Qeiza masih setia pada kebisuan. Dia hanya melirik sekilas pada Dae Hyun, lalu kembali membuang muka. Dia belum bisa mengenyahkan rasa malu yang menelan kepercayaan dirinya untuk bersikap wajar terhadap Dae Hyun.Hanya gara-gara sebotol minuman, keakraban mereka mendadak berubah kaku. Jantung Qeiza juga kehilangan kendali atas detak normalnya. Ternyata pengaruh pikiran benar-benar dahsyat.Menyadari Qeiza masih belum dapat melupakan insiden botol minuman tersebut, Dae Hyun tak lagi berusaha mengajak Qeiza berbicara. Dia tidak mau suasana semakin canggung. Perlu waktu bagi mereka berdua untuk berdamai dengan ketidaksengajaan yang membuat pipi merona merah.Turun dari mobil, Qeiza tertegun selama beberapa waktu. Dia baru sadar kalau ternyata Dae Hyun telah membawanya ke Menara Eiffel. Asyik berkutat mengatasi kerikuhannya, Qeiza seperti melupakan dunia sekitar.“Katanya mau makan malam? Kok malah ke sini?” protes Qeiza.Dae Hyun mengacak gemas puncak kepala Qeiza yang berbalut hijab. “In
Sebuah keputusan tanpa pemikiran yang matang hanya akan mendatangkan penyesalan.***“Mama serius mau tinggal di sini?” Ansel tak percaya Alina akan memutuskan untuk tetap tinggal bersamanya.“Ini rumahku juga. Apa ada yang salah dengan keputusanku?”“Lalu, bagaimana dengan perusahaan yang selama ini Mama kelola?”“Aku sudah tua dan lelah. Aku telah menyerahkan posisiku pada seseorang yang sangat kompeten dan dapat dipercaya.”Alina mengganti channel TV yang ditontonnya. Berkali-kali dia beralih dari angka yang satu ke nomor lainnya untuk menemukan acara yang menarik.Ansel melempar pandang pada Xander. Xander hanya mengedikkan bahu. Lebih baik dia tidak berkomentar daripada nanti tercipta ketegangan yang akan memperkeruh suasana. Xander dapat membaca rencana tersembunyi yang melatarbelakangi alasan Alina untuk bertahan di sisi Ansel. Wanita itu tentunya ingin mengawasi setiap gerak-gerik Ansel.“Terserah Mama saja!” Ansel pun pasrah.Tak ada gunanya bersikeras melarang Alina untuk ti
Sadar telah salah bicara, cepat-cepat Ansel meralat perkataannya. “Maksudku tidak seperti itu, Ma,” jelasnya. “Aku tidak hanya berkutat dengan tumpukan dokumen, tapi juga bertemu dengan relasi wanita. A—”“Jadi, maksudmu, kamu sudah menemukan wanita lain?” potong Alina.Ansel terpojok. Mamanya telah menebak dengan tepat isi hati dan pikirannya. “Percaya padaku, Ma,” bujuk Ansel. “Wanita ini benar-benar luar biasa!”Alina bangkit dari duduknya. Memandang sinis pada Ansel. “Tak peduli sehebat apa pun dia, menantuku hanya Qeiza.”Ansel hanya mengepalkan kedua tangannya erat-erat setelah mendengar ultimatum Alina. Ansel tak habis pikir seistimewa apa Qeiza sampai-sampai kedua orang tuanya begitu keukeh menjodohkan dirinya dengan gadis itu.Xander menelengkan kepala dan mencebik tak acuh ketika Ansel menodongnya dengan pandangan meminta penjelasan.“Xander!”“Aku angkat tangan,” kata Xander. “Semua data yang aku dapatkan tentang Qeiza telah kuserahkan padamu. Bukan tanggung jawabku lagi kal
Setiap hari, alam selalu menantimu dengan penuh kejutan selama kau tetap optimis menjalani kehidupan.***Qeiza bangun pagi dengan lingkaran hitam menyamai gelapnya mata panda. Sekujur tubuhnya terasa pegal dan dia tidak bergairah. Entah jam berapa dia akhirnya mengalah pada rasa kantuk.Berpikir kesegaran air dapat mengembalikan vitalitas tubuhnya, Qeiza tak ingin membuang waktu dengan tetap bermalas-malasan di atas pembaringan. Dia pun melesat ke kamar mandi. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam memanjakan diri, Qeiza keluar dengan aroma bunga dan zaitun yang menguar memenuhi seisi kamar tidurnya.Qeiza merasa tenaganya sedikit bertambah. Dia tersenyum puas memandangi pantulan dirinya di dalam cermin setelah menyelesaikan dandanan minimalisnya.“Oke. Mulai hari dengan senyuman dan semangat pagi,” oceh Qeiza pada diri sendiri. “Jangan biarkan kejadian buruk kemarin memengaruhi kebahagiaanmu hari ini!”Senyuman lebar membingkai wajah cantik Qeiza. Dia selalu punya cara untuk men
Jawaban Chin Hwa sudah cukup bagi Qeiza untuk menebak siapa pengirim sebenarnya dari bunga itu. Entah kenapa dia agak kecewa mendapati kenyataan bukan Chin Hwa yang telah memberinya kejutan.'Ya Tuhan! Apa yang kuharapkan?' batin Qeiza. 'Hubungan kami baru saja dimulai. Bukankah tidak baik kalau bergerak terlalu cepat?'Qeiza geleng-geleng kepala, lalu tersenyum geli. Menertawakan pikiran konyolnya sendiri. Apa dia begitu bersemangat untuk balas dendam pada Ansel sampai-sampai dia berpikir bahwa setiap inci belahan bumi yang diinjaknya akan serta merta terbalut dalam warna merah muda?“Kau kecewa?” selidik Chin Hwa.Tiba-tiba tebersit sesal dalam hatinya. Kenapa dia tidak terpikir untuk menghadiahi Qeiza seikat bunga, atau paling tidak, sekuntum mawar merah sudah cukup untuk mewakili perasaannya. Dia benar-benar buta mengenai pengalaman memanjakan seorang wanita. Seharusnya dia berguru pada Mbah G****e.“Kecewa?” Qeiza tertawa canggung. “Tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya tidak menyan
Sulit sekali menemukan seseorang yang dapat menjadi teman sejati, tetapi musuh sering kali muncul tanpa perlu dicari.***Dari meja kerjanya yang hanya terhalang dinding kaca, Chin Hwa menerbitkan senyuman dengan ujung alis yang terangkat tinggi. Ekspresi muka Qeiza yang mengerjapkan mata dengan cepat berulang kali sambil terus menatap komputer terlihat sangat menggemaskan dalam pandangan Chin Hwa.“Sepertinya seseorang baru saja memenangkan lotre.” Tahu-tahu Chin Hwa sudah berdiri tepat di depan Qeiza, memamerkan senyuman jahilnya. “Perlu dirayakan?”“Kau membuatku semakin gugup,” ketus Qeiza.“Kau belum membukanya?”Qeiza menggeleng. “Aku sedang menyiapkan mental untuk menghadapi kekalahan.”“Ternyata bukan hanya seleramu terhadap bunga yang unik,” komentar Chin Hwa. “Perlu kubantu?”“Tidak. Terima kasih,” tolak Qeiza. “Aku masih bisa membaca.”Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan, Qeiza akhirnya membuka kotak masuk email-nya.“Ya Tuhan!” Wajah
Debaran hati Chin Hwa kebat-kebit menyaksikan reaksi tubuh Qeiza atas kelakar usilnya. Dia tidak bermaksud mempermalukan Qeiza. Menurutnya Qeiza sudah cukup dewasa untuk dapat menyikapi dengan santai guyonan ringan bernada dewasa. Tak disangka Qeiza malah masih sangat polos.Chin Hwa menahan pergelangan tangan Qeiza tatkala gadis itu akan menarik lepas sentuhannya.“Jangan gila!” sentak Qeiza, berjuang membebaskan tangannya dari cengkeraman Chin Hwa.Chin Hwa menatap nanar pada Qeiza. Sinar matanya lembut dan hangat, tetapi penuh dengan hasrat seorang pria.Qeiza menjadi gugup. Dia takut, membayangkan apa yang akan dilakukan Chin Hwa selanjutnya.“Maaf!”Chin Hwa melepaskan cekalannya. Tatapan gusar Qeiza melahirkan rasa bersalah dalam hatinya. Mereka baru saja berada di garis start, tidak sepatutnya dia membuat Qeiza ketakutan karena aksi nekatnya.“Aku akan segera kembali,” ujar Chin Hwa, mengelus kepala Qeiza. Sebelumnya dia berniat untuk mengecup telapak tangan Qeiza. Reaksi jari-
Mata dan telinga dapat menipu karena sering kali apa yang kita lihat dan dengar bukanlah kenyataan yang sebenarnya.***Aleta merasa panas hati lantaran Qeiza tak menggubris ancamannya. Gadis itu bahkan berani merobos pertahanannya dan membuatnya terjajar mundur sehingga menyebabkan punggungnya membentur dinding.Tak terima diperlakukan seperti itu, Aleta memburu Qeiza dan berhasil menarik tangannya dengan kasar.“Heh! Gadis tak tahu diri!” hardiknya. “Kau pikir kau siapa berani-beraninya menyerangku?!”“Lepaskan tangan Anda, Nona!” perintah Qeiza. “Selagi aku memintanya dengan baik-baik.”Qeiza benar-benar jengkel terhadap Aleta. Wanita itu datang-datang mengibarkan bendera perang, padahal mereka tidak saling kenal satu sama lain. Apa otak Aleta juga bermasalah, sama seperti Ansel?“Jangan mimpi!” Aleta memperkuat cengkeramannya.“Ada apa ini ribut-ribut?”Seorang lelaki usia akhir tiga puluhan keluar dari elevator dan segera menghampiri mereka. Qeiza segera mengenali lelaki itu sebag