“Kenapa Anda mengurung Kak Karin, hingga dia tidak datang ke pemakaman Kak Tirta sampai akhirnya sekarang gila?” Deon langsung memberondong pertanyaan ke orang tua Karin.Deon sendiri sudah keluar dari kamar Karin meski wanita itu sebelumnya menghalangi karena takut ditinggal lagi. Deon mencoba meyakinkan kalau dia hanya bekerja dan ingin Karin tinggal di sana sampai sembuh sebab sedang sakit.Karin percaya dan akan menuruti semua ucapan Deon, bahkan berjanji untuk sembuh.Hyuna dan ibu Karin terkejut melihat Deon yang baru datang dan langsung memberondong pertanyaan. Mereka pun berdiri dan menatap bingung.“Apa maksudmu?” tanya ibu Karin yang paham maksud Deon tapi berpura-pura tidak tahu.“Bibi jangan berpura-pura, Kak Karin bilang kalau dikurung Bibi di hari pemakaman Kakak. Apa yang sebenarnya terjadi? Bibi sengaja melakukan itu untuk menutupi fakta sebenarnya karena Kak Karin tahu kejadian sesungguhnya!” Deon begitu murka terhadap wanita paruh baya yang ada di hadapannya itu.Hyu
Ayana berdiri menatap isi kamar tempat Deon belajar. Semua barang masih di sana, tidak ada yang diambil atau dibawa oleh Deon ketika pergi. Bahkan ini sudah 3 hari semenjak Deon pergi, tapi pemuda itu tidak ada tanda-tanda pulang. “Apa kamu pulang ke rumah orang tuamu?” Ayana bertanya-tanya sendiri. Dia tidak berani mencari ke rumah orang tua Deon, takut jika sampai mertuanya itu murka, lantas menganggap jika pernikahan antara Deon dan Ayana pun sebenarnya hanya jebakan untuk menutupi perbuatan Ayana. Namun, tentunya itu hanya pemikiran negatif Ayana yang memang sedang kalut dan takut, tidak ada bukti jika pemikiran itu benar. Ayana masuk kamar itu, lantas duduk di meja belajar Deon. Dia mengembuskan napas kasar, kemudian membuka laptop suaminya. “Jika dia tidak membawa laptopnya, bagaimana caranya mengerjakan skripsi?” Ayana bergumam sambil membuka. Setelah menyalakan laptop, hal pertama yang dilihat ketika memandang ke layar adalah foto mereka. Deon menggunakan foto mereka seb
Ayana duduk di mobil yang terparkir di seberang jalan kafe Deon. Dari jauh memperhatikan suaminya yang sedang bekerja di kafe, membersihkan meja dan melayani pelanggan.Ini sudah dua minggu semenjak keduanya berpisah. Baik Deon maupun Ayana memang tidak ada yang menghubungi atau berniat meluruskan masalah.Ayana sudah mengungkap semua dan menunggu keputusan Deon, tapi kenyataannya pemuda itu juga diam dan tidak berniat meluruskan semuanya. Bahkan berniat melaporkan Ayana ke kantor polisi pun tidak, membuat hubungan keduanya menggantung tak jelas.Ayana masih memperhatikan suaminya yang bekerja, meski sesekali terhalang kendaraan yang berlalu-lalang di jalan itu. Hingga ponselnya berdering, membuat Ayana mengalihkan pandangan dari Deon ke ponselnya.“Halo.”“Satu jam lagi kamu ada rapat, jangan terlambat.”Suara Kyle terdengar dari seberang panggilan.“Hm … ya, aku akan kembali ke perusahaan sekarang,” ujar Ayana membalas ucapan Kyle.Ayana mengakhiri panggilan itu. Dia lantas mengemud
Deon duduk menatap ponsel. Dia melihat nama Ayana dan terus memandangnya tanpa tahu harus bagaimana.“Meski aku melaporkanmu ke polisi, apa sekarang itu berguna?”Deon tersenyum getir mengingat kebimbangannya sendiri yang tidak tahu harus bagaimana.Dia meletakkan ponsel ke meja, lantas membaringkan tubuh di matras kecil yang tersedia di kamar itu. Berbaring sambil menggunakan satu lengan untuk bantal, memandang langit-langit kamar.Deon mencoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba saja ucapan Gery terus terngiang-ngiang di telinga.“Sial!” gerutu Deon sambil membuka kelopak matanya lagi.Deon kembali bangun dengan ekspresi wajah kesal. Dia benar-benar bingung harus apa.Deon memilih berdiri, menyambar jaket dan pergi meninggalkan kafe.Deon pergi naik taksi. Dia masih belum bisa membuat keputusan, tapi juga bimbang dengan yang dilakukannya sekarang.Taksi yang ditumpangi Deon berhenti di dekat pintu masuk apartemen Ayana. Dia lantas turun dan berjalan masuk, tapi langkahnya kembali terhen
Ayana menatap kosong sisi ranjangnya. Biasanya setiap pagi ada yang membangunkan dengan suara manja yang membuat moodnya bagus di pagi hari, tapi selama dua minggu ini begitu hampa.Ayana meraih ponsel, lantas menatap fotonya dengan Deon saat bermain di taman bermain.“Sampai kapan kamu akan mengabaikanku, De.”Jika dibilang dia tidak peduli suaminya pergi, tentu saja itu tidak benar. Ayana terus memikirkan sampai kurang tidur dan tidak nafsu makan. Bahkan kini pipinya lebih tirus dari sebelumnya, menandakan jika Ayana kehilangan berat badan cukup banyak.Ayana masih berbaring di ranjang, rasanya malas ketika mengingat jika tidak ada lagi sapaan hangat di pagi hari yang ditujukan untuknya.“Ay, kamu tidak ke kantor?”Suara Azlan terdengar dari luar, bahkan beberapa kali terdengar ketukan pintu.Ayana mendengkus kasar. Sang adik memang suka sekali berisik, berbanding terbalik dengan Ayana yang lebih tenang. Ayana memang terkesan membenci Azlan ketika berada di hadapan kedua orang tua m
Deon masih berdiri di tempatnya, memandang Azlan yang masuk ke ruang Ayana. Dia marah, kesal, mungkin cemburu. Kenapa Ayana sudah mendapat perhatian dari pria lain, padahal baru Deon tinggal 2 minggu.“Kenapa aku lupa siapa dia.” Deon tersenyum getir.Dia hendak membalikkan badan untuk pergi tapi langkahnya kembali terhenti. Telapak tangannya mengepal erat, rasanya tidak sanggup membayangkan Ayana bersama pria lain.Deon akhirnya pergi ke ruang kerja Ayana, tempat itu sedikit sepi karena karyawan sedang keluar makan siang. Saat membuka pintu lebar, Deon terkejut melihat pemandangan di depannya.Azlan sendiri datang membawa makan siang. Dia diberitahu Kyle jika Ayana tidak pernah makan siang selama 2 minggu ini, membuat Azlan mencemaskan sang kakak.Saat datang, Azlan sudah membujuk, tapi Ayana masih tidak mau makan. Dia akhirnya merayu dengan merangkul leher sang kakak dari belakang, bergelayut manja sambil membujuk.“Apa maksudnya ini?” Deon begitu marah melihat Ayana sekali lagi dip
“Tunggu! Adik?”Deon menatap Ayana dengan ekspresi wajah bingung, otaknya masih mencoba mencerna ucapan sang istri.“Azlan adikku. Apa aku belum pernah cerita?” Ayana memperjelas. Dia sepertinya lupa belum pernah menyebut nama Azlan di depan Deon.Deon diam memandang Ayana, entah harus malu atau apa yang jelas dia merasa begitu bodoh karena sudah cemburu berlebihan sampai memukul Azlan tanpa bertanya dulu. Namun, bukan salah dia juga. Dia hanya terlalu cinta sampai tidak terima istrinya dipeluk pria lain, bahkan meski pria itu adik kandung sang istri.Ayana menatap Deon yang terlihat salah tingkah. Dia lantas maju satu langkah hingga berdiri lebih dekat dengan suaminya.“Maaf sudah membuatmu salah paham. Azlan adikku, dia baru saja kembali dari San Fransisco semalam,” ujar Ayana menjelaskan. “Dia sekolah di sana dan memang jarang sekali pulang. Ya, pulang jika memang dapat izin dari Papa.”Deon terlalu malu mengakui kecemburuannya, hingga kemudian membalas, “Dia sudah dewasa, untuk ap
“Mau aku jemput malam nanti?” tanya Ayana ketika mengantar Deon sampai di depan kafe.Deon mengatakan ke Ayana jika kembali bekerja di kafe, sedangkan Ayana pura-pura terkejut tidak tahu meski selama 2 minggu memantau dari jauh.Deon menoleh Ayana setelah melepas seatbelt lantas tersenyum manis.“Jika kamu tidak lelah,” jawab Deon yang tidak ingin membebani Ayana.“Tentu tidak. Aku ada lembur hari ini, setelah selesai akan langsung ke sini,” ujar Ayana sambil memulas senyum.Deon mengangguk dan bersiap turun, hingga ucapan Ayana membuatnya urung membuka pintu.“Kamu melupakan sesuatu?” tanya Ayana.Deon menoleh istrinya yang sudah tersenyum.“Apa?” tanya Deon dengan dahi sedikit berkerut.Ayana menunjuk pipi kiri dengan sedikit memiringkan wajah.Deon langsung paham dengan maksud Ayana. Dia pun mendekatkan wajah dan mengecup pipi istrinya itu.“Hati-hati di jalan,” ucap Deon sambil memulas senyum sebelum keluar mobil.Ayana mengangguk kemudian melambaikan tangan ke Deon yang baru saja