Sudah beberapa hari sejak tragedi penculikan itu terjadi, sejak itu juga Devan meminta Evangeline untuk beristirahat sementara waktu. Bahkan Devan bleum bisa memenuhi permintaan Sonia untuk mengajak Evangeline ke rumah.
Hari ini, Devan mengantar Evangeline menemui Kelvin di penjara. Evangeline hanya ingin menemui dan melihat apakah pamannya itu sudah tersadar dari kesalahan. Sifat memang tidak bisa diubah, tapi ego bisa ditekan agar tidak terus menguasai pikiran, dan Evangeline berharap kalau Kelvin bisa menekan ego demi masa depan pria itu ke depannya.
Evangeline sudah duduk di kursi kayu yang terdapat di ruang tunggu tempat dirinya akan bertemu Kelvin, sengaja menemui sendiri karena tidak ingin Devan emosi jika Kelvin bicara kasar padanya, atau mungkin Evangeline hanya ingin bicara empat mata, antara paman dan keponakan. Tak lama pintu ruangan terbuka, seorang sipir menemani Kelvin menemui Evangeline. Evangeline yang duduk memunggungi pintu langsung menoleh dan melih
Devan mengantar Evangeline ke sebuah pemakaman umum, sudah lama Evangeline tidak mendatangi makam kedua orangtuanya, terakhir kali saat baru saja kembali dari Philadelphia.Devan menggenggam telapak tangan Evangeline, keduanya kini berdiri di depan batu nisan kedua orangtua Evangeline. Mereka meletakkan seikat bunga di atas makam keduanya seraya memanjatkan doa. Devan mempererat genggaman tangannya pada Evangeline, hingga kemudian mengecup punggung tangan wanita itu. Evangeline tersenyum mendapat perlakuan itu di depan makam kedua orangtunya, menoleh sekilas pada Devan hingga kemudian kembali menatap ke batu nisan dihadapannya."Pa, Ma, ini adalah Devan. Pria yang akan menjagaku sampai aku menua," ucapnya pada kedua orangtuanya. Sebelumnya Evangeline juga mengajak Radhika ke sana sebelum mereka menikah, tapi tentu saja kata yang diucapkan berbeda, saat itu hanya mengatakan kalau Radhika akan menjaganya.Devan menoleh pada Evangeline, merasa tersanjung ketika ist
Hari itu, setengah hati Devan melepas Evangeline pergi. Ada-ada saja yang dilakukan Devan agar Evangeline mengurungkan niat pergi bersama Cristian. Dari merengek minta diurus saat akan berpakaian, bahkan sarapan pun minta dilayani, hingga akan berangkat minta diantar sampai mobil dan bukannya langsung pergi tapi masih bergelayut manja, sebelum akhirnya Evangeline memaksa pria itu masuk mobil. Kelakuan Devan cukup membuat Evangeline menghela napas kasar, bukannya tidak peka dengan kelakuan sang suami, tapi lebih karena Evangeline tidak ingin menunda dan terus hidup dengan belenggu janji yang tak kunjung ditepati. Sonia yang melihat kelakuan putranya juga sampai geleng-geleng kepala, wanita itu berdiri di samping Evangeline yang masih menatap mobil Devan pergi."Anak itu, kenapa dia tiba-tiba seperti anak kecil?" tanya Sonia yang penasaran.Evangeline tersenyum kecil saat menoleh Sonia. "Ah, badannya aja yang besar, Ma. Tapi sebenarnya dia masih seperti anak TK, mungkin
Setelah semua masalah satu persatu teratasi, kini Devan maupun Evangeline bisa bernapas lega, melanjutkan hari mereka seperti sediakala. Cristian benar-benar pergi ke luar negeri membawa ibunya, tidak ingin membuat wanita itu menderita. "Ivi," panggil Devan ketika melihat sang istri yang masih duduk di depan cermin sedang membersihkan diri. Evangeline menoleh, menatap pada Devan yg berbaring dengan menyangga kepala menggunakan telapak tangan. "Hmm ... ada apa?" tanya Evangeline yang masih mengusap wajah menggunakan kapas yang sudah diberi pembersih wajah. "Tidak ada," jawab Devan yang kemudian memilih berbaring menggunakan lengan untuk bantal, menatap langit-langit kamar. Evangeline menatap Devan, hingga kemudian segera menyelesaikan apa yang sedang dilakukan. Setelahnya bangun dan berjalan ke arah ranjang kemudian naik menyusul suaminya berbaring di sebelah. "Ada apa?" tanya Evangeline. Devan menoleh, merentangkan tangan
Milea baru saja pulang dari rumah Sonia, setiap hari memang pergi ke sana untuk menjaga Angel, tapi tidak mengajak pulang karena janjinya pada Sonia. Angel sekarang tinggal di sana untuk menemani wanita itu. Milea melihat mobil Jordan sudah berada di garasi, sedikit heran ketika melihat suaminya pulang lebih awal. "Tumben," batinnya. Milea memasukkan mobil ke garasi, hingga kemudian turun untuk menyusul sang suami. Milea membuka pintu kamar, Jordan tengah duduk di tepian ranjang, memunggungi pintu kamar, sehingga tidak melihat kedatangan Milea. Milea mengendap-endap ingin mengejutkan Jordan, tapi diurungkan ketika melihat Jordan menunduk dan melihat sebuah foto pernikahan. "Itu, bukan aku," gumam Milea. Milea sadar, itu bukanlah foto pernikahan dirinya dengan Jordan, tapi pernikahan suaminya dengan mendiang ibu Angel—Diana. "Lihat apa?" tanya Milea pada akhirnya, wanita itu duduk di samping Jordan. Jordan terkejut mendengar suara
Diana menatap pemuda yang duduk di hadapanya, gadis itu tidak mengerti kenapa pemuda yang tidak dikenal bahkan belum pernah dilihatnya itu mau menolong, bahkan kini wajah tampan pemuda itu sedikit memar sebab terkena bogem mentah tiga pemuda yang mengganggu Diana."Maaf dan terima kasih," ucap Diana.Mereka berada di kantor polisi karena perkelahian antara Jordan dengan ketiga pemuda yang mengganggu Diana. Jordan menatap wajah Diana lekat, bisa melihat raut kekhawatiran di wajah gadis itu."Siapa namamu?" tanya Jordan, meski wajahnya bonyok sepertinya ia rela asal bisa berkenalan dengan Diana.Diana tersenyum kecil, lantas mengulurkan tangan ke arah Jordan. "Diana, Diana Rajendra." Gadis itu memperkenalkan diri.Jordan membalas jabat tangan Diana, kemudian ikut memperkenalkan diri. Diana, gadis manis berambut pendek dengan senyum manis dan lesung pipi di sebelah kiri. Gadis itu terlihat lemah, tapi sebenarnya kuat, bahkan ketika Jordan menghajar ti
Berhari-hari Jordan mendiamkan Diana. Bukannya benci, tapi merasa tidak rela karena istrinya malah memilih mempertahankan janin yang akan membahayakan nyawa Diana.Malam itu mereka tidur dalam satu ranjang tapi saling memunggungi. Meski Diana tahu kalau Jordan marah, tapi wanita itu tetap melayani Jordan sebagaimana mestinya, menyiapkan pakaian, makan, dan juga kopi seperti biasa. Hanya saja tidak berani bicara sebab Jordan juga tak acuh. Diana mencoba memahami kemarahan Jordan, tapi juga tidak bisa mengabaikan janinnya, dengan mata terpejam ia mengusap permukaan perut yang tertutup piyama dan selimut.Jordan masih membuka mata, selama beberapa hari hatinya tersiksa. Mendiamkan Diana bukanlah keinginannya, tapi rasa kesal dan takut membuatnya melakukan itu. Jordan menghela napas kasar, andai saja tahu akan seperti ini, mungkin ia akan memilih menggunakan alat kontrasepsi agar Diana tidak pernah hamil seumur hidup. Namun, lagi-lagi dada Jordan terasa sakit, mengingat be
Milea menatap Jordan yang masih bercerita, jemarinya mengusap buliran kristal bening yang luruh di wajah sang suami. Hanya tidak menyangka jika perjuangan cinta suami dengan mendiang istri sangat memilukan meski sempat diiringi kebahagiaan."Pertama kali aku melihat Angel, matanya saat itu masih terpejam, jemarinya begitu mungil. Aku tidak menyangka bisa mendapatkan putri secantik itu," ucap Jordan mengakhiri cerita."Ya, dia sangat manis dan lucu. Aku saja sangat bangga mendapat putri tiri seperti dia, hingga membuatku merasa kalau dia bukan anak tiri tapi anak kandungku," ujar Milea masih terus menyeka air mata Jordan. "Lalu, bagaimana dia meninggal?" tanya Milea yang ingin mengetahui semuanya.Jordan menarik napas panjang dan menghela perlahan, seakan sedang menahan sesuatu yang menekan rongga dada."Di-dia mengalami pendarahan karena komplikasi sesaat setelah melahirkan, bahkan dokter tidak bisa menolongnya," jawab Jordan.Jordan terisak, mengi
Evangeline membawa cangkir berisi kopi untuk Devan lantas meletakkan ke meja. Evangeline pun duduk di sebelah Devan yang sedang fokus dengan pekerjaannya."Mau aku bantu?" tanya Evangeline, jemarinya menyisir rambut Devan."Tidak usah, tidurlah sudah malam," jawab Devan yang kemudian mengecup sekilas pipi Evangeline sebelum akhirnya kembali fokus pada berkas di tangannya.Evangeline mengulas senyum, menatap wajah Devan yang sedang begitu serius membaca berkas. Hingga dirinya teringat akan perbincangannya dengan Milea dan hendak membahasnya dengan Devan."Van, boleh aku tanya sesuatu," ucap Evangeline, dengan manjanya wanita itu menyandarkan dagu ke pundak Devan."Tanya apa?" Devan tidak menoleh pada Evangeline, hanya melirik sekilas ketika istri menyandar padanya."Apa kamu merasa iri pada Radhika?" tanya Evangeline sedikit takut tapi penasaran.Devan menghentikan pergerakan tangannya, lantas menoleh pada Evangeline hingga membuat wan
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb