mereka benar-benar menikah karena saling menginginkan. Ya, aku bersyukur karena mereka tak harus membuat perjanjian seperti kita,” ujar Ayana lantas menoleh Deon yang ada di sampingnya. Deon ternyata sudah memandang Ayana. Pemuda itu lantas merangkul pundak wanita itu. “Tapi meski ada surat perjanjian, jika mereka akhirnya saling menyukai, tidak ada kata terlambat untuk mengubahnya, kan? Seperti kita,” ucap Deon lantas m
Alex dan Ive akhirnya sampai di Swiss, mereka pergi ke hotel lebih dulu untuk beristirahat, sebelum pergi ke bank di hari berikutnya untuk mengecek surat deposito milik Ive. “Dingin?” tanya Alex saat melihat hidung dan pipi Ive yang merah. Bahkan gadis itu beberapa kali meniupkan udara ke tangan. Ive menoleh Alex lantas mengangguk. Kamar hotel itu memiliki pemanas ruangan tapi tetap saja masih terasa dingin karena hawa dingin dari luar masih menempel di tubuh mereka. Alex mendekat ke Ive, lantas memeluk istrinya itu agar lebih hangat. “Sudah hangat?” tanya Alex. Ive memulas senyum mendengar pertanyaan Alex, lantas mengangguk-anggukan kepala. Alex mempererat pelukan agar Ive merasa nyaman, hingga tiba-tiba terdengar suara bunyi perut yang membuat Alex menahan senyum. “Kamu lapar?” tanya Alex sambil menunduk agar bisa melihat wajah Ive. “Iya,” jawab Ive tanpa malu. Alex melepas pelukan, lantas pergi meraih gagang telepon untuk menghubungi bagian resepsionis untuk memesan makanan
“Bagaimana?” tanya Ive saat melihat Alex berusaha menghubungi nomor yang pernah mengirim pesan ke Ive.“Tidak bisa dihubungi,” jawab Alex.Ive menggigit ujung kuku jempolnya, dia cemas juga penasaran apakah benar yang mengiriminya pesan adalah kakaknya.“Jika benar aku punya kakak, apa dia juga mengingatku?” tanya Ive ke Alex.Mereka kini berada di hotel karena ingin segera mencari tahu soal kakak Ive.“Kita tidak tahu umurnya sekarang berapa, mungkin dia tahu kalau punya adik, tapi aku yakin dia tidak mengenalimu karena kalian berpisah sejak sangat kecil,” jawab Alex.Ive menatap cemas dan bingung ke Alex. Dia hanya ingin tahu siapa saudaranya karena selama ini berpikir tak punya saudara kandung.“Aku coba hubungi Chris untuk bertanya apakah sudah ada informasi soal nomor yang menghubungimu,” ujar Alex lantas mendial nomor Chris.Di waktu Indonesia sekarang, Alex yakin jika Chris sudah berada di rumah setelah seharian bekerja di perusahaan.Ive pun mengangguk, menunggu Alex bertanya
“Masih tidak ada balasan?”Alex menatap Ive yang terus memandangi ponsel. Mereka di Swiss sudah tiga hari, tapi belum ada balasan dari nomor yang pernah menghubungi Ive, serta nomor itu juga masih tidak bisa dihubungi.“Belum, bahkan pesannya pun belum dibaca,” jawab Ive lantas meletakkan ponsel di meja.Alex duduk di samping Ive, lantas memberikan secangkir kopi ke istrinya itu.Ive memilih menyesap kopi pemberian Alex, lantas menghela napas kasar sambil memandang cangkir yang masih dipegang.“Jangan dipikir berlebih, jika memang benar nomor itu milik kakakmu, lalu dia membutuhkanmu. Aku yakin dia akan mencarimu juga, sama seperti denganmu,” ujar Alex terus berusaha menenangkan dan juga menyemangati agar Ive tak sedih.“Iya, mungkin aku yang tidak sabar saja,” balas Ive, “aku hanya berharap menemukan keluarga kandungku.”“Kita akan sama-sama mencarinya,” ucap Alex lagi.**Setelah berada di Swiss tiga hari. Alex dan Ive mampir ke London sebelum pulang karena Alex ingin mengecek perus