"Jack, ke ruangan saya sekarang!" Titah suara di seberang telepon, yang tak lain Hendro Dwingga–Tuannya.
"Siap, Tuan."
Telpon langsung dimatikan setelah mendapat jawaban Jack.
Jack yang masih istirahat pun bangkit–ia baru saja rebahan di pos satpam, tapi Tuannya sudah memanggilnya.
"Pak, saya masuk dulu. Dipanggil Tuan," pamitnya pada Pak Odang–satpam rumah Ara.
"Iya, silahkan." Balas Pak Odang ramah, pria lima puluh tahunan ini sudah sejak Ara kecil bekerja di sini. Dari beliau juga lah, Jack mencari informasi seputar keluarga Dwingga.
Tok! Tok!
"Masuk!"
Ceklek!
Ketika membuka pintu bercat coklat itu, nampak ruangan minimalis dengan rak-rak buku di sebelah kanan dan kiri ruangan. Satu single sofa, satu kursi tamu, juga satu kursi serta meja kerja untuk Tuannya. Dengan pemilik yang sedang sibuk meneliti data-data di laptopnya.
Pemandangan ini sudah tidak asing lagi di penglihatannya Jack. Dia yang sudah dua tahun lebih bekerja di sini pun sering memasuki ruangan ini, sekedar memberikan dokumen untuk Tuannya.
"Duduk Jack."
Jack menurut saja.
"Ada apa Tuan memanggil saya?" Jack langsung pada intinya.
Hendro menghentikan pekerjaannya, melepas kaca mata kerja dan memandang Jack lekat. Bodyguard putrinya ini sangat membantu dia dan istrinya untuk menjaga Sahara. Menggantikan Mbok Endang yang sudah meninggal.
"Kamu tau kan, Hara akan tinggal di asrama?" Ya, Jack tau.
"Iya Tuan." Jawab Jack di sertai anggukan kecil.
"Kamu yang pilih sekolahnya?" Kali ini Hendro memandang lekat Jack, wajah tampannya nampak sayu. Mungkin kelelahan mencari uang yang banyak.
Jack menggangguk, membenarkan. "Iya, Tuan. Apa ada yang salah?"
Hendro menggeleng, "Tidak. Tapi apa alasan kamu memilihkan pesantren untuk Hara?" Alasan ini yang ingin Hendri tahu, bukan tidak setuju. Hanya saja untuk lebih memastikan baik buruknya tinggal di pesantren.
"Nona perlu pendidikan agama, Tuan. Selama ini Nona hanya mendapatkan ilmu umum saja. Nona nol besar dalam hal agama, saya kira pesantren cocok untuk Nona." Jawab Jack kalem tidak ingin menyinggung alasan lain Jack memilihkan pesantren untuk Ara.
Hendro manggut-manggut lagi, nampaknya pebisnis sukses itu setuju dengan alasan Jack. Karena ia menyadari tidak bisa memberikan pendidikan agama untuk Hara, putri satu-satunya.
"Hah, kapan Hara berangkat?" Hendro membuka suara setelah keheningan melanda. Dan menurut Jack ini adalah pertanyaan gila! Jack mengumpat dalam hati. Membodohkan Tuannya yang tidak tahu sama sekali masalah putrinya. Hey, itu anakmu, masalah itupun dia tidak tahu. Batin Jack mengejek.
"Satu bulan lagi Tuan, tepatnya tanggal 5 July." Jelas Jack sedikit jengkel.
Hendro nampak berpikir, sepertinya ada sesuatu yang janggal di sini. "Oke, nanti kamu atur keberangkatan Hara. Karena tanggal satu Juli saya dan istri saya harus terbang ke Belanda. Dan setelahnya kami akan terbang ke Amerika menetap di sana sekitar dua tahun." Penjelasan Hendro membuat Jack terkejut. Apa tadi? Jack tidak salah dengarkan?
"Maaf sebelumnya, jadi maksud Tuan?" Lebih baik Jack berpura-pura tidak tahu.
Hah, Hendro menghela napas berat, sebenarnya dia juga tidak ingin hal ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi? Pekerjaannya juga penting, dan semua ini dia lakukan untuk Hara.
"Yah, kamu yang antar Hara ke sekolah barunya." Jelas Hendro santai.
"Maaf Tuan, bukan saya bersikap lancang. Tapi tidak bisakah anda meluangkan waktu sebentar saja, untuk mengantar Nona ke sekolah barunya?" Jack geram, wajahnya sudah memerah menahan amarahnya.
Dahi Hendro mengkerut, "maksud kamu apa?"
"Tidakkah Tuan pernah berpikir tentang Nona? Nona kesepian, dia merindukan kedua orangtuanya. Dia ingin layaknya anak-anak lain, yang orang tuanya ada di sampingnya. Menemani ketika susah, menjadi pendengar ceritanya setiap hari. Tuan dan Nyonya tidak pernah memikirkan perasaan Nona." Jelas Jack datar.
Brak!
Hendro menggebrak meja, emosinya muncul ke permukaan.
"Jaga ucapan kamu! Saya lebih tahu tentang putri saya! Siapa kamu berani mengomentari saya dalam memimpin keluarga saya!" Teriak Hendro murka, berani sekali bodyguard–nya ini.
Jack berdecih, "Maaf Tuan jika saya lancang. Saya hanya menyampaikan isi hati Nona. Jika tidak ada hal penting lagi, saya permisi."
Nafas Hendro belum beraturan, dadanya sesak membayangkan putrinya. Jika yang dikatakan Jack benar, maka berdosalah dia sebagai orang tua.
Hendro mengibaskan tangannya, "Keluar! Tugasmu hanya menjaga putriku, bukan mengurusi hal pribadinya."
Jack berdiri dari kursinya, melenggang pergi meninggalkan Hendro yang masih emosi. Heh, biarlah Tuan sok itu tahu.
Ara yang menuruni tangga melihat sosok kesayangannya langsung berlari semangat dengan senyum mengembang.
"Uncle!"
Jack yang mendengar panggilan Ara menoleh ke sumber suara. Ah, gadis kesayangannya.
Grep!
Ara langsung memeluk Jack, meluapkan kerinduan selama tujuh hari.
Satu minggu saja Ara sudah rindu berat, apalagi nanti ketika di asrama. Betapa akan merananya Ara, merindukan tanpa bisa bertemu.
"Hai, gimana jalan-jalannya?" Tanya Jack tanpa mengurai pelukan mereka.
Ara sumringah, "mantab Uncle. Besok pengen lagi."
"Lepas dulu ya pelukannya, ada papa sama mama."
"Oke."
Tumben anak ini tidak merajuk dulu? Pikir Jack heran, ah apakah Ara setelah ini akan terbiasa tanpa dirinya. Tuhan, rasanya berat jika itu akan terjadi, dua tahun lebih hari yang ia lalui penuh dengan Ara. Ara, Ara dan Ara. Nona kecilnya yang sangat Jack sayangi.
Kepulangannya kemarin menimbulkan konflik batin bagi Jack. Permintaan Bundanya sungguh diluar ekspektasinya. Dan bersifat mutlak bagi Jack. Tuhan, itu membuatnya frustrasi.
Mereka berdua berjalan menuju taman belakang yang memiliki gazebo dan kolam kecil untuk ikan hias.
Ara mengajak Jack duduk di gazebo, dia ingin menunjukkan sesuatu kepada Jack.
"Uncle, Ara ada sesuatu buat Uncle." Ungkap Ara sambil mengeluarkan benda pipih dari saku bajunya.
"Apa?"
"Nih! Cantikkan?" Hahaha." Ara menunjukkan sesuatu di hpnya.
Jack yang melihat sesosok perempuan dengan gamis dan jilbab berwarna maroon sangat terpana. Gadis itu berkali-kali lipat bertambah cantik. Tuhan, gadisnya. Gadis yang sangat cantik.
"Uncle, kok diam saja sih!" Ara mencebik sebal melihat respon Jack yang hanya diam saja.
Padahal menurutnya foto dirinya dengan baju muslimah terlihat sangat cantik. Kata Mama dan penjaga tadi juga cantik, apa Jack tidak suka ya? Eh, tapikan Jack yang merekomendasikan sekolah dengan pakaian tertutup semua.
Protesan Ara membuyarkan Jack dari keterpanaannya, "eh. Cantik, Ara sangat cantik." Hey, kenapa kau Jack? Bukankah Ara setiap harinya cantik, bahkan selalu menempel pada dirimu? Tapi kenapa Ara dengan tampilan ini sungguh sangat memesona. Membuat hati Jack berdesir halus.
"Yey! Cup. Sayang Uncle." Mendengar pujian Jack adalah hal terindah bagi Ara.
"Sayang Ara juga." Ungkap Jack sambil mengusap pucuk kepala Ara.
"Uncle, besok ikut antar Ara kan?" Tanya Ara penuh harap.
Jack yang melihat tatapan itu sungguh iba, bukan itu Ara sayang, tapi Uncle yang akan antar Ara, sendiri. Ingin Jack ucapkan semua itu, tapi Jack sadar itu bukan haknya. Biarkan Mama Papa Ara yang menjelaskan.
Jack tersenyum, bulu halus di wajahnya menggoda Ara untuk menyentuhnya.
"Uncle keren, berewokan. Hihihi."
"Ara suka yang brewokan?" Goda Jack, yang masih menikmati usapan tangan Ara di wajahnya. Ugh, sebenarnya dia takut ketahuan Tuan dan Nyonya. Bisa berabe nanti urusannya.
"Iya. Tapi cuma Uncle yang Ara suka."
Astaga, hanya kata-kata sederhana, tapi mampu membuat Jack melayang. Tuhan, Jack melayang dengan kata-kata gadis kecil seperti Ara."Hm."
"Nanti pokoknya Uncle harus bantuin Ara packing. Oke?"
"Oke."
"Sip."
😚
"Mama sama Papa mau kemana?" Tanya Ara penasaran yang melihat Mama Papanya membawa koper besar di pagi buta.
Ara bukan tidak tahu, hanya saja ia memastikan pemikirannya. Ya, mungkin dia salah.
Riska dan Hendro yang mendengar suara putrinya pun berhenti menyeret koper. Mereka berbalik, meninggalkan kopernya dan menghampiri Hara yang masih memakai baju tidur.
"Mama sama Papa mau ke Belanda, Sayang." Tutur Riska sambil membelai pucuk kepala Ara sayang.
Ara belum merespon, otaknya masih mencerna perkataan Mamanya.
Deg. "Maksud Mama?" Mata Ara bahkan sudah berkaca-kaca.
Riska dan Hendro nampak bersalah pada putrinya. "Maafin Mama sama Papa ya, Sayang. Tidak bisa ikut mengantar Hara ke sekolah baru." Sesal Hendro sambil memeluk Ara.
Ara diam, air matanya kini sudah mengalir membasahi pipi chubby nya.
"Hey, jangan nangis! Ada Jack yang bakal antar Ara. Nanti kalau urusan Mama, sama Papa sudah selesai, kami akan jenguk Hara." Riska mencoba meredam tangis Ara.
"Mama Papa jahat!" Teriak Ara setelah berhasil melepaskan diri dari pelukan Mama Papanya.
"Mama sama Papa cuma mikir kerja! Kerja! Kerja! Gak pernah ada buat Ara! Ara benci! Benci!" Teriak Ara histeris, dia pun berlari meninggalkan Mama Papanya menuju kamar Jack. Ah, Jack lagi. Jack lagi.
Riska dan Hendro mendengar itu shock. Putrinya baru saja berkata benci kepada mereka. Bahkan sambil menangis histeris.
"Pa..." Panggil Riska yang sudah menangis.
"Ssttt!" Hendro menarik Riska ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan, padahal dia juga ingin menangis.
"Ha-ra, hiks.. benci kita. Ma-ma bukan hiks.. ibu yang baik."
"Sudah, mungkin Hara hanya kaget saja. Nanti kita bisa bicarakan baik-baik."
"Tuan, mobil sudah siap." Suara supir pribadi Hendro mengingatkan bahwa mereka harus segera pergi.
"Iya, tunggu sebentar. Ayo Ma, kita berangkat. Nanti kita telpon Hara." Ajak Hendro menuju mobil yang sudah siap meluncur.
Riska hanya mengangguk, sesenggukan nya belum hilang. Dia ingin tinggal, tapi bagaimana dengan suaminya nanti.
Riska tidak ingin Hendro di sana sendiri dan tergoda oleh perempuan lain. Yah, katakan Riska pencemburu, tapi memang itu kenyataannya.
Meski tidak muda lagi, tapi bukan tidak mungkinkan banyak pelakor di luaran sana. Apalagi suaminya termasuk pebisnis sukses, baik di dalam maupun luar negeri. Dan Riska tidak ingin itu terjadi, makanya dia akan ikut kemana saja suaminya pergi.
Dia juga bisa membantu suaminya, karena dulu sebelum menjadi istri Hendro Dwingga, Riska adalah sekretaris di salah satu sahabat perusahaan milik Hendro. Jadi, Riska tidak hanya menganggur di sana. Meskipun pada akhirnya keputusannya membuat putri kecilnya terluka dan membencinya.
Happy reading!💞💞
Assalamualaikum,Happy reading! 😚"Uncle, bilang sama Mama Papa, Ara gak mau di asrama!" Pekik gadis berseragam putih biru pada pria di depannya."Nona tidak boleh seperti itu." Pintanya pada gadis yang sedang merajuk dengan wajah cemberut, tangan berkacak pinggang dan berdiri mengangkangi kaki kirinya."Bukan Nona!" Pekiknya lagi lebih keras dan menatap mata sang pria tajam.Menghela napas lelah, Jack–mengangguk. Gadis di depannya ini sangat keras kepala. "Iya, bukan Nona." Biarkan dia yang mengalah.Sedari dulu gadis ini memang tidak suka bila dirinya memanggil dengan sebutan "Nona". Dia ingin dipanggil dengan nama saja dan harus memiliki panggilan khusus darinya."Huaaa!" Tangis Nona Kecilnya akhirnya pecah dan langsung memeluk Jack erat. Tangisnya terdengar pilu di telinga Jack.
Assalamualaikum,Happy reading semua..."Hara kapan ujiannya?" Tanya perempuan berusia 40 tahun di depan Ara, yang tidak lain Riska Dwingga–mama Ara.Ara yang ditanya hanya mengedikan bahu, masih fokus pada kunyahannya "Kurang tau, Ma. Kata guru Hara, satu bulan lagi." Jawabnya setelah menelan kunyahannya."Kalau butuh sesuatu telpon Mama atau Papa, ya? Siang nanti Mama sama Papa mau berangkat ke Lamongan. Kita seminggu di sana." Laporan wajib Mama Ara. Selalu begitu, pulang sehari. Pergi berminggu-minggu. Tidakkah ada niat mereka untuk menemani Ara barang sebentar saja?"Iya." Jawab Hara singkat tanpa minat."Hara sudah ambil keputusan belum, yang Papa minta kemarin?" Tanya Riska lagi.Ara menghentikan makannya, ia menatap orang tuanya serius. "Mama sama Papa pengen banget ya, Hara tinggal di asrama?" Tanya Ara sedikit sinis.
Menyesap rokok di tengah malam tidak menjadikan Jack lebih baik. Dia bukan perokok, hanya saja sesekali jika masalahnya menumpuk maka dia akan menyulutnya.Seperti halnya malam ini, pikirannya berkelana pada Ara, Nona Kecilnya yang sedang merayakan kelulusannya bersama kedua orangtuanya.Mungkin hal itu yang dibenci Ara, karena menggagalkan rencana mereka berdua. Rencana yang sudah disusun Ara jauh-jauh hari, mengingat kedua orang tua Ara yang belum kembali dari perjalanan bisnis di Italia.Tapi bagai kejutan, pagi tadi mereka pulang dan langsung membuat agenda untuk Ara tentunya tanpa ada dirinya. Ah, ia lupa. Siapa lah dirinya?Tugas dari Tuan Hendro sudah Jack laksanakan dan sekarang tugasnya menunggu rumah megah bergaya Eropa dengan Timur milik keluarga Hendro. Sebenarnya ini juga bisa ia jadikan waktu untuk mengistirahatkan pikirannya.
"Jack, ke ruangan saya sekarang!" Titah suara di seberang telepon, yang tak lain Hendro Dwingga–Tuannya. "Siap, Tuan." Telpon langsung dimatikan setelah mendapat jawaban Jack. Jack yang masih istirahat pun bangkit–ia baru saja rebahan di pos satpam, tapi Tuannya sudah memanggilnya. "Pak, saya masuk dulu. Dipanggil Tuan," pamitnya pada Pak Odang–satpam rumah Ara. "Iya, silahkan." Balas Pak Odang ramah, pria lima puluh tahunan ini sudah sejak Ara kecil bekerja di sini. Dari beliau juga lah, Jack mencari informasi seputar keluarga Dwingga. Tok! Tok! "Masuk!" Ceklek! Ketika membuka pintu bercat coklat itu, nampak ruangan minimalis dengan rak-rak buku di sebelah kanan dan kiri ruangan. Satu single sofa, satu kursi tamu, juga satu kursi serta meja kerja untuk Tuannya. Dengan pemilik yang sedan
Menyesap rokok di tengah malam tidak menjadikan Jack lebih baik. Dia bukan perokok, hanya saja sesekali jika masalahnya menumpuk maka dia akan menyulutnya.Seperti halnya malam ini, pikirannya berkelana pada Ara, Nona Kecilnya yang sedang merayakan kelulusannya bersama kedua orangtuanya.Mungkin hal itu yang dibenci Ara, karena menggagalkan rencana mereka berdua. Rencana yang sudah disusun Ara jauh-jauh hari, mengingat kedua orang tua Ara yang belum kembali dari perjalanan bisnis di Italia.Tapi bagai kejutan, pagi tadi mereka pulang dan langsung membuat agenda untuk Ara tentunya tanpa ada dirinya. Ah, ia lupa. Siapa lah dirinya?Tugas dari Tuan Hendro sudah Jack laksanakan dan sekarang tugasnya menunggu rumah megah bergaya Eropa dengan Timur milik keluarga Hendro. Sebenarnya ini juga bisa ia jadikan waktu untuk mengistirahatkan pikirannya.
Assalamualaikum,Happy reading semua..."Hara kapan ujiannya?" Tanya perempuan berusia 40 tahun di depan Ara, yang tidak lain Riska Dwingga–mama Ara.Ara yang ditanya hanya mengedikan bahu, masih fokus pada kunyahannya "Kurang tau, Ma. Kata guru Hara, satu bulan lagi." Jawabnya setelah menelan kunyahannya."Kalau butuh sesuatu telpon Mama atau Papa, ya? Siang nanti Mama sama Papa mau berangkat ke Lamongan. Kita seminggu di sana." Laporan wajib Mama Ara. Selalu begitu, pulang sehari. Pergi berminggu-minggu. Tidakkah ada niat mereka untuk menemani Ara barang sebentar saja?"Iya." Jawab Hara singkat tanpa minat."Hara sudah ambil keputusan belum, yang Papa minta kemarin?" Tanya Riska lagi.Ara menghentikan makannya, ia menatap orang tuanya serius. "Mama sama Papa pengen banget ya, Hara tinggal di asrama?" Tanya Ara sedikit sinis.
Assalamualaikum,Happy reading! 😚"Uncle, bilang sama Mama Papa, Ara gak mau di asrama!" Pekik gadis berseragam putih biru pada pria di depannya."Nona tidak boleh seperti itu." Pintanya pada gadis yang sedang merajuk dengan wajah cemberut, tangan berkacak pinggang dan berdiri mengangkangi kaki kirinya."Bukan Nona!" Pekiknya lagi lebih keras dan menatap mata sang pria tajam.Menghela napas lelah, Jack–mengangguk. Gadis di depannya ini sangat keras kepala. "Iya, bukan Nona." Biarkan dia yang mengalah.Sedari dulu gadis ini memang tidak suka bila dirinya memanggil dengan sebutan "Nona". Dia ingin dipanggil dengan nama saja dan harus memiliki panggilan khusus darinya."Huaaa!" Tangis Nona Kecilnya akhirnya pecah dan langsung memeluk Jack erat. Tangisnya terdengar pilu di telinga Jack.