Tidak memberitahu siapapun tentang kehamilan kali ini, termasuk Tina dan Lila. Tari yang biasanya menjadi orang terakhir selama ini malah menjadi yang pertama, itupun saat kehamilan Tania akan menuju empat bulan.
Saat ini, mereka berada di rumah tepatnya taman belakang. Tari langsung menebak yang diangguki Tania dan membuat Tina menatap tidak percaya. Menghabiskan waktu bersama para wanita sering mereka lakukan, biasanya jika sudah seperti ini anak-anak sudah tenang bersama pengasuh mereka.“Bagaimana bisa nggak bilang?” Tina memberikan tatapan tajam.“Lupa.” Tania menjawab dengan nada santai.“Akhirnya aku dulu yang tahu kalau mbak hamil.” Tari mengatakan dengan nada bahagianya.Tina mencibir perkataan Tari yang penuh kebahagiaan, Tania hanya menggelengkan kepalanya melihat interaksi mereka berdua. Hubungan mereka hanya ipar, tapi bukan berarti mereka tidak saling menyayangi satu sama lain, apalagi mereka sudah mengenal dari kBeberapa hari tidak mengajak bicara Wijaya, perkataannya membuat Tania kesal dan emosi. Wijaya mengatakan seperti itu seakan dirinya adalah wanita murahan, masa lalu membuat Tania kesal dan tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dalam pikiran Wijaya pastinya tentang masa lalu dimana Tania bisa melakukan hal-hal itu, tapi bukankah seharusnya itu bukan lagi hal yang menjadi pembicaraan mereka berdua.“Masih marah?” tanya Wijaya dengan nada sedih “Aku salah, maaf.”Wijaya sudah mengucapkan kata maaf beberapa kali, selama beberapa kali pula Tania hanya diam dan tidak mengajak berbicara kecuali jika ada anak-anak atau depan orang lain. Didalam kamar suasana menjadi hening, Tania beberapa kali tidur di kamar Zee dan Leo dengan alasan kehamilannya.“Sayang, aku tahu seharusnya tidak mengatakan itu sama kamu. Kata itu memang sangat sensitif buat kita berdua, tapi aku mengatakan itu karena kasihan melihat Rifat tidak memiliki anak dan harus membesarkan Endi yang
“Tawaran apa lagi ini?” Rifat menatap Tania tidak percaya.“Apa? Aku nggak tahu maksudmu.” Tania menatap bingung dengan apa yang Rifat pertanyakan.“Hamil dengan wanita lain, tapi dari benih kita berdua.” Rifat memberikan penjelasan atas apa yang di dengarnya.“Ya, Wijaya bilang begitu. Aku juga nggak tahu bagaimana dia punya ide gila macam itu.” Tania menjawab santai “Lagipula kalau kamu keberatan juga nggak akan dilakukan.”“Yakin?” Rifat memandang penuh selidik pada Tania yang hanya mengangkat bahunya “Kita tahu bagaimana dia.” “Masih lama juga, jadi nggak perlu dipikirkan.” Tania menggerakkan tangannya agar santai.“Terserah, aku kesini mau jemput Endi. Terlalu lama dia disini sama Zee, lama-lama mereka bisa aja saling suka.” Tania menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Rifat, kedekatan anak-anaknya dengan Endi atau Billy memang sudah seperti saudara, tidak pernah ada didalam pikirannya mendekatk
Menatap pintu ruang kerja Wijaya dengan tatapan tanda tanya, memasuki ruangan dengan ekspresi tegang ditambah kedatangan mereka yang bekerja sebagai pengawal dan disusul Rifat juga Muklis. Tidak tahu apa yang terjadi, tidak ada Tina membuat Tania tidak bisa bertanya-tanya tentang apa yang mereka bahas didalam sana, biasanya Wijaya tidak akan membahas hal ini didalam rumah yang ada anak-anak.“Papi ada tamu?” suara Lucas membuat Tania mengalihkan pandangannya.“Abang mau apa?” tanya Tania menatap lembut Lucas.“Nggak ada, abang lihat mami lihatin ruangan papi terus.” Lucas menjawab dengan memberikan tatapan polosnya. “Kalau penting langsung masuk saja, daripada mami sedih.”“Mami nggak sedih hanya....penasaran papi ngapain didalam sana.” Tania mencari jawaban yang tepat.Lucas menganggukkan kepalanya “Mami ikut abang aja daripada mikirin papi.”Lucas menggenggam tangan Tania, membuatnya mengikuti langkah Lucas yang saa
“Rifat tanya begitu sama kamu?” Tania menatap tidak percaya.Setelah pertemuan dan pembicaraan yang dilakukan dengan Rifat membuat Tania ingin segera tahu, tapi Wijaya mengulur waktu dengan meminta Tania melakukan apa yang dimintanya, saat semuanya selesai tidak ada lagi alasan yang diberikan dan mau tidak mau menceritakan semuanya yang mereka bicarakan.“Kamu sudah dengar semuanya, masa aku bohong? Pantang buatku itu bohong.” Wijaya menatap malas pada Tania. “Rifat memang benar-benar menyukai kamu.”“Kamu yakin dia menyukai aku? Bukan sebagai balas dendam?”“Balas dendam karena apa?” “Entahlah.” Tania mengangkat bahunya santai.“Kamu yang bisa merasakan dia balas dendam atau bukan, lagipula aku sudah tahu apa yang kalian sembunyikan.”“Maksudmu?” Tania membelalakkan matanya.“Sudah, nggak perlu dibahas lagi.” Wijaya menggerakkan tangannya agar tidak membicarakan lagi tentang pembicaraan Rifat.
Bertemu dengan Rifat adalah hal yang sudah direncanakan dengan baik, Tania memang harus bertemu dengan Rifat setelah mendengar apa yang Wijaya katakan. Tidak menyangka jika Rifat menyetujui ide gila yang Wijaya berikan, lagi-lagi setuju dengan ide gila dan bodohnya Tania juga menyetujuinya sebelum Rifat tahu.“Bicara tentang ide itu?” tembak Rifat yang hanya diangguki Tania “Kenapa kamu keberatan? Bukannya kamu juga setuju? Lalu apa yang jadi masalah?”“Kalian berdua yang jadi masalah.” Tania memberikan tatapan tajam pada Rifat.Rifat mengangkat alisnya mendengar kata-kata Tania “Apa yang membuatku menjadi masalah? Aku hanya menerima tawaran yang memang menguntungkan, lalu apa masalahnya? Kamu sendiri juga sudah setuju jadi tidak ada masalah.” Hembusan nafas panjang Tania keluarkan, pertemuan ini pastinya tidak akan membawa hasil yang bagus, menghembuskan nafas lagi sambil membelai perutnya yang sudah sedikit membesar. Tania tidak tahu te
Keputusan yang mereka buat sudah bulat, setidaknya mereka tidak melakukan hubungan intim lagi. Tania sudah meyakinkan diri untuk menghentikan semuanya dan akan melakukan apa yang akan dilakukan Wijaya nantinya pads mereka berdua, setidaknya apa yang dilakukan Wijaya adalah demi kebaikan bersama.“Mikir apa?” tanya Wijaya mengagetkan Tania.“Ah...bukan hal yang penting.” Tania tersenyum tipis menatap Wijaya.“Kamu nggak bisa membohongi pak tua ini, sayang.” Wijaya mencium singkat bibir Tania.“Kamu selalu mengejutkan.” Tania memukul pelan lengan Wijaya.“Beberapa hari lagi anak ini akan lahir, aku belum ada pilihan nama.” Wijaya membelai pelan perut Tania.“Persiapannya sudah selesai, tinggal tunggu dia keluar. Anak-anak sudah tidak sabar lihat adiknya, walaupun sempat khawatir sama Leo, tapi tidak terjadi apapun.” Tania menatap lurus mengingat semua yang dialaminya nanti.“Aku akan tanya sama papa kamu saja
Melahirkan anak keempat bukan hal istimewa lagi, walaupun kehadirannya juga ditunggu. Tania sudah tahu harus bagaimana ketika mengalami gejala-gejala melahirkan nanti, tidak seperti anak pertama pada saat dirinya melahirkan Lucas yang tidak tahu harus bagaimama. Saat itu Tania mengandalkan Wijaya karena dalam pikirannya pria tua ini sudah pengalaman, tapi nyatanya dia tidak tahu apa-apa.Tania baru mengetahui jika Wijaya waktu Vita melahirkan Devan dulu tidak ikut terlibat, dirinya datang dari kantor menuju rumah sakit. Berdiri depan pintu operasi menunggu Vita melahirkan, hanya cemas diluar bersama dengan teman-temannya. Tania tidak mau Wijaya melakukan seperti itu pada anak-anak mereka, membawanya masuk ke tempat melahirkan dan melihat bagaimana proses melahirkan, sedikit beruntung Wijaya tidak pingsan saat itu, hal yang sempat menjadi kekhawatiran Tania. Sejak masuk dan melihat proses melahirkan Wijaya baru menyadari jika menjadi ibu sangat sulit, beberapa
Jimmy, anak keempat Tania dan Wijaya. Wajahnya campuran dari mereka berdua, tapi pastinya dominan Wijaya, hal ini membuat Tania sedikit bernafas lega. Tidak banyak yang tahu selama dirinya hamil mengalami kecemasan yang tinggi, Tania takut jika anak yang dikandungnya adalah anak Rifat. Bersyukur semua tidak benar, hasil cek seluruh kesehatannya bahkan sampai wajahnya perpaduan dirinya dan Wijaya, artinya memang selama ini dirinya mengandung benih Wijaya sesuai dengan apa yang diyakini selama ini. “Jimmy persis banget sama kamu.” Tania menatap Wijaya yang menggendong Jimmy “Kamu sudah dapat perawat buat Jimmy?” “Udah, kemarin sudah masuk dan lagi diajarkan sama mereka. Anak-anak mana?” “Leo dan Zee ngantuk, Lucas masih mau disini lihat Jimmy. Aku suruh mereka pulang dan meyakinkan Lucas kalau besok kalian sudah bisa pulang, bocah satu itu memang kok buat kesal aja.” Wijaya mengatakan sambil menggelengkan kepalanya. “Benih kamu itu.” Tania menahan tawa yang me