“Kamu emang enggak latihan?” Suara gadis itu terdengar sedikit berteriak dari balik pagar sebuah bangunan berwarna abu-abu, dia terburu-buru keluar dengan tangan penuh jinjingan. Hari ini rambut hitam sebahunya dibiarkan tergerai, dia memakai kaos hitam lengan pendek dipadu dengan celana jeans semata kaki serta sepatu kets putih.
“Bawa apa aja ini?” Javis mengecek bawaan kekasihnya, dia membawa dua tas belanja yang isinya lumayan berat. Dia terkadang tidak habis pikir dengan gadis dengan lengan kecil itu, terkadang kedua lengan itu bisa mengangkat sesuatu yang begitu berat.
“Itu semua peralatan mandi ibu, biasa bulanan..” Jawabnya dengan senyum penuh. Javis mengangguk, kemudian mereka berjalan sedikit menuju mobil. Javis membuka bagasi mobilnya, menyimpan tas-tas itu ke dalamnya dan siap pergi menuju tempat yang setiap sebulan sekali selalu Tara datangi.
Seperti yang sudah-sudah, gadis itu selalu terlihat senang dan bersemanga
Gadis dengan rambut ikal panjang yang digelung masuk, memakai kaos berwarna biru dongker dipadu dengan rok jeans selutut itu mengamati sekelilingnya, mata mengikuti setiap gerak orang-orang di depannya. Mulutnya sibuk mengunyah coklat bar yang kini hampir meleleh ditangannya yang penuh dengan cat warna-warni, sepatu kets putihnya terkena lumpur di beberapa bagian bercampur dengan cat warna-warni.Mahika, namanya. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan, Mahimo, Ma-chan, Ikaika atau paling normalnya orang-orang memanggilnya dengan sebutan Mahika saja. Usianya tahun ini memasuki angka 29. Usia yang begitu rentan memiliki ketakutan akan masa depan, yang memiliki krisis karena sebentar lagi usianya memasuki angka 30. Kepala tiga pertama.Dia menaikkan kacamata bingkai besar yang tengah dia pakai dengan ujung jarinya. Masih sibuk mengamati orang-orang yang berlalu lalang di taman kota. Ini adalah hobi utamanya, duduk di sebuah taman, menikmati kudapan apapun yang dia miliki
Diraya berjalan masuk ke dalam rumah dengan derap langkah cepat dan terburu-buru, dari wajahnya bisa dilihat dia sedang marah. Wajah memerah, kedua alis tebal itu bertaut dan giginya bergemeretak. Dia membanting pintu dan semua pelayan dirumah melesak masuk mengikutinya. Langkahnya besar-besar, menaiki anak tangga satu demi satu.“SIALAN!” Dia memekik, membuka pintu kamar dan mendapati istrinya, Yara tengah terbaring di tempat tidur sambil membuka salah satu aplikasi di ponsel. Yara terkejut, menoleh dan menatap wajah marah itu.“Ada apa sih?” Pekiknya, tidak kalah kencang.“Brengsek! Lo nelpon Geya semalam?!” Kata Diraya, mengacungkan ponselnya ke depan wajah Yara yang sekarang berubah ekspresi, kaget dan takut disaat bersamaan. Dia berusaha mengalihkan pandangannya dari sejarah ponsel yang memperlihatkan dia menelpon nomor itu semalam.Goblok banget Yar, bukannya dihapus. Batinnya. Semalam karena terlalu terb
Halo semua, maaf karena saya begitu lama hiatus disini. Ada pekerjaan offline yang sedang saya lakukan beberapa bulan terakhir, saya begitu sulit untuk menyeimbangkan waktu menulis dan juga fokus pada pekerjaan saya sehingga saya harus merelakan untuk melepaskan menulis sementara waktu dan kini pekerjaan itu sudah selesai, saya akan kembali bulan depan di cerita ini, saya harap kalian semua masih mau membacanya! Mohon maaf jika cerita ini begitu lama alurnya, saya ingin membuat setiap karakter punya cerita masing-masing meskipun nantinya saya akan membuat cerita dengan judul berbeda untuk mereka. Saya harap kalian bisa terus mengikuti ke 7 orang ini dan juga mengikuti Alba! Terima kasih banyak, love!
Geya membuka matanya, langit-langit kamar berwarna putih terlihat begitu menyilaukan di hadapannya. Sayup-sayup suara mesin vakum terdengar, dia melirik kearah nakas di samping tempat tidurnya, air putih telah terisi, dan semangkuk bubur yang masih terlihat kepulan asapnya berada disana bersama dengan obat yang begitu familiar untuknya. Dia bangun, dan duduk di tepian kasur. Kepalanya sakit. Dia menenggak habis segelas air putih dan mengisinya dengan yang baru, kemudian menyentuh mangkok putih itu, dia harus makan. Menyendokkan bubur ke dalam mulutnya setelah bangun pagi bukanlah ide yang bagus, perutnya terasa tidak nyaman tapi dia tetap melanjutkannya. Di suapan ketiga, dia berhenti. Setidaknya, lambungnya sudah terisi sesuatu. Dia terdiam, kembali meminum air di dalam gelas. Dalam diam, dia bisa mendengar apa yang terjadi diluar kamar, suara mbak Cicih dan bu Ria yang tengah berbincang mengenai menu makanan yang akan dimasak. Terdengar bu Ria kemudian berpamitan untuk ke pasar mem
Janu menjemput putrinya di sore hari, setelah dia mampir ke tempat Yuwa dan mengobrol sebentar dengan pria itu kemudian dia bergegas pergi menuju agensi, menjalani rapat yang sesak dan serius, membicarakan banyak hal mengenai pembuatan lagu untuk album salah satu artis di agensi. Kali ini, Janu mendapatkan giliran mengisi dua lagu utama, maka dari itu dia diwajibkan mengikut rapat ini. Agensinya memang tidak pernah main-main masalah memilih lagu ataupun pembuatannya apalagi jika si artis adalah artis lama yang sudah memiliki banyak penggemar. Agensi mereka selalu mengutamakan kepuasan para penggemar. Obrolan dengan Yuwa masih tersisa di benak Janu termasuk pertanyaan laki-laki itu mengenai perasaannya terhadap Geya. Dia tidak bisa memastikan, masih terlalu dini, dia juga tidak tahu. Tidak mengerti. Keduanya belum pernah mengobrol dengan intim, membicarakan masalah pribadi misalnya. Geya masih menutupi banyak hal, obrolan mereka hanya berputar dari hobi, atau membicarakan rumah dan t
Pagi ini dimulai seperti pagi biasanya, Alba turun dari tempat tidur dan mendapati daddy-nya sudah berada di meja makan dengan tablet ditangan yang dia pakai untuk membaca koran dan tentu saja segelas kopi diatas meja. Alba mendekat kearah sang ayah dan pria itu seperti biasa memeluk dan menciumnya, mengucapkan selamat pagi pada putri kecilnya sambil mengelus rambut panjang berwarna hitamnya. Mbak Ayu kemudian mengajak gadis itu untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Hari ini hari jumat, yang berarti hari terakhir Alba sekolah dan memasuki akhir pekan. Biasanya, salah satu pamannya membawanya untuk berkeliling, entah pergi ke taman, atau sekedar menemani paman-pamannya berbelanja. Terkadang belanja bahan makanan, terkadang juga belanja jarum untuk keperluan Magani, atau juga belanja gunting atau pot baru untuk toko bunga Yuwa. Belanja barang-barang berbahaya bersama para paman memang mengasyikkan! Kali ini, Alba menebak-nebak apakah besok dia akan diajak paman Javis, paman Rainer
Malam ini rumah Janu cukup ramai karena kelima temannya datang berurutan, awalnya Yuwa dilanjut ke Magani dan seterusnya. Mereka datang dengan membawa banyak barang dan makanan, kebanyakan semuanya untuk Alba. Alba begitu senang melihat kedatangan mereka karena sudah cukup lama semenjak mereka semua bertemu, bocah itu begitu girang sampai-sampai sebelumnya ketika Janu mengajaknya tidur dia tidak mau. Javis mengajaknya ke kamar dan akhirnya bocah itu tidur dalam 10 menit, sudah mengantuk tapi memaksakan untuk terjaga hanya karena semua pamannya ada disini. Kecuali, Theo.Benar, mereka berkumpul disini juga karena Theo.Sudah hampir seminggu setelah mere
Ayas melirik kearah spion, Sadam keluar dari dalam gedung agensi sambil menghindari cahaya matahari yang terik. Pria itu sedikit berlari memasuki Van yang terpakir tidak jauh dari sana. Ayas sudah menunggu selama 2 jam dan dia sama sekali tidak berani menghubungi artisnya untuk sekedar bertanya bagaimana reaksi bosnya mengenai keinginan hiatus pemuda itu. Sadam membuka pintu Van dan masuk, melempar dirinya ke kursi yang empuk dan AC yang dipasang dingin oleh Ayas. “Gila! Diluar panas banget!” Keluhnya. Ayas menoleh, tidak bertanya tapi Sadam tahu betul managernya itu ingin tahu dengan detil bagaimana tanggapan para ketua agensi mengenai keputusannya. “Ya, gue diomelin abis-abisan Yas.” Kata Sadam. Ayas menghela napas, sudah bisa menebak hal itu, tentu saja, Sadam yang menyumbang banyak sekali pendapatan untuk agensi, tidak mungkin para petinggi mengiyakan hal itu seperti membalikkan telapak tangan. Akan ada konsekuensi besar jika Sadam harus berhenti untuk sementara. “Tapi diizin
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Alba membuka matanya, sejak semalam dia sudah begitu bersemangat sampai-sampai ayahnya memintanya untuk tidur dengan tenang atau hari ini dia akan bangun kesiangan, kenyataannya dia tidak bangun kesiangan sedikitpun. Malahan dia bangun terlalu pagi, membangunkan sang ayah yang masih terkantuk-kantuk, dia mengoceh selama sejam sebelum akhirnya tertidur kembali. Janu melirik kearah jam dan waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dia membuka pintu kamar perlahan dan mendapati keenam temannya sudah tersenyum lebar menyambutnya. Janu menutup pintu kamar selembut mungkin agar tidak membangunkan putri kecilnya yang bersemangat, dia mendekat kearah teman-temannya yang sudah merampungkan dekorasi hampir delapan puluh persen. Mereka berencana merayakan ulang tahun outdoor karena memang teras belakang Janu cukup besar untuk ukuran rumah orang Indonesia yang berada di tengah kota, jadi mereka bisa mendekorasi balon, tulisan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pesta ulang tahun Alba. “Nu, ini hadiah
Janu memasukkan mobil ke dalam garasi, dia mengecek Alba yang baru saja menyelesaikan nyanyiannya di kursi belakang. Anak itu begitu ceria sejak di jemput dari taman kanak-kanak, Janu turun dari mobil, membuka pintu belakang dan melepaskan sabuk pengaman bocah itu. Alba merentangkan tangannya minta di gendong, Janu tersenyum dan menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah si kecil Alba masih bernyanyi riang, mbak Ayu menyambut Alba dan membantunya melepaskan sepatu serta baju seragamnya. “Non seneng banget hari ini..” Kata mbak Ayu sambil melepaskan rok sekolah Alba, bocah itu menatapnya, matanya berbinar-binar. “Aba mau ulang tahun!” Pekiknya lantang, Janu terkekeh mendengarnya menatap si kecil dari arah dapur. Tiga hari sudah berlalu semenjak dia dan keenam temannya bertemu di tempat Yuwa. Mereka sudah merencanakan bagaimana acara itu akan digelar, Magani sudah membuatkan rundown acara yang akan berlangsung selama satu jam saja, karena ketika Janu berk
Janu memakirkan mobilnya dengan hati-hati, dia baru saja sampai di depan toko Yuwa. Iya, baru saja dia mengantar Alba ke sekolah dan kini dia sudah berada di toko Yuwa, jam masih menunjukkan pukul 10 ketika dia sampai, melepas sabuk pengaman dia tidak lupa membawa paper bag berisi sarapannya bersama Yuwa. Dia menyebrang dan mendapati Yuwa bersama karyawannya tengah mengeluarkan beberapa bunga display ke depan toko. “Lah udah datang aja Nu?” Yuwa terkejut, memang benar teman-temannya berjanji untuk bertemu di tempatnya tapi tidak sepagi ini seingatnya. Jadi dia terkejut melihat pria dengan celana jeans gombrang dan kaos belel itu ada di depan tokonya. “Jam 12 sama jam 10 apa bedanya sih kak...” Ujar Janu santai, masuk ke dalam toko Yuwa dan pergi ke belakang, mencari-cari mangkok dan kemudian duduk di salah satu bangku kayu. “Kak aku gak beliin karyawanmu makan, tapi ini aku beliin buat kamu!” Pekiknya dari belakang. “Udah makan dia!” Jawab Yuwa lagi berteriak dari depan, masih sibu