Jangan salahkan waktu bila kebersamaan mengantarmu pada sebuah rasa baru.***“Kau menaruh sesuatu di dalam minumannya?”“Enggak.”Kedua alis Dae Hyun semakin bertaut. Minuman tersebut belum kedaluwarsa, tetapi kenapa wajah Qeiza begitu pias ketika dia meminumnya?“S–sebenarnya … aku sudah mencicipinya,” aku Qeiza.Nada bicara Qeiza terdengar ragu dan malu. Sudut matanya curi-curi pandang pada Dae Hyun. Menilik bagaimana reaksi kakak angkatnya tersebut setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya. Apakah dia akan merasa jijik, lalu berlari ke toilet untuk membongkar habis isi perutnya?“Benarkah?” Mata Dae Hyun sedikit membesar dan berkilat aneh.“Maaf, Oppa. Aku berniat untuk memberitahumu, tapi kau sudah terlanjur meminumnya.”“Lupakan saja! Toh semua sudah terjadi.”“Hah!”Qeiza tercengang. Dia tidak menduga Dae Hyun akan bersikap sesantai itu. Dia pikir Dae Hyun akan marah besar atau melempar botol tersebut ke mukanya.“Eit! Tunggu!”Qeiza berniat merampas botol di tangan Dae Hyun sa
Qeiza masih setia pada kebisuan. Dia hanya melirik sekilas pada Dae Hyun, lalu kembali membuang muka. Dia belum bisa mengenyahkan rasa malu yang menelan kepercayaan dirinya untuk bersikap wajar terhadap Dae Hyun.Hanya gara-gara sebotol minuman, keakraban mereka mendadak berubah kaku. Jantung Qeiza juga kehilangan kendali atas detak normalnya. Ternyata pengaruh pikiran benar-benar dahsyat.Menyadari Qeiza masih belum dapat melupakan insiden botol minuman tersebut, Dae Hyun tak lagi berusaha mengajak Qeiza berbicara. Dia tidak mau suasana semakin canggung. Perlu waktu bagi mereka berdua untuk berdamai dengan ketidaksengajaan yang membuat pipi merona merah.Turun dari mobil, Qeiza tertegun selama beberapa waktu. Dia baru sadar kalau ternyata Dae Hyun telah membawanya ke Menara Eiffel. Asyik berkutat mengatasi kerikuhannya, Qeiza seperti melupakan dunia sekitar.“Katanya mau makan malam? Kok malah ke sini?” protes Qeiza.Dae Hyun mengacak gemas puncak kepala Qeiza yang berbalut hijab. “In
Sebuah keputusan tanpa pemikiran yang matang hanya akan mendatangkan penyesalan.***“Mama serius mau tinggal di sini?” Ansel tak percaya Alina akan memutuskan untuk tetap tinggal bersamanya.“Ini rumahku juga. Apa ada yang salah dengan keputusanku?”“Lalu, bagaimana dengan perusahaan yang selama ini Mama kelola?”“Aku sudah tua dan lelah. Aku telah menyerahkan posisiku pada seseorang yang sangat kompeten dan dapat dipercaya.”Alina mengganti channel TV yang ditontonnya. Berkali-kali dia beralih dari angka yang satu ke nomor lainnya untuk menemukan acara yang menarik.Ansel melempar pandang pada Xander. Xander hanya mengedikkan bahu. Lebih baik dia tidak berkomentar daripada nanti tercipta ketegangan yang akan memperkeruh suasana. Xander dapat membaca rencana tersembunyi yang melatarbelakangi alasan Alina untuk bertahan di sisi Ansel. Wanita itu tentunya ingin mengawasi setiap gerak-gerik Ansel.“Terserah Mama saja!” Ansel pun pasrah.Tak ada gunanya bersikeras melarang Alina untuk ti
Sadar telah salah bicara, cepat-cepat Ansel meralat perkataannya. “Maksudku tidak seperti itu, Ma,” jelasnya. “Aku tidak hanya berkutat dengan tumpukan dokumen, tapi juga bertemu dengan relasi wanita. A—”“Jadi, maksudmu, kamu sudah menemukan wanita lain?” potong Alina.Ansel terpojok. Mamanya telah menebak dengan tepat isi hati dan pikirannya. “Percaya padaku, Ma,” bujuk Ansel. “Wanita ini benar-benar luar biasa!”Alina bangkit dari duduknya. Memandang sinis pada Ansel. “Tak peduli sehebat apa pun dia, menantuku hanya Qeiza.”Ansel hanya mengepalkan kedua tangannya erat-erat setelah mendengar ultimatum Alina. Ansel tak habis pikir seistimewa apa Qeiza sampai-sampai kedua orang tuanya begitu keukeh menjodohkan dirinya dengan gadis itu.Xander menelengkan kepala dan mencebik tak acuh ketika Ansel menodongnya dengan pandangan meminta penjelasan.“Xander!”“Aku angkat tangan,” kata Xander. “Semua data yang aku dapatkan tentang Qeiza telah kuserahkan padamu. Bukan tanggung jawabku lagi kal
Setiap hari, alam selalu menantimu dengan penuh kejutan selama kau tetap optimis menjalani kehidupan.***Qeiza bangun pagi dengan lingkaran hitam menyamai gelapnya mata panda. Sekujur tubuhnya terasa pegal dan dia tidak bergairah. Entah jam berapa dia akhirnya mengalah pada rasa kantuk.Berpikir kesegaran air dapat mengembalikan vitalitas tubuhnya, Qeiza tak ingin membuang waktu dengan tetap bermalas-malasan di atas pembaringan. Dia pun melesat ke kamar mandi. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam memanjakan diri, Qeiza keluar dengan aroma bunga dan zaitun yang menguar memenuhi seisi kamar tidurnya.Qeiza merasa tenaganya sedikit bertambah. Dia tersenyum puas memandangi pantulan dirinya di dalam cermin setelah menyelesaikan dandanan minimalisnya.“Oke. Mulai hari dengan senyuman dan semangat pagi,” oceh Qeiza pada diri sendiri. “Jangan biarkan kejadian buruk kemarin memengaruhi kebahagiaanmu hari ini!”Senyuman lebar membingkai wajah cantik Qeiza. Dia selalu punya cara untuk men
Jawaban Chin Hwa sudah cukup bagi Qeiza untuk menebak siapa pengirim sebenarnya dari bunga itu. Entah kenapa dia agak kecewa mendapati kenyataan bukan Chin Hwa yang telah memberinya kejutan.'Ya Tuhan! Apa yang kuharapkan?' batin Qeiza. 'Hubungan kami baru saja dimulai. Bukankah tidak baik kalau bergerak terlalu cepat?'Qeiza geleng-geleng kepala, lalu tersenyum geli. Menertawakan pikiran konyolnya sendiri. Apa dia begitu bersemangat untuk balas dendam pada Ansel sampai-sampai dia berpikir bahwa setiap inci belahan bumi yang diinjaknya akan serta merta terbalut dalam warna merah muda?“Kau kecewa?” selidik Chin Hwa.Tiba-tiba tebersit sesal dalam hatinya. Kenapa dia tidak terpikir untuk menghadiahi Qeiza seikat bunga, atau paling tidak, sekuntum mawar merah sudah cukup untuk mewakili perasaannya. Dia benar-benar buta mengenai pengalaman memanjakan seorang wanita. Seharusnya dia berguru pada Mbah G****e.“Kecewa?” Qeiza tertawa canggung. “Tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya tidak menyan
Sulit sekali menemukan seseorang yang dapat menjadi teman sejati, tetapi musuh sering kali muncul tanpa perlu dicari.***Dari meja kerjanya yang hanya terhalang dinding kaca, Chin Hwa menerbitkan senyuman dengan ujung alis yang terangkat tinggi. Ekspresi muka Qeiza yang mengerjapkan mata dengan cepat berulang kali sambil terus menatap komputer terlihat sangat menggemaskan dalam pandangan Chin Hwa.“Sepertinya seseorang baru saja memenangkan lotre.” Tahu-tahu Chin Hwa sudah berdiri tepat di depan Qeiza, memamerkan senyuman jahilnya. “Perlu dirayakan?”“Kau membuatku semakin gugup,” ketus Qeiza.“Kau belum membukanya?”Qeiza menggeleng. “Aku sedang menyiapkan mental untuk menghadapi kekalahan.”“Ternyata bukan hanya seleramu terhadap bunga yang unik,” komentar Chin Hwa. “Perlu kubantu?”“Tidak. Terima kasih,” tolak Qeiza. “Aku masih bisa membaca.”Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan, Qeiza akhirnya membuka kotak masuk email-nya.“Ya Tuhan!” Wajah
Debaran hati Chin Hwa kebat-kebit menyaksikan reaksi tubuh Qeiza atas kelakar usilnya. Dia tidak bermaksud mempermalukan Qeiza. Menurutnya Qeiza sudah cukup dewasa untuk dapat menyikapi dengan santai guyonan ringan bernada dewasa. Tak disangka Qeiza malah masih sangat polos.Chin Hwa menahan pergelangan tangan Qeiza tatkala gadis itu akan menarik lepas sentuhannya.“Jangan gila!” sentak Qeiza, berjuang membebaskan tangannya dari cengkeraman Chin Hwa.Chin Hwa menatap nanar pada Qeiza. Sinar matanya lembut dan hangat, tetapi penuh dengan hasrat seorang pria.Qeiza menjadi gugup. Dia takut, membayangkan apa yang akan dilakukan Chin Hwa selanjutnya.“Maaf!”Chin Hwa melepaskan cekalannya. Tatapan gusar Qeiza melahirkan rasa bersalah dalam hatinya. Mereka baru saja berada di garis start, tidak sepatutnya dia membuat Qeiza ketakutan karena aksi nekatnya.“Aku akan segera kembali,” ujar Chin Hwa, mengelus kepala Qeiza. Sebelumnya dia berniat untuk mengecup telapak tangan Qeiza. Reaksi jari-
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal