Debaran hati Chin Hwa kebat-kebit menyaksikan reaksi tubuh Qeiza atas kelakar usilnya. Dia tidak bermaksud mempermalukan Qeiza. Menurutnya Qeiza sudah cukup dewasa untuk dapat menyikapi dengan santai guyonan ringan bernada dewasa. Tak disangka Qeiza malah masih sangat polos.Chin Hwa menahan pergelangan tangan Qeiza tatkala gadis itu akan menarik lepas sentuhannya.“Jangan gila!” sentak Qeiza, berjuang membebaskan tangannya dari cengkeraman Chin Hwa.Chin Hwa menatap nanar pada Qeiza. Sinar matanya lembut dan hangat, tetapi penuh dengan hasrat seorang pria.Qeiza menjadi gugup. Dia takut, membayangkan apa yang akan dilakukan Chin Hwa selanjutnya.“Maaf!”Chin Hwa melepaskan cekalannya. Tatapan gusar Qeiza melahirkan rasa bersalah dalam hatinya. Mereka baru saja berada di garis start, tidak sepatutnya dia membuat Qeiza ketakutan karena aksi nekatnya.“Aku akan segera kembali,” ujar Chin Hwa, mengelus kepala Qeiza. Sebelumnya dia berniat untuk mengecup telapak tangan Qeiza. Reaksi jari-
Mata dan telinga dapat menipu karena sering kali apa yang kita lihat dan dengar bukanlah kenyataan yang sebenarnya.***Aleta merasa panas hati lantaran Qeiza tak menggubris ancamannya. Gadis itu bahkan berani merobos pertahanannya dan membuatnya terjajar mundur sehingga menyebabkan punggungnya membentur dinding.Tak terima diperlakukan seperti itu, Aleta memburu Qeiza dan berhasil menarik tangannya dengan kasar.“Heh! Gadis tak tahu diri!” hardiknya. “Kau pikir kau siapa berani-beraninya menyerangku?!”“Lepaskan tangan Anda, Nona!” perintah Qeiza. “Selagi aku memintanya dengan baik-baik.”Qeiza benar-benar jengkel terhadap Aleta. Wanita itu datang-datang mengibarkan bendera perang, padahal mereka tidak saling kenal satu sama lain. Apa otak Aleta juga bermasalah, sama seperti Ansel?“Jangan mimpi!” Aleta memperkuat cengkeramannya.“Ada apa ini ribut-ribut?”Seorang lelaki usia akhir tiga puluhan keluar dari elevator dan segera menghampiri mereka. Qeiza segera mengenali lelaki itu sebag
Freud menghela napas panjang. Sangat melelahkan berdebat dengan wanita berhati batu seperti Aleta. Sejak awal dia tidak pernah suka pada kepribadian Aleta. Wanita itu memang cerdas dan sangat berbakat, tetapi juga sedikit culas.“Anda boleh saja tidak percaya pada Nona Kim, tapi wanita itu benar-benar asisten pribadi Tuan Song.”“Apa?!”Aleta tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Penjelasan Freud seperti dentuman meriam di telinganya. Dia sudah lama menawarkan diri untuk menduduki posisi tersebut, tetapi Chin Hwa tidak pernah memberinya kesempatan. Kenapa tiba-tiba saat dia cuti Chin Hwa malah menerima orang lain?“Wanita itu pasti sudah memainkan trik yang sangat licik!” Aleta membatin geram. Hatinya semakin menghitam oleh rasa iri dan dengki.Hari ini Aleta hanya berencana untuk menyapa Chin Hwa dan memberitahu kepulangannya yang lebih cepat dari jadwal seharusnya. Kalau begini keadaannya, dia berharap hari segera berganti dan Chin Hwa lekas kembali. Dia tidak akan membi
Tidak usah terlalu bersedih bila seseorang mengabaikanmu. Bersabarlah! Bisa jadi dia akan membutuhkanmu suatu hari nanti.***Lirik lagu My Love yang disenandungkan Westlife mendayu-dayu dan menyusup lembut ke dalam gendang telinga Qeiza. Lazuardi memayungi bumi dengan warna biru lembutnya. Semburat warna jingga tirai senja belum berkibar di ufuk Barat.Kesyahduan kidung romantis dibalut kelembutan warna biru bumantara membawa angan Qeiza berkelana menyusuri taman rasa yang menjadi dambaan kaum muda. Taman di mana bunga cinta dan rindu saling berpadu dalam kalbu.Qeiza bukan perempuan sentimental, tetapi kejadian-kejadian buruk yang ditemuinya sepanjang hari membuatnya perlu menenangkan diri. Jalan terbaik adalah dengan mendengarkan lagu-lagu penggugah rasa sembari memanjakan mata dengan keindahan dunia.Puncak Menara Eiffel seakan memanggil jiwa Qeiza untuk segera melabuhkan decak kekaguman kepadanya. Qeiza berdiri di sudut lapangan dengan rerumputan hijau yang membentang bak karpet b
Qeiza menunggu apa yang akan dikatakan Abbas. Dia terlalu malas untuk berbasa-basi walaupun hanya sekadar bertanya tentang kabar Abbas ataupun keluarganya. Batinnya tidak merasa terikat pada satu pun dari mereka.Bagi Qeiza, Abbas dan keluarganya hanyalah orang asing. Lelaki itu bukan seorang paman yang bertanggung jawab.“Aku butuh bantuanmu, Qeiza,” ujar Abbas. “Perusahaan sedang dalam masalah. Bisakah kau memberi pinjaman lima ratus juta?”Qeiza menyeringai sinis. 'Lelucon macam apa ini?' pikirnya. Tak ada kabar setelah menikahkannya dengan Ansel, tiba-tiba sekarang lelaki itu muncul hendak meminta bantuan pinjaman uang.“Maaf, aku tidak bisa,” tolak Qeiza mentah-mentah tanpa merasa simpati sama sekali. Kesulitan keuangan perusahaan Abbas tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia tidak punya uang sebanyak itu. Kalaupun ada, dia juga tidak berminat untuk membantu Abbas.“Qeiza, bagaimana bisa kau menolak permintaanku tanpa mempertimbangkannya lebih dulu?”“Aku tidak punya uang seban
Melarikan diri bukan jalan terbaik untuk menghindari seseorang yang telah membuat kita terluka. Hadapi saja dan berdamailah dengan masa lalu.***“Anda sendirian, Nona?”Qeiza mendengar seseorang menyapanya disertai derap langkah kaki yang kian mendekat. Qeiza pun memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Dia agak terkesiap saat berhasil mengenali wajah sang penyapa di bawah temaram pendar rembulan.“Tuan Xander? Aku tidak menyangka akan bertemu Anda di sini.” Qeiza berkata datar.“Ah, ternyata penglihatanku tidak salah,” sahut Xander. “Aku sudah lama melihat Anda dari kejauhan, tapi aku sedikit ragu apakah itu benar-benar Anda, Nona Kim.” Xander tersenyum ramah.“Sepertinya Anda berbakat menjadi mata-mata.”“Astaga! Tidak begitu juga, Nona,” sangkal Xander. “Aku hanya takut salah orang, jadi aku harus meyakinkan diriku sendiri sebelum mendekati Anda.”“Whatever! Sepertinya Anda juga sendirian.” Qeiza kembali memutar tubuhnya dan memusatkan perhatiannya pada pesona malam di tepian Sunga
Xander terus bergumul dengan serangkaian pertanyaan yang tak berkesudahan. Mau bertanya langsung rasanya tidak mungkin. Wanita itu pasti tidak akan mengakuinya kalaupun dia benar-benar Qeiza.Qeiza mencoba tersenyum wajar. “Wajahku memang agak pasaran,” selorohnya.“Tapi, kamu dan Qeiza seperti pinang dibelah dua.” Xander terus memancing.“Pernah dengar istilah doppelganger?” tanya Qeiza. “Konon katanya setiap orang di muka bumi ini memiliki empat kembaran.”“Kamu percaya?”“Kenapa tidak? Faktanya memang sudah ada orang yang bertemu langsung dengan kembaran mereka yang tinggal di belahan dunia lainnya.”“Mungkin.” Xander menjawab sambil mengedikkan bahu, skeptis. “Tapi, aku merasa kemiripanmu dengannya terlalu banyak.”“Oh ya? Aku meragukannya,” sangkal Qeiza. “Bagaimana mungkin kau mengetahui begitu banyak kesamaan antara aku dan Qe–Qei—”“Qeiza,” potong Xander.“Ya, Qeiza, padahal kita hanya bertemu beberapa kali.”“Entahlah. Aku hanya merasa sangat yakin.”“Cih! Hati-hati dengan per
Lelaki yang serius dalam menjalin hubungan tidak akan ragu-ragu untuk memperkenalkan wanita yang dicintainya kepada keluarganya.***Mempertimbangkan bahwa dia tidak boleh terlihat lemah ataupun terintimidasi oleh tingkah laku dan perkataan Ansel, Qeiza mengangkat dagu. Dia harus tetap terlihat kuat dan terhormat.“Anda bertamu di waktu yang tidak tepat, Tuan.” Qeiza menatap intens pada Ansel, menyembunyikan kemarahannya di balik sorot mata dingin.Ansel melirik arloji di pergelangan tangannya. “Belum terlalu malam,” ujarnya. “Aku ke sini untuk menjemputmu. Aku ingin memperkenalkanmu pada ibuku.”“Apa?! Anda pasti sudah gila,” sergah Qeiza. “Kita tidak punya hubungan semacam itu hingga Anda perlu memperkenalkanku kepada ibu Anda.”“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi,” sahut Ansel. “Aku tahu apa yang kuinginkan.”“Tapi bukan berarti Anda bisa bertindak sesuka hati,” tegas Qeiza. “Aku manusia, bukan barang yang bisa Anda bawa kapan pun Anda mau.”Manik mata Ansel berkilat tidak sen
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal