"Kita harus pulang sekarang, kakek masuk rumah sakit lagi," kata Ricko dengan wajah cemas.
"Apa yang terjadi dengan kakek?" tanya Adisty terkejut.
"Nanti aku jelaskan di mobil, yang jelas kita harus berangkat sekarang," jawab Ricko mengambil jaket yang tersampir di kursi. Ia memberikan jaket satunya pada Adisty karena udara di luar sangat dingin.
Adisty yang masih kebingungan menuruti apa perkataan suaminya. Mereka meninggalkan villa secara tiba-tiba. Malam yang harusnya di lalui dengan kehangatan berdua gagal sudah. Kecemasan Ricko mengenai kesehatan kakeknya jauh lebih penting.
Mobil meluncur membelah jalan yang basah karena hujan. Untung saja lampu jalanan menyala jadi tidak terlalu gelap. Adisty bersedekap memakai jaket tebal yang membalut tubuhnya. Begitu juga Ricko memakai jaket berwarna abu-abu bertudung kepala. Wajahnya terlihat serius, memandangi arah jalanan. Entah apa yang di pikirkannya.
Adisty tidak berani bertanya setelah
Adisty dan Ricko sudah sampai di kediaman kakek Fermount. Para pelayan sibuk mengeluarkan beberapa koper dari bagasi mobil. Sementara Ricko dan Adisty memasuki ruang utama. Matanya celingukan menyapu ke segala arah. Meskipun ia pernah datang ke rumah kakek Fermount, tapi Adisty masih saja terkagum-kagum melihat kemewahan arsitekturnya."Ayo kita temui kakek di lantai atas," ajak Ricko.Adisty mengangguk mengiyakan, sambil menaiki anak tangga ia melihat foto Ricko yang terpajang di dinding. Foto itu mulai dari usia bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa. Memang dari kecil Ricko sudah terlihat ketampanannya."Apa yang kau lihat sayang?" tanya Ricko."Eh, tidak. Aku hanya melihat fotomu di dinding. Lucu dan menggemaskan," jawab Adisty.Ricko mendongak menatap ke arah pandang Adisty. Ia menjadi malu, karena Adisty melihat foto di masa kecilnya yang masih culun."Hei, mengapa wajahmu memerah?" goda Adisty."Siapa yang memerah?"
Seorang wanita berambut blonde usia paruh baya tidak muda lagi sedang menarik kopernya menuju ke arah taksi yang sudah menunggunya."Jalan!"Wanita itu membuka kacamata hitamnya melihat jalanan meninggalkan lokasi bandara. Rambutnya yang di cat kecoklatan pekat tampak membuatnya terlihat lebih muda dari usianya."Akhirnya aku bisa kembali ke sini," ujar Carlota. Ia melihat pemandangan gedung pencakar langit yang ada di luar jendela mobil. Kenangannya dengan seorang pria kembali menyeruak dalam ingatannya. Pria itu adalah papanya Ricko yang telah lama meninggal.Wanita itu mengambil benda pipih dalam tas mungilnya. Sepertinya ia menghubungi seseorang untuk menemuinya."Hai, kakek tersayang, bagaimana kabarmu?" Carlota meletakkan benda pipih itu di telinganya.Dari arah lain, kakek Fermount berwajah masam. Akhirnya yang ia takutkan tiba. Wanita penyihir itu sudah datang untuk membuat kerusuhan. Sama halnya yang telah ia
"Apa yang terjadi?"Adisty dan kakek Fermount spontan menoleh ke belakang. Wajah mereka terlihat pucat melihat siapa yang datang."Sayang, kau sudah pulang rupanya," kata Adisty menutupi keterkejutannya."Ya, hari ini tidak ada rapat jadi aku bisa pulang cepat," kata Ricko. Mata Ricko berusaha menelisik menyelami bola mata Adisty. Adisty segera melihat ke arah lain. Ia merangkul lengan Ricko."Sebaiknya kau istirahat dulu. Akan kusiapkan mandi air hangat untukmu," ucap Adisty. Tubuh Ricko tidak mau bergerak mengikuti langkah Adisty."Katakan, apa yang terjadi hari ini? Kenapa aku merasakan kalian menyembunyikan sesuatu dariku," selidik Ricko.Lagi-lagi Adisty terdiam. Ia melihat ke arah kakek Fermount."Tidak ada. Sebaiknya ajak Ricko istirahat di kamarnya," ucap kakek Fermount."Ayo, sayang," ajak Adisty.Ricko tidak bisa membantah ajakan istrinya. Lagipula ia memang sangat lelah hari ini.Sementara d
Ricko melihat Carlota berbagi selimut dengan pria muda dalam keadaan setengah telanjang. "Kau pergi dari sini!" usir Ricko. Lelaki itu buru-buru memakai pakaiannya. Adisty merasa risih melihat pemandangan itu. Ia memilih menatap ke arah lain. "Nanti aku akan transfer ke rekeningmu," ucap Carlota santai. Tak ada rasa bersalah terlihat dari wajahnya. Pemuda itu mengangguk pelan, lalu pergi dari kamarnya Carlota. Sementara Carlota membalut tubuhnya dengan selimut dan tersenyum pada Ricko. "Kau sudah mengotori kamar papaku dengan membawa gigolo itu kemari! Sekarang kemasi barangmu! Dan enyahlah dari sini!" perintah Ricko. "Putraku, jangan terlalu emosi. Kau harus mengerti, aku juga butuh belaian seorang pria setelah kematian papamu," celetuk Carlota. Tak ada rasa bersalah sedikitpun ketika mengucapkannya. "Dan sejak kapan kau menikah dengan wanita miskin seperti dia. Kurasa aku bisa mencarikanmu seorang istr
"Sayang, lama tidak bertemu," ucap wanita seksi itu. Adisty terperangah kaget, begitu juga Ricko."Jessica," ujar Ricko. Ia kaget melihat Jessica berdiri di depannya.Ricko menepis tangan Jessica. Pandangan Ricko beralih ke Adisty. Ia tidak menyangka jika yang di marahi Jessica adalah istrinya. Dua orang pelayan membersihkan muntahan Adisty."Kamu tahu, wanita kampungan ini muntah di baju temanku," adu Jessica."Ia benar-benar tidak tahu diri. Aku yakin ia tidak akan mungkin bisa mengganti setelan baju yang telah di kotorinya!" imbuh Jessica. Perkataannya semakin menjadi-jadi. Mengatai Adisty seenaknya. Tangan Ricko mengepal. Ia sudah tidak tahan dengan omelan Jessica."Ricko sayang, sudah lama kita tidak k bertemu sejak aku pindah ke luar kota. Kamu tahu, aku sangat merindukanmu," rayu Jessica meraba dasi Ricko.Mata Adisty memerah, ia sudah tidak tahan lagi. Air matanya menggenang hampir tumpah. Siapa lagi wanita genit ya
Prang!Gelas itu pecah berhamburan seketika waktu di lempar ke arah dinding. Cairan wine berhasil mengotori dinding yang berwarna broken white."Sial, dia berani mengusirku dari rumah itu. Kita lihat, apa yang bisa di lakukan seorang Carlota," ucap Carlota mengeratkan pegangannya pada handel kursi yang di dudukinya.Sementara seorang pria muda sibuk memijat punggung Carlota dengan rasa sedikit ketakutan."Ambilkan aku minum lagi!" perintah Carlota. Ia meneguk kembali wine nya, tentu saja menggunakan gelas baru."Pijat kakiku sekarang!" Buru-buru pria itu merunduk memijat kaki Carlota."Pijatan apa ini! Kau bisa memijat tidak!" Carlota menendang pria itu hingga terjengkang. Wajah lelaki itu langsung merah padam. Ia bangkit dan menggeram marah."Jaga mulutmu, Nyonya. Saya juga bisa bersikap lebih kasar lagi!" Pria itu menarik rambut Carlota cukup keras."Aww! Sakit! Berani sekali kau kurang ajar padaku. Ingat, kau cuma oran
Rania duduk terpaku sendirian di kamarnya. Kevin sudah pergi setelah berhasil ia usir. Berat memang, tapi untuk saat ini Rania butuh sendiri. Ia butuh waktu untuk memahami semuanya. Menenangkan diri jauh lebih baik. Dan tentu saja tangis air mata adalah teman terbaiknya sekarang.Rasa cinta yang teramat besar membuat Rania makin membenci Kevin. Ia tidak tahu apa yang ada di benak Kevin, kenapa bisa selingkuh darinya. Apa kekurangan dirinya? Cantik, tentu saja Rania sangat cantik. Ia juga seorang putri konglomerat. Tapi, bukan hal itu yang ada di benak Rania sekarang. Keseluruhan hatinya sangat membenci Kevin saat ini."Bisakah kau kemari?" suara Rania terdengar lirih. Namun Adisty bisa tahu jika sahabatnya tengah di rundung duka."Apa yang terjadi? Katakanlah," pinta Adisty lembut."Aku tidak bisa menceritakan lewat telepon. Datanglah ke rumahku," kata Rania menutup teleponnya. Ia tidak kuasa lagi menahan air matanya.Dirinya duduk di s
Kemesraan Ricko dan Adisty mengundang iri bagi wanita yang baru saja bekerja di rumahnya. Wanita muda itu setiap hari memperhatikan gerak-gerik kedua pasangan itu. Ingin sekali ia punya suami setampan dan semapan Ricko.Ia tahu jika Adisty tidak berasal dari keluarga kaya raya. Hal itu menjadikan Celsi sang pembantu muda itu untuk mengikuti jejak Adisty."Tuan, ini minuman jusnya," kata Celsi menyodorkan jusnya di atas meja. Namun tiba-tiba secara sengaja ia pura-pura menjatuhkan jus itu ke kemeja Ricko."Apa-apaan ini!" Ricko langsung saja marah. Ia tidak suka dengan cara Celsi bekerja yang di nilai terlalu ceroboh. Jari-jari lentik Celsi langsung buru-buru meraih tisu dan membersihkan kemeja Ricko."Sudah-sudah, biar aku bersihkan sendiri," tolak Ricko. Namun, Celsi terus saja memaksa hingga jari lentiknya menyenggol bagian vital yang ada di balik celana Ricko."Kau, jangan kurang ajar ya! Keluar dari sini!" usir Ricko. Ia meras