Septian haidar, Fuckboy SMA Langit yang paling terkenal sampai sekolah tetangga yang bahkan isinya cowok-cowok. Tapi, satu hal yang berbeda dari Fuckboy satu ini. Kalau cowok-cowok di luar sana yang mengaku Fuckboy biasanya mendekati banyak sekali wanita hanya untuk hiburan, main-main, atau mengisi waktu senggang. Tidak dengan Septian, dia mendapatkan gelar Fuckboy karena kesetiaannya kepada satu gadis. Namun, perempuan itu tidak kunjung menerimanya membuat dia beralih dari satu cewek ke cewek lain.
Adriana melewati pagar bagian dalam sekolah dengan wajah yang sangat lesu, tatapan matanya kosong membuatnya sesekali tertabrak karena tidak hati-hati. Septian sedang asik berbincang dengan anak-anak gengnya, sesekali juga menggoda gadis-gadis yang menurut mereka sangat murah untuk di dapatkan dan berakhir dengan gelak tawa karena gadis-gadis itu mudah sekali tergoda.
Tak sengaja pandangannya menangkap sosok Adriana, rambutnya yang di gerai serta tas berwarna birunya tak pernah bisa membuat Septian bosan memandanginya.
“Gue cabut, ya.”
Ia berpamitan dengan teman-temannya lalu berjalan menghampiri Adriana. Langkahnya tertahan karena salah satu gadis yang tadi temannya goda, gadis itu tersenyum manis kepada Septian berharap pandanganya beralih kepadanya bukan kepada Adriana.
Gadis yang Septian pandangi semakin menjauh dari jarak pandangnya, dia menyenggol gadis yang menghalangi jalannya dan berlari menghampiri Adriana. Jarak mereka sudah sangat dekat, bahkan Septian sudah berada tepat di sampingnya Adriana. Tapi, gadis itu sama sekali tidak sadar dengan kedatangan Septian.
“Hoy, Babe. Ngapain ngelamun? Ntar kesambet. Mana muka kamu kusut banget lagi. Lucu deh lihatnya.”
Septian merangkul pundak Adriana dengan mesra membuat Adriana risih dengan kelakuan bodoh teman masa kecilnya itu.
“Apa sih, Sep? Jangan pegang-pegang ish,” ujar Adriana Risih.
“Wah, wah. Raya-ku yang manis lagi badmood nih.”Septian menggoda Adriana dan mencolek dagunya, membuat orang-orang menatapnya penuh dendam, entah itu kepada Septian atau Adriana lalu menyebarkan gosip yang sangat jauh sekali dari kata fakta. Terutama gadis-gadis yang baru saja menjadi bahan godaan teman-teman Septian, mereka menatap tajam Adriana dan sengaja menabrakkan dirinya kepada Adriana. Dengan sigap Septian menangkap Adriana yang hampir saja terjatuh, Adriana hanya bisa pasrah kepada semuanya dan mengacuhkan mereka. Sedangkan Septian, dia menatap tajam kepada gadis-gadis yang tidak tahu diri itu.
Adriana sudah berkali-kali mengingatkan Septian untuk tak terlalu dekat dengannya saat di sekolah. Tapi, Septian tak pernah menggubris perkataan Adriana dan bersikap semaunya. Tanpa Septian tahu, Adriana sering kali mendapatkan perlakuan tidak baik dari gadis-gadis yang mengejar cintanya Septian, kadang di dekati para Kakak Kelas perisak yang mengancam akan merisaknya kalau Adriana tidak mau mengenalkan mereka kepada Septian.
Padahal Adriana sendiri tidak ingin berurusan dengan Septian, gelarnya sebagai Ketua perkumpulan dari anak-anak nakal di sekolahnya juga sekolah sebelah membuat Adriana sendiri tidak ingin mengenal orang di masa kecilnya itu. Sayang sekali Septian, wajah tampannya hanya digunakan untuk hal mesum dan perkelahian saja. Tidak ada bedanya dengan Devan.
“Gak usah sok dekat gitu deh, Sep. Kita gak saling kenal.”
“Sep? Gak saling kenal kok tahu nama aku, ya? Ah. Iya, lupa. Aku kan paling tampan di sekolah, terkenal di kalangan cewek juga. Siapa sih yang nggak tahu Septian. Iya, nggak?”“ASEP! Halu banget! Udah, ya. Aku mau ke kelas.”Adriana mendorong tubuh Septian dan menjauh beberapa langkah mencoba mencari jalan lain menuju kelasnya. Sebelum sempat dia membalikkan badan, Septian sudah menahan tangannya dan merangkul kembali pundak Adriana.
“Sini, mampir kantin dulu. Masih lama bel masuknya, aku traktir.”
“Gak. Aku mau diam di kelas.”“Udah, nggak usah rewel.”Septian melepaskan rangkulannya dan menarik lengan Adriana dengan paksa, Adriana berusaha menolak ajakan Septian dan menyuruhnya untuk menyerah membawa Adriana menuju kantin. Tapi, Septian pantang menyerah dan sangat keras kepala, mendengar permintaan Adriana yang terus menolaknya membuat dia lebih memaksa Adriana untuk ke kantin.
Walau memang jam masuk kelas masih lama, tetap saja Adriana tidak terlalu suka bersama dengan Septian. Setiap bersamanya Adriana pasti mendapatkan tatapan tak mengenakkan, sebenarnya ia tak perduli dengan tatapan mereka, hanya saja Adriana juga sangat menyayangi nyawanya. Jadi, menjauhi Septian adalah salah satu cara untuk menghindari kejadian yang tidak-tidak.
Adriana sudah terlalu lelah menjelaskan perihal hubungannya dengan Septian yang selalu di anggap angin lalu. Di tambah Septian yang tidak pernah mau mengerti kondisinya juga alasan mengapa Adriana memintanya untuk menjauh. Padahal dia sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya mengapa Septian harus menjauhinya di sekolah.
“Sep, kenapa gak di kelas aja? Di sini berisik.”
“Kan mau traktir kamu.”“Gak usah. Aku ke kelas aja, ya?” tanya Adriana memelas.Septian mengabaikan pertanyaan Adriana dan mengusir orang yang sedang menduduki bangku kantin di depannya, terlihat wajah benci dari kelima gadis yang terusir oleh Septian. Mereka menatap tajam kepada Adriana yang tangannya masih di pegang Septian.
“Lo semua bisa pada minggir nggak?! Gue sama Raya mau duduk di sini.”
“Udah, Sep. Gapapa, kita duduk di tempat lain aja.”“Biarin, mereka udah pada pergi.”Adriana memutar bola matanya kesal, dia mencoba untuk memposisikan dirinya untuk duduk di bangku kantin. Tapi, Septian mencegahnya dan membersihkan tempat duduk dan meja kantin untuk Adriana lalu mempersilahkan Adriana untuk duduk dengan cengiran nakalnya.
“Silahkan Tuan Putri, semuanya sudah bersih.”
“Apaan sih, Sep? Lawak banget, ha ha.”Ekspresi Adriana yang sangat kacau hingga sampai ke-mood-nya, kini sudah berubah menjadi sedikit lebih ceria karena perbincangan kecil yang di lakukannya dengan Septian. Pria nakal nan mesum yang sangat menyebalkan itu selalu bisa membuat Adriana kembali menjadi ceria.
Belasan menit berlalu hanya untuk kalimat-kalimat tidak jelas yang selalu membuat Adriana terhibur, Septian tersentak dan mengingat tujuannya membuat Adriana ke kantin adalah membelikannya makan bukan bercakap-cakap tidak jelas.
Adriana memperhatikan Septian yang memesan pesanan di ujung kantin, dia sedikit tersenyum karena jika Septian sudah bersikeras mentraktirnya, maka dia juga tahu kalau Adriana memang belum sempat sarapan sebelum pergi ke sekolah.
Tak lama setelah kepergian Septian, Ghina, sahabat Adriana satu-satunya mengagetkannya dengan semangkuk Bakso dan Es Teh Manis kesukaan Adriana lalu duduk di samping Adriana.
“Pagi-pagi udah berseri gitu, bagi dikit dong,” goda Ghina dengan cengirannya.
“Baksonya juga bagi dikit dong,” balas Adriana.Ghina menjauhkan mangkuk Baksonya dan memakan kerupuk yang dia bawa, Adriana tersenyum puas lalu mengambil Es Teh Manis dari tangan Ghina dan menyeruputnya. Cuitan kesal keluar dari mulut Ghina, Adriana malah asik tersenyum seraya menyeruput minuman Ghina dengan tenang seperti minumannya sendiri. Ghina hanya bisa menatapnya kesal dan menghela napas panjang.
“‘Kan udah dibeliin Nasi Goreng sama bebeb Septian.”
“Hush, ngomong tuh dipikir dulu, Ghin. Nggak baik, lho.”“Terus yang baik apaan? Kak Dev—”“Ghin.”Adriana memalingkan wajahnya dan menatap Septian yang sudah selesai dengan pesanannya.
“Lagi?! Ya ampun, kenapa lagi?”
Ghina memantapkan duduknya, menatap serius Adriana meminta penjelasan atas kebenaran dari tebakan Ghina. Tapi, suasana serius itu tidak berlangsung lama, Septian datang dengan cengirannya dan duduk mesra di sebelah Adriana.
“Nih, sarapan dulu, Babe. Sotonya belum ada, jadi nggak usah protes.”
“Ghina gak dibeliin, Sep?” tanya Adriana.“Ghina gak dibeliin, Sep?”Adriana menyiku lengan Septian yang baru saja menyajikan nasi goreng untuknya dan untuk Septian, lelaki itu melirik Ghina lalu memalingkan wajahnya malas. Dia tidak suka melihat Ghina, apa lagi di pagi cerah seperti ini. Membuat mood Septian hancur, pasalnya Ghina adalah perempuan yang Septian kejar. Tapi, berulang kali Ghina menolak pernyataan Septian dengan alasan tidak logis.Kekagumannya terhadap makhluk Mitologi bernama Werewolf membuat Ghina menjadi sedikit tidak waras, ia seringkali berhalusinasi sebagai jodoh dari Ras makhluk Mitologi itu yang terkenal sangat setia kepada pasangannya. Dan penuturan itu membuat Septian merasa lebih rendah karena di bandingkan dengan manusia jelmaan serigala yang belum tentu ada di dunia ini. Septian yang begitu di kagumi oleh banyak perempuan kini kalah karena penghantar dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.***Septian sedang mengelilingi lorong p
Semilir angin menerbangkan rambut Aldrean yang sudah memanjang, kini sudah hampir separuh hutan tempatnya tinggal di gunduli oleh manusia-manusia yang sangat serakah. Bahkan ada beberapa pendaki yang menulusuri hutan dan berujung singgah di tempat mereka. Desas-desus penduduk tersembunyi di pedalaman hutan sudah mulai terdengar dari telinga ke telinga, untungnya saja setelah salah satu pendaki tersesat itu tidak ada lagi manusia yang bisa masuk kedalam lingkungan penduduk Aldrean.“Kemarin di atas pohon, sekarang di pinggir jurang. Lo niat bunuh diri, ya, Dre?”Gamma mengagetkan Aldrean yang tengah larut dalam pikirannya, hampir saja dirinya terjatuh ke dalam laut yang berada tepat di bawah kakinya. Adik satu-satunya ini selalu membuatnya kesal setiap kali bersamanya, emosinya tiba-tiba memuncak hanya dengan kehadiran Gamma saja.Aldrean berjalan meninggalkan Gamma menuju hutan, Adiknya mengikuti terus ke mana saja Aldrean berjalan.
“Buat apa sih, Dre?” tanya Gamma penasaran.Aldrean terus berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan dari Gamma, pertanyaan yang sudah jelas-jelas Gamma sendiri ketahui kenapa harus ditanyakan kepada Aldrean?“Lo mau ke mana? Kita di area terlarang, bisa kena masalah kalau Ayah tahu kita di dunia manusia tanpa izin, Dre.”“Diem, Gam. Lo punya izin khusus karna ada gue.”Bibir Gamma terbungkam, tidak ingin berkomentar apapun. Jawaban dingin dari Aldrean terkesan memerintah dan menyombongkan dirinya. Tapi, Gamma sendiri paham betul bahwa Kakaknya memang tidak bisa peka terhadap perasaan makhluk lain.“Hutan di wilayah kita mulai gundul, lama kelamaan mereka bisa aja tebang hutan di sisi kita. Saat itu semua terjadi, apa yang bakal lo lakuin? Buru mereka semua atau hanya sekedar memperingati?” tanya Gamma.“Lo yang bakal memutuskan, Gam,” jawab Aldrean cuek.Gamma terhenti dan menatap tajam kepad
Ghina menghela napasnya dalam, “Emangnya bisa ketemu sama dia lagi apa?”Adriana mengangguk beberapa kali, kemungkinan itu tidak mustahil, namun Adriana dan Ghina sudah beranggapan bahwa tidak akan bertemu lagi dengan pria aneh yang tiba-tiba datang lalu menghilang dengan tiba-tiba juga.“Tapi, sore-sore begini kayaknya enak deh kalau kita makan martabak, Ya. Laper juga gue,” ujar Ghina dengan kekehannya.“Kenapa tadi gak bilang Kak Devan titip martabak? Udah mau malem juga, Ghin.”“Lo sendiri yang bilang kalau mau tinggal beli sendiri. Yuk, ayo beli, Ya,” melas Ghina.Adriana menggelengkan kepalanya berkali-kali, “Enggak! Gak mau, Ghin. Jam segini banyak orang di jalan, nanti aja pulang Kak Devan, aku suruh dia beliin martabak pas pulang nanti. Lagian kamu tidur di sini kan, temenin aku?” ucap Adriana memastikan.Sempat terjadi pertengkaran kecil sebelum mereka membahas tentang pria asi
“Orang gila?” tanya pria itu.Adriana memegang lengan pakaian Ghina, “Mana mungkin aku tinggalin kamu ke dalem rumah, Ghin.”Ghina melirik Adriana dan mendorong sahabatnya agar menjauh darinya. Adriana terhuyung, hampir saja terjatuh namun dia berpegangan pada pohon yang tertanam di depan rumah Adriana. Dia sedikit merasa sakit hati karena Ghina mendorongnya seperti itu. Tetapi, maksud dari Ghina adalah agar Adriana tidak terkena imbas dari pertengkaran mereka juga memastikan kalau Adriana aman.Devan tidak mungkin pulang secepat ini kecuali dia merasakan firasat aneh pada Adiknya dan memutuskan untuk pulang. Tapi, dilihat dari sikap Devan yang begitu overprotective pada Adriana, sudah di pastikan Devan akan segera pulang. Apa lagi sekarang Adriana sedang mencoba menghubungi Kakaknya. Dan Ghina harus menyelesaikan urusanya dengan pria itu secepat mungkin sebelum Devan datang.“Iya, lo. Orang gila yang
Ghina tersentak, dia masih kaget dengan pertanyaan itu. Ghina sama sekali tidak mengingat apapun selain perkataan orang itu mengenai nama dan tanda.“Gue gak inget, Kak. Yang terakhir gue inget itu mata dia berubah jadi warna hijau terus pas gue sadar, Raya udah nangis di belakang gue. Gue juga kaget waktu Raya bilang kalau cowok itu cium gue, tapi gak mungkin Raya bohong sampe nangis kejer begitu,” jelas Ghina.Devan mengangguk paham, dia juga satu suara tentang Adriana yang tidak akan berbohong apa lagi sampai menangis. Tapi, yang Devan kurang percayai adalah warna mata yang Ghina sebutkan tadi. di Dark Wood, tidak ada orang yang memiliki warna mata selain abu, coklat, dan hitam. Walau itu adalah campuran dari tiga warna itu, tidak mungkin ada pria yang memiliki warna mata seperti yang Ghina jelaskan.“Kamu serius lihat matanya berubah, Ghina?” tanya Devan memastikan.Ghina mengangguk, “Iya, Kak. Awalnya g
Helaan napas Ghina mengganggu Gamma, pria yang terus menunjukkan senyum manisnya pada Ghina akhirnya membuka mulut setelah terdiam di situasi canggung yang cukup lama. “Ada apa, Ghina? Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?” tanya Gamma, hati-hati. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Ghina, tapi Ghina langsung menepis tangan Gamma dan menarik tangannya. “Gak usah pegang-pegang gue!” teriak Ghina tidak nyaman. Kulit lengannya tiba-tiba tersengat listrik ketika Gamma menyentuhnya. Tidak terlalu sakit namun cukup membuat Ghina terkejut. Sama halnya seperti Gamma yang merasakan sedikit sengatan di lengannya. “Pertanyaanku belum kamu jawab,” ucap Gamma perlahan. Ghina menautkan jari-jarinya di bawah meja. Dia memang terlihat tidak takut sama sekali dengan Gamma. Tapi, tetap saja pertanyaan yang akan dia tanyakan itu tidak berani Ghina ajukan apalagi dia
“Hari ini rapat selesai sampai di sini, kita lanjutkan besok,” ucap Reymon menyudahi rapat. Aldrean sama sekali tidak berniat pergi dari ruangan dan semua orang kebingungan ketika Aldrean memukul meja dengan keras. “Selesai? Apanya yang selesai, Ayah? Bagian selatan kita dihuni oleh para Rogue, Ayah akan berdiam diri seperti ini dan bertindak ketika mereka mulai mendatangkan masalah? Basmi mereka sekarang juga, Ayah! Saya siap untuk menghancurkan mereka semua.” Para Gamma, Delta serta Ceta kembali duduk di kursinya masing-masing. Mendengar opini dari Aldrean membuat mereka mau tidak mau mendengarkan apa yang mengusik perhatian calon Alphanya ini. Sedangkan Reymon memijat keningnya perlahan, dia tidak ada niatan untuk membasmi keroco-keroco macam itu. “Tidak perlu, Anakku. Hal seperti itu bahkan bisa dibasmi oleh satu kelompok Ceta, tidak perlu khawatir seperti itu.” Aldrean menatap tajam Reymon s
“Aku tidak butuh hiburan, Sep! Keluar dari kamarku!” teriak Adriana, kesal.Adriana terganggu sekali dengan ucapan Septian yang mengatakan bahwa Ghina pasti baik-baik saja. Dan dia tahu betul di mana Ghina berada sekarang.Sudah hari kelima Ghina hilang. Orangtuanya mengarahkan polisi untuk mencari Ghina dan mereka masih belum menemukannya. Bagaimana mungkin perkataan Septian yang begitu omong kosongnya bisa Adriana terima.“Aku gak pernah bohong sama kamu, Ya. Kamu sendiri tahu kan kalau aku gak bisa sembunyikan apapun padamu. Kamu masih belum percaya aku?” Septian mempoutkan bibirnya, berharap Adriana akan tersenyum dan kembali seperti semula. Namun, kehilangan Ghina membuat Adriana berubah begitu drastis. Ghina adalah jantung bagi Adriana. Jika Ghina terluka, maka Adriana akan sama sakitnya. Dan ini yang selalu Devan khawatirkan, karena Adriana tidak pernah bisa dekat dengan siapapun selain Ghina dan Septian.
“Gak ada,” ujar Devan.Septian dan Adriana melirik sekitar, banyak pondok kayu yang dibangun di dalam hutan ini. Beberapa tungku masak masih utuh, walau umurnya mungkin sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Devan memasuki pondok tersebut satu persatu bersama dengan Septian. Adriana melangkah maju, menuju bagian hutan yang terlihat sedikit luas.Firasatnya mengatakan kalau dia bisa menemukan Ghina di tempat ini. Namun, dia menginjak sesuatu. Sobekan kain yang bertebaran di sekelilingnya. Dia terus maju, mengikuti jalan setapak tersebut. Dan tak disangka dia menemukan hal yang membuatnya terduduk tanpa kata.“Raya! Kamu di mana?!” teriak Septian penuh tanya.Adriana masih terduduk di tanah, air matanya perlahan tumpah. Tak bisa berkata-kata lagi. Kondisi di hadapannya ini membuatnya bungkam.“Ya! Kenapa kamu duduk di sana? Ada yang sakit?” tanya Devan yang berhasil me
“Sebenarnya ada sesuatu yang Ghina ceritain ke Raya.”Seketika Devan menghentikan langkahnya, berbalik dan menatap Adriana penasaran. Septian ikut menatapinya juga yang sibuk sekali memandang tanah.“Bisa cerita ke Kakak apa yang Ghina bilang itu?” tanya Devan hati-hati.Ia takut membuat Adriana mengurungkan niatnya untuk berbicara mengenai suatu hal yang mungkin saja jadi petunjuk besar bagi mereka.Perlahan Adriana mengangguk, dia menatap Devan dengan sedikit keraguan. Pria itu langsung saja tersenyum, agar Adriana tidak lagi ragu.“Kakak tahu perihal tanda?”Devan dan Septian sedikit kebingungan dengan pertanyaan ambigu yang dilontarkan Adriana.“Hm... tanda kepemilikan kaum manusia serigala,” lanjut Adriana.Devan mengerutkan keningnya, masih tidak menger
Suara desahan dari keduanya berpadu satu dengan alam. Kicauan burung yang bernada seakan menjadi musik romansa yang membuat suasana semakin gerah. Namun, satu hal yang merusak semua perpaduan indah yang tak pernah didengar orang.Tangisan Ghina dan permohonan disela-sela desahannya begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Rasa yang begitu amat menyesal, terdesak dan pasrah tak henti-hentinya keluar dari mulut Ghina. Dia ingin segera terbangun dalam mimpi buruknya.“Gamma ... gue mohon, ah! Sshhh, ber—mhh ... berhenti. Gu-gue, Ah! Sakit Gamma! Sakit ... tolong hiks ... berhenti.”Seakan terbutakan dengan hasratnya sendiri, Gamma yang tak pernah ingin menyakiti seujung jaripun pada Ghina, kini tak bisa mendengar teriakan minta tolong atau bahkan jeritan kesakitan yang Ghina teriakkan.“Mhh ... sebentar lagi, Sweetheart. Tahan sebentar lagi,” ucap Gamma, dengan suara seraknya.
“Hari ini rapat selesai sampai di sini, kita lanjutkan besok,” ucap Reymon menyudahi rapat. Aldrean sama sekali tidak berniat pergi dari ruangan dan semua orang kebingungan ketika Aldrean memukul meja dengan keras. “Selesai? Apanya yang selesai, Ayah? Bagian selatan kita dihuni oleh para Rogue, Ayah akan berdiam diri seperti ini dan bertindak ketika mereka mulai mendatangkan masalah? Basmi mereka sekarang juga, Ayah! Saya siap untuk menghancurkan mereka semua.” Para Gamma, Delta serta Ceta kembali duduk di kursinya masing-masing. Mendengar opini dari Aldrean membuat mereka mau tidak mau mendengarkan apa yang mengusik perhatian calon Alphanya ini. Sedangkan Reymon memijat keningnya perlahan, dia tidak ada niatan untuk membasmi keroco-keroco macam itu. “Tidak perlu, Anakku. Hal seperti itu bahkan bisa dibasmi oleh satu kelompok Ceta, tidak perlu khawatir seperti itu.” Aldrean menatap tajam Reymon s
Helaan napas Ghina mengganggu Gamma, pria yang terus menunjukkan senyum manisnya pada Ghina akhirnya membuka mulut setelah terdiam di situasi canggung yang cukup lama. “Ada apa, Ghina? Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?” tanya Gamma, hati-hati. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Ghina, tapi Ghina langsung menepis tangan Gamma dan menarik tangannya. “Gak usah pegang-pegang gue!” teriak Ghina tidak nyaman. Kulit lengannya tiba-tiba tersengat listrik ketika Gamma menyentuhnya. Tidak terlalu sakit namun cukup membuat Ghina terkejut. Sama halnya seperti Gamma yang merasakan sedikit sengatan di lengannya. “Pertanyaanku belum kamu jawab,” ucap Gamma perlahan. Ghina menautkan jari-jarinya di bawah meja. Dia memang terlihat tidak takut sama sekali dengan Gamma. Tapi, tetap saja pertanyaan yang akan dia tanyakan itu tidak berani Ghina ajukan apalagi dia
Ghina tersentak, dia masih kaget dengan pertanyaan itu. Ghina sama sekali tidak mengingat apapun selain perkataan orang itu mengenai nama dan tanda.“Gue gak inget, Kak. Yang terakhir gue inget itu mata dia berubah jadi warna hijau terus pas gue sadar, Raya udah nangis di belakang gue. Gue juga kaget waktu Raya bilang kalau cowok itu cium gue, tapi gak mungkin Raya bohong sampe nangis kejer begitu,” jelas Ghina.Devan mengangguk paham, dia juga satu suara tentang Adriana yang tidak akan berbohong apa lagi sampai menangis. Tapi, yang Devan kurang percayai adalah warna mata yang Ghina sebutkan tadi. di Dark Wood, tidak ada orang yang memiliki warna mata selain abu, coklat, dan hitam. Walau itu adalah campuran dari tiga warna itu, tidak mungkin ada pria yang memiliki warna mata seperti yang Ghina jelaskan.“Kamu serius lihat matanya berubah, Ghina?” tanya Devan memastikan.Ghina mengangguk, “Iya, Kak. Awalnya g
“Orang gila?” tanya pria itu.Adriana memegang lengan pakaian Ghina, “Mana mungkin aku tinggalin kamu ke dalem rumah, Ghin.”Ghina melirik Adriana dan mendorong sahabatnya agar menjauh darinya. Adriana terhuyung, hampir saja terjatuh namun dia berpegangan pada pohon yang tertanam di depan rumah Adriana. Dia sedikit merasa sakit hati karena Ghina mendorongnya seperti itu. Tetapi, maksud dari Ghina adalah agar Adriana tidak terkena imbas dari pertengkaran mereka juga memastikan kalau Adriana aman.Devan tidak mungkin pulang secepat ini kecuali dia merasakan firasat aneh pada Adiknya dan memutuskan untuk pulang. Tapi, dilihat dari sikap Devan yang begitu overprotective pada Adriana, sudah di pastikan Devan akan segera pulang. Apa lagi sekarang Adriana sedang mencoba menghubungi Kakaknya. Dan Ghina harus menyelesaikan urusanya dengan pria itu secepat mungkin sebelum Devan datang.“Iya, lo. Orang gila yang
Ghina menghela napasnya dalam, “Emangnya bisa ketemu sama dia lagi apa?”Adriana mengangguk beberapa kali, kemungkinan itu tidak mustahil, namun Adriana dan Ghina sudah beranggapan bahwa tidak akan bertemu lagi dengan pria aneh yang tiba-tiba datang lalu menghilang dengan tiba-tiba juga.“Tapi, sore-sore begini kayaknya enak deh kalau kita makan martabak, Ya. Laper juga gue,” ujar Ghina dengan kekehannya.“Kenapa tadi gak bilang Kak Devan titip martabak? Udah mau malem juga, Ghin.”“Lo sendiri yang bilang kalau mau tinggal beli sendiri. Yuk, ayo beli, Ya,” melas Ghina.Adriana menggelengkan kepalanya berkali-kali, “Enggak! Gak mau, Ghin. Jam segini banyak orang di jalan, nanti aja pulang Kak Devan, aku suruh dia beliin martabak pas pulang nanti. Lagian kamu tidur di sini kan, temenin aku?” ucap Adriana memastikan.Sempat terjadi pertengkaran kecil sebelum mereka membahas tentang pria asi