“Kemarilah.” Ayana meminta Deon untuk mendekat dan duduk bersamanya.Deon yang baru saja membuat susu dan mengupas buah pun tersenyum sambil berjalan mendekat ke Ayana. Dia meletakkan segelas susu dan piring berisi potongan buah di meja, lantas duduk berdampingan dengan Ayana.“Makan buahnya,” ucap Deon sambil menusuk potongan buah dengan garpu. Dia lantas menyodorkan potongan buah ke mulut Ayana.Ayana membuka lebar mulut, menerima suapan Deon lantas bergelayut manja di lengan pemuda itu.Deon melirik Ayana yang manja, sangat bertolak belakang dengan saat Ayana bekerja.“Buku mulutmu.” Deon kembali menyuapi.Ayana menerima suapan dari suaminya, masih bergelayut manja sambil menyandarkan kepala di pundak.“Kenapa? Apa ada masalah?” tanya Deon yang aneh karena Ayana sangat manja.“Tidak ada. Aku hanya ingin dekat denganmu,” jawab Ayana lantas membuka mulut lagi ingin meminta suapan.Deon penuh kesabaran menyuapi Ayana, menyenangkan hati sang istri yang sedang dalam mood bagus.“Entah k
“Ada apa?” tanya Azlan karena Hyuna terlihat lemas.“Tidak ada. Mama tumben minta aku pulang cepet, sudah gitu sambil marah-marah,” jawab Hyuna, kemudian memasukkan ponsel ke tas.“Kalau gitu kita pulang saja, takutnya nanti mamamu semakin marah,” ujar Azlan sambil mengajak berdiri Hyuna.Hyuna terlihat belum rela pulang karena masih ingin menghabiskan waktu bersama Azlan. Jarang-jarang mereka punya waktu berdua sebanyak ini karena Azlan terus bekerja.“Ayo.” Azlan sudah berdiri sambil mengulurkan tangan ke Hyuna.Hyuna menggapai tanga Azlan, lantas berdiri untuk meninggalkan tempat itu.“Aku akan mengantarmu ke apartemen dulu,” kata Hyuna saat keduanya sampai di parkiran mobil.“Tidak usah, aku bisa naik bus atau taksi. Kamu pulang saja tidak usah mengantarku,” ujar Azlan sambil membuka pintu untuk Hyuna.“Kamu yakin? Aku bisa mengantarmu sebentar,” balas Hyuna meyakinkan.“Iya yakin,” ucap Azlan, “rumahmu dan apartemen Ayana berlawanan arah, nanti akan makan waktu lama dan mamamu bi
“Sarapan, Lan. Jangan lihat ponsel terus.”Ayana memperhatikan sang adik yang terus memandangi ponsel ketika sedang sarapan.Deon yang duduk di sebelah Ayana pun memandang Azlan yang terlihat gusar.Azlan meletakkan ponsel di meja, kemudian menghela napas kasar.“Ini aneh,” ujar Azlan.“Aneh apanya?” tanya Deon kemudian memasukkan suapan ke mulut.“Sejak dari semalam, pesanku tidak dibaca Hyuna,” jawab Azlan kemudian memandang Deon dan Ayana bergantian.Ayana dan Deon langsung mengerutkan alis mendengar jawaban Azlan.“Apanya yang aneh? Mungkin dia sudah tidur atau memang sedang tidak buka ponsel,” ujar Ayana merasa adiknya yang aneh karena galau pesan chat tidak dibalas sang kekasih.“Ga mungkin, Ay. Hyuna itu tidak pernah sekalipun melewatkan chatku, bahkan dia tidak pernah membuatku menunggu. Dia selalu balas pesanku jika memang belum tidur, kalau sudah tidur, biasanya pagi-pagi sudah balas. Ini aku chat pun tidak dibaca,” balas Azlan menyanggah pendapat sang kakak.Azlan mendadak
Azlan benar-benar pergi ke rumah orang tua Hyuna. Dia baru saja turun dari taksi, kini memandang ke gerbang yang menjulang tinggi dengan rumah mewah yang berdiri di dalamnya.Sesuai ucapan Deon, rumah itu benar-benar tertutup dari gerbang, sehingga Azlan pun pergi mendekat ke pos yang ada di dekat gerbang bagian dalam.“Permisi!” Azlan mencoba memanggil satpam.Seorang pria paruh baya keluar dari pos, menatap Azlan yang ada di luar gerbang.Azlan tersenyum sambil mengangguk, lantas menyampaikan maksud kedatangannya.“Maaf, saya mau ketemu Hyuna. Apa dia ada di rumah?” tanya Azlan sopan.“Memang kamu siapa Non Hyuna?” tanya satpam itu menanggapi ucapan Azlan.Azlan bingung harus menyebut dirinya apa, kalau menyebut kekasih, takutnya jadi masalah sebab Azlan belum tahu masalah yang terjadi di rumah itu.“Bisa katakan, Azlan ingin bertemu.” Azlan hanya bisa menjawab seperti itu.Satpam itu memperhatikan penampilan Azlan, hingga kemudian meminta Azlan untuk menunggu di sana. Satpam itu ti
Shirly menjaga bagian depan sendirian karena Azlan pergi. Kafe tidak terlalu ramai sebelum jam makan siang, sehingga Shirly pun tidak terlalu repot bekerja sendiri.Suara pintu terbuka terdengar, Shirly langsung menyambut ramah orang yang baru saja menginjakkan kaki di kafe.“Selamat datang,” sapa Shirly dengan senyum hangat di wajah.Pria yang baru masuk ternyata Gery. Dia langsung berjalan menghampiri meja Shirly.“Mau pesan apa? Kami ada menu promosi spesial hari ini,” ucap Shirly dengan ramah dan lincah saat melayani pelanggan.“Oh … aku tidak ingin memesan sesuatu, hanya ingin bertemu Deon. Dia ada?” tanya Gery to the point.“Mas Deon? Dengan siapa, ya? Biar aku sampaikan,” kata Shirly.“Bilang saja Gery nyari,” ujar Gery.Shirly mengangguk lantas pergi ke pintu yang terhubung dengan dapur. Dia membuka sedikit pintu dan melongokkan kepala ke dalam.“Mas, ada temannya. Namanya Gery.”Deon sedang membersihkan sayuran saat mendengar suara Shirly, lantas menoleh dan melihat Shirly me
“Ada apa? Kamu sudah bertemu Hyuna? Dia baik-baik saja, kan?”Deon mengajak masuk Azlan ke ruangannya, sebab adik iparnya itu terlihat frustasi. Mengajak duduk berdua, mungkin bisa membuat Azlan mau menceritakan apa yang terjadi.Azlan mengusap kasar wajahnya, hingga mendengkus seperti ada beban berat yang sedang ditanggungnya.Deon pun sabar menunggu sampai Azlan benar-benar siap untuk bercerita.“Aku ke rumah Hyuna dan bertemu ibunya,” ujar Azlan membuka cerita.Deon menunggu sambil mendengarkan cerita Azlan.“Aku tidak bertemu Hyuna. Sepertinya dia baik, hanya saja memang tidak boleh menemuiku,” ujar Azlan lagi.“Bibi melarangmu bertemu dengan Hyuna? Alasannya?” tanya Deon menyelidik.Azlan lagi-lagi mendengkus kasar, hingga kemudian menceritakan semua yang terjadi. Dia sekarang benar-benar harus bagaimana.“Jalan apa pun yang aku ambil, semua sama-sama akan menusukku. Aku harus bagaimana?” tanya Azlan sambil memandang Deon.Deon pun diam sambil berpikir setelah mendengar cerita Az
“Di mana Azlan?” tanya Ayana begitu datang ke kafe.Deon terpaksa menghubungi Ayana karena Azlan terus berada di ruangan Deon tak mau keluar.“Dia di ruanganku,” jawab Deon sambil menunjuk ke pintu yang berada di samping pintu dapur.Ayana berjalan menuju ruangan Deon, lantas masuk dan melihat sang adik berbaring sambil menutup kedua mata menggunakan lengan.Ayana menutup pintu perlahan, kemudian berjalan menghampiri Azlan lantas duduk di sisi adiknya itu.“Lan.” Ayana menyentuh lengan Azlan perlahan agar tidak terkejut.Azlan terkejut hingga membuka mata dengan cepat. Dia melihat Ayana yang sudah memandangnya. Dia buru-buru duduk saat melihat sang kakak di sana.“Kamu ke sini untuk makan siang?” tanya Azlan kemudian mengusap wajahnya kasar.Ayana menatap sang adik, melihat mata Azlan yang merah dan kelopak mata sedikit bengkak.“Apa ada masalah? Kenapa nangis?” tanya Ayana penuh kelembutan.Azlan terkejut mendengar pertanyaan Ayana, hingga kemudian menggelengkan kepala.“Tidak ada, a
“Azlan sudah terlihat lebih baik. Kamu bicara apa saja dengannya tadi siang?” tanya Deon. Malam harinya, Ayana dan Deon berada di kamar berdua. Siang tadi Deon tidak bertanya apa saja yang dikatakan Ayana, sebab ada Azlan. Dia hanya tak ingin kembali membuat sang adik ipar sedih, jika mengingatkan kembali akan permintaan ibu Hyuna. “Hanya membicarakan hal yang terbaik untuknya,” jawab Ayana sambil memulas senyum ke suaminya. Deon mengerutkan alis mendengar jawaban Ayana. Dia pun menunggu sang istri cerita secara menyeluruh. Ayana meraih tangan Deon, lantas melingkarkan di belakang lehernya hingga kini Ayana bersandar pada bahu suaminya itu. “Aku tidak bisa membiarkan senyum Azlan hilang begitu saja. Bagaimana bisa aku tega merebut kebahagiaannya, hanya karena ingin dia berpihak kepadaku. Jadi kuberi dia sebuah keputusan, tapi tanpa merusak hubungan kami,” ujar Ayana menjelaskan. “Apa itu?” tanya Deon penasaran. “Kuminta dia mempertahankan Hyuna,” jawab Ayana. Deon terkejut mend
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida