“Kenapa kamu menemuinya?” tanya Amar yang cemas jika Nabila berubah pikiran, belum lagi dirinya tidak diajak bertemu Dafa.Nabila menoleh Amar yang berjalan di sampingnya, hingga kemudian membalas, “Aku hanya menegaskan kepadanya, jika nanti dia bebas setelah menjalani masa hukuman, aku tidak ingin dia menemuiku atau Citra. Aku tidak mau dia mengganggu hidup kami lagi.”Amar mengangguk-angguk paham, keresahan jika Nabila akan berubah pikiran kini hilang sudah.“Baguslah, dengan begitu dia tidak akan macam-macam lagi,” ucap Amar kemudian.Nabila menganggukkan kepala, dia pun sekarang lega karena dengan begini proses perceraiannya dengan Dafa akan semakin lancar, mengingat Dafa terjerat kasus penyerangan juga percobaan penculikan yang sangat menguntungkan baginya.“Aku sudah menghubungi Ayana, kita ke kafe Deon untuk merayakan ini. Aku yang traktir,” ucap Nabila dengan senyum merekah penuh kebahagiaan.Amar mengangguk mengiakan ajakan Nabila, mereka pun pergi bersama setelah berpisah de
Ayana keluar kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Dia menatap Deon yang sedang duduk di ranjang sambil mengecek berkas pekerjaan, lantas menoleh Ansel yang tidur dengan nyenyak.“Kamu masih mengurus pekerjaan padahal di rumah,” ucap Ayana sambil duduk di samping Deon menghadap suaminya itu.Deon langsung mengalihkan pandangan dari berkas ke Ayana, lantas membalas, “Ya, karena tadi ada yang belum aku selesaikan sebelum kuserahkan padamu.”Ayana mengambil berkas yang ada di tangan Deon, lantas meletakkan di nakas.Deon pun bingung dengan yang dilakukan Ayana, hingga melihat istrinya naik ranjang dan duduk di pangkuannya.Ayana duduk berhadapan dengan Deon, lantas merangkulkan kedua lengan di leher suaminya itu.“Apa kamu tidak bisa fokus denganku saja kalau di rumah, hm?”“Aku selalu fokus denganmu. Apa yang kurang?” tanya Deon sambil memeluk pinggang Ayana.“Kamu tidak rindu?” tanya Ayana balik sambil menyisir rambut suaminya.“Hm … jangan memancing. Kamu habis operasi, b
“Aku sebenarnya curiga,” ucap Azlan saat menemui Ayana di hari berikutnya.“Apa yang membuatmu curiga?” tanya Ayana sambil menatap sang adik yang terlihat serius.Azlan mengetuk-ngetukkan jari di meja, kemudian mencondongkan tubuh ke Ayana.“Apa menurutmu Mama menjalin hubungan dengan orang atau semacamnya. Semalam saat membalas pesanku, dia menjawab jika ada urusan. Tapi kenapa membalasnya sangat malam,” ucap Azlan yang curiga.Ayana terdiam mendengar ucapan Azlan, jika memang sang mama menjalin hubungan spesial dengan seorang pria, haruskah mereka senang atau cemas.“Waktu itu Mama juga bersikap aneh, hanya saja apa benar Mama menyukai pria di usianya sekarang?” tanya Ayana sedikit ragu.“Siapa tahu. Kita tidak tahu ‘kan dalam hatinya Mama bagaimana, apalagi Mama juga sendirian. Dia tidak mau tinggal di rumahmu, juga rumahku.” Azlan sangat yakin jika pemikirannya benar.Ayana berpikir sejenak, hingga kemudian membalas, “Ah … tapi menurutku tidak mungkin. Aku tidak yakin Mama suka sa
“Ayana sepertinya mencurigaiku. Dia menatapku aneh tiap mendapat panggilan telepon darimu.”“Dia bilang apa?”“Tidak mengatakan apa-apa, hanya saja aku yang merasa aneh karena menyembunyikan sesuatu darinya. Apa kita bicara saja dengannya juga Azlan. Maksudku kita jujur saja,” ujar Suci sambil menoleh Firman yang sedang menyetir.Firman menoleh sekilas ke Suci, lantas kembali fokus ke jalanan.“Aku sebelumnya sudah menawari, apa kita harus bilang ke anak-anak, tapi kamu yang tidak siap karena masih malu sebab kita bercerai pun baru berapa bulan,” ujar Firman bukan ingin menjelaskan, tapi mengingatkan betapa cemasnya Suci akan penilaian anak-anak.“Iya, tapi sekarang aku merasa aneh saja. Malah seperti seseorang yang sedang dicurigai selingkuh,” ujar Suci kemudian.“Kalau memang kamu tak nyaman menyembunyikan fakta ini, ya sudah kita cari waktu yang tepat untuk bicara dengan Ayana dan Azlan. Bagaimanapun nanti tanggapan mereka, kita juga harus siap menerimanya,” ungkap Firman kemudian.
“Citra, mama mau bicara, tapi mama minta agar Citra dengar sampai selesai. Juga, misal Citra tidak paham, Citra bisa tanya jangan marah,” ucap Nabila akhirnya memutuskan untuk bicara ke Citra soal Dafa. Citra menatap Amar dan Nabila dengan ekspresi bingung, hingga kemudian menganggukkan kepala. Nabila meminta agar Amar menyingkir lebih dulu karena bagaimanapun dia harus bicara berdua dengan Citra agar putrinya bisa menangkap dengan baik maksud ucapannya. Nabila memangku Citra, lantas menyiapkan diri untuk jujur ke putrinya itu. “Mungkin Papa tidak akan pernah ke sini dan menemui Citra lagi,” ucap Nabila membuka pembicaraan. “Kenapa?” tanya Citra yang sangat terkejut. “Papa harus dipenjara karena berusaha menyakiti mama. Maaf kalau mama tidak bilang ke Citra, mama hanya takut Citra cemas. Papa harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Mama dan Papa pun akan berpisah dan kita tidak akan bisa tinggal seperti dulu dengan Papa, jadi mama minta Citra jangan marah, ya.” Nabil
“Ayolah, Ay. Masa kamu tidak penasaran dan tanya langsung apa benar Mama dan Papa mau rujuk?” Azlan datang ke kantor Ayana dan membuat heboh lagi. Ayana membuang napas kasar mendengar rengekan sang adik, hingga kemudian memandang Azlan yang berdiri di depan meja. “Kita ga bisa langsung bilang kalau mereka ingin rujuk atau apalah, sebelum mereka mengatakan sendiri, Lan. Tunggu saja, aku yakin mereka akan jujur nantinya jika itu benar,” ujar Ayana pusing sendiri menghadapi adiknya itu. “Aku semalam terus memancing Papa agar mau jujur, tapi dia tidak mau bilang, malah ngatain aku gila.” Azlan sebal karena ayahnya masih saja menutupi apa yang dilakukan, padahal Azlan sudah tahu. “Memang kamu bilang apa?” tanya Ayana penasaran. “Aku bilang jangan sampai Papa jajan di luar, dalam artian jajan wanita agar dia membela diri kemudian jujur. Eh, tapi malah mengataiku gila,” jawab Azlan. Ayana hampir tersedak mendengar ucapan Azlan, sungguh bisa-bisanya sang adik melakukan hal aneh seperti
Hari itu. Ayana sibuk menyiapkan barang yang akan dibawa, terutama perlengkapan Ansel. Dia akan pergi piknik bersama yang lain, sesuai dengan rencana bersama yang lain.“De, coba cek di dapur, apa makanan yang aku minta sudah siap,” ucap Ayana ke Deon yang baru saja selesai ganti baju.“Oke.” Deon pun pergi ke dapur untuk melakukan perintah Ayana.Ayana sudah selesai berkemas, lantas mengecek Ansel yang ada di baby box.“Sudah siap pergi, Tampan?” Ayana mengangkat Ansel dari baby box, lantas memindah ke ranjang karena ingin dipakaikan topi dan jaket.Ayana terlihat senang karena setelah sekian lama fokus bekerja dan fokus dengan masalah yang terjadi, kini Ayana bisa bersantai.Hingga saat Ayana baru saja memakaikan topi Ansel, ponsel yang ada di atas nakas berdering. Ayana meraih ponsel itu lantas menjawab tanpa melihat siapa yang menghubungi.“Halo.” Ayana mengapit ponsel dengan pundak dan pipi.“Ay.”Ayana terkejut hingga langsung melihat nama yang menghubungi. Ternyata dia tak sala
“Masih mau belanja apa lagi?” tanya Deon sambil mengemudikan mobil. Ayana dan Deon pergi mengajak Ansel. Ini adalah pertama kalinya mereka pergi bertiga untuk berbelanja. “Aku mau beli buah, bisa mampir toko buah saja?” Deon mengangguk mendengar ucapan Ayana, lantas mencari toko buah yang searah dengan mereka. Mereka akhirnya sampai di toko buah, saat baru saja akan memarkirkan mobil, Ayana dan Deon terkejut melihat siapa yang berjaga parkir. “Bukankah itu Satria?” tanya Ayana saat melihat kakak iparnya itu membantu mengarahkan mobil agar tertata rapi. Deon mengangguk kemudian memilih memarkirkan mobil dulu. Keduanya pun keluar bersama, hingga Satria sangat terkejut melihat Ayana dan Deon. “Kalian mau belanja?” tanya Satria berbasa-basi untuk menutupi keterkejutannya. “Iya, mau nyari buah,” jawab Deon, “kamu parkir di sini setiap hari?” tanya Deon. “Tidak juga, kebetulan diminta gantiin temen, biasanya kerja di pasar,” jawab Satria sambil terlihat sedikit malu. Mungkin karena
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida