Asya kembali menggerayangi biseps di tubuh Rafan, sesekali terpaku pada bekas luka kini terkesan menjadi tato alami di setiap jengkal tubuh Rafan. Kemudian membenamkan wajahnya, sesekali mengecup dan menggigit gemas.
Rafan tadinya kembali mengabaikan, kini terusik. Lebih tepat, ikut merespon apa yang Asya lakukan terhadapnya. Untuk membalasnya, Rafan memilih mengincar leher jenjang Asya.Asya suka, itu sebabnya selalu memancing Rafan. Kini menggeliat dan semakin memberi ruang untuk Rafan.“Sengaja kah?” bisik Rafan, dianggap tidak pernah peka karena selalu mengabaikan bukan berarti tidak paham.“Ehm ya.” Asya mendorong Rafan dan menindihnya. Mendadak ingin mendominasi—eh?Rafan sendiri membiarkan Asya melakukan apa yang disukainya."Jalan-jalan yuk?" ajak Asya, seperti sudah puas setelah asik menggerayangi tubuh kekar dan berotot Rafan.Rafan mengangguk, langsung bangun dan mengambil kaus tanpa lengan dan jaket hitam.Asya membawa peralatan makan tadi, dan pergi ke dapur sebentar. Diikuti Rafan di belakangnya."Kenapa tidak gabung tadi?" tanya Risa, sambil mengelus lembut kepala Rafan."Hm, malas." Rafan membalas begitu, lalu menarik Asya."Kalian mau ke mana?" tanya Risa lagi."Hanya jalan-jalan sebentar." Asya yang menjawab, karena Rafan diam saja."Oh gitu." Risa saat melihat anak sulungnya keluar dari kamar. Merasa kalau wajah Rafan, agak terlihat badmood dan tidak tenang. Namun lega, karena ada Asya yang bisa menenangkan Rafan.Rafan terus menggenggam erat tangan Asya, saat berjalan melewati ruang tengah. Jujur, kembali jengkel karena ditatap lagi. Namun, terpaksa menghentikan langkahnya saat Rivo bertanya."Ke mana lagi nih?" Rivo penasaran."Mana saja." Rafan membalas singkat, berjalan lagi sambil menarik Asya.Rivo membiarkan, sudah menduga kalau Rafan badmood karena rumah ramai orang.Asya terus mengikuti langkah Rafan, tetapi sempat melirik ke arah lain dan berhenti melangkah, karena merasa ditatap oleh seseorang."Kenapa?" Rafan heran."Hm, nggak." Asya tersenyum kecil, lalu mengajak Rafan jalan lagi.Ternyata, perempuan yang terus menatap Rafan. Mulai beralih menatap Asya. "Hm, mereka benar-benar dekat ya?" Lalu berbalik dan memilih bergabung dengan lainnya lagi.Namun, tersentak saat berpapasan dengan Refan. Kemudian langsung pergi.Refan semakin menatap selidik perempuan tadi. "Dia yang membuat kakak jengkel." Refan tahu hal itu, karena saat Rafan pulang dari hutan dan masuk ke kamar. Perempuan itu terus menatap Rafan."Kenapa?" Aksa heran dengan Refan, karena menatap selidik ke arah perempuan."Perempuan tadi, terus menatap kakak." Refan berkata jujur. "Aku takut, perempuan tadi akan semakin mendekati kakak dan membuat kakak nggak nyaman." Refan tidak mau hal itu terjadi, di sisi lain takut memicu emosi Rafan lagi."Hm, begitu kah?" Aksa mulai tidak suka dengan perempuan itu, setelah mendengar penuturan Refan tadi."Iya." Refan mengiyakan.Rafan dan Asya memilih duduk di taman komplek perumahan. Kebetulan tidak didatangi orang banyak, karena sudah malam juga.Rafan terpejam dan menikmati ketenangannya, Asya mengelus lembut kepala Rafan. Sengaja, agar Rafan semakin tenang. Namun, tersentak saat Rafan tiba-tiba mengumpat kesal."Kenapa lagi?" tanya Asya.Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius Asya. "Kau akan terus bersamaku 'kan?""Tentu saja." Asya mengelus lembut wajah Rafan. "Kenapa bertanya begitu?""Ingin saja." Rafan tersenyum tipis. "Hanya kau perempuan pertama yang membuatku nyaman. Bahkan, mau membantuku agar sembuh. Aku nggak tau apa yang akan terjadi, bila terpisah darimu."Asya senang dan agak malu saat mendengar penuturan Rafan. "Aku tetap akan bersamamu, aku kan menyukaimu, untuk apa pergi meninggalkanmu?"Rafan mendekap erat Asya dan membungkamnya sejenak. “Pulang?”Asya mengangguk."Jadi, kau dengan Asya habis ke mana tadi?" tanya Risa penasaran lagi, setelah melihat si sulung pulang dan kini sendirian."Taman komplek." Rafan membalas singkat, lalu merebahkan diri di sofa yang kebetulan ada Refan yang berbaring duluan.Risa memilih pergi, tersisa hanya Rafan dan Refan saja."Kakak jengkel karena ditatap oleh perempuan ya?" tanya Refan spontan."Iya, terus-menerus menatapku. Aku nggak suka itu, dan terkesan seperti ada sesuatu." Rafan berkata jujur."Sesuatu apa?" Refan mulai penasaran."Entahlah, baru dugaan saja." Rafan kembali diam. "Kau usir dia, bila mendekatiku ya? Apa lagi, saat belajar bisnis nanti." Rafan benar-benar tidak nyaman dengan perempuan itu."Iya, tenang. Kakak nggak akan diganggu lagi. Nah, saat belajar bisnis nanti, aku akan di dekat kakak terus." Refan tidak akan membiarkan Rafan tidak nyaman dan memicu emosinya.Keesokan harinya Rafan mengikuti Refan, menuju ruangan Rivo.Terakhir kali ke sini, saat aku melakukan balas dendam. Selebihnya, nggak pernah ke sini lagi.Rafan teringat hal itu lagi, sambil terus menyamakan langkah kaki Refan. Mood-nya kembali buruk, karena perempuan itu menatap lagi. Sejak datang terus-menerus ditatap oleh perempuan itu. Rafan mencoba tenang, tetapi tetap saja gagal. Refan yang melihat itu, langsung paham. Sesuai janjinya tadi malam, akan terus didekat Rafan."Hari ini saja, setelahnya kau bebas mau datang kapan saja." Rivo berkata begitu, karena ditatap kesal oleh Rafan."Hm." Rafan hanya membalas begitu.Rivo memaklumi, sesekali mengelus lembut kepala Rafan. Lalu menyuruh anak kembarnya untuk bergabung dengan anak pebisnis lainnya.Selama mempelajari materi bisnis. Refan yang sebelumnya sudah mencoba, lucu sendiri melihat Rafan semakin badmood akibat mempelajari bisnis.Benar-benar merepotkan!Rafan menatap malas beberapa tumpukan kertas, alias poin-poin penting dalam berbisnis.Rivo diam saja, sedari tadi menatap anak sulungnya yang raut wajahnya semakin badmood. Lagi pula, tidak akan memaksa. Setidaknya, anak sulungnya mau berkunjung lagi ke Xander Corp.****Sore pun tiba, bagi Rafan adalah kebebasan setelah berusaha memahami poin penting dalam bisnis. Rafan terlihat duduk diam, berusaha menenangkan pikirannya. Sambil mengabaikan tatapan, dari anak perempuan dari rekan kerja Rivo. Tetapi, anak pebisnis lain juga.Rafan refleks melontarkan umpatan kekesalan, karena perempuan itu mendekatinya. Bahkan, dengan santainya duduk di sebelahnya."Rafan Alexander ‘kan?" tanya perempuan itu alias Liana dari keluarga Ambara.Rafan mengabaikan, dan pergi begitu saja. Namun, terhenti karena Liana menghalangi."Nggak sopan loh, mengabaikan orang yang mau berkenalan," celetuk Liana.Rafan tetap diam.Liana kesal karena didiamkan, saat ingin mengobrol lagi. Terhenti karena Refan datang dan berdiri di sebelah Rafan, dan menatap serius Liana."Mau apa?" tanya Refan spontan."Mengobrol dengan kembaranmu itulah," balas Liana."Oh." Refan hanya membalas begitu, lalu melirik Rafan yang semakin diam dan kesal karena diganggu. Bahkan, pergi lagi.Refan kembali menatap Liana. "Kau bisa liat 'kan? Kakak nggak ingin diganggu." Setelahnya, pergi menyusul Rafan.Liana berdecak kesal, karena sulit mendekati Rafan. "Pergi lagi!"Rafan duduk dengan tatapan datarnya, di ruangan Rivo. Benar-benar badmood dan ingin pergi."Kenapa sih?" Rivo menatap heran, karena Rafan masih badmood."Sudah selesai ‘kan?" Rafan malah balik tanya."Iya." Rivo mulai paham, kalau Rafan ingin pergi.Rafan langsung memakai tudung kepala dari jaket hitamnya, berjalan menuju balkon ruang kerja Rivo."Eh, mau pergi ya?" celetuk Raskal, sedari tadi ada di ruangan Rivo dan duduk di sebelah Refan, bahkan terus menatap lucu dengan tingkah Rafan."Diam kau!" Rafan menatap kesal, kemudian melompat dan pergi dari Xander Corp.Raskal semakin terkekeh geli, lalu menatap Rivo. "Butuh waktu yang lama, bagi orang yang biasanya terjun ke dunia gelap, kali ini jadi dunia bisnis." Raskal berkata begitu, karena sudah mengalaminya."Iya, butuh waktu lama dan semoga saja bisa." Rivo mengiyakan perkataan Raskal.****Asya saat itu asik duduk di balkon kamarnya. Sambil memakai earphone dan fokus dengan novel yang dibacanya. Langsung tersentak saat ada seseorang muncul dan duduk di belakangnya. "Rafan!"Rafan diam saja, langsung memeluk dari belakang. Mulai membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya. Asya membiarkan, sambil melepas earphone yang dipakainya dan menutup novel yang dibacanya. Sesekali menahan geli, karena hidung Rafan bersentuhan dengan lehernya."Kenapa?" tanya Asya."Jengkel." Rafan semakin memeluk erat dan bermain di leher Asya. Namun, terhenti karena Asya melepas pelukannya dan berbalik."Mendekatimu ya?" Asya mengelus lembut kepala Rafan, lalu menariknya ke dalam pelukannya."Iya." Rafan kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya. Perlahan tertidur, karena ngantuk berat.Asya yang menyadarinya, hanya tersenyum lucu. "Ayo masuk." Asya menarik Rafan, agar masuk ke kamarnya.Rafan menurut saja, tetapi malah duduk diam di tempat tidur Asya."Tadi ngantuk 'kan?" Asya menatap heran, lalu tersentak saat ditarik Rafan dan ikut berbaring juga."Diam!" Rafan kembali memeluk dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya.Asya membiarkan, menunggu hingga Rafan tertidur. Setelahnya, perlahan melepas pelukan Rafan. Melihat Rafan masih pakai jaket, langsung melepasnya perlahan agar Rafan tidak terbangun. Lalu melipat dan menyimpannya di atas meja. Setelahnya, menutup balkon kamarnya dan keluar, membiarkan Rafan tertidur.Saat Asya ke dapur karena haus, mendadak terusik saat Aksa menatap aneh."Apa?""Kakak ngomong sama siapa?" Aksa heran, saat melewati kamar Asya, seperti sedang berbicara dengan seseorang."Oh, sama Rafan." Asya meneguk air di gelas hingga habis."Rafan? Kapan datang kok nggak liat?" Arina heran."Baru tadi, Rafan datang lewat balkon kamar." Asya berkata jujur, karena terkejut melihat Rafan muncul tadi."Oh pantesan," celetuk Aksa."Sekarang mana Rafan?" tanya Azdi, kebetulan mendengar pembicaraan anak dan isterinya."Tidur di kamarku." Asya mencuci gelas yang tadi dipakainya."Hm, gitu." Azdi hanya mengangguk paham.****"Kakakmu mana?" tanya Risa, heran hanya Refan saja yang pulang bersa
Tengah malam, Rafan masih terjaga. Seperti biasa insomnianya kambuh, "Hm, rasa takut ya?" Berpikir sejenak, sekaligus berusaha menebak sesuatu. "Sepertinya akan sedikit berbeda, tapi ...."Rafan tidak melanjutkan ucapannya, lalu melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Ternyata sudah pukul tiga pagi."Cepat sekali ya?" Beranjak dari duduknya, melompat begitu saja dan melangkah santai menuju halaman belakang rumahnya. "Hm, hm, hm," gumam Rafan mulai berjalan santai—sesekali berlari-lari kecil. Terus melakukannya, hingga para pelayan mulai beraktivitas."Sejak kapan di luar?" Rivo kebetulan sedang ada waktu luang, bisa bersantai di rumah."Malam," balas Rafan singkat, masih betah duduk di teras rumah."Insomnia lagi kah? Nggak bisa kau hilangkan?" Rivo tidak suka, anak sulungnya terus-menerus insomnia."Nggak tau, sudah mencoba untuk tidur tetap saja susah." Setelahnya, Rafan masuk.Rivo hanya menghela napas gusar, karena anak sulungnya selalu sulit tidur. Kemudian, masuk dan pe
“Bengong mulu entar kesambet loh!” Vio muncul sembari menyenggol pelan tangan Asya.“A-aku nggak bengong! Cuma ....” Asya bingung mau menjelaskan, karena masih terganggu kehadiran Bagas yang mendadak."Cuma apa?" Vio kepo, karena tak biasanya Asya menyembunyikan sesuatu hal. "Kudengar Rafan ketempelan ya?"Asya mendengkus. "Iya, dan yang nempelin itu setan wanita."Vio terkekeh. "Emang sih, kesel liatnya. Bahkan, dulu saat kau deketin Refan, aku ngerasain."Asya berdecak. "Ayolah itu cuma kagum doang! Ada bedanya, karena saat itu aku nggak tau kau udah jalin hubungan sama Refan!""Iya aku tau." Vio bukan ingin mengungkit, hanya meledek. Lagi pun, sekarang sudah beda. Juga, untuk apa kembali mempermasalahkan?Selagi Asya bersama Rafan."Aku nggak bermaksud menyembunyikan sesuatu …."Vio mengernyit. "Lalu?"Asya belum mau melanjutkan, karena masih bimbang. Terusik sejenak dengan kemunculan Refan."Kenapa nih?" Refan heran, merasa situasi rada aneh."Oke aku cerita, tapi kalian jangan ter
Meskipun sudah mencoba untuk tidur, tetap saja kembali terbangun. Namun, terusik dengan kemunculan Asya. Tetapi, sorot matanya itu antara kesal dan khawatir terhadapnya."Apa?"Asya berdecak. "Apanya yang apa sih!" Mendadak dihubungi oleh Refan dan mengatakan kalau Rafan kacau lagi, dan hampir melakukan self harm.Detik itu juga, Rafan menyadari sesuatu hal. "Hampir, tapi enggak kok." Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?""Tetap saja! Kalo nggak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukan self harm lagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap."Asya paham, memang itu hal sulit bagi Rafan untuk mencegahnya. "Coba kendalikan emosimu." pintan
“Icannotstop thissicknesstaking over. Itakescontrol anddragsme intonowhere.” ‘MydemonsbyStarsetTransmissions’ ••• Rafan masih menatap Asya yang tertidur pulas di dekapannya, sesekali menyentuh wajahnya. Setelahnya, melepaskan diri perlahan. Beranjak keluar dari kamar Asya, memilih duduk sejenak di ruang tengah. Hingga terdengar suara mesin mobil, tidak lama kemudian orang tuanya Asya muncul. “Asya mana?” tanya Arina, hanya melihat Rafan di ruang tengah. “Tidur.” Rafan hanya membalas singkat. Setelahnya, Rafan pamit pulang. Rafan terus melangkah ke manapun, niat awal memang ingin berkeliaran. Sempat tertunda untuk mengantar Asya pulang dulu dan menemaninya sebentar. Hm, teman lama kah? Rafan mulai berpikir positif mengenai sesuatu hal, sesekali mendeng
Keesokan harinya, saat jam istirahat sekolah. Di halaman belakang, Rafan terpaku sejenak saat Asya bertanya soal tangannya yang lecet. Bisa dibilang sejak pagi, Asya sudah meminta penjelasan. Namun, sengaja tidak jawab dan memilih nanti saja."Rafan!" Asya mulai kesal, karena didiamkan. "Kenapa melukai lagi?" Kembali bertanya, dan tatapannya jadi serius.Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?""Tetap saja! Kalau tidak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukanself injurylagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap." Lalu mendekatkan diri dan memeluk erat, kemudian membenamkan wajahnya di l
Rafan semakin dingin dengan sekitarnya, terus berjalan di setiap anak tangga menuju kamarnya. Bersama Asya yang sedari tadi tangannya digenggam erat olehnya. Langkahnya terhenti sebentar, itu membuat Asya mengernyit heran.“Rafan tenanglah.” Asya seketika paham, kala melihat Rafan kembali risi dengan sekitarnya. Bahkan, saat melewati ruang tengah tadi. Rafan benar-benar dingin, seolah sapaan keluarga Ambara hanya angin lalu saja.Rafan menghela napas sejenak, mencoba tenang dan bersikap biasaCih! Dia benar-benar merencanakan sesuatu.Rafan mengusap kasar wajahnya, kembali menarik Asya dan berjalan memasuki kamarnya. Rafan melepas genggamannya pada Asya, kemudian melempar tas sekolahnya ke sembarang arah dan membaringkan diri dengan posisi telungkup. Rafan berusaha tenang lagi, jujur Rafan benci sekali dengan orang asing yang mendekatinya.Karena tahu, pasti ada maksud terselubung. Sejak kembali bersama keluarganya, mulai berba
Waktu begitu cepat berlalu, mereka mulai disibukkan untuk ujian kelulusan dan belajar bisnis ditunda sementara. Agar tidak terganggu, setelahnya baru melanjutkan. Hal itu, membuat Rafan sedikit lega, karena Liana tidak mengganggunya.Akan tetapi, ada yang berbeda atau lebih tepatnya. Sekian lama berhasil mengubah sikap, kini perlahan kembali ke sikapnya yang—semula.Terbukti, Rafan semakin diam lagi dan lebih sering ke rumah kecilnya di hutan. Tetapi, tetap menurut bila disuruh tidak pergi. Namun, malah mengurung diri di kamar. Rafan hanya ingin tenang, sebelum inti masalah terjadi.“Kakak,” panggil Refan, mulai takut dengan perubahan sikap Rafan yang kembali seperti dulu.Rafan hanya menatap sebentar, setelahnya kembali diam dan terpejam. Benar-benar tidak ingin diganggu. Refan hanya menghela napas pasrah, saat didiamkan oleh Rafan. semakin takut, Rafan benar-benar akan kembali ke dirinya yang sebenarnya.Terlihat jelas sekali, s
Segerombolan orang misterius, masih bersikeras mengejar Arsen. Itu pun secara acak, buktinya mereka muncul dari berbagai arah. Sukses membuat Arsen kelimpungan. "Kau beda sekali," celetuk salah satunya, berhasil mendahului Arsen dan kembali memberi serangan telak. Tepat, mengenai perut Arsen hingga membuatnya terbatuk. Lalu terhempas lagi ke jalan raya, sepertinya mereka bersungguh-sungguh untuk menyerang Arsen ya? Atau mungkin, ingin membunuhnya? Decakan kesal, terdengar dari orang tadi yang berhasil menyerang. Setelah melihat Arsen masih bisa menyeimbangkan diri, dan berpindah cepat dari jalan raya ke area yang aman. Napas Arsen mulai memburu, sesekali terbatuk kecil. Efek dari tendangan keras yang mengenai perut dan mendekati uluh hatinya. "Kau benar-benar lemah ya?" Arsen telat menghindar. Bahkan, kehilangan konsentrasi dan kewaspadaannya terhadap sekitar. Ada apa denganku? Arsen amat bingung, sulit
Rafan sengaja berjalan lambat menuju ruangan pertemuan. Menurutnya, amat mengherankan. Padahal sudah ada Refan. Kenapa dirinya harus juga? Tidak hanya sengaja melambatkan langkah kakinya. Akan tetapi, sama sekali tidak ada niat berganti pakaian formal lebih dulu? Kemunculannya di Xander Corp, dengan pakaian serba hitam—perpaduan jaket, kaus, celana—berwarna hitam semua. Melewati sekretaris, langsung masuk, dan bergabung dengan para pebisnis lain. Refan hanya menghela napas pasrah, dengan kelakuan Rafan sama sekali belum berubah. Setidaknya, sedikit biasakan gitu? Lah ini, malah berpakaian di luar jam kegiatan formal. "Ka—" Rafan melirik dengan sorot mata malas nan dingin, berhasil membuat Refan berhenti berbicara. Setelahnya, kembali ke posisi semula—diam. Helaan napas pasrah, kembali terdengar. Refan membiarkan, daripada pusing sendiri. Pada akhirnya, tetap memulai rapat. Rafan hanya diam, tetapi mendengarkan dengan baik apa yang oran
Arsen masih berdiam diri di kelas—sendirian. Sedangkan yang lain, sudah pulang maklum kegiatan sekolah telah usai. Pikirannya melayang pada penjelasan Rafan mengenai 'kunci dari latihannya'. Meskipun, sudah dijelaskan tetap saja membuatnya ragu untuk memulai. Semenjak penjelasan itu, Arsen sudah mantap untuk melakukan percobaan kedua. Walau, keraguan terus melandanya. "Dengan santai ya?" gumam Arsen. Sembari beranjak dari bangku dan menyampirkan tas sekolahnya, mulai melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepertinya, sudah hilang rasa keraguannya untuk melakukan percobaan lagi. Terus melangkah, mencari tempat yang cocok dan jauh dari keramaian orang. Jujur, risi bila kelakuannya dilihat—terlebih lagi menjadi pusat perhatian! Arsen tidak mau terjadi lagi, cukup menjadi pusat perhatian ketika diserang oleh segerombolan orang tidak dikenal saja. Selebihnya, Arsen memilih enggan dan mungkin akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cepat. Juga k
Arsen memilih duduk di teras rumah, mulai memikirkan cara cepat menguasai gerakan seperti Rafan. Mulai dari parkour, larian cepat, dan terakhir teknik serangan juga cengkeraman kuat.Dengkusan kekesalan kembali terdengar, sesekali mengusap pelan kepalanya akibat terjungkal tadi masih agak pusing. Lalu mendongak dan mengerutkan kening.Sejak kapan Rafan sudah muncul dan berdiri di hadapannya?"Jangan dilakukan secara terpisah, tapi langsung aja." Rafan sengaja memberi tahu kunci latihannya selama ini, karena mempraktikkannya secara langsung di hutan tanpa perlu melatih awalan."Tetap saja, sulit." Arsen membalas cepat, karena sadar dirinya tidak langsung liar seperti Rafan.Rafan mendudukkan dirinya di sebelah Arsen, manik hitamnya tertuju ke depan dan amat tenang. Sepertinya, sudah berhasil menahan emosi."Lebih baik kau melatih kecepatan saja, jangan menyeimbangkan dan pijakan kaki didahulukan."Arsen mulai mengernyit heran, dengan u
Meskipun Arsen tidak suka disamakan dengan Rafan, walau sadar dalam waktu tertentu bisa persis sekali. Bukan berarti Arsen tidak kepo dengan kelebihan—kemampuan ekstrem dan liar yang dimiliki Rafan.Arsen nyatanya amat kepo, lebih lagi setelah diajak oleh Rafan ke lingkungan yang berbeda—alias—hutan. Tujuannya, melatih meski bagi Rafan sendiri baru pertama kali melatih seseorang—anak sendiri. Membuat Rafan sulit, menahan diri buktinya hampir melukai—kalau tidak sadar bisa saja membunuh anak sendiri.Hutan yang sering kali didatangi Rafan untuk menyendiri dan melatih kemampuannya. Sayangnya, bukan karena itu. Melainkan, Arsen penasaran setelah berusaha mengamati cara Rafan yang mulanya berjalan santai. Namun, dalam sekejap bisa melenyapkan diri amat cepat dari pandangannya. Itu membuat Arsen semakin penasaran. Oh iya, gerakan parkour liar. Arsen juga penasaran dan ingin bisa melakukannya.****Kebetulan masih
Arsen kini sudah beranjak dewasa, perangai asli mulai terlihat. Bisa dibilang, seperti koin. Sisi asli yang tertutup oleh sisi pencegah—dinding pembatas keluarnya perangai asli Arsen.Terbukti, semakin beranjak dewasa. Yang lebih dominan diperlihatkan adalah sifat yang mirip sekali dengan Asya. Tampak kalem, kutu buku—penggemar novel misteri lain, efek sisi kalem membuat Arsen jarang berbaur. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan buku kesayangan, terakhir maniak cokelat.Setiap di rumah, si kalem Arsen mengurung diri dengan buku dan berbagai macam jenis cokelat. Asya? Hanya sedikit. Arsen lah, yang seringkali menghabiskan.Arsen juga cocok dijuluki, si kalem asam manis. Kalemnya, karena menyendiri. Asemnya, sekali diajak berbincang ada dua reaksi, satu dibalas ketus dan terakhir diabaikan. Kelakuannya, asamnya sekali 'kan?Sisi manisnya, itu karena Arsen penggemar cokelat. Selalu menyetok ban
Asya sibuk membuat sesuatu, sesekali melirik Arsen. Tengah menarik kursi kayu lumayan tinggi, sengaja didekatkan antara lemari makan dengan kulkas. Arsen perlahan memanjat, hingga berhasil berdiri di atas kursi. Tangannya terulur, untuk membuka pintu lemari makan. Ya, Arsen mencoba mengambil camilannya sendiri. Asya mendekati Arsen, masih asik berdiri di kursi kayu lumayan tinggi. Memang saat naik—memanjat, tidak terpeleset atau salah memijak. Tetap saja, ngeri bagi Asya. "Udah ngambilnya 'kan?" Asya langsung menggendong Arsen, otomatis sudah tidak berdiri di kursi lagi. "Ih cokelatnya belum!" Arsen berontak dalam gendongan Asya, camilan kripik atau makanan lain, sedangkan cokelat ada di kulkas dan Arsen belum mengambilnya, lebih dulu digendong Asya. Pada akhirnya, Asya menurunkan Arsen. Benar saja, langsung berlari ke arah kulkas. Manik hitamnya, memindai berbagai macam makanan hingg
Dalam kehidupan, pasti ada pahit dan manisnya. Setiap orang berbeda cara untuk memulainya. Terutama Rafan, dulu hidupnya dimulai begitu pahit dan hampir ingin menyerah. Namun, perlahan berubah menjadi manis. Meskipun masih diselingi masalah-masalah kecil, dan untung saja sudah selesai. Walau agak merumitkan semuanya. Sekarang, kehidupan manis yang dirasakan Rafan semakin bertambah. Telah membentuk sebuah keluarga kecil, baginya. Rafan sudah lumayan terpaku di tempat, tetapi manik hitamnya terus menatap ke arah kaca jendela yang terhubung pada ruang inkubator. Sembilan bulan Asya mengandung, kini telah lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dengan proses normal. Sebenarnya, diperbolehkan masuk untuk melihat langsung. Entah kenapa, Rafan belum ingin mendekati anaknya sendiri. Atau mungkin, masih tidak percaya bila sudah memiliki anak tunggal—bersama Asya. “Dekati sana, anak sendiri juga!” ce
Waktu berlalu begitu cepat, di pagi hari yang cerah terlihat Asya terus-menerus menyentuh wajah Rafan. Sedangkan Rafan sendiri, masih tertidur. Sudah sebulan, Rafan mengambil cuti. Karena Asya tidak mau ditinggal olehnya, katanya sedang ingin bertingkah—alias—manja. Terkadang menjadikan Rafan, bahan kekesalan. Yap, saat ini emosi Asya sedang labil. Maklum, faktor kehamilan yang sudah memasuki usia tiga bulan. Itu sebabnya Asya meminta Rafan untuk tetap di rumah. Terbukti, sekarang mencoba membuat Rafan terusik dari tidurnya. Tangannya masih menyentuh wajah Rafan, sesekali mencubit dan mengecup pelan. “Apa?” Benar saja Rafan terbangun, sebenarnya sudah bangun lebih dulu dari Asya. Tetapi, karena malas membuka mata. Memilih terpejam lagi. “Nggak!” balas Asya cepat, masih terus menggerayangi wajah Rafan. Rafan hanya menaikkan satu alis, jujur suka heran dan berganti kesal juga. Karena Asya dalam kondisi l