Terima kasih atas vote-nya sobat readers. Ditunggu vote selanjutnya karena cerita ini masih bersambung lho. Mampir juga ke Istri Sebatas Status ya, tapi via web. Love y'all!
Lelaki yang serius dalam menjalin hubungan tidak akan ragu-ragu untuk memperkenalkan wanita yang dicintainya kepada keluarganya.***Mempertimbangkan bahwa dia tidak boleh terlihat lemah ataupun terintimidasi oleh tingkah laku dan perkataan Ansel, Qeiza mengangkat dagu. Dia harus tetap terlihat kuat dan terhormat.“Anda bertamu di waktu yang tidak tepat, Tuan.” Qeiza menatap intens pada Ansel, menyembunyikan kemarahannya di balik sorot mata dingin.Ansel melirik arloji di pergelangan tangannya. “Belum terlalu malam,” ujarnya. “Aku ke sini untuk menjemputmu. Aku ingin memperkenalkanmu pada ibuku.”“Apa?! Anda pasti sudah gila,” sergah Qeiza. “Kita tidak punya hubungan semacam itu hingga Anda perlu memperkenalkanku kepada ibu Anda.”“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi,” sahut Ansel. “Aku tahu apa yang kuinginkan.”“Tapi bukan berarti Anda bisa bertindak sesuka hati,” tegas Qeiza. “Aku manusia, bukan barang yang bisa Anda bawa kapan pun Anda mau.”Manik mata Ansel berkilat tidak sen
Berpikir bahwa tidak ada salahnya dia mengenali wajah mantan mertuanya, Qeiza akhirnya memutuskan untuk menerima undangan Ansel.“Oke. Aku akan menyempatkan waktu untuk menemui ibumu, tapi tidak sekarang,” kata Qeiza. “Ini sudah terlalu malam bagiku untuk pergi keluar.”'Yes!' Hati Ansel bersorak riang. Perjuangannya satu langkah lebih maju. “Baiklah. Bagaimana kalau besok pagi?”Qeiza berpikir sejenak. Besok adalah hari Sabtu. Waktunya bersantai dan memanjakan diri sendiri. Akan tetapi, tidak ada salahnya bila dia mengorbankan sedikit waktu berharganya itu untuk menyenangkan orang lain.“Boleh.” Qeiza menyahut enggan. Tampak sekali kalau dia terpaksa memenuhi permintaan Ansel.Merasa senang lantaran niat hatinya tercapai, Ansel tak menggubris keengganan Qeiza. Dilepasnya cengkeraman di pundak Qeiza.“Aku akan menjemputmu sebelum jam delapan.”“Aku bisa pergi sendiri,” tolak Qeiza. “Cukup beritahu aku alamatnya!”Wajah tampan Ansel berubah dingin dan tegang. Dia jengkel kenapa Qeiza su
Ansel masih memaku tatapannya pada sosok wanita berhijab yang duduk di seberangnya. Kalau saja dia tidak mencermati warna bola mata wanita tersebut, pasti dia akan mengira bahwa wanita tersebut benar-benar Ae Ri. Gadis impian yang akan dijemputnya pagi ini.“Bagaimana? Qeiza cantik, kan?” tanya Alina. Bibirnya menyunggingkan senyuman menggoda pada putra semata wayangnya itu.“Mama ketemu dia di mana?” Ansel mengabaikan pertanyaan mamanya dan malah berbalik menyerang mamanya dengan pertanyaannya sendiri. “Mama yakin wanita asing ini Qeiza?”Meskipun Ansel belum pernah sekali pun bertemu dengan mantan istrinya itu, entah kenapa hatinya meragukan identitas wanita tersebut. Rasanya sedikit aneh ketika tahu-tahu wanita itu muncul di rumahnya, padahal dialah yang telah mengajukan gugatan cerai serta mengembalikan semua barang pemberiannya. Apa sekarang dia menyesal?“Ansel! Tidak baik berprasangka buruk pada orang lain, apalagi pada mantan istrimu sendiri.” Alina tampak tidak senang dengan s
Mata Abbas berkilat licik. “Kalau wanita itu benar-benar berhasil menikah dengan Ansel, kita akan punya ATM baru.”“Eh? Memangnya Qeiza dan Ansel benar-benar sudah bercerai?”Abbas menjawab pertanyaan Amira dengan anggukan kepala. “Aku sudah minta seseorang untuk menyelidikinya, ternyata anak bodoh itu tidak berbohong.”“Sayang sekali kita kecolongan,” sesal Amira. “Kamu sih, setelah hari pernikahan itu tidak pernah lagi memantau kehidupan mereka.”Mulut Amira mengerucut. Menyayangkan sikap tak acuh suaminya terhadap rumah tangga keponakannya.“Siapa yang menyangka kalau dia akan melakukan hal sebodoh itu setelah empat tahun menikah,” bantah Abbas. “Lagian, kamu juga kan yang melarang aku untuk sering-sering menghubunginya?”“Kok malah menyalahkan aku?”“Kenyataannya memang begitu.” Abbas terus membela diri. “Kamu takut kalau Qeiza nanti menginginkan sebagian saham perusahaan yang diwariskan ayah kepadaku.”“Memangnya kamu mau menyerahkan sebagian saham perusahaan yang sudah susah paya
Dering bel pintu di apartemen Qeiza meraung seperti bayi yang kelaparan. Berulang kali Ansel menyingkap ujung lengan bajunya untuk meninjau perputaran jarum pada arlojinya. Sudah lebih dari sepuluh menit dia berdiri di sana.“Ke mana dia?” Ansel bertanya-tanya. Jika Qeiza ada di dalam, seharusnya wanita itu sudah membukakan pintu untuknya. “Dia pasti marah.”Teringat permintaan Qeiza yang tidak dipenuhinya serta keterlambatannya untuk menjemput Qeiza, Ansel mengutuk dirinya sendiri.“Sial! Gara-gara wanita tak tahu malu itu rencanaku jadi berantakan.”Ansel menjambak rambutnya dengan frustrasi sembari berteriak kesal. Dia sangat memimpikan bisa memperkenalkan Qeiza kepada mamanya. Akan tetapi, lihat apa yang dia dapat sekarang? Hanya sebuah kegagalan yang menyakitkan.Tiga puluh menit menunggu tanpa ada tanda-tanda bahwa Qeiza akan membukakan pintu untuknya, Ansel melangkah gontai meninggalkan tempat tersebut. Semua salahnya. Dia tidak berhak untuk marah pada Qeiza, apalagi sampai memb
“Kamu ini! Jelas-jelas tadi aku dengar kamu seperti mengatakan sesuatu,” sungut Alina.“Sudah deh, Ma. Aku benar-benar capek,” pungkas Ansel. “Yang Mama butuh sekarang cuma perhiasan itu, kan? Silakan temui Xander. Kurasa dia belum menjualnya.”Tanpa memberi kesempatan pada Alina untuk menyanggah, Ansel bergegas mengayun langkah panjang menuju kamarnya.Alina hanya bisa geleng-geleng kepala. “Dasar anak keras kepala!” gerutunya.Namun, bibirnya segera melengkung ke atas begitu tatapannya tertuju pada Kesya. Dia berjalan turun dan segera menggamit lengan Kesya. “Ayo, ikut aku!”“Ke mana, Tante?”“Sudah, enggak usah banyak tanya. Ikut saja!” Alina tersenyum pada Kesya. “Nanti kamu akan tahu. Kamu pasti akan menyukainya.”Alina sepertinya sangat senang membuat Kesya penasaran. Ekspresi malu-malu Kesya terlihat sangat menggemaskan. Dia heran kenapa anaknya bisa tidak tertarik pada gadis secantik Kesya. Dari sikap dan penampilannya, tampaknya Kesya gadis baik-baik.Alina mengetuk pintu kama
Terkadang Tuhan menghapus rencana yang kita tulis karena Dia akan menggantinya dengan kenyataan yang lebih baik.***“Ya Tuhan! Oppa!” Qeiza memekik kaget. “Apa yang terjadi?”Memasuki rumah Dae Hyun dengan menggunakan kunci cadangan yang diberikan Dae Hyun kepadanya, Qeiza dikagetkan oleh kondisi Dae Hyun yang tak sadarkan diri di atas lantai kamar tidurnya. Keringat membanjiri sekujur tubuh Dae Hyun. Membuat pakaiannya basah kuyup.Qeiza meraba kening Dae Hyun, terasa panas sekali. Bibir Dae Hyun terlihat membiru dan pecah-pecah seperti seseorang yang sedang mengalami dehidrasi. Khawatir dengan kondisi kesehatan Dae Hyun yang buruk, Qeiza berjuang untuk memindahkan lelaki tersebut ke atas ranjang.Dia mengganti kemeja yang dikenakan Dae Hyun, lalu mengompresnya dengan air hangat. Konon menurut teori dari artikel yang pernah dibacanya, ketika kulit mendapat rangsangan suhu panas, maka otak akan memberi perintah kepada jaringan saraf pusat tubuh untuk menurunkan suhu. Dengan begitu dih
Layung senja telah memudar dan berganti kelam. Dae Hyun masih tergolek dengan kedua mata tertutup rapat. Qeiza terus menemaninya, duduk di atas kursi sambil tangannya sesekali mengompres lagi kening Dae Hyun. Suhu tubuhnya sudah mulai turun, tetapi keringat masih membanjiri pelipis dan leher Dae Hyun.Qeiza membiarkan tirai jendela kamar Dae Hyun tetap terbuka. Memberi kesempatan kepada rembulan untuk menampakkan rupa sekaligus menebar kehangatan pendarnya ke setiap penjuru kamar Dae Hyun.“Kenapa dia belum juga sadar?” Qeiza membatin. Tatapannya beralih dari wajah Dae Hyun ke tabung infus yang tergantung. Tubuh Dae Hyun telah menyerap lebih dari setengah cairan tersebut.Qeiza tak menyangka kalau efek alergi Dae Hyun bisa separah itu. Sepengetahuannya, alergi hanya menyebabkan gatal, ruam merah pada kulit, atau pembengkakan pada bagian tubuh tertentu. Pasti tubuh Dae Hyun sangat sensitif sampai dia kehilangan kesadaran dalam waktu lama.Dia merasa iba pada Dae Hyun. Tak disangka lelak
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal