Setelah menangis begitu lama, akhirnya Evangeline pun sedikit tenang. Ia terus memeluk Devan, takut jika kehilangan suaminya.
"Kamu pasti ketakutan," kata Devan seraya menyematkan anak rambut yang menutup pelipis Evangeline, sebelum mengusap pipi dengan lembut untuk menghapus jejak air mata di sana.
"Sangat, aku sangat ketakutan," ucap Evangeline. "Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika kehilanganmu," imbuh Evangeline.
Devan menarik napas panjang dan menghela perlahan, semakin mempererat pelukan dan mengecup pucuk kepala Evangeline berulang kali. Devan menceritkan semuanya, bagaimana pesawat itu bisa hilang kontak, dan bagaimana dirinya terus berdoa agar bisa pulang ke pelukan sang istri.
"Saat pesawat, terbang dengan tidak stabil, orang yang pertama kali melintas dalam pikiranku adalah kamu. Aku memegang erat pegangan kursi, memejamkan mata kemudian membayangkan senyummu. Saat itu aku berdoa agar bisa kembali dan melihatmu lagi, berjanji jika
Cristian masuk ke kamar inap Evangeline, merasa begitu tenang ketika melihat adik sepupu yang begitu bahagia karena bertemu lagi dengan sang suami."Kak!" panggil Evangeline begitu melihat Cristian masuk.Cristian mengulas senyum, kemudian berjalan mendekat ke arah semua orang berdiri."Sudah lebih baik?" tanya Cristian yang senang melihat Evangeline tak seburuk sebelumnya.Evangeline mengangguk dengan seutas senyum, kemudian menjawab, "Sudah sangat baik. Terima kasih sudah menjagaku."Devan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Evangeline dan Cristian, serta kenapa mereka bisa bersama. Ia pun menatap Evangeline dan Cristian secara bergantian, merasa butuh sebuah penjelasan, bagaimanapun Devan tetap akan cemburu kepada orang-orang yang pernah menyukai istrinya."Kenapa Cristian bisa bersamamu?" tanya Devan pada Evangeline."Oh, aku berniat membeli beberapa barang. Saat itu tak sengaja bertemu dengan kakak di Mall, kami mengobr
Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit. Akhirnya malam itu Sonia mengadakan acara untuk tanda syukur kelahiran bayi Devan dan Evangeline. Tak hanya kerabat, tapi juga beberapa teman datang untuk mendoakan kesehatan bayi tampan itu."Mama Ivi, itu adiknya Ica?" tanya Angel yang baru pertama kali melihat bayi Evangeline.Angel memang tinggal bersama Jordan dan Milea setelah Kenan lahir, itu karena putri Jordan itu ingin dekat dengan sang adik."Ini kakak, Ica. Bukan adik," terang Jordan menjelaskan."Kok Kakak? Dia 'kan kecil, Ica gede. Ya, Icalah kakaknya," protes Angel yang tentu saja belum mengerti tentang silsilah keluarga.Bagi Angel, Kalandra sama dengan Kenan, masih kecil dan keduanya adalah adik."Sudah, biarkan saja Ica mau menganggap bagaimana, yang terpenting mereka saudara, meski mau kakak atau adik. Nyatanya Ica juga memanggilku Mama dan memanggil Devan, Papa," ujar Evangeline agar Jordan mengalah dan tidak memaksa Angel un
Evangeline baru saja selesai menyusui Kalandra. Ia meletakkan bayi mungilnya di baby box, memastikan Kalandra tidur dengan nyenyak dan nyaman."Tidur yang nyenyak ya, sayang." Evangeline mengecup pipi Kalandra.Devan yang baru saja masuk kamar, menatap Evangeline yang sedang menidurkan Kalandra. Ia pun mendekat dan memeluk wanita itu dari belakang."Apa masih terasa sakit?" tanya Devan dengan telapak tangan mengusap perut Evangeline. Merasa ngilu ketika mengingat ada luka sayatan bekas operasi di perut sang istri."Masih, terkadang sedikit nyeri," jawab Evangeline dengan tatapan masih tertuju pada bayinya.Devan mengecup pundak Evangeline, masih merasa bersalah karena tak bisa berada di sisi wanita itu ketika sedang bertaruh nyawa menghadirkan bayi mereka ke dunia."Ada apa?" tanya Evangeline yang merasakan jika Devan tak seperti biasanya."Tidak ada, hanya masih merasa bersalah padamu," jawab Devan.Evangeline tersenyum kecil,
Siang itu, Evangeline pergi ke rumah Milea. Hanya melepas kejenuhan karena selama dua bulan terus di rumah. Ia sekalian ingin mengajak Kalandra main dengan Kenan."Mama Ivi!" teriak Angel ketika melihat Evangeline datang dengan Kalandra dalam gendongan."Hai, kamu udah pulang sekolah?" tanya Evangeline ketika melihat Angel di rumah."Baru pulang, Ica 'kan main sama adik. Jadi, Ica buat tugas dengan cepat, biar bisa cepat-cepat ketemu adik Kenan," celoteh Angel seraya berjalan bersama Evangeline menuju kamar Kenan."Bagus, Ica harus belajar yang rajin dulu sebelum main sama adik," kata Evangeline memberi semangat.Angel pun mengangguk-angguk kepala pelan. Mereka sudah sampai di kamar Kenan, ternyata Milea baru saja menyusuinya."Eh, kamu sudah datang." Milea meletakkan Kenan di atas ranjang yang terdapat di kamar itu."Ya, tadi mampir ke toko kue sebentar. Beli kue kesukaan Ica," ujar Evangeline."Kue? Mana kue?" tanya Angel pen
"Ya ampun, cucu kamu benar-benar tampan. Ih, lucu, gemesin." Hari berikutnya, Sonia benar-benar mengajak Kalandra bertemu teman-teman di sebuah restoran. Teman Sonia yang rata-rata sudah menjadi Oma-Oma itu, tampak senang dan mengagumi Kalandra. "Iya, mirip Devan saat bayi," timpal yang lain. "Lihat hidungnya, mancung." Sonia merasa senang teman-temannya memuji Kalandra, terlihat bangga ketika dirinya bisa memamerkan cucu lagi setelah bertahun-tahun tak pernah pamer bayi. "Dia ini secara keseluruhan mirip Devan, tapi matanya mirip ibunya. Makanya kalau tidak dilihat dengan seksama, orang pasti mengira dia ini cewek. Lihat aja, bulu matanya begitu lentik," ujar Sonia menyebutkan kelebihan sang cucu. "Tapi, cucuku juga nggak kalah gemesin. Sayang aja dia masih di luar negeri," timpal salah satu teman Sonia. "Makanya, besok kalau pulang. Kamu traktir kita, kumpul-kumpul sambil pamer cucu," kata yang lainnya. Para Oma itu p
Devan baru saja menghadiri sebuah rapat. Ia berniat bergegas menyelesaikan pekerjaan agar dapat pulang dengan cepat. Tentu saja alasannya untuk bisa segera bertemu Evangeline dan Kalandra."Pak, ponsel Anda berdering sejak tadi. Saya tidak berani menjawab," kata Danny seraya mengembalikan ponsel Devan yang tadi dibawanya."Biar aku lihat." Devan mengambil ponsel miliknya dari tangan Danny, mengecek siapa yang menghubungi. Nomor telepon kabel tercantum dipanggilan tak terjawab, Devan pun mencoba menghubungi balik karena takut jika itu telpon penting."Halo." Devan terlihat mendengarkan suara dari seberang panggilan."Maaf, apa Anda suami nyonya Evangeline? Saya ingin menyampaikan, jika istri Anda terlibat perkelahian dan kini kami tahan di ruang security Mall."Perkataan pria dari seberang panggilan, membuat bola mata Devan membulat sempurna."Baik, saya akan ke sana." Devan langsung mengakhiri panggilan begitu selesai membalas perkataan oran
"Angel."Evangeline langsung menoleh ketika seorang pria memanggil namanya. Ia melihat senyum manis dari wajah pria itu.Devan tampak tak senang, menatap Evangeline dan pria yang memanggil istrinya secara bergantian."Kamu Angel, 'kan?" tanya pria itu memastikan, raut wajahnya menunjukkan sebuah kebahagiaan ketika melihat Evangeline."Ya, kamu--" Evangeline mencoba mengingat siapa pria yang berdiri di hadapannya itu."Gilang, kakak kelasmu saat SMA. Kamu lupa?" tanya pria bernama Gilang itu setelah menjelaskan.Evangeline baru mengingat kakak kelasnya itu, kakak kelas yang sering mentraktirnya makan di kantin."Ya, apa kabarmu?" tanya Evangeline merasa senang karena bertemu seniornya di sana."Uhuk!" Devan yang merasa diabaikan lantas pura-pura terbatuk, menyadarkan Evangeline jika ada dirinya di sana.Evangeline langsung menoleh pada Devan, hingga tahu maksud pria itu."Kak, kenalkan. Ini suamiku, Devan." E
"Agh! Pelan-pelan." Evangeline memukul tangan Devan."Kenapa? Sekarang baru merasa sakit?" tanya Devan yang sedikit menekan."Van! Ish, kamu ini kenapa? Sakit ini!" protes Evangeline ketika Devan dengan sengaja menekan luka cakar yang berada di leher.Devan masih mengobati luka di leher, sebelum kemudian membalutnya dengan plester luka."Berkelahi dengan adiknya, lalu ternyata tersenyum dengan kakaknya. Luar biasa," sindir Devan yang tampaknya masih merasa cemburu.Evangeline merangkul leher Devan menggunakan dua lengan, menatap Devan yang memalingkan wajah."Masih marah?" tanya Evangeline lembut."Kenapa harus tanya? Bukankah wajar kalau seorang pria marah ketika melihat istrinya tersenyum untuk pria lain," jawab Devan dengan nada suara kesal.Evangeline hampir tergelak mendengar pengakuan jujur Devan. Ia pun semakin mempererat rangkulan tangannya, membuat Devan tertarik ke arah Evangeline."Kamu ini, kenapa begitu saja