Seperti apa sebenarnya sosok Ahmed ini? Entahlah, Sander tidak ambil pusing. Baginya, Ahmed bisa dia manfaatkan, sudah cukup.
Sander memasuki Club El dengan gaya bossy-nya. Berjalan dengan dagu sedikit terangkat dan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Jangan lupakan, bagaimana aura angkuh darah Milosevic begitu kental tampak di wajah tampannya. Tatapan mata tajam dengan manik berwarna abu, serta ekspresi wajah datar. Beberapa pria di club itu langsung menyingkir, begitu mereka tahu siapa yang berada di dekatnya. Mereka jelas tidak mau ambil perkara dengan Sander. Dari kejauhan, Sander melihat Ahmed duduk di kursi depan bartender. Sander tersenyum menyeringai. 'Dia memang orang yang on time dan sangat bisa diandalkan,' batinnya. Sander langsung menepuk bahu Ahmed.
"Hey, Dude!" Ahmed langsung menoleh dan dia hanya mengangguk setelah mengetahui siapa yang telah mengganggu kesenangannya menikmati wine.
"C'mon
"Ini lebih ringan dosisnya. Seperti yang Jul katakan, jika Kak Fa berperan penting di sini," lanjut Julian. Fafa merona mendengar perkataan julian. Dia paham betul apa maksudnya. Ian melihat itu semakin gemas."Kalo tidak berhasil!""Kak! Kita lakukan yang ini dulu.""Kalo tidak berhasil lagi!" Fafa sudah tidak tahan. Dia mencengkeram lengan Ian. Ian langsung tertawa terbahak, suaranya membahana di ruangan itu. Julian tersenyum lebar, dia tidak menyangka jika Ian akan sejahil ini. 'Semoga berhasil, Kak. Semoga dua tiga kali membuahkan hasil. Aamiin!' batin Julian."Adu-aduh ... sakit ini, Sayang." Fafa paham Ian pura-pura mengadu untuk semakin menjahilinya."By, nggak usaha Le Bay!" bisik Fafa penuh penekanan. 'Kita lihat saja nanti, sepertinya terapi dari Julian ini, mengasyikan untuk menjahili Fafa, ha ... ha ...,' batin Ian. Dia membayangkan betapa menggemaskan Fafa jika dia m
Ian membuka mata. 'Apa dia sudah benar-benar siap!' batinnya. "Benarkah?" tanya Ian tak percaya. "Mau bukti?" tantang Fafa. Ian tersenyum penuh kemenangan. 'Ha ... ha ..., dasar anak kemarin sore. Kena kau! Masuk perangkap,' batinnya. Sejak kapan dia senarsis sekarang. Ian geleng-geleng tak percaya, ternyata punya istri muda memang membuat jiwanya ikut muda. "Nanti malam buktikan!" "A-aku ...," Fafa tidak meneruskan perkataannya. Ian memincingkan mata. "Bukankah tadi kamu bilang nanti malam?" tanya Ian. Fafa mematung. "I-iya, nanti malam. T-tapi Fa ...." "Tidak mau, apa takut! Aa kamu mau disebut apa itu ya, orang yang suka mengingkari janji," pancing Ian. "Pengkhianat!" jawab Fafa cepat. "Nah, itu sudah tau." Ian tersenyum puas. Fafa segera membantu Ian d
Setelah memastikan suaminya benar-benar tenang, Fafa meminta Dokter Thomas dan yang lainnya untuk meninggalkan paviliun. Fafa berjanji akan menemui di ruang meeting. Dia menghubungi Rahman melalui ponsel Ian, agar datang dan segera masuk ke paviliun. Dari percakapan dengan Ian beberapa hari lalu, Fafa semakin yakin jika suaminya itu sudah menduga akan seperti sekarang. Setelah menunggu 15 menit, Rahman datang. Fafa segera meminta dia masuk dan menjaga Ian, selama dia pergi ke ruang meeting. Fafa melihat Dokter Thomas telah menunggunya di koridor. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang meeting yabg tidak jauh dari paviliun dan tidak ada permbicaraan apapun diantara keduanya. Dokter Thomas mempersilakan Fafa masuk terlebih dahulu, di dalam ada empat dokter lain yang sudah menunggu. "Baik, silakan Dokter Thomas! Oh, iya. Tolong katakan semua tentang suamiku sejak kecelakaan," tegas Fafa-sesaat setelah duduk. Ucapannya begitu mengintimidasi. Semua dokter
Melihat istrinya begitu menempel pada Rusdi, mendadak wajah Ian memerah dan rahangnya mengeras. Rusdi paham, dia langsung meminta keponakannya itu mendekati Ian. Fafa begidik melihatnya. "By, hanya lima menit!" cicit Fafa. Andrian hanya mendongakkan sedikit wajahnya. Keangkuhan Aldric Andrian terpampang nyata di depannya. Setelah semua duduk di sofa, Andrian segera mengaktifkan VCC dengan Hamid yang ada di London-Kantor Pusat The Hunter. Melalui layar proyektor yang sudah terhubung dengan tab Andrian, meeting dimulai. Frans langsung menyampaikan apa yang menjadi keputusan Andrian. Fafa tidak percaya yang dilihat dan di dengarnya. Bagaimana bisa? Bolehkah dia sekarang mengatakan jika suaminya ini benar-benar .... Ah tidak! Dia tidak mau disebut istri durhaka. Apakah dia boleh menolak atau berfikir dahulu? Jawabannya, tidak! Andrian tidak butuh itu. Keputusannya mutlak. Andrian hanya memindahtangankan kepemil
"By! Apakah keputusan Fa ini sudah tepat?" tanya Fafa setelah menyandarkan kepalanya di lengan Ian. Inilah yang disukai Ian, setiap mereka akan tidur Fafa selalu mengajak diskusi. "Hhmm, apa kamu senang?" tanya Ian tanpa menjawab pertanyaan Fafa. Dia mengusap kepala Fafa yang tertutup khimar kemudian mengecupnya. "Sangat!" jawab Fafa mantap. "Berarti itu sudah tepat. Tidurlah! Apa aku harus memelukmu seperti biasanya?" goda Ian. Fafa tidak menjawab, dia merasakan Ian memeluknya. Rusdi yang menyaksikan interaksi keponakan dan majikannya itu, tersenyum dikulum. Kedatangan kereta api tepat waktu. Mereka bertiga sampai di Stasiun Kediri pagi ini. Fafa tidak menyangka jika Rahman juga ikut, kenapa dia tidak mengetahuinya? Sudahlah, jika itu kemauan Ian, dia bisa apa. Dengan tidak sabar, Fafa segera naik mobil jemputan. "Hey, tidak perlu terburu-buru. Oke!"
Tindakan Andrian benar-benar di luar perkiraan Sander. Tak berapa lama terdengar pintu di ketuk pelan. Setelah mengiyakan, pintu terbuka. Becker, asisten Sander masuk dengan tergesa-gesa."Bagaimana?" tanya Sander tidak sabar."Aldric benar-benar luar biasa, Boss. Sepertinya dia akan melakukan transaksi besar," jawab Becker. Sander mengedutkan dahi."Maksudmu?""Informan kita yang di London bilang ada pergerakan intens di kantor pusat The Hunter. Beberapa hari lalu, ada dari mafia Scorpion ke sana.""Ada yang lain?""Berita buruknya. Kita tidak bisa memantau lagi aktifitas Aldric di rumah itu.""Dia pasti sudah mengaktifkan dome.""Benar, Boss.""Beck, kenapa sekarang kamu bicara selalu formal padaku? Huff, aku ini sahabatmu!" Becker tertawa terbahak. 'Sander tetaplah Sander,' batin Becker.
"Apa rencanamu jika sudah mendapatkan istri Aldric?" tanya Victor berusaha mengalihkan perhatiana Sander. "itu adalah bagian Ahmed. Dia begitu terobsesi dengan istri Aldric. Aku hanya mendukung." "Sepertinya memang tujuanmu bukan hanya menguasai aset Aldric?" "Hhmm. Aset hanyalah bonus Paman. Dia harus merasakan kehancuran." "Baiklah, pikirkan kembali niatmu Sander. Save Eagle masih ada, jangan lupa itu! Aku pulang dulu, terima kasih jamuannya. Ini lezat." Victor berdiri dan beranjak keluar dari privat room. Sander mengepalkan telapak tangannya. Save Eagle sudah tamat seiring kematian Anav Milosevic. 'Dasar penakut, tetap saja pria tua bodoh itu percaya!' runtuk Sander. Daun pintu diketuk pelan. Setelah Sander mengiyakan, tampak Becker masuk dengan tergopoh-gopoh. "Boss, sudah membuka e-mail belum? Informan kita di Jak
"Fa ... Fafa ...!" teriak Ian. Fafa tersentak, dia menatap Ian dengan wajah bersalah. "Maaf, Iya By." "Lapar." Ian mengayuh kursi rodanya keluar kamar. Fafa tersenyum melihatnya. Semalaman tidak bisa tidur, pagi lapar. Dasar! Apa orang lapar sikapnya bisa seketus itu? Fafa bergegas ke dapur setelah melepas mukena. Dia mendapati Ikhsan sedang merebus air dan menggoreng pisang. Mendengar suara langkah kaki mendekat, Ikhsan menoleh. "Kak," sapa Ikhsan. Fafa tersenyum. "Ini buat apa, Dik?" tanya Fafa. "Kopi, Kak. Nasinya udah San bikin, tinggal sayur dan goreng lauk." Fafa mengangguk, dia menggantikan Ikhsan membuat kopi dan pisang goreng. Ikhsan duduk di kursi tak jauh dari Fafa berdiri. "Paklik mana?" tanya Fafa, dengan posisi membelakangi Ikhsan. "Barusan keluar sama Kak Ian, sepertinya jalan-jala