Gimana perasaan sobat readers saat membaca bab ini? Yuk curcol di kolom review :)
Qeiza menunggu apa yang akan dikatakan Abbas. Dia terlalu malas untuk berbasa-basi walaupun hanya sekadar bertanya tentang kabar Abbas ataupun keluarganya. Batinnya tidak merasa terikat pada satu pun dari mereka.Bagi Qeiza, Abbas dan keluarganya hanyalah orang asing. Lelaki itu bukan seorang paman yang bertanggung jawab.“Aku butuh bantuanmu, Qeiza,” ujar Abbas. “Perusahaan sedang dalam masalah. Bisakah kau memberi pinjaman lima ratus juta?”Qeiza menyeringai sinis. 'Lelucon macam apa ini?' pikirnya. Tak ada kabar setelah menikahkannya dengan Ansel, tiba-tiba sekarang lelaki itu muncul hendak meminta bantuan pinjaman uang.“Maaf, aku tidak bisa,” tolak Qeiza mentah-mentah tanpa merasa simpati sama sekali. Kesulitan keuangan perusahaan Abbas tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia tidak punya uang sebanyak itu. Kalaupun ada, dia juga tidak berminat untuk membantu Abbas.“Qeiza, bagaimana bisa kau menolak permintaanku tanpa mempertimbangkannya lebih dulu?”“Aku tidak punya uang seban
Melarikan diri bukan jalan terbaik untuk menghindari seseorang yang telah membuat kita terluka. Hadapi saja dan berdamailah dengan masa lalu.***“Anda sendirian, Nona?”Qeiza mendengar seseorang menyapanya disertai derap langkah kaki yang kian mendekat. Qeiza pun memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Dia agak terkesiap saat berhasil mengenali wajah sang penyapa di bawah temaram pendar rembulan.“Tuan Xander? Aku tidak menyangka akan bertemu Anda di sini.” Qeiza berkata datar.“Ah, ternyata penglihatanku tidak salah,” sahut Xander. “Aku sudah lama melihat Anda dari kejauhan, tapi aku sedikit ragu apakah itu benar-benar Anda, Nona Kim.” Xander tersenyum ramah.“Sepertinya Anda berbakat menjadi mata-mata.”“Astaga! Tidak begitu juga, Nona,” sangkal Xander. “Aku hanya takut salah orang, jadi aku harus meyakinkan diriku sendiri sebelum mendekati Anda.”“Whatever! Sepertinya Anda juga sendirian.” Qeiza kembali memutar tubuhnya dan memusatkan perhatiannya pada pesona malam di tepian Sunga
Xander terus bergumul dengan serangkaian pertanyaan yang tak berkesudahan. Mau bertanya langsung rasanya tidak mungkin. Wanita itu pasti tidak akan mengakuinya kalaupun dia benar-benar Qeiza.Qeiza mencoba tersenyum wajar. “Wajahku memang agak pasaran,” selorohnya.“Tapi, kamu dan Qeiza seperti pinang dibelah dua.” Xander terus memancing.“Pernah dengar istilah doppelganger?” tanya Qeiza. “Konon katanya setiap orang di muka bumi ini memiliki empat kembaran.”“Kamu percaya?”“Kenapa tidak? Faktanya memang sudah ada orang yang bertemu langsung dengan kembaran mereka yang tinggal di belahan dunia lainnya.”“Mungkin.” Xander menjawab sambil mengedikkan bahu, skeptis. “Tapi, aku merasa kemiripanmu dengannya terlalu banyak.”“Oh ya? Aku meragukannya,” sangkal Qeiza. “Bagaimana mungkin kau mengetahui begitu banyak kesamaan antara aku dan Qe–Qei—”“Qeiza,” potong Xander.“Ya, Qeiza, padahal kita hanya bertemu beberapa kali.”“Entahlah. Aku hanya merasa sangat yakin.”“Cih! Hati-hati dengan per
Lelaki yang serius dalam menjalin hubungan tidak akan ragu-ragu untuk memperkenalkan wanita yang dicintainya kepada keluarganya.***Mempertimbangkan bahwa dia tidak boleh terlihat lemah ataupun terintimidasi oleh tingkah laku dan perkataan Ansel, Qeiza mengangkat dagu. Dia harus tetap terlihat kuat dan terhormat.“Anda bertamu di waktu yang tidak tepat, Tuan.” Qeiza menatap intens pada Ansel, menyembunyikan kemarahannya di balik sorot mata dingin.Ansel melirik arloji di pergelangan tangannya. “Belum terlalu malam,” ujarnya. “Aku ke sini untuk menjemputmu. Aku ingin memperkenalkanmu pada ibuku.”“Apa?! Anda pasti sudah gila,” sergah Qeiza. “Kita tidak punya hubungan semacam itu hingga Anda perlu memperkenalkanku kepada ibu Anda.”“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi,” sahut Ansel. “Aku tahu apa yang kuinginkan.”“Tapi bukan berarti Anda bisa bertindak sesuka hati,” tegas Qeiza. “Aku manusia, bukan barang yang bisa Anda bawa kapan pun Anda mau.”Manik mata Ansel berkilat tidak sen
Berpikir bahwa tidak ada salahnya dia mengenali wajah mantan mertuanya, Qeiza akhirnya memutuskan untuk menerima undangan Ansel.“Oke. Aku akan menyempatkan waktu untuk menemui ibumu, tapi tidak sekarang,” kata Qeiza. “Ini sudah terlalu malam bagiku untuk pergi keluar.”'Yes!' Hati Ansel bersorak riang. Perjuangannya satu langkah lebih maju. “Baiklah. Bagaimana kalau besok pagi?”Qeiza berpikir sejenak. Besok adalah hari Sabtu. Waktunya bersantai dan memanjakan diri sendiri. Akan tetapi, tidak ada salahnya bila dia mengorbankan sedikit waktu berharganya itu untuk menyenangkan orang lain.“Boleh.” Qeiza menyahut enggan. Tampak sekali kalau dia terpaksa memenuhi permintaan Ansel.Merasa senang lantaran niat hatinya tercapai, Ansel tak menggubris keengganan Qeiza. Dilepasnya cengkeraman di pundak Qeiza.“Aku akan menjemputmu sebelum jam delapan.”“Aku bisa pergi sendiri,” tolak Qeiza. “Cukup beritahu aku alamatnya!”Wajah tampan Ansel berubah dingin dan tegang. Dia jengkel kenapa Qeiza su
Ansel masih memaku tatapannya pada sosok wanita berhijab yang duduk di seberangnya. Kalau saja dia tidak mencermati warna bola mata wanita tersebut, pasti dia akan mengira bahwa wanita tersebut benar-benar Ae Ri. Gadis impian yang akan dijemputnya pagi ini.“Bagaimana? Qeiza cantik, kan?” tanya Alina. Bibirnya menyunggingkan senyuman menggoda pada putra semata wayangnya itu.“Mama ketemu dia di mana?” Ansel mengabaikan pertanyaan mamanya dan malah berbalik menyerang mamanya dengan pertanyaannya sendiri. “Mama yakin wanita asing ini Qeiza?”Meskipun Ansel belum pernah sekali pun bertemu dengan mantan istrinya itu, entah kenapa hatinya meragukan identitas wanita tersebut. Rasanya sedikit aneh ketika tahu-tahu wanita itu muncul di rumahnya, padahal dialah yang telah mengajukan gugatan cerai serta mengembalikan semua barang pemberiannya. Apa sekarang dia menyesal?“Ansel! Tidak baik berprasangka buruk pada orang lain, apalagi pada mantan istrimu sendiri.” Alina tampak tidak senang dengan s
Mata Abbas berkilat licik. “Kalau wanita itu benar-benar berhasil menikah dengan Ansel, kita akan punya ATM baru.”“Eh? Memangnya Qeiza dan Ansel benar-benar sudah bercerai?”Abbas menjawab pertanyaan Amira dengan anggukan kepala. “Aku sudah minta seseorang untuk menyelidikinya, ternyata anak bodoh itu tidak berbohong.”“Sayang sekali kita kecolongan,” sesal Amira. “Kamu sih, setelah hari pernikahan itu tidak pernah lagi memantau kehidupan mereka.”Mulut Amira mengerucut. Menyayangkan sikap tak acuh suaminya terhadap rumah tangga keponakannya.“Siapa yang menyangka kalau dia akan melakukan hal sebodoh itu setelah empat tahun menikah,” bantah Abbas. “Lagian, kamu juga kan yang melarang aku untuk sering-sering menghubunginya?”“Kok malah menyalahkan aku?”“Kenyataannya memang begitu.” Abbas terus membela diri. “Kamu takut kalau Qeiza nanti menginginkan sebagian saham perusahaan yang diwariskan ayah kepadaku.”“Memangnya kamu mau menyerahkan sebagian saham perusahaan yang sudah susah paya
Dering bel pintu di apartemen Qeiza meraung seperti bayi yang kelaparan. Berulang kali Ansel menyingkap ujung lengan bajunya untuk meninjau perputaran jarum pada arlojinya. Sudah lebih dari sepuluh menit dia berdiri di sana.“Ke mana dia?” Ansel bertanya-tanya. Jika Qeiza ada di dalam, seharusnya wanita itu sudah membukakan pintu untuknya. “Dia pasti marah.”Teringat permintaan Qeiza yang tidak dipenuhinya serta keterlambatannya untuk menjemput Qeiza, Ansel mengutuk dirinya sendiri.“Sial! Gara-gara wanita tak tahu malu itu rencanaku jadi berantakan.”Ansel menjambak rambutnya dengan frustrasi sembari berteriak kesal. Dia sangat memimpikan bisa memperkenalkan Qeiza kepada mamanya. Akan tetapi, lihat apa yang dia dapat sekarang? Hanya sebuah kegagalan yang menyakitkan.Tiga puluh menit menunggu tanpa ada tanda-tanda bahwa Qeiza akan membukakan pintu untuknya, Ansel melangkah gontai meninggalkan tempat tersebut. Semua salahnya. Dia tidak berhak untuk marah pada Qeiza, apalagi sampai memb