Evangeline baru saja selesai menyusui Kalandra. Ia meletakkan bayi mungilnya di baby box, memastikan Kalandra tidur dengan nyenyak dan nyaman.
"Tidur yang nyenyak ya, sayang." Evangeline mengecup pipi Kalandra.
Devan yang baru saja masuk kamar, menatap Evangeline yang sedang menidurkan Kalandra. Ia pun mendekat dan memeluk wanita itu dari belakang.
"Apa masih terasa sakit?" tanya Devan dengan telapak tangan mengusap perut Evangeline. Merasa ngilu ketika mengingat ada luka sayatan bekas operasi di perut sang istri.
"Masih, terkadang sedikit nyeri," jawab Evangeline dengan tatapan masih tertuju pada bayinya.
Devan mengecup pundak Evangeline, masih merasa bersalah karena tak bisa berada di sisi wanita itu ketika sedang bertaruh nyawa menghadirkan bayi mereka ke dunia.
"Ada apa?" tanya Evangeline yang merasakan jika Devan tak seperti biasanya.
"Tidak ada, hanya masih merasa bersalah padamu," jawab Devan.
Evangeline tersenyum kecil,
Siang itu, Evangeline pergi ke rumah Milea. Hanya melepas kejenuhan karena selama dua bulan terus di rumah. Ia sekalian ingin mengajak Kalandra main dengan Kenan."Mama Ivi!" teriak Angel ketika melihat Evangeline datang dengan Kalandra dalam gendongan."Hai, kamu udah pulang sekolah?" tanya Evangeline ketika melihat Angel di rumah."Baru pulang, Ica 'kan main sama adik. Jadi, Ica buat tugas dengan cepat, biar bisa cepat-cepat ketemu adik Kenan," celoteh Angel seraya berjalan bersama Evangeline menuju kamar Kenan."Bagus, Ica harus belajar yang rajin dulu sebelum main sama adik," kata Evangeline memberi semangat.Angel pun mengangguk-angguk kepala pelan. Mereka sudah sampai di kamar Kenan, ternyata Milea baru saja menyusuinya."Eh, kamu sudah datang." Milea meletakkan Kenan di atas ranjang yang terdapat di kamar itu."Ya, tadi mampir ke toko kue sebentar. Beli kue kesukaan Ica," ujar Evangeline."Kue? Mana kue?" tanya Angel pen
"Ya ampun, cucu kamu benar-benar tampan. Ih, lucu, gemesin." Hari berikutnya, Sonia benar-benar mengajak Kalandra bertemu teman-teman di sebuah restoran. Teman Sonia yang rata-rata sudah menjadi Oma-Oma itu, tampak senang dan mengagumi Kalandra. "Iya, mirip Devan saat bayi," timpal yang lain. "Lihat hidungnya, mancung." Sonia merasa senang teman-temannya memuji Kalandra, terlihat bangga ketika dirinya bisa memamerkan cucu lagi setelah bertahun-tahun tak pernah pamer bayi. "Dia ini secara keseluruhan mirip Devan, tapi matanya mirip ibunya. Makanya kalau tidak dilihat dengan seksama, orang pasti mengira dia ini cewek. Lihat aja, bulu matanya begitu lentik," ujar Sonia menyebutkan kelebihan sang cucu. "Tapi, cucuku juga nggak kalah gemesin. Sayang aja dia masih di luar negeri," timpal salah satu teman Sonia. "Makanya, besok kalau pulang. Kamu traktir kita, kumpul-kumpul sambil pamer cucu," kata yang lainnya. Para Oma itu p
Devan baru saja menghadiri sebuah rapat. Ia berniat bergegas menyelesaikan pekerjaan agar dapat pulang dengan cepat. Tentu saja alasannya untuk bisa segera bertemu Evangeline dan Kalandra."Pak, ponsel Anda berdering sejak tadi. Saya tidak berani menjawab," kata Danny seraya mengembalikan ponsel Devan yang tadi dibawanya."Biar aku lihat." Devan mengambil ponsel miliknya dari tangan Danny, mengecek siapa yang menghubungi. Nomor telepon kabel tercantum dipanggilan tak terjawab, Devan pun mencoba menghubungi balik karena takut jika itu telpon penting."Halo." Devan terlihat mendengarkan suara dari seberang panggilan."Maaf, apa Anda suami nyonya Evangeline? Saya ingin menyampaikan, jika istri Anda terlibat perkelahian dan kini kami tahan di ruang security Mall."Perkataan pria dari seberang panggilan, membuat bola mata Devan membulat sempurna."Baik, saya akan ke sana." Devan langsung mengakhiri panggilan begitu selesai membalas perkataan oran
"Angel."Evangeline langsung menoleh ketika seorang pria memanggil namanya. Ia melihat senyum manis dari wajah pria itu.Devan tampak tak senang, menatap Evangeline dan pria yang memanggil istrinya secara bergantian."Kamu Angel, 'kan?" tanya pria itu memastikan, raut wajahnya menunjukkan sebuah kebahagiaan ketika melihat Evangeline."Ya, kamu--" Evangeline mencoba mengingat siapa pria yang berdiri di hadapannya itu."Gilang, kakak kelasmu saat SMA. Kamu lupa?" tanya pria bernama Gilang itu setelah menjelaskan.Evangeline baru mengingat kakak kelasnya itu, kakak kelas yang sering mentraktirnya makan di kantin."Ya, apa kabarmu?" tanya Evangeline merasa senang karena bertemu seniornya di sana."Uhuk!" Devan yang merasa diabaikan lantas pura-pura terbatuk, menyadarkan Evangeline jika ada dirinya di sana.Evangeline langsung menoleh pada Devan, hingga tahu maksud pria itu."Kak, kenalkan. Ini suamiku, Devan." E
"Agh! Pelan-pelan." Evangeline memukul tangan Devan."Kenapa? Sekarang baru merasa sakit?" tanya Devan yang sedikit menekan."Van! Ish, kamu ini kenapa? Sakit ini!" protes Evangeline ketika Devan dengan sengaja menekan luka cakar yang berada di leher.Devan masih mengobati luka di leher, sebelum kemudian membalutnya dengan plester luka."Berkelahi dengan adiknya, lalu ternyata tersenyum dengan kakaknya. Luar biasa," sindir Devan yang tampaknya masih merasa cemburu.Evangeline merangkul leher Devan menggunakan dua lengan, menatap Devan yang memalingkan wajah."Masih marah?" tanya Evangeline lembut."Kenapa harus tanya? Bukankah wajar kalau seorang pria marah ketika melihat istrinya tersenyum untuk pria lain," jawab Devan dengan nada suara kesal.Evangeline hampir tergelak mendengar pengakuan jujur Devan. Ia pun semakin mempererat rangkulan tangannya, membuat Devan tertarik ke arah Evangeline."Kamu ini, kenapa begitu saja
Malam itu Evangeline baru saja selesai menidurkan Kalandra. Ia hendak turun dari ranjang, tapi terkejut saat melihat Devan yang berdiri di hadapannya."Van! Kamu ini bikin terkejut saja." Evangeline mengusap dada karena detak jantungnya berdegup sedikit cepat.Devan menarik tangan Evangeline membuat istrinya itu langsung berdiri tepat di hadapannya. Ia lantas merengkuh pinggang Evangeline dan merapatkan tubuh mereka."Apa? Ada apa, hmm?" tanya Evangeline masih sedikit terkejut dengan yang dilakukan Devan."Melanjutkan yang tadi siang," jawab Devan yang kemudian mendaratkan kecupan di pipi dan leher Evangeline."Ish, nakal!" Evangeline memukul lengan Devan karena gemas.Devan menarik tangan Evangeline, mengajak istrinya itu ke sofa. Ia duduk di sofa dengan Evangeline dipangkuan menghadap padanya."Sudah dua bulan, aku sangat merindukanmu," kata Devan dengan tangan mengusap wajah istrinya itu."Rindu apanya, hmm? Setiap hari juga
Hari itu, Evangeline pergi ke sebuah restoran berbintang lima. Ia ke sana untuk mereservasi meja malam nanti, Evangeline ingin merayakan ulang tahun Devan."Semua meja penuh?" tanya Evangeline sedikit terkejut, tak menyangka jika restoran itu memang benar-benar banyak pengunjung."Ya, Nona. Kami sudah tidak ada meja kosong untuk malam ini," jawab resepsionis restoran.Evangeline terlihat begitu kecewa, tahu begini tentunya dia akan memesan tempat jauh-jauh hari. Evangeline memilih tempat itu karena lokasinya yang memiliki pemandangan bagus dan makanan di sana terkenal enak, serta memiliki banyak koleksi anggur yang cocok untuk merayakan ulang tahun Devan."Baiklah, terima kasih," ucap Evangeline dengan wajah yang menunjukkan kekecewaan.Evangeline pun berjalan menuju pintu, hingga tanpa sengaja menyenggol lengan seseorang."Maaf," ucap Evangeline karena tanpa sengaja menjatuhkan ponsel milik orang yang disenggolnya.Evangeline berjong
Devan baru saja menghadiri rapat, ada salah satu proyek yang ditangani perusahaannya, mengalami kendala dalam perizinan yang ternyata dipalsukan."Kita harus membayar kerugian yang sangat besar atas tuduhan pemalsuan surat izin," kata Danny usai menghadiri rapat bersama Devan."Segera kirim tim khusus untuk mengurus masalah ini, juga minta mereka menangani karyawan kita yang telah melakukan penyelewengan," perintah Devan.Danny mengangguk dan segera melakukan apa yang diperintahkan. Ia tahu jika Devan sedikit tertekan, karena masalah ini membuat beberapa investor meminta penjelasan langsung dari suami Evangeline itu.Devan memijat keningnya, baru saja merasa tenang kini harus dipusingkan dengan proyek yang baru saja mereka dapatkan. Ia melirik ponsel yang berada di meja, sebuah pesan terpampang di layar ponsel. Devan membuka pesan untuk melihat siapa yang mengirim pesan, hingga bola matanya membulat sempurna ketika melihat isi pesan itu. Devan mendapat ki