Kyle memanggil Nabila ke apartemen Ayana, tentu saja dia tidak mau di sana hanya berdua dengan atasannya itu yang bisa menimbulkan fitnah.Nabila dan Kyle memandang sendu, sedih melihat kondisi Ayana yang seperti ini.“Ya, sebenarnya tidak salah Deon juga jika marah, karena memang semua berawal akibat masa lalu Ayana,” ujar Nabila yang tidak ingin menyalahkan Deon pergi meninggalkan Ayana seperti ini.“Tapi apa tidak bisa dibicarakan baik-baik dulu,” balas Kyle kemudian. Dia sudah mendengar semuanya dari Nabila tentang hal yang dialami Ayana.“Meski dibicarakan baik-baik, tetap saja amarah itu pasti ada, Kyle. Coba posisikan dirimu di tempat Deon, kamu pasti akan melakukan hal yang sama seperti pemuda itu, mungkin lebih buruk lagi,” ujar Nabila kemudian.Kyle ingin membalas ucapan Nabila, tapi terhenti dan berpikir. Apa yang dikatakan Nabila memang ada benarnya juga.Kyle dan Nabila lantas memandang Ayana yang masih berada di sofa, sedangkan keduanya berada di dapur. Nabila membuat bu
“Kenapa Anda mengurung Kak Karin, hingga dia tidak datang ke pemakaman Kak Tirta sampai akhirnya sekarang gila?” Deon langsung memberondong pertanyaan ke orang tua Karin.Deon sendiri sudah keluar dari kamar Karin meski wanita itu sebelumnya menghalangi karena takut ditinggal lagi. Deon mencoba meyakinkan kalau dia hanya bekerja dan ingin Karin tinggal di sana sampai sembuh sebab sedang sakit.Karin percaya dan akan menuruti semua ucapan Deon, bahkan berjanji untuk sembuh.Hyuna dan ibu Karin terkejut melihat Deon yang baru datang dan langsung memberondong pertanyaan. Mereka pun berdiri dan menatap bingung.“Apa maksudmu?” tanya ibu Karin yang paham maksud Deon tapi berpura-pura tidak tahu.“Bibi jangan berpura-pura, Kak Karin bilang kalau dikurung Bibi di hari pemakaman Kakak. Apa yang sebenarnya terjadi? Bibi sengaja melakukan itu untuk menutupi fakta sebenarnya karena Kak Karin tahu kejadian sesungguhnya!” Deon begitu murka terhadap wanita paruh baya yang ada di hadapannya itu.Hyu
Ayana berdiri menatap isi kamar tempat Deon belajar. Semua barang masih di sana, tidak ada yang diambil atau dibawa oleh Deon ketika pergi. Bahkan ini sudah 3 hari semenjak Deon pergi, tapi pemuda itu tidak ada tanda-tanda pulang. “Apa kamu pulang ke rumah orang tuamu?” Ayana bertanya-tanya sendiri. Dia tidak berani mencari ke rumah orang tua Deon, takut jika sampai mertuanya itu murka, lantas menganggap jika pernikahan antara Deon dan Ayana pun sebenarnya hanya jebakan untuk menutupi perbuatan Ayana. Namun, tentunya itu hanya pemikiran negatif Ayana yang memang sedang kalut dan takut, tidak ada bukti jika pemikiran itu benar. Ayana masuk kamar itu, lantas duduk di meja belajar Deon. Dia mengembuskan napas kasar, kemudian membuka laptop suaminya. “Jika dia tidak membawa laptopnya, bagaimana caranya mengerjakan skripsi?” Ayana bergumam sambil membuka. Setelah menyalakan laptop, hal pertama yang dilihat ketika memandang ke layar adalah foto mereka. Deon menggunakan foto mereka seb
Ayana duduk di mobil yang terparkir di seberang jalan kafe Deon. Dari jauh memperhatikan suaminya yang sedang bekerja di kafe, membersihkan meja dan melayani pelanggan.Ini sudah dua minggu semenjak keduanya berpisah. Baik Deon maupun Ayana memang tidak ada yang menghubungi atau berniat meluruskan masalah.Ayana sudah mengungkap semua dan menunggu keputusan Deon, tapi kenyataannya pemuda itu juga diam dan tidak berniat meluruskan semuanya. Bahkan berniat melaporkan Ayana ke kantor polisi pun tidak, membuat hubungan keduanya menggantung tak jelas.Ayana masih memperhatikan suaminya yang bekerja, meski sesekali terhalang kendaraan yang berlalu-lalang di jalan itu. Hingga ponselnya berdering, membuat Ayana mengalihkan pandangan dari Deon ke ponselnya.“Halo.”“Satu jam lagi kamu ada rapat, jangan terlambat.”Suara Kyle terdengar dari seberang panggilan.“Hm … ya, aku akan kembali ke perusahaan sekarang,” ujar Ayana membalas ucapan Kyle.Ayana mengakhiri panggilan itu. Dia lantas mengemud
Deon duduk menatap ponsel. Dia melihat nama Ayana dan terus memandangnya tanpa tahu harus bagaimana.“Meski aku melaporkanmu ke polisi, apa sekarang itu berguna?”Deon tersenyum getir mengingat kebimbangannya sendiri yang tidak tahu harus bagaimana.Dia meletakkan ponsel ke meja, lantas membaringkan tubuh di matras kecil yang tersedia di kamar itu. Berbaring sambil menggunakan satu lengan untuk bantal, memandang langit-langit kamar.Deon mencoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba saja ucapan Gery terus terngiang-ngiang di telinga.“Sial!” gerutu Deon sambil membuka kelopak matanya lagi.Deon kembali bangun dengan ekspresi wajah kesal. Dia benar-benar bingung harus apa.Deon memilih berdiri, menyambar jaket dan pergi meninggalkan kafe.Deon pergi naik taksi. Dia masih belum bisa membuat keputusan, tapi juga bimbang dengan yang dilakukannya sekarang.Taksi yang ditumpangi Deon berhenti di dekat pintu masuk apartemen Ayana. Dia lantas turun dan berjalan masuk, tapi langkahnya kembali terhen
Ayana menatap kosong sisi ranjangnya. Biasanya setiap pagi ada yang membangunkan dengan suara manja yang membuat moodnya bagus di pagi hari, tapi selama dua minggu ini begitu hampa.Ayana meraih ponsel, lantas menatap fotonya dengan Deon saat bermain di taman bermain.“Sampai kapan kamu akan mengabaikanku, De.”Jika dibilang dia tidak peduli suaminya pergi, tentu saja itu tidak benar. Ayana terus memikirkan sampai kurang tidur dan tidak nafsu makan. Bahkan kini pipinya lebih tirus dari sebelumnya, menandakan jika Ayana kehilangan berat badan cukup banyak.Ayana masih berbaring di ranjang, rasanya malas ketika mengingat jika tidak ada lagi sapaan hangat di pagi hari yang ditujukan untuknya.“Ay, kamu tidak ke kantor?”Suara Azlan terdengar dari luar, bahkan beberapa kali terdengar ketukan pintu.Ayana mendengkus kasar. Sang adik memang suka sekali berisik, berbanding terbalik dengan Ayana yang lebih tenang. Ayana memang terkesan membenci Azlan ketika berada di hadapan kedua orang tua m
Deon masih berdiri di tempatnya, memandang Azlan yang masuk ke ruang Ayana. Dia marah, kesal, mungkin cemburu. Kenapa Ayana sudah mendapat perhatian dari pria lain, padahal baru Deon tinggal 2 minggu.“Kenapa aku lupa siapa dia.” Deon tersenyum getir.Dia hendak membalikkan badan untuk pergi tapi langkahnya kembali terhenti. Telapak tangannya mengepal erat, rasanya tidak sanggup membayangkan Ayana bersama pria lain.Deon akhirnya pergi ke ruang kerja Ayana, tempat itu sedikit sepi karena karyawan sedang keluar makan siang. Saat membuka pintu lebar, Deon terkejut melihat pemandangan di depannya.Azlan sendiri datang membawa makan siang. Dia diberitahu Kyle jika Ayana tidak pernah makan siang selama 2 minggu ini, membuat Azlan mencemaskan sang kakak.Saat datang, Azlan sudah membujuk, tapi Ayana masih tidak mau makan. Dia akhirnya merayu dengan merangkul leher sang kakak dari belakang, bergelayut manja sambil membujuk.“Apa maksudnya ini?” Deon begitu marah melihat Ayana sekali lagi dip
“Tunggu! Adik?”Deon menatap Ayana dengan ekspresi wajah bingung, otaknya masih mencoba mencerna ucapan sang istri.“Azlan adikku. Apa aku belum pernah cerita?” Ayana memperjelas. Dia sepertinya lupa belum pernah menyebut nama Azlan di depan Deon.Deon diam memandang Ayana, entah harus malu atau apa yang jelas dia merasa begitu bodoh karena sudah cemburu berlebihan sampai memukul Azlan tanpa bertanya dulu. Namun, bukan salah dia juga. Dia hanya terlalu cinta sampai tidak terima istrinya dipeluk pria lain, bahkan meski pria itu adik kandung sang istri.Ayana menatap Deon yang terlihat salah tingkah. Dia lantas maju satu langkah hingga berdiri lebih dekat dengan suaminya.“Maaf sudah membuatmu salah paham. Azlan adikku, dia baru saja kembali dari San Fransisco semalam,” ujar Ayana menjelaskan. “Dia sekolah di sana dan memang jarang sekali pulang. Ya, pulang jika memang dapat izin dari Papa.”Deon terlalu malu mengakui kecemburuannya, hingga kemudian membalas, “Dia sudah dewasa, untuk ap
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida