"Kau ke sini lagi eh?" Raskal bersama beberapa anak buahnya, ternyata ada di hutan juga.
"Masalah?" Rafan melirik datar. "Kau ngapain?""Hm, ingin saja ke hutan. Tidak menyangka, bisa melihatmu asik liar lagi." Raskal, sejak awal penasaran dengan Rafan.Rafan mengabaikan Raskal dan anak buahnya mendadak muncul, yap seperti yang dikatakan sebelumnya. Kembali menjadi liar bukan berarti akan kembali melakukan hal buruk dan gila di mata orang awam. Sejak kemarin sore hingga pagi tiba, terkadang bisa 24 jam. Kalau dulu benar-benar betah, karena dasarnya terasingkan—ah bukan! Lebih tepat, mengasingkan diri.Rafan liar sekaligus melakukan hal ekstrem—tak ayal melatih kemampuan dan ketahanan tubuhnya. Kini terhenti dan duduk bersandar di dahan pohon. Mulai menghirup udara segar di pagi hari, sesekali melirik Raskal yang sedari tadi mengamati, ikut duduk di dahan pohon lain. Anak buahnya? Entah pergi ke mana.Raskal mencoba akrab dengan Rafan. "Kau lulus 'kan? Kau mau melakukan apa?"Rafan paling anti berbasa-basi, terbukti matanya semakin menyorot datar dan malas. "Kau penasaran sekali denganku?""Iyalah, habisnya kau itu sulit ditebak." Raskal membenarkan hal itu, karena sulit memahami jalan pikiran Rafan.Rafan kepikiran perkataan Rivo lagi. "Mungkin mencoba bisnis, kebetulan ayah menyuruhku mencoba.""Dari dunia gelap, menjadi dunia bisnis—eh." Raskal mulai meledek Rafan.Rafan berdecih kesal, karena menjadi bahan ledekan mafia tua itu. "Diam kau!" Menyesal karena merespon mafia menyebalkan itu!Raskal terkekeh, karena berhasil memancing emosi Rafan. bukan emosi mengerikan, melainkan ingin melihat Rafan mengekspresikan diri. Raskal lelah diabaikan—eh?Selain itu, alasan lain. Efek mulai biasa dengan perubahan Rafan. Raskal suka sekali, menyuruh anak buahnya—mengintai ke manapun Rafan pergi. Menurutnya, Rafan memang berubah, tetapi terkadang masih terlihat dingin dan ketus. Terbukti tadi, saat mencoba meledeknya.Bisa saja mengerikan lagi?Raskal mengubah jalan hidup, dengan keluar dari dunia gelap. Bukan berarti hasrat mengerikannya dulu dan hobi melihat hal brutal—sadis apapun lenyap, nyatanya masih ada. Bahkan, ingin lagi bisa mencoba menyerang Rafan seperti dulu untuk dikendalikan. Intinya, hasrat itu masih ada. Namun, ditepis. Karena saat ini, bisa berada di dekat target—istilahnya Rafan itu berlian. Baginya sudah cukup."Nanti rumah ramai loh," celetuk Raskal."Rapat lagi ya?" tanya Rafan dengan malasnya."Ya." Setelahnya, Raskal pergi duluan bersama anak buahnya mulai bermunculan lagi.Rafan masih asik duduk di dahan pohon. Jujur, malas sekali dan jengkel bila rumah ramai. Bisa saja memilih tidak pulang, tetapi kalau dilakukan Risa akan mengkhawatirkannya."Kau mengagetkan saja!"Rafan melirik sejenak, kemudian melengos dan pergi. Walau tahu kemunculannya ini selalu mengagetkan orang lain. Terbukti, tidak hanya Aksa, tetapi beberapa anak rekan kerja juga terkejut melihat Rafan datang dengan tidak biasa.Rafan terus melangkah, juga menyadari kalau Asya mengekori. Ah iya, berubah bukan berarti akan semakin terbiasa dengan hal baru. Terlebih lagi, mengenal Asya. Terkadang, Rafan masih suka—terkesan mengabaikan."Kapan pulang?" tanya Rivo, saat melihat kemunculan si sulung."Baru." Rafan membalas singkat, sembari terus melangkah ke lantai dua—ke kamar bersama Asya yang masih mengikuti. Namun, terhenti sejenak di anak tangga pertengahan. Hal itu membuat Asya heran.Asya sedari tadi diam, kini heran. “Kenapa?”Rafan mendengkus. “Jengkel dengan sesuatu hal.” Kembali melangkah."Coba biasakan." Asya tersenyum kecil, melihat Rafan berbaring telungkup."Malas." Rafan langsung menarik Asya, agar ikut berbaring juga. Mulai melakukan hal yang disukainya, yap membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya.“Kudengar kau akan mencoba bisnis?”Rafan hanya berdeham, memilih asik dan sengaja melesak dalam dekapan Asya.“Percobaan bagus. Bisnis memusingkan, tapi nggak buruk loh.” Asya melirik heran, karena tidak ada balasan. “Tidur kah?”Rafan terlelap pulas, Asya pasrah karena sudah biasa diabaikan. Lambat laun tersenyum simpul, jari telunjuknya mulai menelusuri lekuk wajah Rafan. Mendadak tertawa pelan, melihat tidur Rafan terusik.“Diam!”“Abisnya kau mengabaikanku terus sih!”Rafan kini berbalik memunggungi Asya, dan tidur lagi.Tidak terasa, Rafan terlelap hingga sore—hampir malam. Efek insomnia, membuatnya sulit kembali mengatur pola tidur sehatnya.Rafan ke balkon sejenak dan melirik ke arah anak pebisnis yang berkeliaran. Mendadak jengkel saat ada yang menatapnya. Yap, orang yang sama seperti tadi saat dirinya pulang. Rafan semakin jengkel, memilih masuk ke kamarnya lagi."Dia masuk lagi." Seseorang yang dimaksud Rafan, mendengkus kesal dan memilih bergabung dengan anak pebisnis lainnya. "Mungkin, lain waktu bisa mengobrol atau mungkin dekat dengannya ya?"Rafan yang masih jengkel kelakuan orang asing—meskipun anak rekan bisnis Rivo. Tetap saja, semuanya asing. Seketika terusik saat Asya datang dan ternyata membawa makanan untuknya."Kau belum makan 'kan?" Asya, disuruh Risa ke kamar Rafan lagi, sekalian membawa makanan."Hm, nanti." Rafan masih badmood.Asya menghela napas pasrah, seketika menatap heran, karena melihat Rafan badmood. “Kau kenapa?”“Hanya jengkel.” Rafan melirik serius Asya. "Ya, menjengkelkan, aku nggak suka bila dia menatapku terus." Rafan berkata jujur."Perempuan?" tebak Asya.Rafan mengangguk, benar saja semakin badmood.Asya mulai ada rasa tidak suka, saat mendengar ucapan Rafan bila ada anak pebisnis yang mulai menatap Rafan—terlebih lagi perempuan. Namun, menepisnya karena tidak ingin terkontrol rasa cemburunya."Tenanglah." Asya mengelus lembut kepala Rafan.Rafan hanya diam, kemudian merangkul erat Asya. Kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya."Makan dulu." Asya tidak mau, Rafan sakit karena telat makan."Iya." Dengan malasnya, Rafan melahap makanan yang Asya bawa tadi.Asya tersenyum kecil, tangannya terulur lagi untuk mengelus lembut kepala Rafan. Mulai lucu sendiri, melihat Rafan makan dengan raut wajah badmood.Rafan berhenti makan, dan mengernyit heran. “Apa?”"Kau lucu." Asya berkata jujur, sembari memperlihatkan senyuman usil."Ya, ya, terserah kau saja." Rafan mulai tersenyum tipis, sepertinya mood-nya kembali bagus. “Kuliahmu bagaimana?”Asya tidak menyangka Rafan bertanya hal itu, mengingat setelah kelulusan Rafan tidak mau mencoba masuk dunia perkuliahan. Anehnya, langsung mencoba menggeluti dunia bisnis. “Ya, menyenangkan di awal.”Rafan dasarnya sulit berbasa-basi, memilih diam dan menghabiskan makanannya.“Rafan.”Yang dipanggil hanya berdeham dan mengerutkan kening.“Cuma mau manggil.” Asya mulai iseng—eh?Yang menjadi korban iseng, hanya mendengkus. Seketika terusik saat Asya menghamburkan diri ke arahnya. Mendekatkan wajah dan ya, mendusel ke wajahnya dan berakhir bertatapan. “Apa?”“Mendadak sebel.”Rafan berhasil dibuat bingung.Asya sudah menduga akan terjadi. “Sebel karena ada yang menatapmu.” Kemudian memeluk erat Rafan. “Aku senang, kau mulai dikenal baik oleh semua orang. Tapi, tetep aja aku cemburu kalau ada perempuan lain yang menatapmu.” Asya akhirnya jujur di awal, jari telunjuknya iseng menyentuh dada bidang Rafan yang tidak tertutupi apapun.Rafan malah tertawa. “Perempuan lain? Mana mungkin aku akan semudah itu dekat dengan perempuan lain? Dengan kau aja, butuh waktu lama. Itu juga, karena kau terus mengusik.”Asya mendadak tersipu—eh? Meskipun, sering kali diabaikan. Ini yang sangat disukai Asya, Rafan tanpa sadar selalu mengatakan hal manis terhadapnya.Asya kembali menggerayangi biseps di tubuh Rafan, sesekali terpaku pada bekas luka kini terkesan menjadi tato alami di setiap jengkal tubuh Rafan. Kemudian membenamkan wajahnya, sesekali mengecup dan menggigit gemas.Rafan tadinya kembali mengabaikan, kini terusik. Lebih tepat, ikut merespon apa yang Asya lakukan terhadapnya. Untuk membalasnya, Rafan memilih mengincar leher jenjang Asya.Asya suka, itu sebabnya selalu memancing Rafan. Kini menggeliat dan semakin memberi ruang untuk Rafan.“Sengaja kah?” bisik Rafan, dianggap tidak pernah peka karena selalu mengabaikan bukan berarti tidak paham.“Ehm ya.” Asya mendorong Rafan dan menindihnya. Mendadak ingin mendominasi—eh?Rafan sendiri membiarkan Asya melakukan apa yang disukainya."Jalan-jalan yuk?" ajak Asya, seperti sudah puas setelah asik menggerayangi tubuh kekar dan berotot Rafan.Rafan mengangguk, langsung bangun dan mengambil kaus tanpa lengan dan jaket hitam.Asya membawa peralatan makan tadi, dan pergi ke dapur sebentar. Diik
Asya membiarkan, menunggu hingga Rafan tertidur. Setelahnya, perlahan melepas pelukan Rafan. Melihat Rafan masih pakai jaket, langsung melepasnya perlahan agar Rafan tidak terbangun. Lalu melipat dan menyimpannya di atas meja. Setelahnya, menutup balkon kamarnya dan keluar, membiarkan Rafan tertidur.Saat Asya ke dapur karena haus, mendadak terusik saat Aksa menatap aneh."Apa?""Kakak ngomong sama siapa?" Aksa heran, saat melewati kamar Asya, seperti sedang berbicara dengan seseorang."Oh, sama Rafan." Asya meneguk air di gelas hingga habis."Rafan? Kapan datang kok nggak liat?" Arina heran."Baru tadi, Rafan datang lewat balkon kamar." Asya berkata jujur, karena terkejut melihat Rafan muncul tadi."Oh pantesan," celetuk Aksa."Sekarang mana Rafan?" tanya Azdi, kebetulan mendengar pembicaraan anak dan isterinya."Tidur di kamarku." Asya mencuci gelas yang tadi dipakainya."Hm, gitu." Azdi hanya mengangguk paham.****"Kakakmu mana?" tanya Risa, heran hanya Refan saja yang pulang bersa
Tengah malam, Rafan masih terjaga. Seperti biasa insomnianya kambuh, "Hm, rasa takut ya?" Berpikir sejenak, sekaligus berusaha menebak sesuatu. "Sepertinya akan sedikit berbeda, tapi ...."Rafan tidak melanjutkan ucapannya, lalu melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Ternyata sudah pukul tiga pagi."Cepat sekali ya?" Beranjak dari duduknya, melompat begitu saja dan melangkah santai menuju halaman belakang rumahnya. "Hm, hm, hm," gumam Rafan mulai berjalan santai—sesekali berlari-lari kecil. Terus melakukannya, hingga para pelayan mulai beraktivitas."Sejak kapan di luar?" Rivo kebetulan sedang ada waktu luang, bisa bersantai di rumah."Malam," balas Rafan singkat, masih betah duduk di teras rumah."Insomnia lagi kah? Nggak bisa kau hilangkan?" Rivo tidak suka, anak sulungnya terus-menerus insomnia."Nggak tau, sudah mencoba untuk tidur tetap saja susah." Setelahnya, Rafan masuk.Rivo hanya menghela napas gusar, karena anak sulungnya selalu sulit tidur. Kemudian, masuk dan pe
“Bengong mulu entar kesambet loh!” Vio muncul sembari menyenggol pelan tangan Asya.“A-aku nggak bengong! Cuma ....” Asya bingung mau menjelaskan, karena masih terganggu kehadiran Bagas yang mendadak."Cuma apa?" Vio kepo, karena tak biasanya Asya menyembunyikan sesuatu hal. "Kudengar Rafan ketempelan ya?"Asya mendengkus. "Iya, dan yang nempelin itu setan wanita."Vio terkekeh. "Emang sih, kesel liatnya. Bahkan, dulu saat kau deketin Refan, aku ngerasain."Asya berdecak. "Ayolah itu cuma kagum doang! Ada bedanya, karena saat itu aku nggak tau kau udah jalin hubungan sama Refan!""Iya aku tau." Vio bukan ingin mengungkit, hanya meledek. Lagi pun, sekarang sudah beda. Juga, untuk apa kembali mempermasalahkan?Selagi Asya bersama Rafan."Aku nggak bermaksud menyembunyikan sesuatu …."Vio mengernyit. "Lalu?"Asya belum mau melanjutkan, karena masih bimbang. Terusik sejenak dengan kemunculan Refan."Kenapa nih?" Refan heran, merasa situasi rada aneh."Oke aku cerita, tapi kalian jangan ter
Meskipun sudah mencoba untuk tidur, tetap saja kembali terbangun. Namun, terusik dengan kemunculan Asya. Tetapi, sorot matanya itu antara kesal dan khawatir terhadapnya."Apa?"Asya berdecak. "Apanya yang apa sih!" Mendadak dihubungi oleh Refan dan mengatakan kalau Rafan kacau lagi, dan hampir melakukan self harm.Detik itu juga, Rafan menyadari sesuatu hal. "Hampir, tapi enggak kok." Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?""Tetap saja! Kalo nggak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukan self harm lagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap."Asya paham, memang itu hal sulit bagi Rafan untuk mencegahnya. "Coba kendalikan emosimu." pintan
“Icannotstop thissicknesstaking over. Itakescontrol anddragsme intonowhere.” ‘MydemonsbyStarsetTransmissions’ ••• Rafan masih menatap Asya yang tertidur pulas di dekapannya, sesekali menyentuh wajahnya. Setelahnya, melepaskan diri perlahan. Beranjak keluar dari kamar Asya, memilih duduk sejenak di ruang tengah. Hingga terdengar suara mesin mobil, tidak lama kemudian orang tuanya Asya muncul. “Asya mana?” tanya Arina, hanya melihat Rafan di ruang tengah. “Tidur.” Rafan hanya membalas singkat. Setelahnya, Rafan pamit pulang. Rafan terus melangkah ke manapun, niat awal memang ingin berkeliaran. Sempat tertunda untuk mengantar Asya pulang dulu dan menemaninya sebentar. Hm, teman lama kah? Rafan mulai berpikir positif mengenai sesuatu hal, sesekali mendeng
Keesokan harinya, saat jam istirahat sekolah. Di halaman belakang, Rafan terpaku sejenak saat Asya bertanya soal tangannya yang lecet. Bisa dibilang sejak pagi, Asya sudah meminta penjelasan. Namun, sengaja tidak jawab dan memilih nanti saja."Rafan!" Asya mulai kesal, karena didiamkan. "Kenapa melukai lagi?" Kembali bertanya, dan tatapannya jadi serius.Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?""Tetap saja! Kalau tidak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukanself injurylagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap." Lalu mendekatkan diri dan memeluk erat, kemudian membenamkan wajahnya di l
Rafan semakin dingin dengan sekitarnya, terus berjalan di setiap anak tangga menuju kamarnya. Bersama Asya yang sedari tadi tangannya digenggam erat olehnya. Langkahnya terhenti sebentar, itu membuat Asya mengernyit heran.“Rafan tenanglah.” Asya seketika paham, kala melihat Rafan kembali risi dengan sekitarnya. Bahkan, saat melewati ruang tengah tadi. Rafan benar-benar dingin, seolah sapaan keluarga Ambara hanya angin lalu saja.Rafan menghela napas sejenak, mencoba tenang dan bersikap biasaCih! Dia benar-benar merencanakan sesuatu.Rafan mengusap kasar wajahnya, kembali menarik Asya dan berjalan memasuki kamarnya. Rafan melepas genggamannya pada Asya, kemudian melempar tas sekolahnya ke sembarang arah dan membaringkan diri dengan posisi telungkup. Rafan berusaha tenang lagi, jujur Rafan benci sekali dengan orang asing yang mendekatinya.Karena tahu, pasti ada maksud terselubung. Sejak kembali bersama keluarganya, mulai berba
Segerombolan orang misterius, masih bersikeras mengejar Arsen. Itu pun secara acak, buktinya mereka muncul dari berbagai arah. Sukses membuat Arsen kelimpungan. "Kau beda sekali," celetuk salah satunya, berhasil mendahului Arsen dan kembali memberi serangan telak. Tepat, mengenai perut Arsen hingga membuatnya terbatuk. Lalu terhempas lagi ke jalan raya, sepertinya mereka bersungguh-sungguh untuk menyerang Arsen ya? Atau mungkin, ingin membunuhnya? Decakan kesal, terdengar dari orang tadi yang berhasil menyerang. Setelah melihat Arsen masih bisa menyeimbangkan diri, dan berpindah cepat dari jalan raya ke area yang aman. Napas Arsen mulai memburu, sesekali terbatuk kecil. Efek dari tendangan keras yang mengenai perut dan mendekati uluh hatinya. "Kau benar-benar lemah ya?" Arsen telat menghindar. Bahkan, kehilangan konsentrasi dan kewaspadaannya terhadap sekitar. Ada apa denganku? Arsen amat bingung, sulit
Rafan sengaja berjalan lambat menuju ruangan pertemuan. Menurutnya, amat mengherankan. Padahal sudah ada Refan. Kenapa dirinya harus juga? Tidak hanya sengaja melambatkan langkah kakinya. Akan tetapi, sama sekali tidak ada niat berganti pakaian formal lebih dulu? Kemunculannya di Xander Corp, dengan pakaian serba hitam—perpaduan jaket, kaus, celana—berwarna hitam semua. Melewati sekretaris, langsung masuk, dan bergabung dengan para pebisnis lain. Refan hanya menghela napas pasrah, dengan kelakuan Rafan sama sekali belum berubah. Setidaknya, sedikit biasakan gitu? Lah ini, malah berpakaian di luar jam kegiatan formal. "Ka—" Rafan melirik dengan sorot mata malas nan dingin, berhasil membuat Refan berhenti berbicara. Setelahnya, kembali ke posisi semula—diam. Helaan napas pasrah, kembali terdengar. Refan membiarkan, daripada pusing sendiri. Pada akhirnya, tetap memulai rapat. Rafan hanya diam, tetapi mendengarkan dengan baik apa yang oran
Arsen masih berdiam diri di kelas—sendirian. Sedangkan yang lain, sudah pulang maklum kegiatan sekolah telah usai. Pikirannya melayang pada penjelasan Rafan mengenai 'kunci dari latihannya'. Meskipun, sudah dijelaskan tetap saja membuatnya ragu untuk memulai. Semenjak penjelasan itu, Arsen sudah mantap untuk melakukan percobaan kedua. Walau, keraguan terus melandanya. "Dengan santai ya?" gumam Arsen. Sembari beranjak dari bangku dan menyampirkan tas sekolahnya, mulai melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepertinya, sudah hilang rasa keraguannya untuk melakukan percobaan lagi. Terus melangkah, mencari tempat yang cocok dan jauh dari keramaian orang. Jujur, risi bila kelakuannya dilihat—terlebih lagi menjadi pusat perhatian! Arsen tidak mau terjadi lagi, cukup menjadi pusat perhatian ketika diserang oleh segerombolan orang tidak dikenal saja. Selebihnya, Arsen memilih enggan dan mungkin akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cepat. Juga k
Arsen memilih duduk di teras rumah, mulai memikirkan cara cepat menguasai gerakan seperti Rafan. Mulai dari parkour, larian cepat, dan terakhir teknik serangan juga cengkeraman kuat.Dengkusan kekesalan kembali terdengar, sesekali mengusap pelan kepalanya akibat terjungkal tadi masih agak pusing. Lalu mendongak dan mengerutkan kening.Sejak kapan Rafan sudah muncul dan berdiri di hadapannya?"Jangan dilakukan secara terpisah, tapi langsung aja." Rafan sengaja memberi tahu kunci latihannya selama ini, karena mempraktikkannya secara langsung di hutan tanpa perlu melatih awalan."Tetap saja, sulit." Arsen membalas cepat, karena sadar dirinya tidak langsung liar seperti Rafan.Rafan mendudukkan dirinya di sebelah Arsen, manik hitamnya tertuju ke depan dan amat tenang. Sepertinya, sudah berhasil menahan emosi."Lebih baik kau melatih kecepatan saja, jangan menyeimbangkan dan pijakan kaki didahulukan."Arsen mulai mengernyit heran, dengan u
Meskipun Arsen tidak suka disamakan dengan Rafan, walau sadar dalam waktu tertentu bisa persis sekali. Bukan berarti Arsen tidak kepo dengan kelebihan—kemampuan ekstrem dan liar yang dimiliki Rafan.Arsen nyatanya amat kepo, lebih lagi setelah diajak oleh Rafan ke lingkungan yang berbeda—alias—hutan. Tujuannya, melatih meski bagi Rafan sendiri baru pertama kali melatih seseorang—anak sendiri. Membuat Rafan sulit, menahan diri buktinya hampir melukai—kalau tidak sadar bisa saja membunuh anak sendiri.Hutan yang sering kali didatangi Rafan untuk menyendiri dan melatih kemampuannya. Sayangnya, bukan karena itu. Melainkan, Arsen penasaran setelah berusaha mengamati cara Rafan yang mulanya berjalan santai. Namun, dalam sekejap bisa melenyapkan diri amat cepat dari pandangannya. Itu membuat Arsen semakin penasaran. Oh iya, gerakan parkour liar. Arsen juga penasaran dan ingin bisa melakukannya.****Kebetulan masih
Arsen kini sudah beranjak dewasa, perangai asli mulai terlihat. Bisa dibilang, seperti koin. Sisi asli yang tertutup oleh sisi pencegah—dinding pembatas keluarnya perangai asli Arsen.Terbukti, semakin beranjak dewasa. Yang lebih dominan diperlihatkan adalah sifat yang mirip sekali dengan Asya. Tampak kalem, kutu buku—penggemar novel misteri lain, efek sisi kalem membuat Arsen jarang berbaur. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan buku kesayangan, terakhir maniak cokelat.Setiap di rumah, si kalem Arsen mengurung diri dengan buku dan berbagai macam jenis cokelat. Asya? Hanya sedikit. Arsen lah, yang seringkali menghabiskan.Arsen juga cocok dijuluki, si kalem asam manis. Kalemnya, karena menyendiri. Asemnya, sekali diajak berbincang ada dua reaksi, satu dibalas ketus dan terakhir diabaikan. Kelakuannya, asamnya sekali 'kan?Sisi manisnya, itu karena Arsen penggemar cokelat. Selalu menyetok ban
Asya sibuk membuat sesuatu, sesekali melirik Arsen. Tengah menarik kursi kayu lumayan tinggi, sengaja didekatkan antara lemari makan dengan kulkas. Arsen perlahan memanjat, hingga berhasil berdiri di atas kursi. Tangannya terulur, untuk membuka pintu lemari makan. Ya, Arsen mencoba mengambil camilannya sendiri. Asya mendekati Arsen, masih asik berdiri di kursi kayu lumayan tinggi. Memang saat naik—memanjat, tidak terpeleset atau salah memijak. Tetap saja, ngeri bagi Asya. "Udah ngambilnya 'kan?" Asya langsung menggendong Arsen, otomatis sudah tidak berdiri di kursi lagi. "Ih cokelatnya belum!" Arsen berontak dalam gendongan Asya, camilan kripik atau makanan lain, sedangkan cokelat ada di kulkas dan Arsen belum mengambilnya, lebih dulu digendong Asya. Pada akhirnya, Asya menurunkan Arsen. Benar saja, langsung berlari ke arah kulkas. Manik hitamnya, memindai berbagai macam makanan hingg
Dalam kehidupan, pasti ada pahit dan manisnya. Setiap orang berbeda cara untuk memulainya. Terutama Rafan, dulu hidupnya dimulai begitu pahit dan hampir ingin menyerah. Namun, perlahan berubah menjadi manis. Meskipun masih diselingi masalah-masalah kecil, dan untung saja sudah selesai. Walau agak merumitkan semuanya. Sekarang, kehidupan manis yang dirasakan Rafan semakin bertambah. Telah membentuk sebuah keluarga kecil, baginya. Rafan sudah lumayan terpaku di tempat, tetapi manik hitamnya terus menatap ke arah kaca jendela yang terhubung pada ruang inkubator. Sembilan bulan Asya mengandung, kini telah lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dengan proses normal. Sebenarnya, diperbolehkan masuk untuk melihat langsung. Entah kenapa, Rafan belum ingin mendekati anaknya sendiri. Atau mungkin, masih tidak percaya bila sudah memiliki anak tunggal—bersama Asya. “Dekati sana, anak sendiri juga!” ce
Waktu berlalu begitu cepat, di pagi hari yang cerah terlihat Asya terus-menerus menyentuh wajah Rafan. Sedangkan Rafan sendiri, masih tertidur. Sudah sebulan, Rafan mengambil cuti. Karena Asya tidak mau ditinggal olehnya, katanya sedang ingin bertingkah—alias—manja. Terkadang menjadikan Rafan, bahan kekesalan. Yap, saat ini emosi Asya sedang labil. Maklum, faktor kehamilan yang sudah memasuki usia tiga bulan. Itu sebabnya Asya meminta Rafan untuk tetap di rumah. Terbukti, sekarang mencoba membuat Rafan terusik dari tidurnya. Tangannya masih menyentuh wajah Rafan, sesekali mencubit dan mengecup pelan. “Apa?” Benar saja Rafan terbangun, sebenarnya sudah bangun lebih dulu dari Asya. Tetapi, karena malas membuka mata. Memilih terpejam lagi. “Nggak!” balas Asya cepat, masih terus menggerayangi wajah Rafan. Rafan hanya menaikkan satu alis, jujur suka heran dan berganti kesal juga. Karena Asya dalam kondisi l