"Setelah kesakitan yang kau beri, kini hadir sebuah anugerah, tapi memilukan hidupku. Aku harus bagaimana?"•Aruna Ardhani•🌺🌺🌺"Positif," gumam Aruna dengan tangan bergetar.Tubuh gadis itu luruh, bersandar pada dinding kamar mandi. Dunianya seketika runtuh. Saat keadaan mulai membaik sesuai keinginan, kenyataan ini membuat mimpinya benar-benar hancur.Air mata terus membanjiri pipi putihnya. Benda persegi panjang yang digenggamnya dengan jelas menampilkan garis dua. Dia hamil. Ribuan jarum serasa menembus dada, Aruna lemah dan terpuruk. Dia tahu, ini hal yang wajar. Tetapi, semua hasil dari kesalahan.Bukan, ini bukan anak haram. Tetapi, Aruna belum siap menghadapi semuanya. Luka yang diberikan Arsen masih basah dan menganga. Lantas, ada malaikat tak berdosa hadir di antara mereka. Dia harus bagaimana?Malam itu, villa menjadi saksi akan tangisan dan kepiluan Aruna. Dia menunaikkan kewajiban seorang istri dengan paksaan dan tuduhan yang menjatuhkan dirinya. Bukan mereguk manisny
"Ternyata, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bisa menebus semuanya. Aku menemukan jejakmu. Tunggulah dan jangan pergi lagi."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Bandara Internasional Soekarno HattaHiruk pikuk tempat itu masih sama seperti beberapa waktu yang lalu, saat dia pergi untuk meninggalkan kenangan buruk di kota ini. Namun, dia terpaksa harus kembali ke sana karena keadaan.Mata indah Aruna berkaca-kaca. Sesak rasanya harus kembali menyelami kehidupan yang ingin sekali ditinggalkan. Hanya saja, dia tidak tahu harus pergi ke mana selain pulang ke negeri asalnya.Dengan berat hati, Aruna melangkahkah kaki meninggalkan bandara. Dia tidak tahu harus ke mana. Tidak mungkin juga Aruna pulang ke rumah Arya. Dia masih punya muka untuk sekedar bertatap muka. Apalagi keadaannya sekarang tengah berbadan dua. Bisa saja, Arsen sudah menikah dengan Karisa. Jadi, dia tidak sekalipun terlintas kembali ke rumah megah itu.Sebelum memutuskan ke mana dia akan pergi, Aruna memilih mengunjungi makan ke
"Kenapa rindu ini begitu menyiksa? Setelah kutahu jejakmu, dalam sekejap kau menjauh entah ke mana. Kembalilah, Aruna."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺"Jadi ....""Iya, Neng. Waktu Nenek wafat, ada sepasang suami istri yang seumuran sama bapaknya Neng. Mereka bilang mau ambil hak asuh Neng Aruna dan menikahkan dengan anak lelakinya," terang Agus.Agus adalah orang yang sudah lama bekerja dengan ayahnya Aruna. Setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Aruna, Agus pun kembali ke kampung halamannya, yaitu tempat neneknya Aruna tinggal.Bu Ningsih tampak mendengarkan dengan santai. Tetangga Aruna itu memang tak berniat untuk ikut campur masalah pribadi. Tetapi, dia juga ingin agar Aruna bisa paham situasi di tempat baru."Nah, Aruna. Jadi, kalau kamu mau tinggal lagi di sini, kamu lapor saja sama aparat desa. Mereka juga pasti paham kalau kamu sudah menikah. Oh iya, di mana suamimu?" tanya Bu Ningsih membuat dada Aruna tiba-tiba sesak.Gadis itu menatap Bu Ningsih dan Agus bergantian. Enta
"Aku hampir patah arang dengan nasib yang menimpa. Namun, kesadaranku kembali saat tahu ada anugerah di dalam rahim ini. Aku akan bertahan demi kamu, Nak."•Aruna Ardhani•🌺🌺🌺"Hoek!"Suara itu terus saja terdengar dari kamar mandi Aruna. Waktu baru saja menunjukkan pukul 3 dini hari. Beberapa orang terbuai dalam mimpi, tapi kesunyian pagi buta dipecahkan dengan suara muntahan Aruna.Sebenarnya, gadis itu ingin sekali menahan gejolak di perutnya. Namun, semua sia-sia karena rasa pusing yang mendera membuat isi perut Aruna mau tak mau keluar.Setelah dirasa cukup, Aruna kembali berjalan gontai ke kamar. Sunyi. Hanya desiran angin di luar beradu dengan suara jangkrik. Sepi ini membuat dada Aruna sesak, hingga tanpa terasa air mata akhirnya luruh jua."Ayah, Ibu ... Aruna kangen," lirih gadis itu sambil mengigit bibirnya.Pilu rasanya hidup berakhir seperti ini. Cita-cita yang harus terhempas jauh hingga terusir karena anugerah tak diinginkan. Aruna merasa hidupnya berantakan tanpa si
"Rasa rindu ini sudah tak tertahankan hingga membeku. Namun, dalam sekejap cair dan membuncah memenuhi rongga dada. Aku menemukanmu, Aruna."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Aruna berjalan gontai menuju dapur. Badannya begitu lemas, tapi dia juga tak bisa berdiam diri saja. Apalagi perut terus meronta meminta diisi, kasihan juga pada calon anaknya yang pasti kelaparan."Ah, kamu pasti lapar, kan, Sayang?" Aruna mengelus perutnya yang masih rata.Aruna melihat isi kulkas. Tinggal beberapa potong roti dan sayuran. Sepertinya hari ini Aruna harus belanja. Untuk sekarang, dia memilih memakan roti tawar sebagai pengganjal perut. Semoga saja itu cukup untuk menopangnya beraktivitas hari ini.Aruna duduk di depan TV. Meluruskan kaki sambil menyantap roti tawar yang diolesi mertega. Kadang, Aruna menikmati kesendirian ini. Tidak ada yang menuntut dan bebas untuk melakukan apa pun.Saat dia tengah menyantap
"Rasa rindu ini sudah tak tertahankan hingga membeku. Namun, dalam sekejap cair dan membuncah memenuhi rongga dada. Aku menemukanmu, Aruna."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Aruna berjalan gontai menuju dapur. Badannya begitu lemas, tapi dia juga tak bisa berdiam diri saja. Apalagi perut terus meronta meminta diisi, kasihan juga pada calon anaknya yang pasti kelaparan."Ah, kamu pasti lapar, kan, Sayang?" Aruna mengelus perutnya yang masih rata.Aruna melihat isi kulkas. Tinggal beberapa potong roti dan sayuran. Sepertinya hari ini Aruna harus belanja. Untuk sekarang, dia memilih memakan roti tawar sebagai pengganjal perut. Semoga saja itu cukup untuk menopangnya beraktivitas hari ini.Aruna duduk di depan TV. Meluruskan kaki sambil menyantap roti tawar yang diolesi mertega. Kadang, Aruna menikmati kesendirian ini. Tidak ada yang menuntut dan bebas untuk melakukan apa pun.Saat dia tengah menyantap
"Apakah kesempurnaan sebuah rasa harus selalu nyata untuk mata? Jika itu benar, maka cinta sejati hanya bualan belaka."~Aruna Ardhani~***"Lu tidur di sofa!" serunya, saat kaki sang gadis melangkah melewatinya.Untuk sesaat, Aruna diam sejenak, memindai datar wajahnya yang tak bersahabat. Dengan cepat, Aruna menggerakkan kepala ke bawah, tanda setuju atas seruan yang gadis itu yakini sebagai sebuah perintah.Dia mendengkus seraya berkacak pinggang, mungkin kesal atau marah mendapati respon Aruna.Aruna berjalan menuju sofa hitam di samping ranjang pengantin mereka. Ya, ranjang yang penuh taburan bunga di atasnya. Tetapi, itu hanya formalitas pelengkap rentetan rencana konyol atas dasar wasiat sang ayah.Di atas kasur, dia mendelik pada Aruna. Seperti ingin ber
"Ada banyak cara orang bertahan hidup. Tapi, hanya sedikit yang siap dengan keadaan terburuk."~Aruna Ardhani~***Suara jam weker menginterupsi Aruna dari alam mimpi. Dari samping, Arsen berdesis lalu samar terlihat tangannya menutup telinga dengan bantal. Masih terdengar umpatan tertahannya."Berisik, matikan jam wekernya!" Suaranya teredam di balik gumpalan bantal.Aruna menghela napas panjang, mencoba untuk bisa bersabar menghadapi laki-laki yang bahkan tak menghargainya. Aruna segera menekan bagian atas jam weker agar berhenti berbunyi.Pukul 03.00 WIB, gadis itu sengaja memasang jam weker di saat sepertiga malam. Bermunajat pada Sang Ilahi, membisikkan doa di bumi. Berharap langit ikut mengamini, hingga ijabah adalah bukti k
"Rasa rindu ini sudah tak tertahankan hingga membeku. Namun, dalam sekejap cair dan membuncah memenuhi rongga dada. Aku menemukanmu, Aruna."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Aruna berjalan gontai menuju dapur. Badannya begitu lemas, tapi dia juga tak bisa berdiam diri saja. Apalagi perut terus meronta meminta diisi, kasihan juga pada calon anaknya yang pasti kelaparan."Ah, kamu pasti lapar, kan, Sayang?" Aruna mengelus perutnya yang masih rata.Aruna melihat isi kulkas. Tinggal beberapa potong roti dan sayuran. Sepertinya hari ini Aruna harus belanja. Untuk sekarang, dia memilih memakan roti tawar sebagai pengganjal perut. Semoga saja itu cukup untuk menopangnya beraktivitas hari ini.Aruna duduk di depan TV. Meluruskan kaki sambil menyantap roti tawar yang diolesi mertega. Kadang, Aruna menikmati kesendirian ini. Tidak ada yang menuntut dan bebas untuk melakukan apa pun.Saat dia tengah menyantap
"Rasa rindu ini sudah tak tertahankan hingga membeku. Namun, dalam sekejap cair dan membuncah memenuhi rongga dada. Aku menemukanmu, Aruna."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Aruna berjalan gontai menuju dapur. Badannya begitu lemas, tapi dia juga tak bisa berdiam diri saja. Apalagi perut terus meronta meminta diisi, kasihan juga pada calon anaknya yang pasti kelaparan."Ah, kamu pasti lapar, kan, Sayang?" Aruna mengelus perutnya yang masih rata.Aruna melihat isi kulkas. Tinggal beberapa potong roti dan sayuran. Sepertinya hari ini Aruna harus belanja. Untuk sekarang, dia memilih memakan roti tawar sebagai pengganjal perut. Semoga saja itu cukup untuk menopangnya beraktivitas hari ini.Aruna duduk di depan TV. Meluruskan kaki sambil menyantap roti tawar yang diolesi mertega. Kadang, Aruna menikmati kesendirian ini. Tidak ada yang menuntut dan bebas untuk melakukan apa pun.Saat dia tengah menyantap
"Aku hampir patah arang dengan nasib yang menimpa. Namun, kesadaranku kembali saat tahu ada anugerah di dalam rahim ini. Aku akan bertahan demi kamu, Nak."•Aruna Ardhani•🌺🌺🌺"Hoek!"Suara itu terus saja terdengar dari kamar mandi Aruna. Waktu baru saja menunjukkan pukul 3 dini hari. Beberapa orang terbuai dalam mimpi, tapi kesunyian pagi buta dipecahkan dengan suara muntahan Aruna.Sebenarnya, gadis itu ingin sekali menahan gejolak di perutnya. Namun, semua sia-sia karena rasa pusing yang mendera membuat isi perut Aruna mau tak mau keluar.Setelah dirasa cukup, Aruna kembali berjalan gontai ke kamar. Sunyi. Hanya desiran angin di luar beradu dengan suara jangkrik. Sepi ini membuat dada Aruna sesak, hingga tanpa terasa air mata akhirnya luruh jua."Ayah, Ibu ... Aruna kangen," lirih gadis itu sambil mengigit bibirnya.Pilu rasanya hidup berakhir seperti ini. Cita-cita yang harus terhempas jauh hingga terusir karena anugerah tak diinginkan. Aruna merasa hidupnya berantakan tanpa si
"Kenapa rindu ini begitu menyiksa? Setelah kutahu jejakmu, dalam sekejap kau menjauh entah ke mana. Kembalilah, Aruna."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺"Jadi ....""Iya, Neng. Waktu Nenek wafat, ada sepasang suami istri yang seumuran sama bapaknya Neng. Mereka bilang mau ambil hak asuh Neng Aruna dan menikahkan dengan anak lelakinya," terang Agus.Agus adalah orang yang sudah lama bekerja dengan ayahnya Aruna. Setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Aruna, Agus pun kembali ke kampung halamannya, yaitu tempat neneknya Aruna tinggal.Bu Ningsih tampak mendengarkan dengan santai. Tetangga Aruna itu memang tak berniat untuk ikut campur masalah pribadi. Tetapi, dia juga ingin agar Aruna bisa paham situasi di tempat baru."Nah, Aruna. Jadi, kalau kamu mau tinggal lagi di sini, kamu lapor saja sama aparat desa. Mereka juga pasti paham kalau kamu sudah menikah. Oh iya, di mana suamimu?" tanya Bu Ningsih membuat dada Aruna tiba-tiba sesak.Gadis itu menatap Bu Ningsih dan Agus bergantian. Enta
"Ternyata, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bisa menebus semuanya. Aku menemukan jejakmu. Tunggulah dan jangan pergi lagi."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Bandara Internasional Soekarno HattaHiruk pikuk tempat itu masih sama seperti beberapa waktu yang lalu, saat dia pergi untuk meninggalkan kenangan buruk di kota ini. Namun, dia terpaksa harus kembali ke sana karena keadaan.Mata indah Aruna berkaca-kaca. Sesak rasanya harus kembali menyelami kehidupan yang ingin sekali ditinggalkan. Hanya saja, dia tidak tahu harus pergi ke mana selain pulang ke negeri asalnya.Dengan berat hati, Aruna melangkahkah kaki meninggalkan bandara. Dia tidak tahu harus ke mana. Tidak mungkin juga Aruna pulang ke rumah Arya. Dia masih punya muka untuk sekedar bertatap muka. Apalagi keadaannya sekarang tengah berbadan dua. Bisa saja, Arsen sudah menikah dengan Karisa. Jadi, dia tidak sekalipun terlintas kembali ke rumah megah itu.Sebelum memutuskan ke mana dia akan pergi, Aruna memilih mengunjungi makan ke
"Setelah kesakitan yang kau beri, kini hadir sebuah anugerah, tapi memilukan hidupku. Aku harus bagaimana?"•Aruna Ardhani•🌺🌺🌺"Positif," gumam Aruna dengan tangan bergetar.Tubuh gadis itu luruh, bersandar pada dinding kamar mandi. Dunianya seketika runtuh. Saat keadaan mulai membaik sesuai keinginan, kenyataan ini membuat mimpinya benar-benar hancur.Air mata terus membanjiri pipi putihnya. Benda persegi panjang yang digenggamnya dengan jelas menampilkan garis dua. Dia hamil. Ribuan jarum serasa menembus dada, Aruna lemah dan terpuruk. Dia tahu, ini hal yang wajar. Tetapi, semua hasil dari kesalahan.Bukan, ini bukan anak haram. Tetapi, Aruna belum siap menghadapi semuanya. Luka yang diberikan Arsen masih basah dan menganga. Lantas, ada malaikat tak berdosa hadir di antara mereka. Dia harus bagaimana?Malam itu, villa menjadi saksi akan tangisan dan kepiluan Aruna. Dia menunaikkan kewajiban seorang istri dengan paksaan dan tuduhan yang menjatuhkan dirinya. Bukan mereguk manisny
"Akan aku lakukan apa pun asalkan bisa menemukanmu. Hukum aku seberat apa pun, tapi jangan menyiksaku dengan cara menghilang. Aku tak sanggup."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺"Ini." Ningrum memberikan sebuah tas berisi berkas penting almarhum anak sulungnya.Arsen menatap bingung sambil sesekali melirik ibunya."Ini apa, Ma?""Aset atas nama kakakmu," jawab Ningrum membuat Arsen tersentak."Aset? Maksud Mama?"Ningrum berjalan menuju kasur dan duduk dengan lemah. Matanya yang berair tak dapat dibendung lagi."Papamu sengaja memberikan aset itu agar kakakmu bisa belajar berbisnis. Mungkin, Karisa sengaja mendekati kakakmu untuk ini. Jatmiko benar-benar menginginkan kehacuran keluarga kita, Nak. Termasuk menguras harta melalui kalian. Namun, kakakmu meninggal. Kami ... awalnya akan membalik nama atas namamu. Tetapi, setelah dipikir, kami takut kejadian sama yang menimpa kakakmu, menimpa pula pada kamu. Jadi, kami simpan ini baik-baik sampai sekarang."Arsen mendengarkan penjelasan Ningrum semb
"Kalau kutahu pengorbananmu sebesar itu, tak kan terbesit menyakiti walau itu dalam mimpi. Maafkan aku."•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Bangi, Selangor, Malaysia.Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)Mata Aruna menatap takjup pada pemandangan di balik gerbang kampus ternama di negeri jiran. Ya, tempat barunya untuk memulai hidup baru.Pemandangan yang indah dari balik gerbang dengan gedung-gedung tinggi membuatnya terus berucap takjup. Jangan lupakan hamparan hijau di sekelilingnya, memanjakan mata dan menyegarkan pikiran.Untuk sesaat Aruna melupakan masalahnya. Dia seperti menemukan tempat persembunyian yang aman dan nyaman. Tidak ada yang tahu jika dia berapa di sini, karena Aruna mendapatkan kesempatan ini pun tanpa diduga.Siapa sangka, keisengannya mengukuti tes beasiswa yang disediakan oleh lembaga pemerintah mengantarkannya ke tempat asing itu. Persis seminggu sebelum ujian nasional, Aruna mengikutinya secara online.Mungkin ini yang dinamakan takdir. Ketidaksengajaannya membuat dia
"Kenapa rasa itu hadir setelah kau menghilang? Lalu, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkanmu kembali?"•Arsen Ganendra•🌺🌺🌺Ningrum bergetar membaca surat dari Aruna. Bersamaan dengan itu luruh pula air mata. Dadanya terasa sesak, sampai tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun."Kapan Aruna pergi, Mbok?" tanya Arya sembari mengusap pundak istrinya."Setengah jam yang lalu, Tuan," jawab Mbok Nah dengan wajah sedih.Arya mengembuskan napas dalam, lalu menuntun istrinya untuk duduk. Pasti Ningrum syok mendengar kabar ini."Lalu, Arsen?"Mbok Nah tampak bingung untuk menjawab, terlihat dari raut wajahnya. "Anu, Tuan. Itu, si Mbok juga gak tahu. Soalnya, pas si Mbok tanya keberadaan Den Arsen, Non Aruna hanya diam."Ningrum langsung mendongak mendengar keterangan ARTnya. Firasatnya buruk."Ini pasti ulah Arsen, Pa. Mana mungkin Aruna pulang ke sini tanpa Arsen kalau tidak ada masalah di antara mereka," tebak Ningrum, membuat Arya berpikir sejenak."Bukannya mereka liburan 3 hari,