Devan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia terlihat begitu panik setelah mendapat panggilan dari Milea beberapa waktu yang lalu.
Saat itu Devan sedang mengecek berkas di ruang kerja. Meski weekend, Devan tetap mengurus pekerjaan agar tidak terbengkalai, terlebih sebentar lagi ia akan menikah dengan Evangeline, Devan tidak ingin pernikahannya terganggu masalah pekerjaan. Hingga kemudian fokusnya terpecah ketika melihat ponselnya yang terus berderit.
"Halo Mil, ada apa?" tanya Devan langsung begitu menjawab panggilan dari Milea.
"Kak, kamu di mana? Apa bisa melihat keadaan Evangeline, ia terlihat buruk," jawab Milea dari seberang panggilan.
Milea yang baru saja mengantar Evangeline pulang langsung menghubungi Devan, ia khawatir dengan keadaan temannya itu karena sejak dari toko tadi Evangeline hanya diam dan sesekali menjawab pertanyaan Milea. Bahkan ketika Milea menawarkan diri untuk menemani p
Evangeline menatap bayangan dari pantulan cermin, menyentuh apa yang dilingkarkan ke lehernya."Kak, ini--"Cristian membalikkan tubuh Evangeline, hingga kini menghadap padanya. Pemuda itu tersenyum hangat pada Evangeline."Ini untukmu," ucap Cristian."Ini terlihat sangat mahal, aku tidak bisa menerimanya." Evangeline berusaha melepas kalung itu tapi dicegah oleh Cristian.Cristian melepas kacamata tebal yang menutupi mata Evangeline, bahkan menarik ikat rambut gadis itu hingga tergerai, disisirnya rambut Evangeline dengan jemarinya. Evangeline menatap Cristian, tidak mengerti dengan maksud kakak sepupunya itu."Aku ingin kamu mengenakannya karena sangat cocok denganmu," ujar Cristian menyentuh liontin yang tergantung di leher Evangeline. "Kamu terlihat cantik tanpa kacamata dan dengan rambut yang tergerai, jadi jangan lagi memakai ini," imbuhnya seray
Devan duduk bersama Milea di sebuah kafe. Pria itu masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Evangeline. Sepanjang malam kekasihnya itu tidak tidur nyenyak dan terlihat terus mengernyitkan dahi."Apa kemarin dia baik-baik saja?" tanya Milea begitu selesai menyesap kopinya.Devan menggelengkan kepala, menyilangan kaki dan menatap Milea dengan perasaan cemas."Semalam dia terus mengigau, memohon bahkan menangis. Aku penasaran apakah itu hanya sebuah mimpi atau kepingan masa lalunya? Apa dia pernah bercerita kalau pernah mendapat perlakuan buruk atau mungkin dilecehkan?" tanya Devan pada Milea.Milea terkejut dengan pertanyaan Devan, kemudian berpikir hingga mengingat akan sesuatu."Hubungan Evangeline dengan kakak sepupunya waktu itu sangat baik, meski aku sendiri tidak suka kalau Evangeline dekat dengan pria itu. Hingga waktu itu--" Milea bercerita, mengingat kejadian delapan t
Jordan menarik tangan Evangeline agar wanita itu ke arahnya, tapi sayangnya Cristian tidak membiarkannya begitu saja. Cristian berusaha mempertahankan Evangeline, mencoba menepis tangan Jordan hingga pada akhirnya membuat keduanya hampir berkelahi."Cukup!" Evangeline berdiri di antara Jordan dan Cristian.Cristian yang hendak melayangkan pukulan ke arah Jordan pun ditahan, menarik kembali tangannya karena takut melukai Evangeline."Jordan, ayo!" Evangeline meraih tangan Jordan lantas mengajak suami Milea itu pergi, menghindarkan Jordan terkena masalah karena dirinya.Cristian menatap punggung Evangeline yang berlalu meninggalkan dirinya, pria itu sampai mengepalkan kedua telapak tangannya di samping tubuh, menahan amarah karena tidak bisa membawa Evangeline bersamanya.---Jordan telihat sesekali melirik pada Evangeline yang duduk di kursi samping kemudi. Sejak
Devan menatap layar komputernya, mengamati data yang baru saja diterima. Semua hal tentang keluarga Hanggara dan juga Cristian sudah didapatkannya. Devan tidak mau kalau pernikahannya dengan Evangeline terganggu."Pak, ini foto yang berhasil saya dapat. Cuman ini sudah sangat lama, sehingga tidak terlalu jelas saat dicetak," ujar Danny menyerahkan beberapa lembar foto pada Devan."Ya, terima kasih." Devan menerima, lantas memperhatikan dengan seksama.Terlihat Evangeline yang masih mengenakan pakaian sekolah, dengan kacamata tebal dan rambut yang dikucir model ekor kuda. Devan tersenyum melihat betapa imutnya tunangannya, tapi seketika senyum itu hilang ketika melihat siapa yang ada di sampingnya."Tampaknya mereka begitu dekat," gumam Devan.Evangeline baru saja kembali, langsung masuk ke ruangan Devan untuk memberikan berkas salinan yang baru saja dikirim. Evangeline mengulas s
Devan dan Evangeline sudah sampai di Paris. Devan sudah membocking kamar hotel dekat pusat kota, mereka kini sudah berada di kamar. Devan tampak bingung harus berbuat apa, merasa gelisah dengan situasi yang sedang dihadapi. Ia terlihat sesekali melirik pintu kamar mandi, di mana Evangeline berkata ingin membersihkan diri setelah penerbangan hampir lima belas jam. Devan meraih botol wine yang dipesan dari layanan hotel, menuangkan ke gelas kaca lantas menyesapnya perlahan. Devan tidak memungkiri kalau dirinya tengah dilanda rasa gugup. Evangeline baru saja selesai membersihkan diri, wanita itu memakai lingerie berwarna hitam lengkap dengan kimono. Melihat Devan yang duduk dan terus menenggak wine membuat Evangeline keheranan. Ia pun berjalan menghampiri, lantas berdiri tepat di hadapan Devan. "Kenapa minum sangat banyak?" tanya Evangeline yang langsung mengambil gelas kaca dari tangan Devan.
PRANGG!!!! Cristian melempar gelas kaca yang dipegangnya, menciptakan suara begitu nyaring di kamar ketika gelas menghantam lantai, amarahnya membuncah ketika mendapat kabar kalau Evangeline menikah dan kini sedang berada di Parsis. "Kenapa? Angel, kenapa?! Kenapa memperlakukan aku seperti ini?!" Cristian berteriak sangat kencang, meluapkan segala amarah yang terasa sesak di hatinya.Ternyata dia tidak cukup harus mencintai, meski pernah berpikir untuk melupakan, tapi baginya Evangeline adalah gadis yang berbeda, membuatnya tidak mampu melakukan itu. --- Di Paris. Evangeline menatap wajah Devan yang sudah tertidur pulas, mengusap sisi wajah pria itu penuh kelembutan. Evangeline mengulas senyum kemudian bangun, menarik selimut untuk menutupi tubuh Devan, hingga kemudian memakai kimono dan berjalan menuju dinding kaca yang memperlihatkan betapa indahnya kota Paris saat malam hari. Evangeline memeluk kedua lengan, sedan
Setelah hampir seminggu berada di Paris, akhirnya Devan dan Evangeline kembali ke Indonesia, mereka sudah sampai di Bandara."Siapa yang menjemput kita?" tanya Evangeline yang berjalan di samping Devan.Devan yang menggandeng tangan Evangeline dengan satu tangan menarik koper tampak mengedarkan pandangan, hingga melihat dua orang pria yang memakai pakaian formal dan berkacamata hitam, menunggu kedatangan mereka."Itu!" Devan mengangkat sedikit dagu untuk menunjuk.Evangeline membuka kacamata hitam yang menutup mata dan menatap ke arah dua pria yang ditunjuk Devan."Siapa mereka?" tanya Evangeline bingung karena baru pertama kali melihat dua orang itu."Bodyguard," jawab Devan singkat.Evangeline langsung menatap Devan, tidak mengerti kenapa sekarang ada bodyguard juga."Siang Tuan, Nyonya! Apa perjalanan kalian menyen
Malam itu Evangeline terus menguap, sesekali menengok pada jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Evangeline sedikit cemas karena Devan juga belum pulang dari perusahaan, padahal mereka baru saja datang dan Devan pergi mengurus pekerjaan kemudian belum kembali."Kenapa dia belum pulang?" Evangeline menengok pada jam dinding. Lantas menatap layar ponselnya, sudah menghubungi dan mengirim pesan, tapi tidak ada satu pun yang dibalas.Evangeline terlihat menguap, hingga tanpa sadar tertidur dengan posisi duduk di atas ranjang, buku yang sedang dibacanya terbuka dan jatuh di pangkuan.Devan kembali ke rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Devan melihat lampu kamar masih menyala, lantas masuk dan mendapati Evangeline yang tertidur dengan posisi duduk. Devan melepas jas dan melonggarkan dasi sebelum pada akhirnya melepas dan meletakkan di sofa. Devan duduk di tepian ranjang, mengambil buku yang berada
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb