Assalamualaikum,
Happy reading! đ
"Uncle, bilang sama Mama Papa, Ara gak mau di asrama!" Pekik gadis berseragam putih biru pada pria di depannya.
"Nona tidak boleh seperti itu." Pintanya pada gadis yang sedang merajuk dengan wajah cemberut, tangan berkacak pinggang dan berdiri mengangkangi kaki kirinya.
"Bukan Nona!" Pekiknya lagi lebih keras dan menatap mata sang pria tajam.
Menghela napas lelah, Jackâmengangguk. Gadis di depannya ini sangat keras kepala. "Iya, bukan Nona." Biarkan dia yang mengalah.
Sedari dulu gadis ini memang tidak suka bila dirinya memanggil dengan sebutan "Nona". Dia ingin dipanggil dengan nama saja dan harus memiliki panggilan khusus darinya.
"Huaaa!" Tangis Nona Kecilnya akhirnya pecah dan langsung memeluk Jack erat. Tangisnya terdengar pilu di telinga Jack.
"Ssttt! Sudah ya, jangan menangis." Nona Kecilnya kalau sudah menangis pasti susah dibujuk. Harus dengan berbagai rayuan maut agar berhenti. Kadang Jack sangat kewalahan.
Tangisan Nona Kecilnya belum mereda, gadis kelas 3 SMP ini sedang merajuk pada Mama Papanya karena tidak mau melanjutkan sekolah dan tinggal di asrama, tapi yang jadi imbas malah dirinya. Jack sebenarnya hanya bertugas menjaga ketika berpergian dan melindungi Ara selayaknya bodyguard. Sedangkan Jack, dia malah seperti baby sitter.
"Unc-uncle, hiks... Hiks...."
"Ssttt, nanti Uncle coba bantu. Sekarang sudah nangisnya, oke?" Tidak ada tanggapan dari gadis dalam pelukannya, hanya saja suara tangisnya mulai mereda.
"Kenapa tidak mau tinggal di asrama, hem?" Jack sedikit penasaran akan alasan Ara. Dia takut kalau Ara menolak usulan orang tuanya karena ingin bebas berkeliaran di luar sana. Meski Jack sangsi jika Ara-nya, demikian.
Ara menjawab dengan sesenggukan yang masih tersisa. "Hiks... Nan-ti Uncle tinggalin Ara, hiks...."
Jack terkejut mendengar alasan Ara. "Maksud Ara apa?"
"Hiks... Uncle nan-ti pergi hiks... Ka-lau Ara di as-hiks-rama, huaaa!" Ara semakin erat memeluk tubuh Jack.
Penjelasan terbata Ara membuat Jack mematung, dia juga tidak tahu kelanjutan pekerjaannya nanti apabila Ara sudah tidak di rumah lagi. Astaga, Jack tidak memikirkan sampai sana. Gadis kecil ini membuat Jack takut.
Tuhan, Jack merasa frustrasi sekarang. Nona Kecilnya akan pergi jauh dan dia tidak rela. Namun Jack sadar, dia bukan siapa-siapa. Tuan dan Nyonya tua
Jack tidak menanggapi Ara, ia hanya mampu memeluk sambil mengusap punggung Nona Kecilnya dengan sayang. Sesekali dia bubuhkan kecupan di pucuk kepala sang Nona. Berharap tangis sang Nona mereda, dan tidak merajuk lagi dan melupakan pemikirannya. Karena Jack pun tidak memiliki jawaban yang tepat untuk Ara.
Sepuluh menit berlalu, tidak ada suara tangis lagi, yang ada dengkuran halus di dada Jack. Mungkin Ara lelah.
Apakah ada bodyguard yang seperti dirinya? Menjaga sekaligus mengasuh gadis manja seperti Ara. Entahlah.
Hah, Jack harus ekstra sabar menghadapi Nona Kecilnya. Sejak dia bertugas menjaga Sahara Putri Dwingga atau yang kerap dia panggil AraâNona Kecilnya dua tahun lalu. Pekerjaannya bukan hanya menjaga dari bahaya di luar sana, tapi juga beralih seperti Paman bagi Ara.
Yang menjadi tempat berkeluh kesah, bermanja ria, bahkan terkadang Ara memintanya untuk menemani tidur, jika kedua orang tuanya bertugas ke luar kota ataupun negeri.
Awalnya Jack menolak, tapi kau tau? Ara bahkan merajuk lebih dari satu minggu. Jika hanya di diami Jack tidak terlalu khawatir, masalahnya di hari ke kedelapan Ara merajuk, Ara malah kabur dari penjagaannya.
Bahkan satu hari penuh Jack berkeliling, tapi tidak membuahkan hasil. Hingga Maghrib pun Ara belum ia temukan, akhirnya Jack memutar balik pencariannya. Dia berharap ketika sampai rumah, Ara sudah menyambutnya seperti biasa dengan senyum ceria.
Jarak lima ratus meter dari rumah Majikannya, Jack melihat siluet Ara di tepi jalan sedang berjalan gontay. Tampilannya sungguh acak-acakan.
Membuat dada Jack mencelos, Jack menghentikan mobilnya. Keluar dari mobil dan berlari menghampiri Ara.
Memeluknya erat, seolah tak ingin kehilangan. Ara yang shcok langsung menangis, apalagi mengetahui jika Jack yang memeluk. Ara langsung membabi buta, memukuli dada Jack, meraung menyalahkan Jack yang tidak mau menuruti perintahnya.
"Uncle ja-hat. Hiks... Hiks..." Tangis Ara masih memukuli dada Jack.
"Iya, Uncle jahat. Maafin Uncle, oke?" Pintanya, Jack sungguh merasa bersalah.
"Ta-pi Uncle jan-ji, tidur sama Ara." Ternyata Ara belum menyerah juga.
"Tiâ"
"Jahat!" Ara memotong perkataan Jack yang belum sempat terucap. Melepaskan pelukannya dan melarikan diri.
"Ara tunggu!" Jack berlari mengejar Ara.
"Oke, uncle tidur sama Ara!" Putusnya frustrasi.
Ara yang mendengar pun berhenti berlari, tapi masih merajuk dan tidak mau membalikkan badannya.
"Bohong!"
"No, i'm serious."
"Janji?" Pinta Ara menunjukkan jari kelingkingnya pada Jack yang sudah berdiri di depannya.
Menyambut jari kelingking Ara, Jack mengangguk. "Janji."
Sudahlah, lagipun tidur yang di maksud Ara bukan hal yang negatif. Hanya menemani tidur, jika Ara sudah terlelap maka dia akan keluar dan kembali pada kodratnya. Sebagai bodyguard.
"Engh!" Lenguhan di dadanya membuyarkan lamunan Jack tentang awal mula Ara memintanya menemani tidur dua tahun lalu, saat gadis itu masih kelas satu SMP.
Menatap wajah sembab milik Ara, Jack merasa iba pada Nona Kecilnya. Sedari kecil ternyata Ara sudah sering ditinggal bepergian oleh kedua orang tuanya yang merupakan pebisnis sukses.
Ara di asuh oleh Mbok Endang yang juga pembantu di rumah Ara. Kepada Mbok Endang lah Ara berkeluh kesah, bermanja ria dan biasa di temani tidur.
Bahkan untuk urusan sekolah pun Mbok Endang yang mengurusi dan menjadi wali bila ada pertemuan ataupun pengambilan rapor Ara.
Hingga Ara berada pada pertengahan kelas satu SMP, Mbok Endang meninggal dunia. Mbok Endang mengalami serangan jantung. Membuat Ara frustrasi dan sering merajuk dengan kabur dari rumah. Hingga dirinya lah yang bertugas menjaga Ara agar tidak kabur lagi.
"Uncle, Ara lapar." Rengeknya seperti anak kecil dan masih di dalam dekapan Jack. Wajah putih bersihnya masih tampak memerah, hidung mancungnya pun menyisakan lendir bening akibat menangis tadi.
"Ayo kita cari makan." Ajak Jack yang hendak melepaskan pelukan Ara.
Ara mencebikkan bibir yang membuat Jack heran. Lah tadi pengen makan, sekarang kok malah manyun.
"Kenapa lagi? Hm?" Ingat Jack kamu harus sabar oke? Batin Jack.
Ara berdecak, ternyata Jack belum paham maksudnya. "Uncle pesan saja. Ara malas pergi, dan Uncle tidak boleh lepas pelukannya!" Astaga, gadis kecil ini.
Tidakkah bosan Ara setiap hari memeluknya? Ada saja kelakuan manja gadis ini yang membuat Jack sedikit pusing, meskipun pada akhirnya dia akan menuruti.
"Oke, mau pesan apa?" Jack membuka aplikasi untuk memesan makan.
Ara masih tidak melepas pelukannya, raut mukanya sedikit berpikir. "Emmm, ayam geprek di "Raja Ayam", Uncle. Terus minumnya jeruk anget." Senyum lima jari sudah bersarang di bibir tipis Ara. Ternyata membayangkan makanan membuat moodnya sedikit bagus.
"Oke."
Jack sibuk memesan dengan tangan sebelah kanannya, sedangkan tangan kirinya tetap memeluk Ara. Pastinya jika dia lepaskan Ara akan merajuk lagi, dan Jack tidak ingin itu terjadi.
"Tunggu sebentar ya?" Ucap Jack setelah selesai memesan dan meletakkan hpnya di meja dekat sofa.
"Oke."
Dada Jack adalah sandaran terbaik bagi Ara setelah Mbok Endang. Dirinya begitu menyayangi Jack, bahkan melebihi orang tuanya.
Ara bahkan tidak begitu dekat dengan Mama Papanya yang setiap hari sibuk mencari uang.
Protes pun percuma. Yang ada malah Ara kena marah Mama Papanya. Yang ini lah, itulah. Cari uang buat Ara lah, buat masa depan Ara lah. Argh! Ara benci jika mengingat Mama Papanya.
"Ara, Uncle mau ambil pesanan dulu. Dia sudah sampai di depan." Pintanya pada Ara untuk melepas pelukannya sejenak. Dan berpindah duduk di sofa, bukan pada kedua pahanya. Ya, Ara duduk mengangkang pada pahanya. Yang sebenarnya membuat Jack frustrasi, aduh adiknya sedikit tersiksa karena tertimpa berat beban Ara.
Meski manyun, Ara melepas pelukan Jack dan turun dari posisi nyamannya, sedikit tidak rela.
"Tunggu ya." Jack beranjak dari sofa yang dia duduki, menuju lantai bawah untuk mengambil pesanannya.
Jack memiliki apartemen sederhana di daerah sini. Yang ia beli untuk keperluan libur kerjanya, tapi selama ini dia tidak mendapatkan liburnya sedikit pun.
Ara selalu menggagalkan acara berliburnya yang ia miliki setiap hari Minggu. Yang pada kenyataannya, Ara tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Hari Minggu adalah hari dimana dirinya harus full time menemani Ara yang berlibur. Entah jalan-jalan, shopping ataupun hanya tiduran seharian di kamar.
Yang pasti hari Minggu, Ara memonopoli waktunya semaksimal mungkin. Yah, jika hari biasa Jack akan beristirahat sejenak jika Ara sedang berada di kelas. Selebihnya dirinya milik Ara, dan tidak bisa di ganggu gugat.
Atas izin Ara, dengan berbagai rayuan tentunya. Hari ini Jack mendapatkan libur. Dan tanpa menyia-nyiakan lagi, Jack kembali ke apartemennya untuk rebahan dan bersantai ria. Melupakan sejenak tugasnya yang sungguh menguras tenaga dan kesabaran.
Tapi, apa yang dia dapat. Ara malah mendatangi apartemen nya dengan merajuk. Di tambah permintaan kedua orang tuanya. Sungguh sedap kan?
đ
"Ara sudah sore, tidak mau pulang?" Tanya Jack yang berbaring di ranjang sambil memeluk Ara.
"Uncle ngusir Ara?" Tuduh Ara dengan mata tajam dan merengut. Melepas pelukan Jack dan malah berubah tengkurap di atas tubuh Jack.
Jack mendesah, salah lagi, salah lagi. "Tidak Ara sayang. Ara harus pulang dan mandi, Ara kan masih pakai baju sekolah." Jelas Jack sambil menangkup pipi chubby Ara.
Ara masih merengut, "gak mau pulang. Ara pengen di sini aja sama Uncle. Nanti Ara pinjem baju Uncle habis mandi." Tolak Ara.
Dan apa katanya tadi? Pinjam baju Jack? Astaga, gadis ini benar-benar.
Jack menggeleng, "no. Gak bisa Ara, Ara harus pulang."
"Tapi Uncle ikut pulang juga." Memaksa lagi.
"Kan ini masih hari libur Uncle. Ara lupa, kalau Ara sendiri yang ngijinin Uncle libur." Semoga berhasil bernegosiasi dengan Ara.
Ara berdecak, menyesal memberikan Jack libur. "Oke. Besok gak usah datang lagi. Ara gak butuh Uncle." Ketus Ara yang mulai beranjak dari tubuh Jack.
Jack melotot mendengar ucapan Ara. Bukan karena ia takut pada pekerjaannya yang memiliki gaji besar. Hanya saja, siapa yang akan menjaga Ara setelah ini? Dan lagi Jack sudah sangat menyayangi Ara. Ara benar-benar mempengaruhi dirinya.
Pria berusia 25 tahun itu langsung menarik tangan Ara, mencegah gadis manjanya pergi.
"Lepas Uncle!" Sentak Ara kuat.
"No!" Tolak Jack yang memegang tangan Ara erat. Dan menariknya kembali ke atas tubuhnya.
Keduanya hanya diam, tidak ada yang ingin memulai pembicaraan.
"Ayo kita pulang." Ajak Jack akhirnya, biarlah dia mengalah.
Ara hanya bergeming, tidak ingin membalas ajakan Jack.
"Hey, ayo kita pulang. Uncle ikut Ara pulang." Bujuk Jack lagi, Ara masih bergeming.
Tapi Jack tidak diam, ia kecupi pipi kanan Ara dengan kecupan basah. Sekali dua kali, Ara masih bergeming. Namun bukan Jack namanya jika tidak bisa membuat Ara menurut.
Cup. Cup. Cup. Cup. Cup. Cup. Cup.
"Uncle, stop!" Teriak Ara sambil menutup mulut Jack. Wajahnya sudah basah dengan air liur milik Jack.
Jack terkekeh karenanya, melihat Ara membersihkan bekas kecupan di pipi kanannya.
"Masih marah?" Goda Jack pada Ara yang tetap manyun.
Mencebik kesal Ara mencubit perut Jack. "Rasain."
"Aduh! Sakit Ara." Ringis Jack merasakan cubitan pedas dari Ara di perutnya. Pasti nanti membekas.
"Ara mau pulang, Uncle." Pinta Ara yang sudah berpindah duduk di kasur.
"Oke, ayo. Uncle ikut pulang sama Ara." Jack bangkit dari rebahannya dan menggandeng tangan Ara untuk turun dari ranjang.
Dan bersiap menuju ke rumah milik Ara, membaut Ara senang adalah tugasnya. Meskipun harus menggangu acara libur miliknya.
Ah, semoga saja Ara berbaik hati memberinya libur yang cukup esok hariâentah kapan tapi.
TBC....
Tanah Merah, 14 September 2021
Assalamualaikum,Happy reading semua..."Hara kapan ujiannya?" Tanya perempuan berusia 40 tahun di depan Ara, yang tidak lain Riska Dwingga–mama Ara.Ara yang ditanya hanya mengedikan bahu, masih fokus pada kunyahannya "Kurang tau, Ma. Kata guru Hara, satu bulan lagi." Jawabnya setelah menelan kunyahannya."Kalau butuh sesuatu telpon Mama atau Papa, ya? Siang nanti Mama sama Papa mau berangkat ke Lamongan. Kita seminggu di sana." Laporan wajib Mama Ara. Selalu begitu, pulang sehari. Pergi berminggu-minggu. Tidakkah ada niat mereka untuk menemani Ara barang sebentar saja?"Iya." Jawab Hara singkat tanpa minat."Hara sudah ambil keputusan belum, yang Papa minta kemarin?" Tanya Riska lagi.Ara menghentikan makannya, ia menatap orang tuanya serius. "Mama sama Papa pengen banget ya, Hara tinggal di asrama?" Tanya Ara sedikit sinis.
Menyesap rokok di tengah malam tidak menjadikan Jack lebih baik. Dia bukan perokok, hanya saja sesekali jika masalahnya menumpuk maka dia akan menyulutnya.Seperti halnya malam ini, pikirannya berkelana pada Ara, Nona Kecilnya yang sedang merayakan kelulusannya bersama kedua orangtuanya.Mungkin hal itu yang dibenci Ara, karena menggagalkan rencana mereka berdua. Rencana yang sudah disusun Ara jauh-jauh hari, mengingat kedua orang tua Ara yang belum kembali dari perjalanan bisnis di Italia.Tapi bagai kejutan, pagi tadi mereka pulang dan langsung membuat agenda untuk Ara tentunya tanpa ada dirinya. Ah, ia lupa. Siapa lah dirinya?Tugas dari Tuan Hendro sudah Jack laksanakan dan sekarang tugasnya menunggu rumah megah bergaya Eropa dengan Timur milik keluarga Hendro. Sebenarnya ini juga bisa ia jadikan waktu untuk mengistirahatkan pikirannya.
"Jack, ke ruangan saya sekarang!" Titah suara di seberang telepon, yang tak lain Hendro DwinggaâTuannya. "Siap, Tuan." Telpon langsung dimatikan setelah mendapat jawaban Jack. Jack yang masih istirahat pun bangkitâia baru saja rebahan di pos satpam, tapi Tuannya sudah memanggilnya. "Pak, saya masuk dulu. Dipanggil Tuan," pamitnya pada Pak Odangâsatpam rumah Ara. "Iya, silahkan." Balas Pak Odang ramah, pria lima puluh tahunan ini sudah sejak Ara kecil bekerja di sini. Dari beliau juga lah, Jack mencari informasi seputar keluarga Dwingga. Tok! Tok! "Masuk!" Ceklek! Ketika membuka pintu bercat coklat itu, nampak ruangan minimalis dengan rak-rak buku di sebelah kanan dan kiri ruangan. Satu single sofa, satu kursi tamu, juga satu kursi serta meja kerja untuk Tuannya. Dengan pemilik yang sedan
"Jack, ke ruangan saya sekarang!" Titah suara di seberang telepon, yang tak lain Hendro DwinggaâTuannya. "Siap, Tuan." Telpon langsung dimatikan setelah mendapat jawaban Jack. Jack yang masih istirahat pun bangkitâia baru saja rebahan di pos satpam, tapi Tuannya sudah memanggilnya. "Pak, saya masuk dulu. Dipanggil Tuan," pamitnya pada Pak Odangâsatpam rumah Ara. "Iya, silahkan." Balas Pak Odang ramah, pria lima puluh tahunan ini sudah sejak Ara kecil bekerja di sini. Dari beliau juga lah, Jack mencari informasi seputar keluarga Dwingga. Tok! Tok! "Masuk!" Ceklek! Ketika membuka pintu bercat coklat itu, nampak ruangan minimalis dengan rak-rak buku di sebelah kanan dan kiri ruangan. Satu single sofa, satu kursi tamu, juga satu kursi serta meja kerja untuk Tuannya. Dengan pemilik yang sedan
Menyesap rokok di tengah malam tidak menjadikan Jack lebih baik. Dia bukan perokok, hanya saja sesekali jika masalahnya menumpuk maka dia akan menyulutnya.Seperti halnya malam ini, pikirannya berkelana pada Ara, Nona Kecilnya yang sedang merayakan kelulusannya bersama kedua orangtuanya.Mungkin hal itu yang dibenci Ara, karena menggagalkan rencana mereka berdua. Rencana yang sudah disusun Ara jauh-jauh hari, mengingat kedua orang tua Ara yang belum kembali dari perjalanan bisnis di Italia.Tapi bagai kejutan, pagi tadi mereka pulang dan langsung membuat agenda untuk Ara tentunya tanpa ada dirinya. Ah, ia lupa. Siapa lah dirinya?Tugas dari Tuan Hendro sudah Jack laksanakan dan sekarang tugasnya menunggu rumah megah bergaya Eropa dengan Timur milik keluarga Hendro. Sebenarnya ini juga bisa ia jadikan waktu untuk mengistirahatkan pikirannya.
Assalamualaikum,Happy reading semua..."Hara kapan ujiannya?" Tanya perempuan berusia 40 tahun di depan Ara, yang tidak lain Riska Dwingga–mama Ara.Ara yang ditanya hanya mengedikan bahu, masih fokus pada kunyahannya "Kurang tau, Ma. Kata guru Hara, satu bulan lagi." Jawabnya setelah menelan kunyahannya."Kalau butuh sesuatu telpon Mama atau Papa, ya? Siang nanti Mama sama Papa mau berangkat ke Lamongan. Kita seminggu di sana." Laporan wajib Mama Ara. Selalu begitu, pulang sehari. Pergi berminggu-minggu. Tidakkah ada niat mereka untuk menemani Ara barang sebentar saja?"Iya." Jawab Hara singkat tanpa minat."Hara sudah ambil keputusan belum, yang Papa minta kemarin?" Tanya Riska lagi.Ara menghentikan makannya, ia menatap orang tuanya serius. "Mama sama Papa pengen banget ya, Hara tinggal di asrama?" Tanya Ara sedikit sinis.
Assalamualaikum,Happy reading! đ"Uncle, bilang sama Mama Papa, Ara gak mau di asrama!" Pekik gadis berseragam putih biru pada pria di depannya."Nona tidak boleh seperti itu." Pintanya pada gadis yang sedang merajuk dengan wajah cemberut, tangan berkacak pinggang dan berdiri mengangkangi kaki kirinya."Bukan Nona!" Pekiknya lagi lebih keras dan menatap mata sang pria tajam.Menghela napas lelah, Jack–mengangguk. Gadis di depannya ini sangat keras kepala. "Iya, bukan Nona." Biarkan dia yang mengalah.Sedari dulu gadis ini memang tidak suka bila dirinya memanggil dengan sebutan "Nona". Dia ingin dipanggil dengan nama saja dan harus memiliki panggilan khusus darinya."Huaaa!" Tangis Nona Kecilnya akhirnya pecah dan langsung memeluk Jack erat. Tangisnya terdengar pilu di telinga Jack.