“Papa sudah meminta orang untuk mengurus berkas-berkas keperluan pernikahan kalian. Menikah secara dadakan, memakan biaya yang cukup banyak. Semoga saja bisa berjalan sesuai rencana.” Ayana menjelaskan proses pendaftaran nikah Alex yang sedikit rumit karena perbedaan negara. “Untung saja Papa selalu membawa dokumen penting rumah, sehingga kamu tidak bingung mengambil akta kelahiranmu di London,” ujar Ayana lagi. “Papa membawanya? Tidak kusangka dia membawa itu bersamanya,” ujar Alex terkejut mendengar penjelasan Ayana. Ayana menoleh sambil melotot mendengar ucapan Alex, hingga memukul belakang kepala adiknya itu. “Ay! Ini sakit!” pekik Alex sambil mengusap belakang kepala. “Harusnya kamu bersyukur tidak diminta mengambilnya di rumah,” ucap Ayana. Berkas penting ada di brankas pribadi yang tak mungkin bisa dibuka orang lain, beruntung Jonathan membawa benda itu bersamanya, sehingga Alex tak perlu bolak-balik mengambil akta kelahiran. “Iya, aku bersyukur,” balas Alex, “sepertinya
Alex datang ke apartemen Ive di hari berikutnya. Dia datang pagi agar Ive tidak menggerutu jika didatangi dadakan seperti sebelumnya. Namun, saat dia sampai di sana, ternyata Ive belum bangun.Alex melihat Ive yang tidur dengan buku bertebaran di ranjang, dia memandang gadis itu yang tidur dengan sangat pulas.“Baca buku sampai jam berapa dia?” Alex bertanya-tanya lantas mendekat ke samping ranjang.Dia berjongkok di samping ranjang, lantas memandang Ive yang tidur tengkurap. Alex menatap wajah Ive yang sedang tidur, dia sampai bertanya-tanya apa ibunya wanita warga asing karena sekilas wajah Ive tak tampak seperti wanita lokal.Saat Alex sedang memandangi wajah Ive, ternyata gadis itu membuka mata, membuat Alex begitu terkejut.“Ini jam berapa? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Ive sambil mengucek mata. Dia bangun dan tak menyadari jika Alex sedang menatapnya.Ive menguap lebar, lantas memperhatikan ranjang yang berantakan karena banyaknya buku yang semalam dibacanya.Alex sendiri buru
“Bantu lacak nomor ini,” perintah Alex ke Chris.Chris mengambil ponsel yang disodorkan Alex, lantas melihat nomor yang tertera di sana.“Pak, kita tidak di London. Koneksi kita hanya ada di sana, akan sulit jika kita melacak di luar jangkauan kita,” ucap Chris yang tak yakin bisa melaksanakan perintah Alex.“Jika tidak dicoba, bagaimana bisa tahu sulit atau tidak?” Alex tidak menerima penolakan. Dia menatap Chris yang berdiri di depan meja kerjanya.“Baiklah, akan saya usahakan. Tapi mungkin ini akan memakan waktu yang tak sebentar,” balas Chris tak mungkin menolak jika sudah memberikan tatapan seperti itu.Alex menatap Chris yang sudah berusaha keras terus membantunya, hingga dia pun berucap, “Terima kasih karena kamu selalu berusaha membantuku.”Chris sangat terkejut mendengar ucapan Alex, jarang-jarang atasannya itu mengucapkan terima kasih kepadanya. Kata itu seperti hal yang sangat sakral, hingga membuat Chris langsung terenyuh.“Sama-sama, Pak. Saya senang bekerja untuk Anda,”
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ayana karena melihat Ive seperti ketakutan sejak masuk mobil.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana. Dia menoleh wanita itu, lantas menggelengkan kepala.“Aku baik-baik saja,” jawab Ive sambil melebarkan senyum.“Apa Alex memarahimu karena kamu pergi denganku? Kalau ya, katakan saja. Aku yang akan menceramahinya,” ucap Ayana karena tak ingin Ive ditindas Alex.Ive tertawa kecil mendengar ucapan Ayana, hingga kemudian membalas, “Mana berani dia memarahi atau melarangku pergi dengan Kakak. Dia baik kepadaku, meski kadang caranya sedikit kasar.”Ayana menoleh sekilas setelah mendengar apa yang dikatakan Ive. Dia melihat gadis itu tersenyum tipis, kemudian kembali fokus ke jalanan.“Ya, begitulah Alex. Dia memang sedikit arogan, tapi tidak jahat. Bahkan pertemuan pertama kami, dipenuhi amarah dan tuduhan aneh darinya, membuatku jadi ingin tertawa kalau ingat saat-saat itu,” ujar Ayana mengingat bagaimana arogan dan angkuhnya Alex saat menemuinya, sampai
Ive memperhatikan kafe yang mereka datangi. Kafe dengan konsep semi jadul itu terlihat begitu ramai di jam istirahat. “Ini kafe milik suamiku. Kita makan di sini sekalian ketemu sama yang lain,” kata Ayana yang baru saja mematikan mesin mobil. “Oh … jadi ini.” Ive mengangguk-angguk lantas melepas seat belt untuk bisa segera turun bersama Ayana. Saat baru saja keluar dari mobil. Ive melihat mobil Alex di sana, dia pun keheranan lantas menoleh Ayana. Ayana yang seperti paham akan arti tatapan Ive, lantas berkata, “Aku tadi menghubunginya untuk makan siang bersama.” Ive mengangguk paham, awalnya berpikir jika kebetulan sekali Alex di kafe itu juga. Saat baru saja masuk kafe, pelayan langsung menyambut keduanya. “Mas Deon sama yang lain ada di lantai atas.” Pelayan itu menunjuk ke lantai dua. Ayana mengangguk lantas mengajak Ive pergi ke lantai dua. Ive sendiri sempat mengamati seluruh meja di ruangan itu yang hampir penuh dengan pengunjung yang rata-rata kalangan mahasiswa. “Apa
Ive ikut mobil Alex setelah selesai makan siang bersama Ayana. Dia hanya membawa barang pribadi yang dibelikan Ayana, selebihnya dibawa Ayana untuk mahar.Saat masih berada di mobil, Ive melihat ponselnya kembali berdering. Itu panggilan dari Eric yang sejak tadi menghubunginya tanpa henti meski Ive sudah menolak panggilan itu berkali-kali.“Siapa?” tanya Alex terganggu mendengar suara ponsel Ive berkali-kali tapi tidak dijawab oleh gadis itu.“Eric,” jawab Ive singkat karena malas menyebut nama mantan kekasihnya itu.Alex langsung mengambil ponsel Ive, membuat gadis itu begitu terkejut.Alex langsung memblokir nomor Eric, lantas menghapus nomor mantan kekasih Ive itu, sebelum mengembalikan benda pipih itu ke Ive.“Blokir semua yang dirasa mengganggu, untuk apa juga kamu masih menyimpan nomor pria itu,” gerutu Alex tak senang.Ive tak membalas ucapan Alex, memilih diam sambil menerima ponselnya kembali.Alex menoleh Ive sekilas. Dia melihat gadis itu hanya diam murung, padahal tadi bi
“Pakai handukmu! Kenapa kamu berteriak saat tak memakai pakaian seperti itu?”Alex sangat panik saat melihat Ive tanpa busana. Dia langsung membalikkan badan sambil memejamkan kelopak mata.Ive pun terkejut dengan ucapan Alex. Dia sedang dalam kondisi panik, sehingga tak menyadari kondisi tubuhnya. Ive pun buru-buru meraih handuk ketika Alex membalikkan badan.“Kenapa kamu berteriak sekencang itu? Jangan salahkan aku yang tiba-tiba menerobos masuk!” Alex mencoba membela diri sebelum disalahkan oleh Ive.“Maaf, aku panik karena lampunya tiba-tiba mati. Aku takut gelap.”Alex menghela napas kasar mendengar ucapan Ive, hingga kemudian bertanya, “Sudah pakai handuk?”“Sudah,” jawab Ive.Alex akhirnya membalikkan badan, menatap Ive yang terlihat panik. Dia lantas mendongak, melihat lampu kamar mandi yang padam.“Pindah ke kamar mandi di kamar satunya, biar aku panggil petugas pemeliharaan gedung untuk mengganti lampunya,” ujar Alex lantas buru-buru keluar dari kamar mandi.Ive terkejut mel
“Jangan! Jangan kurung aku, Ma! Kumohon jangan!”Teriakan pilu itu tak didengar oleh siapa pun di rumah itu meski ada yang melihat. Semua bungkam dan menutup mata seolah tak melihat gadis kecil itu diseret paksa masuk ke sebuah gudang.“Ini balasan karena kamu berani memakan kueku! Kamu pikir aku membeli itu untuk dimakan kamu, hah!”Wanita itu menyeret beringas dengan cara menarik lengan gadis berumur sepuluh tahun itu. Dia tidak merasa iba atau kasihan meski gadis kecil itu menangis terus menerus.Hingga gadis itu didorong masuk ke sebuah gudang berdebu yang gelap, dia jatuh tersungkur dengan air mata yang jatuh membasahi lantai.“Ini hukuman bagimu! Kalau kamu merengek dan mengadu ke suamiku, maka aku akan menambah hukumanmu!” ancam wanita itu sebelum kemudian menutup pintu.Gadis kecil di gudang itu menangis sesenggukan, meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk bersembunyi dari rasa takut yang menghampiri.**“Ive! Ive bangun!” Alex menepuk kedua pipi Ive agar mau bangun.A