Tengah malam, Rafan masih terjaga. Seperti biasa insomnianya kambuh, "Hm, rasa takut ya?" Berpikir sejenak, sekaligus berusaha menebak sesuatu. "Sepertinya akan sedikit berbeda, tapi ...."
Rafan tidak melanjutkan ucapannya, lalu melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Ternyata sudah pukul tiga pagi."Cepat sekali ya?" Beranjak dari duduknya, melompat begitu saja dan melangkah santai menuju halaman belakang rumahnya. "Hm, hm, hm," gumam Rafan mulai berjalan santai—sesekali berlari-lari kecil. Terus melakukannya, hingga para pelayan mulai beraktivitas."Sejak kapan di luar?" Rivo kebetulan sedang ada waktu luang, bisa bersantai di rumah."Malam," balas Rafan singkat, masih betah duduk di teras rumah."Insomnia lagi kah? Nggak bisa kau hilangkan?" Rivo tidak suka, anak sulungnya terus-menerus insomnia."Nggak tau, sudah mencoba untuk tidur tetap saja susah." Setelahnya, Rafan masuk.Rivo hanya menghela napas gusar, karena anak sulungnya selalu sulit tidur. Kemudian, masuk dan pergi ke ruang makan untuk sarapan bersama. Lalu terusik saat Risa menatap heran."Kenapa?" Risa mulai mendudukkan diri di sebelah Rivo."Rafan insomnia lagi," jelas Rivo, sesekali mengusap pelan wajahnya."Lagi ya? Pantas saja, terlihat dari luar rumah tadi." Risa sempat berpapasan dengan Rafan, ingin bertanya tetapi keburu masuk. Ditambah, mendadak heran saat melihat Refan yang keluar dari kamar Rafan."Iya, tadi ayah melihatnya sedang duduk di teras rumah." Rivo kembali menjelaskan, lalu melirik ke arah Refan sudah rapi dan bersiap makan. "Tidur dengan kakakmu lagi kah?""Iya, sekali doang kok. Sepertinya, lebih cocok dibilang tidur sendiri, soalnya kakak nggak pernah tidur."****Asya asyik sendiri di toko buku langganannya. Setelah menemukan buku referensi untuk menambah rangkuman, terkadang masih kurang materi dari dosen. Juga, dosen suka lupa membagikan rangkuman materi yang dijelaskan. Sekarang sedang mencari novel baru untuk tambahan koleksinya. Asya berhasil menemukan tiga novel yang membuatnya tertarik. Kemudian, pergi ke kasir untuk membayar dan bergegas untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti saat ada seseorang yang mendekatinya."Alisya Givano kah?" Laki-laki seumuran dengan Asya mulai menyapa.Asya masih terpaku, lambat laun familier. Hingga tersadar, saat baru saja dipanggil dengan nama lamanya."Kau lupa denganku?" Laki-laki itu, kembali menatap serius Asya. Walau agak heran, saat Asya diam saja dan seperti terkejut."Hm, Bagas ya?" Asya mulai ingat teman lamanya, saat masih kelas enam SD."Kupikir kau lupa." Bagas tersenyum senang, lagi pula dulu akrab dengan Asya ketika baru naik kelas enam SD saja. Sebelumnya, hanya berpapasan dan tidak mencoba akrab meskipun sekelas. "Kau selama ini masih hidup? Kenapa saat itu, keluarga Givano diberitakan telah meninggal?"Asya membeku, saat Bagas berbicara hal itu lagi lagi. Entah kenapa, teringat kejadian pahit yang menimpa keluarganya—dulu. Mencoba untuk tenang, dan bersikap biasa. "Ya, aku masih hidup, dan ... namaku bukan Alisya lagi, tapi Asya. Jadi, bisa berhenti memanggil dengan nama lamaku?""Kenapa?" Bagas menatap bingung."Ehm, nggak." Asya berusaha tetap tenang.Bagas malah semakin heran. "Kau kenapa?" Saat melihat Asya—tidak tenang."Nggak, aku pulang dulu." Asya langsung pergi begitu saja, meninggalkan bagas.Bagas hendak memanggil Asya, tetapi tidak jadi. Karena Asya sudah tidak terlihat, setelahnya Bagas memutuskan untuk pergi, meskipun mulai penasaran dengan tingkah Asya tadi.Asya terus berjalan menuju rumahnya, tetapi terhenti saat tidak sengaja menabrak seseorang. Lalu mendongak dan tidak menyangka yang ditabraknya adalah Rafan, tanpa pikir panjang langsung memeluk erat.Rafan mengerutkan kening, kemudian membiarkan Asya memeluknya. Mulai mengelus lembut kepalanya. "Kenapa?" Rafan mulai aneh, itu sebabnya memutuskan untuk bertanya."Nggak tenang, karena bertemu ... seseorang. Bahkan, dipanggil dengan nama lama." Asya semakin memeluk erat Rafan."Teman lama kah?" tebak Rafan, membalas pelukan dan terus mengelus lembut kepala Asya. "Kau teringat, kejadian itu lagi?""Iya, dan tiba-tiba bertemu dengannya lagi." Asya mengiyakan, lalu melepas pelukannya karena sudah agak tenang. "Kau mau ke mana tadi?""Hanya ingin jalan." Rafan berkata jujur, lalu menggenggam tangan Asya dan mengantarnya pulang. "Sudah tenang?""Iya, meskipun masih sedikit teringat." Asya membalas genggaman tangan Rafan.Mereka terus berjalan, hingga sampai kediaman Adriano. Rafan menyuruh Asya masuk, anehnya malah diam di depan gerbang."Kenapa lagi?" Rafan langsung mendekap Asya."Kau masuk juga," pinta Asya, semakin melesak ke dalam dekapan Rafan.Rafan mengiyakan, langsung melepas pelukannya dan masuk. Bahkan membiarkan, saat ditarik oleh Asya. "Sepi?""Iya, ibu ikut ayah. Kalau Aksa, nggak tau ke mana." Asya mengambil pakaian ganti, dan masuk ke kamar mandi.Rafan memilih ke balkon, sambil melirik sekitar perumahan. Lalu terusik, saat Asya memeluknya dari belakang. Kemudian berbalik, dan membalas pelukan Asya."Tetap di sini ya?" Asya masih ingin memeluk Rafan, lalu menariknya agar ikut berbaring dengannya.Rafan membiarkan, karena tahu Asya masih tidak tenang. Lega, karena Asya mulai tertidur. Terbukti, semakin melesak ke dalam dekapannya. Rafan terus menatap, sesekali menyentuh pelan wajah Asya.Setelahnya, melepaskan diri perlahan. Beranjak keluar dari kamar Asya, memilih duduk sejenak di ruang tengah. Hingga terdengar suara mesin mobil, tidak lama kemudian Orang tuanya Asya muncul.“Asya mana?” tanya Arina, hanya melihat Rafan di ruang tengah.“Tidur.” Rafan hanya membalas singkat. Setelahnya, Rafan pamit pulang.Rafan terus melangkah ke manapun, niat awal memang ingin berkeliaran. Sempat tertunda untuk mengantar Asya pulang dulu dan menemaninya sebentar.Hm, teman lama kah?Rafan mulai berpikir positif mengenai sesuatu hal, sesekali mendengkus pelan, mencoba untuk mengabaikan. Agar tidak memicu dirinya sendiri, untuk memikirkan hal negatif. Rafan hendak pergi lagi, tetapi terhenti saat Aksa mendekat dan menatap serius. “Apa?”“Saat belajar bisnis, kau didekati oleh anak dari salah satu pebisnis ya?” tanya Aksa spontan.Rafan mendengkus kesal, karena Aksa bertanya hal itu. “Ya, bisa jangan bicarakan hal itu lagi?” Tiba-tiba kembali badmood.“Baiklah, tapi aku bertanya untuk memastikan sesuatu.” Aksa merasa sesuatu, akan tetapi malah lupa. “Perempuan kan? Putri dari keluarga Ambara ya?” tebak Aksa.“Ya.” Rafan mulai mengamati raut wajah Aksa, setelah mengiyakan. Aksa seperti mencoba mengingat sesuatu.Aksa memilih menepisnya dulu, meskipun masih ingin mengingat sesuatu yang tanpa sadar dilupakan olehnya. “Aku pulang dulu.”“Jangan terlalu dipikirkan,” celetuk Rafan.“Kau menebak ya?” Aksa menatap serius. “Langsung tau maksudnya?”“Hm, mungkin.” Rafan terdiam sebentar. “Intinya seperti itu ... ehm, lupakan.Aksa berdecak kesal, dalam sekejap menyipitkan matanya. “Kau jadi aneh.”Rafan loading sejenak. “Iya kah?” Jujur, tidak sadar dengan hal itu.“Iya.” Aksa dengan cepat meyakinkan Rafan..“Lalu ingin gimana? Selalu saja dibilang aneh,” balas Rafan, mulai kesal sendiri.“Hm, bukan begitu. Hanya saja, aku penasaran ....” Aksa tidak melanjutkan ucapannya.Rafan mulai mengernyit heran. “Hm, penasaran apa?” Walau sebenarnya, sudah menduga sesuatu.“Sifatmu perlahan agak berubah, apa pernah kau kembali terpikir untuk melakukan kebiasaanmu ... dulu?” Aksa penasaran dengan sisi mengerikan Rafan, jujur Aksa agak was-was. Mulai merasa kalau Rafan sewaktu-waktu bisa kembali ke jati diri aslinya, yang amat mengerikan.“Oh itu ya.” Rafan terdiam sebentar, tidak menyangka Aksa akan bertanya soal dirinya yang sebenarnya. Rafan menghela napas sejenak, manik hitamnya mulai melirik serius Aksa. “Aku memang masih berprinsip, tapi agak berbeda dan bukan berarti ... aku sudah tidak melakukannya lagi.” Setelahnya, Rafan memilih pergi.Aksa terdiam mendengarnya, merasa benar akan terjadi lagi. “Tunggu! Maksudmu, berbeda itu gimana?”“Bukan berbeda sih, yang jelas ... ehm, lupakan saja.” Tanpa menoleh ke arah Aksa, Rafan langsung pergi cepat sekali.Aksa hanya menghela napas pasrah, dan memilih pulang.“Bengong mulu entar kesambet loh!” Vio muncul sembari menyenggol pelan tangan Asya.“A-aku nggak bengong! Cuma ....” Asya bingung mau menjelaskan, karena masih terganggu kehadiran Bagas yang mendadak."Cuma apa?" Vio kepo, karena tak biasanya Asya menyembunyikan sesuatu hal. "Kudengar Rafan ketempelan ya?"Asya mendengkus. "Iya, dan yang nempelin itu setan wanita."Vio terkekeh. "Emang sih, kesel liatnya. Bahkan, dulu saat kau deketin Refan, aku ngerasain."Asya berdecak. "Ayolah itu cuma kagum doang! Ada bedanya, karena saat itu aku nggak tau kau udah jalin hubungan sama Refan!""Iya aku tau." Vio bukan ingin mengungkit, hanya meledek. Lagi pun, sekarang sudah beda. Juga, untuk apa kembali mempermasalahkan?Selagi Asya bersama Rafan."Aku nggak bermaksud menyembunyikan sesuatu …."Vio mengernyit. "Lalu?"Asya belum mau melanjutkan, karena masih bimbang. Terusik sejenak dengan kemunculan Refan."Kenapa nih?" Refan heran, merasa situasi rada aneh."Oke aku cerita, tapi kalian jangan ter
Meskipun sudah mencoba untuk tidur, tetap saja kembali terbangun. Namun, terusik dengan kemunculan Asya. Tetapi, sorot matanya itu antara kesal dan khawatir terhadapnya."Apa?"Asya berdecak. "Apanya yang apa sih!" Mendadak dihubungi oleh Refan dan mengatakan kalau Rafan kacau lagi, dan hampir melakukan self harm.Detik itu juga, Rafan menyadari sesuatu hal. "Hampir, tapi enggak kok." Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?""Tetap saja! Kalo nggak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukan self harm lagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap."Asya paham, memang itu hal sulit bagi Rafan untuk mencegahnya. "Coba kendalikan emosimu." pintan
“Icannotstop thissicknesstaking over. Itakescontrol anddragsme intonowhere.” ‘MydemonsbyStarsetTransmissions’ ••• Rafan masih menatap Asya yang tertidur pulas di dekapannya, sesekali menyentuh wajahnya. Setelahnya, melepaskan diri perlahan. Beranjak keluar dari kamar Asya, memilih duduk sejenak di ruang tengah. Hingga terdengar suara mesin mobil, tidak lama kemudian orang tuanya Asya muncul. “Asya mana?” tanya Arina, hanya melihat Rafan di ruang tengah. “Tidur.” Rafan hanya membalas singkat. Setelahnya, Rafan pamit pulang. Rafan terus melangkah ke manapun, niat awal memang ingin berkeliaran. Sempat tertunda untuk mengantar Asya pulang dulu dan menemaninya sebentar. Hm, teman lama kah? Rafan mulai berpikir positif mengenai sesuatu hal, sesekali mendeng
Keesokan harinya, saat jam istirahat sekolah. Di halaman belakang, Rafan terpaku sejenak saat Asya bertanya soal tangannya yang lecet. Bisa dibilang sejak pagi, Asya sudah meminta penjelasan. Namun, sengaja tidak jawab dan memilih nanti saja."Rafan!" Asya mulai kesal, karena didiamkan. "Kenapa melukai lagi?" Kembali bertanya, dan tatapannya jadi serius.Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?""Tetap saja! Kalau tidak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukanself injurylagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap." Lalu mendekatkan diri dan memeluk erat, kemudian membenamkan wajahnya di l
Rafan semakin dingin dengan sekitarnya, terus berjalan di setiap anak tangga menuju kamarnya. Bersama Asya yang sedari tadi tangannya digenggam erat olehnya. Langkahnya terhenti sebentar, itu membuat Asya mengernyit heran.“Rafan tenanglah.” Asya seketika paham, kala melihat Rafan kembali risi dengan sekitarnya. Bahkan, saat melewati ruang tengah tadi. Rafan benar-benar dingin, seolah sapaan keluarga Ambara hanya angin lalu saja.Rafan menghela napas sejenak, mencoba tenang dan bersikap biasaCih! Dia benar-benar merencanakan sesuatu.Rafan mengusap kasar wajahnya, kembali menarik Asya dan berjalan memasuki kamarnya. Rafan melepas genggamannya pada Asya, kemudian melempar tas sekolahnya ke sembarang arah dan membaringkan diri dengan posisi telungkup. Rafan berusaha tenang lagi, jujur Rafan benci sekali dengan orang asing yang mendekatinya.Karena tahu, pasti ada maksud terselubung. Sejak kembali bersama keluarganya, mulai berba
Waktu begitu cepat berlalu, mereka mulai disibukkan untuk ujian kelulusan dan belajar bisnis ditunda sementara. Agar tidak terganggu, setelahnya baru melanjutkan. Hal itu, membuat Rafan sedikit lega, karena Liana tidak mengganggunya.Akan tetapi, ada yang berbeda atau lebih tepatnya. Sekian lama berhasil mengubah sikap, kini perlahan kembali ke sikapnya yang—semula.Terbukti, Rafan semakin diam lagi dan lebih sering ke rumah kecilnya di hutan. Tetapi, tetap menurut bila disuruh tidak pergi. Namun, malah mengurung diri di kamar. Rafan hanya ingin tenang, sebelum inti masalah terjadi.“Kakak,” panggil Refan, mulai takut dengan perubahan sikap Rafan yang kembali seperti dulu.Rafan hanya menatap sebentar, setelahnya kembali diam dan terpejam. Benar-benar tidak ingin diganggu. Refan hanya menghela napas pasrah, saat didiamkan oleh Rafan. semakin takut, Rafan benar-benar akan kembali ke dirinya yang sebenarnya.Terlihat jelas sekali, s
Rafan berjalan dengan tatapan biasa. Namun, bagi semua orang yang melintas di sekitarnya—sorot mata begitu dingin dan mengerikan. Itu sebabnya, setiap kali Rafan melintas suasana hening. Takut memancing emosinya, dan mengacau lagi seperti dulu. Bahkan saat belajar bisnis di sesi pertama tadi, kebetulan ditambah jadi dua sesi. Suasananya saat itu, menurut beberapa anak pebisnis lain—yang bisa datang, begitu mencekam.Rafan memilih menyendiri di halaman belakang Xander Corp, menyandarkan punggung tegapnya pada pohon besar dan terpejam, untung saja sepi—tidak ada karyawan yang melintas. Sesekali menghela napas sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Sekalian melepas penat, setelah belajar bisnis tadi."Sebentar lagi puncaknya kah?"Rafan mendengkus pelan, sesekali mengusap kasar wajahnya. Meregangkan otot sejenak, kemudian beranjak dari duduknya, Rafan memilih pergi—tidak ikut belajar bisnis sesi kedua. Lagi pula, bebas baginya untuk ikut b
"Save meifIbecome, Mydemons."'ByStarsetTransmissions'•••Di kediaman Alexander, Rivo terus saja menghela napas gusar dengan kejadian yang terjadi di Xander Corp. Kedua kalinya, Rafan melampiaskan emosi. Kalau dulu, untuk balas dendam dan tadi untuk menggertak keluarga Ambara."Rafan tadi terpancing emosinya, ibu takut ... Rafan melakukan hal itu pada keluarga Ambara." Risa mulai panik lagi, setelah mendengar penjelasan dari Rivo tadi."Ayah juga sedang memikirkannya, tapi Rafan pergi begitu saja. Tidak sempat, untuk menenangkan dan mengingatkannya agar tidak bertindak seperti itu lagi." Rivo semakin gusar, di sisi lain juga yakin kalau keluarga Ambara akan melakukan rencana lain. Bisa dibilang, Rivo sudah menebak sifat Levan Ambara ketika mengajukan kontrak kerja sama—ditambah keinginannya yang memaksa.
Segerombolan orang misterius, masih bersikeras mengejar Arsen. Itu pun secara acak, buktinya mereka muncul dari berbagai arah. Sukses membuat Arsen kelimpungan. "Kau beda sekali," celetuk salah satunya, berhasil mendahului Arsen dan kembali memberi serangan telak. Tepat, mengenai perut Arsen hingga membuatnya terbatuk. Lalu terhempas lagi ke jalan raya, sepertinya mereka bersungguh-sungguh untuk menyerang Arsen ya? Atau mungkin, ingin membunuhnya? Decakan kesal, terdengar dari orang tadi yang berhasil menyerang. Setelah melihat Arsen masih bisa menyeimbangkan diri, dan berpindah cepat dari jalan raya ke area yang aman. Napas Arsen mulai memburu, sesekali terbatuk kecil. Efek dari tendangan keras yang mengenai perut dan mendekati uluh hatinya. "Kau benar-benar lemah ya?" Arsen telat menghindar. Bahkan, kehilangan konsentrasi dan kewaspadaannya terhadap sekitar. Ada apa denganku? Arsen amat bingung, sulit
Rafan sengaja berjalan lambat menuju ruangan pertemuan. Menurutnya, amat mengherankan. Padahal sudah ada Refan. Kenapa dirinya harus juga? Tidak hanya sengaja melambatkan langkah kakinya. Akan tetapi, sama sekali tidak ada niat berganti pakaian formal lebih dulu? Kemunculannya di Xander Corp, dengan pakaian serba hitam—perpaduan jaket, kaus, celana—berwarna hitam semua. Melewati sekretaris, langsung masuk, dan bergabung dengan para pebisnis lain. Refan hanya menghela napas pasrah, dengan kelakuan Rafan sama sekali belum berubah. Setidaknya, sedikit biasakan gitu? Lah ini, malah berpakaian di luar jam kegiatan formal. "Ka—" Rafan melirik dengan sorot mata malas nan dingin, berhasil membuat Refan berhenti berbicara. Setelahnya, kembali ke posisi semula—diam. Helaan napas pasrah, kembali terdengar. Refan membiarkan, daripada pusing sendiri. Pada akhirnya, tetap memulai rapat. Rafan hanya diam, tetapi mendengarkan dengan baik apa yang oran
Arsen masih berdiam diri di kelas—sendirian. Sedangkan yang lain, sudah pulang maklum kegiatan sekolah telah usai. Pikirannya melayang pada penjelasan Rafan mengenai 'kunci dari latihannya'. Meskipun, sudah dijelaskan tetap saja membuatnya ragu untuk memulai. Semenjak penjelasan itu, Arsen sudah mantap untuk melakukan percobaan kedua. Walau, keraguan terus melandanya. "Dengan santai ya?" gumam Arsen. Sembari beranjak dari bangku dan menyampirkan tas sekolahnya, mulai melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepertinya, sudah hilang rasa keraguannya untuk melakukan percobaan lagi. Terus melangkah, mencari tempat yang cocok dan jauh dari keramaian orang. Jujur, risi bila kelakuannya dilihat—terlebih lagi menjadi pusat perhatian! Arsen tidak mau terjadi lagi, cukup menjadi pusat perhatian ketika diserang oleh segerombolan orang tidak dikenal saja. Selebihnya, Arsen memilih enggan dan mungkin akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cepat. Juga k
Arsen memilih duduk di teras rumah, mulai memikirkan cara cepat menguasai gerakan seperti Rafan. Mulai dari parkour, larian cepat, dan terakhir teknik serangan juga cengkeraman kuat.Dengkusan kekesalan kembali terdengar, sesekali mengusap pelan kepalanya akibat terjungkal tadi masih agak pusing. Lalu mendongak dan mengerutkan kening.Sejak kapan Rafan sudah muncul dan berdiri di hadapannya?"Jangan dilakukan secara terpisah, tapi langsung aja." Rafan sengaja memberi tahu kunci latihannya selama ini, karena mempraktikkannya secara langsung di hutan tanpa perlu melatih awalan."Tetap saja, sulit." Arsen membalas cepat, karena sadar dirinya tidak langsung liar seperti Rafan.Rafan mendudukkan dirinya di sebelah Arsen, manik hitamnya tertuju ke depan dan amat tenang. Sepertinya, sudah berhasil menahan emosi."Lebih baik kau melatih kecepatan saja, jangan menyeimbangkan dan pijakan kaki didahulukan."Arsen mulai mengernyit heran, dengan u
Meskipun Arsen tidak suka disamakan dengan Rafan, walau sadar dalam waktu tertentu bisa persis sekali. Bukan berarti Arsen tidak kepo dengan kelebihan—kemampuan ekstrem dan liar yang dimiliki Rafan.Arsen nyatanya amat kepo, lebih lagi setelah diajak oleh Rafan ke lingkungan yang berbeda—alias—hutan. Tujuannya, melatih meski bagi Rafan sendiri baru pertama kali melatih seseorang—anak sendiri. Membuat Rafan sulit, menahan diri buktinya hampir melukai—kalau tidak sadar bisa saja membunuh anak sendiri.Hutan yang sering kali didatangi Rafan untuk menyendiri dan melatih kemampuannya. Sayangnya, bukan karena itu. Melainkan, Arsen penasaran setelah berusaha mengamati cara Rafan yang mulanya berjalan santai. Namun, dalam sekejap bisa melenyapkan diri amat cepat dari pandangannya. Itu membuat Arsen semakin penasaran. Oh iya, gerakan parkour liar. Arsen juga penasaran dan ingin bisa melakukannya.****Kebetulan masih
Arsen kini sudah beranjak dewasa, perangai asli mulai terlihat. Bisa dibilang, seperti koin. Sisi asli yang tertutup oleh sisi pencegah—dinding pembatas keluarnya perangai asli Arsen.Terbukti, semakin beranjak dewasa. Yang lebih dominan diperlihatkan adalah sifat yang mirip sekali dengan Asya. Tampak kalem, kutu buku—penggemar novel misteri lain, efek sisi kalem membuat Arsen jarang berbaur. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan buku kesayangan, terakhir maniak cokelat.Setiap di rumah, si kalem Arsen mengurung diri dengan buku dan berbagai macam jenis cokelat. Asya? Hanya sedikit. Arsen lah, yang seringkali menghabiskan.Arsen juga cocok dijuluki, si kalem asam manis. Kalemnya, karena menyendiri. Asemnya, sekali diajak berbincang ada dua reaksi, satu dibalas ketus dan terakhir diabaikan. Kelakuannya, asamnya sekali 'kan?Sisi manisnya, itu karena Arsen penggemar cokelat. Selalu menyetok ban
Asya sibuk membuat sesuatu, sesekali melirik Arsen. Tengah menarik kursi kayu lumayan tinggi, sengaja didekatkan antara lemari makan dengan kulkas. Arsen perlahan memanjat, hingga berhasil berdiri di atas kursi. Tangannya terulur, untuk membuka pintu lemari makan. Ya, Arsen mencoba mengambil camilannya sendiri. Asya mendekati Arsen, masih asik berdiri di kursi kayu lumayan tinggi. Memang saat naik—memanjat, tidak terpeleset atau salah memijak. Tetap saja, ngeri bagi Asya. "Udah ngambilnya 'kan?" Asya langsung menggendong Arsen, otomatis sudah tidak berdiri di kursi lagi. "Ih cokelatnya belum!" Arsen berontak dalam gendongan Asya, camilan kripik atau makanan lain, sedangkan cokelat ada di kulkas dan Arsen belum mengambilnya, lebih dulu digendong Asya. Pada akhirnya, Asya menurunkan Arsen. Benar saja, langsung berlari ke arah kulkas. Manik hitamnya, memindai berbagai macam makanan hingg
Dalam kehidupan, pasti ada pahit dan manisnya. Setiap orang berbeda cara untuk memulainya. Terutama Rafan, dulu hidupnya dimulai begitu pahit dan hampir ingin menyerah. Namun, perlahan berubah menjadi manis. Meskipun masih diselingi masalah-masalah kecil, dan untung saja sudah selesai. Walau agak merumitkan semuanya. Sekarang, kehidupan manis yang dirasakan Rafan semakin bertambah. Telah membentuk sebuah keluarga kecil, baginya. Rafan sudah lumayan terpaku di tempat, tetapi manik hitamnya terus menatap ke arah kaca jendela yang terhubung pada ruang inkubator. Sembilan bulan Asya mengandung, kini telah lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dengan proses normal. Sebenarnya, diperbolehkan masuk untuk melihat langsung. Entah kenapa, Rafan belum ingin mendekati anaknya sendiri. Atau mungkin, masih tidak percaya bila sudah memiliki anak tunggal—bersama Asya. “Dekati sana, anak sendiri juga!” ce
Waktu berlalu begitu cepat, di pagi hari yang cerah terlihat Asya terus-menerus menyentuh wajah Rafan. Sedangkan Rafan sendiri, masih tertidur. Sudah sebulan, Rafan mengambil cuti. Karena Asya tidak mau ditinggal olehnya, katanya sedang ingin bertingkah—alias—manja. Terkadang menjadikan Rafan, bahan kekesalan. Yap, saat ini emosi Asya sedang labil. Maklum, faktor kehamilan yang sudah memasuki usia tiga bulan. Itu sebabnya Asya meminta Rafan untuk tetap di rumah. Terbukti, sekarang mencoba membuat Rafan terusik dari tidurnya. Tangannya masih menyentuh wajah Rafan, sesekali mencubit dan mengecup pelan. “Apa?” Benar saja Rafan terbangun, sebenarnya sudah bangun lebih dulu dari Asya. Tetapi, karena malas membuka mata. Memilih terpejam lagi. “Nggak!” balas Asya cepat, masih terus menggerayangi wajah Rafan. Rafan hanya menaikkan satu alis, jujur suka heran dan berganti kesal juga. Karena Asya dalam kondisi l