"Biarkan aku sendiri," jawab Adisty lirih.
"Sendiri tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus bicara," pungkas Ricko.
"Bicara? Apa dengan bicara akan menjamin masalah kita selesai?" Adisty mulai mencecar perkataan Ricko.
"Kenapa kau menjadi pemarah seperti ini?" tanya Ricko.
"Aku! Pemarah? Harusnya kau tanya penyebabnya kenapa aku keluar dari pesta itu!" sentak Adisty.
Baru kali ini Adisty begitu marah pada Ricko. Pernikahan menunjukkan sifat asli masing-masing.
**
Hari berikutnya, Adisty memilih menghindar dari Ricko. Ia enggan berbicara banyak pada suaminya. Saat Ricko berangkat kerja, Adisty pura-pura masih tidur. Ia malas berbicara dengan Ricko jika dalam kondisi marah. Yang ada ia pasti akan mengeluarkan kata-kata menyakitkan untuk saling mempertahankan argumen masing-masing.Dalam keadaan mata terpejam, Adisty merasa ada yang mengecup keningnya. Tapi ia malas untuk membuka mata. Ricko menyingk
"Aku tidak tahu kenapa kita menikah tapi malahan bertengkar terus menerus?" tanya Ricko.Adisty terdiam, dia tidak mungkin marah jika tidak ada alasan. Masalah selalu datang beruntun menguji cinta mereka. Adisty merasa tidak cocok dengan kehidupan Ricko. Suaminya terlalu banyak penggemar, ia sering di buat cemburu oleh wanita yang ada di sekitar Ricko."Kurasa, kita memang tidak cocok. Aku seperti Cinderella yang mengharapkan kehidupanku akan bahagia sempurna setelah di pinang oleh pangeran tampan. Nyatanya, setiap hari aku makan hati dengan orang-orang di sekelilingmu," kata Adisty.Ia tidur berbaring memunggungi Ricko. Rasanya sesak sekali, menyaksikan pria yang di cintai berciuman dengan wanita lain. Ricko mencoba menenangkan hati Adisty. Ia juga merasa bersalah pada istrinya. Adisty terus saja menepis tangan Ricko. Namun Ricko tidak berhenti untuk memeluk tubuh Adisty dari belakang."Kumohon, jangan menangis. Maafkanlah aku. Aku benar-benar tidak berm
Ricko menuruti keinginan Adisty, ia pindah di kamar sebelah membawa sebagian pakaiannya. Ia hanya ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Ricko pikir mungkin Adisty membutuhkan waktu untuk memaafkannya.Ketika menikah, Ricko menjadi tahu beberapa karakter Adisty yang dulunya tidak di terlihat saat masih pacaran. Namun mengingat hormon seorang wanita yang tengah hamil muda menjadikan Ricko lebih banyak bersabar. Ia juga menyadari bahwa amarah Adisty muncul karena kebodohannya juga dalam menghadapi penggemarnya.Seperti biasa Ricko berangkat ke kantor, sesaat ia melihat ke arah rumah megahnya. Hatinya berharap Adisty tengah melambaikan kepadanya. Atau membayangkan mencium punggung tangannya sebelum pergi. Ricko hanya bisa menghela nafas beratnya. Ia sadar, Adisty masih marah padanya mana mungkin mau mengantarnya sampai depan pintu utama."Jalan!" perintah Ricko pada sopirnya.Mobil itu pun melaju meninggalkan halaman rumah mewahnya. Tanpa Ricko sa
Keduanya telah sampai di kedai makan andalan mereka dulu. Namun, tiba-tiba wajah Adisty langsung pucat buru-buru ia kembali keluar dati kedai itu dengan membungkam mulutnya."Ada apa?" tanya Rania bingung."Sepertinya aku tidak sanggup jika masuk ke dalam. Perutku terasa teraduk-aduk ingin muntah," kata Adisty."Kau sedang hamil?" tanya Rania.Adisty mengangguk, sebenarnya ia tidak ingin mengatakan berita bahagia itu pada Rania. Takut sahabatnya teringat kembali dengan peristiwa kegugurannya."Selamat ya, aku ikut senang akhirnya sebentar lagi kau akan menjadi mama," peluk Rania."Makasih." Adisty hanya bisa membalasnya dengan senyuman."Kita cari tempat lain saja, kurasa jika memaksa makan di sini yang ada aku akan kerepotan," kata Rania."Maaf, ya," sesal Adisty."Maaf, itu memang bawaan orang hamil tau. Jangan merasa bersalah, dulu aku juga pernah merasakannya meskipun _,"Rania tidak jadi mel
Jam kerja Ricko sudah usai, ia menutup laptopnya menggerakkan punggungnya ke kanan dan ke kiri untuk melepaskan penatnya. Ia melihat ponselnya yang tergeletak di meja. Tak satu pun ada notifikasi pesan dari Adisty. Apakah benar Adisty mulai mengabaikannya?Ricko ingin menghubungi Adisty, ia sudah memegang ponselnya namun di urungkan niatnya. Ada sedikit keraguan menghantui hatinya. Ia takut, jika Adisty tidak mau mengangkat teleponnya. Sejuta keraguan menyurutkan niatnya. Akhirnya, ia putuskan untuk pulang saja melihat keberadaan Adisty secara langsung. Mungkin sekarang dia sudah pulang ke rumah.Benar, Adisty memang sekarang sudah kembali ke rumah setelah habis berjalan-jalan dengan Rania. Ia melepaskan letihnya dengan berbaring di ranjangnya yang empuk. Pikirannya menerawang menunggu kedatangan Ricko. Ia menimang-nimang ponselnya, melihat benda pipih itu sesaat. Membuka galeri foto yang menyimpan beberapa kenangan saat bersama Ricko.Tanpa sadar Adisty t
Pagi pun tiba, Adisty dan Ricko sudah duduk di meja makan menikmati sarapan pagi. Tidak seperti biasanya mereka duduk berdampingan, bahkan bergantian saling menyuapi satu sama lain. Para pelayan yang melihat tingkah mereka ikut berbahagia melihat Tuan dan Nyonyanya sudah berdamai.Ricko senang hari ini Adisty terlihat lahap menyantap makanannya. Pasalnya ia khawatir jika Adisty mengalami muntah-muntah seperti kemarin. Tubuh Adisty menjadi mudah lemas tak berdaya. Ricko tidak tega menyaksikan istrinya kelihatan menderita hamil anak pertamanya."Setelah ini aku akan mengajakmu jalan-jalan, sayang," kata Ricko sembari makan."Benarkah?" tanya Adisty dengan mata berbinar.Ricko mengangguk pelan lalu melanjutkan makannya. Usai makan, Adisty naik ke kamar atas untuk berganti pakaian. Ia ingin mempersiapkan dirinya untuk jalan-jalan. Kali ini Adisty ingin berdandan lebih cantik dari biasanya.Hatinya bahagia karena ganjalan di hati sudah tidak ada.
"Kita harus pulang sekarang, kakek masuk rumah sakit lagi," kata Ricko dengan wajah cemas."Apa yang terjadi dengan kakek?" tanya Adisty terkejut."Nanti aku jelaskan di mobil, yang jelas kita harus berangkat sekarang," jawab Ricko mengambil jaket yang tersampir di kursi. Ia memberikan jaket satunya pada Adisty karena udara di luar sangat dingin.Adisty yang masih kebingungan menuruti apa perkataan suaminya. Mereka meninggalkan villa secara tiba-tiba. Malam yang harusnya di lalui dengan kehangatan berdua gagal sudah. Kecemasan Ricko mengenai kesehatan kakeknya jauh lebih penting.Mobil meluncur membelah jalan yang basah karena hujan. Untung saja lampu jalanan menyala jadi tidak terlalu gelap. Adisty bersedekap memakai jaket tebal yang membalut tubuhnya. Begitu juga Ricko memakai jaket berwarna abu-abu bertudung kepala. Wajahnya terlihat serius, memandangi arah jalanan. Entah apa yang di pikirkannya.Adisty tidak berani bertanya setelah
Adisty dan Ricko sudah sampai di kediaman kakek Fermount. Para pelayan sibuk mengeluarkan beberapa koper dari bagasi mobil. Sementara Ricko dan Adisty memasuki ruang utama. Matanya celingukan menyapu ke segala arah. Meskipun ia pernah datang ke rumah kakek Fermount, tapi Adisty masih saja terkagum-kagum melihat kemewahan arsitekturnya."Ayo kita temui kakek di lantai atas," ajak Ricko.Adisty mengangguk mengiyakan, sambil menaiki anak tangga ia melihat foto Ricko yang terpajang di dinding. Foto itu mulai dari usia bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa. Memang dari kecil Ricko sudah terlihat ketampanannya."Apa yang kau lihat sayang?" tanya Ricko."Eh, tidak. Aku hanya melihat fotomu di dinding. Lucu dan menggemaskan," jawab Adisty.Ricko mendongak menatap ke arah pandang Adisty. Ia menjadi malu, karena Adisty melihat foto di masa kecilnya yang masih culun."Hei, mengapa wajahmu memerah?" goda Adisty."Siapa yang memerah?"
Seorang wanita berambut blonde usia paruh baya tidak muda lagi sedang menarik kopernya menuju ke arah taksi yang sudah menunggunya."Jalan!"Wanita itu membuka kacamata hitamnya melihat jalanan meninggalkan lokasi bandara. Rambutnya yang di cat kecoklatan pekat tampak membuatnya terlihat lebih muda dari usianya."Akhirnya aku bisa kembali ke sini," ujar Carlota. Ia melihat pemandangan gedung pencakar langit yang ada di luar jendela mobil. Kenangannya dengan seorang pria kembali menyeruak dalam ingatannya. Pria itu adalah papanya Ricko yang telah lama meninggal.Wanita itu mengambil benda pipih dalam tas mungilnya. Sepertinya ia menghubungi seseorang untuk menemuinya."Hai, kakek tersayang, bagaimana kabarmu?" Carlota meletakkan benda pipih itu di telinganya.Dari arah lain, kakek Fermount berwajah masam. Akhirnya yang ia takutkan tiba. Wanita penyihir itu sudah datang untuk membuat kerusuhan. Sama halnya yang telah ia
Tiga tahun kemudian.Adisty memejamkan mata kala Ricko mau mendaratkan bibirnya di bibir Adisty.Melihat reaksi istrinya yang seolah membuka pintu untuknya. Ricko melanjutkan aksinya merebahkan Adisty di pembaringan. Kemudian mengecup kelopak mata wanita itu satu persatu. Jari-jari Ricko bergerak turun membuka kancing baju Adisty satu persatu."Tok ... tok ... tok!""Mama ... mama!" teriak Austin dari luar."Oh, sayang milikku sudah menegang haruskah kita berhenti lagi seperti kemarin," keluh Ricko."Iya, Austin di luar sayang. Kasihan dia, kalau lama menunggu. Kamu tahu sendirikan jika dia menangis, susah menenangkannya," sahut Adisty.Adisty membenarkan letak kancingnya lagi dan buru-buru membuka pintu untuk putra kecilnya."Ada sayang?" tanya Adisty."Austin, tidak bisa tidur. Boleh Austin tidur sama mama?" tanya Austin polos."Tidak boleh, Austin harus belajar mandiri tidur di kamar sendiri," ucap Ricko.
"Awas ya, kalau kau sampai meninggalkanku. Ku kejar sampai ujung dunia," balas Ricko. Keduanya tertawa bahagia. Mereka berpandangan satu sama lain, pandangan penuh cinta.Sebuah bunyi telepon mengagetkan keduanya yang sedang bernostalgia."Dari siapa sayang?" tanya Ricko."Kakek," ucap Adisty."Lalu, kenapa wajahmu pucat seperti itu?" tanya Ricko.Adisty tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Berita dari Kakek Fermount mengenai pelaku kejahatan yang mengakibatkan Ricko amnesia kini telah di ketahui siapa pelakunya."Ada apa sayang?" tanya Ricko."Tadi kakek memberitahu jika pelakunya sudah ketemu.""Oh, ya. Siapa pelakunya?" tanya Ricko."Ibu tirimu," jawab Adisty pendek."Sudah kuduga, hanya dia satu-satinya orang di dunia ini yang punya alasan ingin melenyapkanku," kata Ricko."Kata kakek, pihak keamanan telah melihat bukti lewat CCTV kota, orang suruhan itu juga merupakan penjahat yang menjadi buronan se
Setelah melakukan pergumulan semalam, pagi hari Rania mendapati tubuh polosnya tengah di peluk Kevin. Ia terperanjat kaget, melihat laki-laki tampan itu masih memeluknya dengan wajah tak bersalah. Sialnya lagi milik Kevin masih menancap lewat belakang. Rania seakan terjebak, ketika ia bergerak justru benda itu juga ikut bergerak di dalam. Dan Rania tanpa sadar mendesah pelan.Kevin sebenarnya pura-pura tidur, ia sudah bangun dari tadi. Hanya saja ia tidak ingin wanita yang di cintainya segera pergi. Jadi, ia melakukan aksi pura-pura tidur.Lagi-lagi Kevin menghujamkan miliknya dalam keadaan mata terpejam. Rania mendesah hebat, dan Kevin menyukai suara desahan itu. Semakin cepat ia memompa milik Rania, semakin sering ia mendengar desahan wanita itu. Hingga akhirnya mereka melakukan pelepasan lagi.Rania baru sadar jika Kevin pasti tidak tidur. Lelaki itu hanya pura-pura saja. Ia mencubit lengan Kevin dengan kencang."Aww!" teriak Kevin.
"Bagaimana Dok, kondisi suami saya?" tanya Adisty cemas."Kami sudah melakukan pengecekan, setidaknya tidak ada pendarahan di otaknya. Itu sudah merupakan kabar yang bagus," kata dokter."Iya, tapi apakah dia akan koma ... atau_,""Tenanglah, Nyonya. Kami akan berusaha yang terbaik," kata dokter."Iya," jawab Adisty lemah. Ia kembali melihat Ricko di balik kaca. Air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus memaksa agar ingatan Ricko pulih."Berdoalah Nyonya, suami Anda bisa melewati masa kritisnya malam ini. Jika masa kritis berhasil di lewati, kemungkinan besar ia dapat sembuh," terang dokter.Adisty hanya menjawabnya dengan anggukan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nyonya untuk mengecek pasien lainnya," kata dokter pergi meninggalkan Adisty."Bagaimana keadaan Tuan Ricko?" tanya Kevin yang tiba-tiba muncul bersama Rania."Dia ... aku tidak bisa menjelaskannya. Kalian lihat s
"Tidak usah gugup, biasa saja," kata Adisty. Ricko tersenyum datar. Ia merasa Adisty bisa membaca pikirannya."Aku mandi dulu," kata Ricko untuk menghindari suasana yang canggung.ya," jawab Adisty. Wanita itu merebahkan tubuhnya yang penat karena jalan-jalan di Mall.Terdengar suara gemericik air shower kamar mandi. Adisty memilih memejamkan matanya sambil menunggu Ricko selesai mandi. Ia tiba-tiba terbangun teringat sesuatu. Lalu ia beringsut turun dari ranjang."Ada apa?" tanya Ricko yang baru saja keluar dari kamar mandi.Melihat tubuh Ricko yang hanya berbalut handuk saja sebatas perut dan buliran air menetes di rambutnya yang basah. Membasahi tubuh sixpack pria itu. Adisty menelan salivanya."Eh, tidak apa-apa. Aku hanya mau ambil ini," kata Adisty meraih ponselnya. Padahal sebelumnya ia ingin melihat sesuatu di dalam tasnya yang baru saja di beli di Mall tadi."Ada yang ingin kau telepon?" tanya Ricko mengernyitkan dahiny
Seperti biasa Adisty menunggu Ricko pulang kerja. Kali ini ia menunggu tidak di rumah melainkan di Mall untuk membeli keperluan bayi. Ia merasa bosan jika di rumah terus, apalagi Ricko kerja sampai sore. Malahan terkadang pulang sampai malam. Alhasil, Adisty bosan jika terus-terusan di rumah.Adisty memakai longdres pendek selutut dengan kardigan yang menutupi lengannya. Ia menenteng sebuah tas kecil berwarna putih mengkilap. Tak ada yang tahu jika tas yang di bawanya itu limited edition.Kaki Adisty yang berbalut flat shoes mengingat kehamilannya sudah usia tidak muda lagi. Tentunya ia akan mudah kecapekan tidak seperti dulu. Dua orang pelayan setianya mengikuti pergerakan Adisty kemanapun. Mereka selalu siap sedia jika Adisty menginginkan bantuan.Di telinga Adisty terdengar tawa yang tak begitu asing. Ia melihat dua orang wanita tengah mengobrol di cafe yang tak jauh dari temptanya berdiri. Adisty merasa kenal dengan wanita itu. Mereka adala
Adisty berdiri di depan pintu kamar Ricko menelan kekecewaan. Ia pun berlalu dan kembali ke kamarnya sendiri. Tak terasa air matanya menetes, ia merasa Ricko benar-benar sudah berubah seperti orang lain.Hari berikutnya, Adisty masih melayani kebutuhan Ricko seperti biasanya. Laki-laki itu memilih banyak diam. Meskipun Adisty sudah berusaha ramah padanya, tapi Ricko terlihat cuek. Semakin hari Adisty merasa hidupnya kesepian. Terlebih lagi kandungannya sekarang tambah membesar. Ia butuh perhatian. Jika ia banyak pikiran bisa mengganggu perkembangan janinnya."Bisa kita bicara?" tanya Adisty."Bicara tentang apa?" Ricko balik bertanya."Tentang kita," jawab Adisty.Ricko tersenyum sinis. "Tentang kita, bukankah kau sudah tahu hubungan kita seperti apa. Aku tidak bisa mengingat apapun. Jadi, aku tidak bisa menjadi suami yang kamu mau," ucap Ricko tegas."Ya, aku tahu. Tapi, bayi dalam kandunganku tidak tahu apa-apa. Aku ingin dia l
Adisty tidak berhenti menangis melihat kondisi Ricko yang masih terbaring koma. Darren datang bersama ibunya menjenguk Ricko di rumah sakit. Ricko belum sadarkan diri. Ia masih dalam keadaan koma. Merasa ada yang menepuk pundaknya, Adisty menoleh ke belakang. Ia tersenyum pada Darren dan menyeka air matanya. Adisty memeluk mamanya erat. Ia pun menangis lagi."Ricko, Ma ...," tangis Adisty."Ya, mama tahu. Kamu bersabarlah, ini ujian," kata mama Adisty. Wanita paruh baya itu mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih sayang."Yang sabar, sayang. Semua sudah kehendak Yang Mah Kuasa," kata mama Adisty.Adisty masih menangis terisak-isak, menatap Ricko yang masih belum sadarkan diri. Ia semakin takut jika terjadi apa-apa pada Ricko."Kak, yang sabar ya. Kak Ricko sekarang juga sedang berjuang melawan maut," kata Darren menguatkan hati Adisty."Berdoalah kepada Tuhan, agar suamimu segera sembuh," kata mama Adisty.Adisty mengangguk. Ia pu
Rania masih tertidur pulas akibat obat bius yang di suntikkan padanya. Kevin terlihat duduk di samping Rania dengan menggenggam tangan istrinya. Mendengar pintu ruangan ada yang mendorong, Kevin menoleh ke belakang."Rupanya kau sudah di sini," tukas Ricko. Dari belakang punggung Ricko muncul Adisty."Bagaimana keadaannya?" tanya Adisty cemas."Sudah lebih baik," jawab Kevin sembari membuka kacamatanya. Terlihat dari wajahnya, sedih, muram dan kelelahan.Adisty mendekati Rania dan mengusap dahi sahabatnya dengan pandangan prihatin. "Kasihan, dia terus saja menangisi nasibnya," tutur Adisty."Ini salahku, tak seharusnya aku seceroboh itu," sesal Kevin."Ya, kau memang sangat ceroboh. Kau bisa membunuh istrimu sendiri dengan semua keteledoranmu!" ucap Adisty kesal.Kevin menunduk. Ia tidak membantah semua omongan Adisty. Karena ia tahu semua itu benar. Koni yang ia inginkan Rania segera siuman. Ia ingin kembali pada Rania. Meskipun anga