"Kenapa kamu yang datang?" tanya Adam yang merasa bingung dengan kedatangan Yara, mantan pacarnya, yang mengaku perwakilan dari PT Creative Persada. "Kan kemaren Bu Oni katanya yang bakal ngerjain desain interior rumahku.
Yara ingin mengumpat sejadi-jadinya. Memangnya dia yang menawarkan diri mengerjakan proyek ini?
"Boleh saya duduk dulu, Pak Adam? Biar saya coba bantu jelasin semuanya ke Bapak." Yara sengaja menggunakan bahasa formal agar Adam tahu kalau keberadaannya di restoran siang itu benar-benar murni bisnis, tidak ada niat terselubung.
"Oh, iya, iya." Adam hanya bisa mengangguk dan kembali duduk setelah Yara duduk di hadapannya.
"Silakan pesan makanan dulu, Bu Yara," tawar Adam, mencoba memberikan profesionalitas yang sama.
Yara mengangguk, mengambil buku menu lantas memesan Berry Island Fantasy.
"Nggak pesen makan?" Adam memperhatikan Yara yang tampak jauh lebih dewasa dari saat-saat SMA.
"Terima kasih, Pak. Kebetulan saya jadi tidak nafsu makan," ucapnya sambil melemparkan selarik senyum tipis di bibirnya, sangat tipis hingga mungkin tidak ada yang menyadarinya, kecuali Adam yang sangat paham kalau senyuman itu adalah senyuman jengah yang biasa ditunjukkan Yara ketika ia merasa canggung terjebak dalam sebuah keadaan.
"Bisa dijelaskan ke mana Bu Oni yang sebelumnya mengatur janji temu dengan saya?"
"Bu Oni pagi tadi dilarikan ke rumah sakit, Pak. Kemungkinan akan melahirkan prematur. Karena itu saya ditunjuk perusahaan menggantikan Bu Oni."
"Kenapa kamu? Apa kamu yang minta ke perusahaanmu, karena kamu tau kalau saya yang akan jadi klien kamu?"
"What? Heh, kamu jangan sembarangan ngomong ya. Emangnya siapa kamu, sok cakep banget sampe aku mesti minta-minta ngerjain proyek ini karena kamu?" Yara mendadak emosi setelah mendengar ucapan Adam dan membuatnya mengabaikan profesionalitas yang tadi digadang-gadangnya. Nada bicaranya pun anjlok dari level kesopanan tertinggi ke level kesopanan terendah.
Adam menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, tampak seperti meremehkan wanita di depannya itu. "Trus kenapa bisa kamu yang dipilih gantiin Bu Oni? Terlalu kebetulan kan? Wajar dong kalo aku curiga."
Yara memutar kedua bola matanya. "Iya, pantas emang. Dari dulu kan memang kamu curigaan, nggak pernah percaya sama orang," sindirnya. Yara ingat bagaimana Adam menuduhnya mendua, dan menutup telinga saat Yara menjelaskan semuanya.
"Aku bisa aja ya batalin proyek ini."
"Kamu pikir aku bakal menangis memohon-mohon gitu biar tetep dapet proyek ini? Go ahead. Kasih tau sana ke Pak Ranu kalo kamu mau batalin. Dan nanti malem aku bakal berpesta."
"Yara! Kenapa sih kamu masih kekanak-kanakan gini?"
Yara mengedikkan bahu, menjawab pertanyaan Adam dengan asal. "Mungkin karena aku anak bungsu yang selalu dimanja semua orang." Dan karena lagaknya itu, ia sampai menumpahkan sedikit Berry Island Fantasy yang sedang disesapnya.
Adam tergelak melihat tingkah Yara. "Yara ... Yara ...." Ia mengangsurkan tisu kepada Yara masih sambil tertawa dan menggeleng-geleng. "So, kasih aku alasan yang logis, kenapa kamu yang ditunjuk perusahaan? Kalo kamu nggak mau aku berpikiran kamu pengen ketemu aku."
'Bangke! Tingkat dewa banget kepedeannya!' umpat Yara dalam hati.
"Kan kamu yang milih hasil desainku, setelah desainnya Mbak Oni. Ya begini jadinya. Kalo Mbak Oni nggak bisa nggarap karena satu dan lain hal, aku yang jadinya bakal gantiin."
Adam tampak berpikir. Memang saat ia mengunjungi kantor perusahaan itu untuk pertama kali, ia diberikan beberapa portofolio desainer interior yang dimiliki perusahaan. Ia diminta memilih dua karya yang paling sesuai dengan seleranya.
Yang Adam baru tahu, portofolio kedua yang dipilihnya adalah milih Yara. Ia sebenarnya sempat bingung saat itu untuk menentukan mana yang akan dipilihnya. Portofolio milik Yara bahkan hampir sempat dipilihnya menjadi yang pertama, tapi ia urungkan karena ada sesuatu yang mengganggunya. Yara hampir pasti memberikan sentuhan bebatuan alam di setiap pekerjaannya, dan itu yang membuat Adam tidak yakin, karena ia sendiri lebih memilih desain modern minimalis.
"Kamu yakin bisa ngerjain rumahku? Kamu nggak nyimpan dendam ke aku kan? Nggak lucu kalo nanti desain rumahku hancur karena jasa desainer interior yang kupake adalah mantanku sendiri yang masih nyimpen dendam."
"Dendam?" Yara terbahak begitu mendengarnya.
"Yara, aku serius. Calon istriku nggak bisa ikut-ikutan dalam urusan desain interior ini karena dia nggak ngerti, dia nyerahin sepenuhnya ke aku. Dan aku nggak mau ngecewain dia."
Hati Yara terasa seperti diremas. Bukan, bukan karena ia masih mencintai Adam. Ia hanya tidak terima melihat Adam bisa hidup bahagia. Dan apa tadi katanya? Calon istri? Lelaki itu telah memiliki calon istri, membangun sebuah rumah yang nantinya akan mereka tempati bersama. Sementara Yara tenggelam dalam kegagalan hubungannya berkali-kali akibat kutukan yang diucapkan Adam dulu kala.
Tapi tunggu! Bukannya dulu Adam menyumpahinya baru bisa menikah setelah melihat Adam di atas pelaminan? Artinya ini saat yang tepat untuk mendorong lelaki itu segera menikah, dan gilirannya pun akan tiba.
Yara kini melemparkan senyumnya. "Dendam apa sih, Dam? Ya ampun hubungan kita udah selesai bertahun-tahun lalu."
"Ra, aku kenal kamu bertahun-tahun, aku tau arti setiap senyummu. Kayaknya aku nggak bisa nyerahin desain interior rumahku ke kamu deh. Makasih buat waktunya, Ra. Nanti aku yang hubungi Pak Ranu buat ngasih tau hasil pertemuan kita." Adam lantas pergi begitu saja dari hadapan Yara.
Yara masih terdiam beberapa detik sampai ia sadar kalau Adam benar-benar telah pergi dari hadapannya dan sekarang sedang terlihat membayar pesanan mereka di kasir.
"Wait! What? Dia nolak gue?"
***
Yara melangkahkan kaki dengan gontai saat memasuki kantornya. Bisa dia bayangkan bagaimana reaksi bos sekaligus omnya saat nanti ia tahu kalau Yara telah menggagalkan salah satu proyeknya.
"Ra, disuruh bos langsung ke ruangannya," ucap Nana yang langsung dibalas anggukan oleh Yara.
Ia menghela napas berkali-kali sebelum mengetuk ruang kerja omnya.
"Ngapain kamu bengong di depan pintu?" tanya Ranu yang ternyata sejak tadi tidak ada di dalam ruangannya.
"Mau menghadap Pak Ranu," jawabnya sambil tersenyum (sok) manis.
"Masuk."
Ranu duduk di kursi ruang kerjanya, bukan di sofa, dan artinya ia sedang dalam mode serius. Yara yang melihatnya menghela napas berat lagi.
"Jadi, gimana ceritanya bisa gagal? Ini pertama kali lo Ra buat kamu. Dan ini proyek kecil, tapi kamu gagal dapetinnya."
"Ya justru karena proyek kecil, ikhlasin aja ya, Om. Next time Yara janji bakal dapetin proyek yang lebih gede."
"Nilai proyek ini memang kecil, Ra. Tapi kamu tau implikasinya apa? Klien kita itu Manager Pengembangan di salah satu jaringan hotel internasional, Yara. Nggak menutup kemungkinan kalo dia bakal pake jasa kita untuk hotelnya, kalau kamu bisa nyelesaiin rumah dia dengan hasil yang memuaskan."
Yara hanya terdiam, di sudut hatinya ia juga tidak terima didepak begitu saja dari proyek itu hanya karena alasan personal.
"Jadi, kenapa klien kita sampe nolak kamu yang ngerjain proyeknya?"
Ini saatnya Yara mengeluarkan air mata buayanya yang bisa membuat luluh semua orang di keluarganya. Dan beruntungnya, Yara bukanlah orang yang susah mengeluarkan air mata. Beberapa detik kemudian sudut matanya sudah terlihat basah dan meniitikkan setetes air mata.
Ranu terkesiap melihat pemandangan di depannya. Kalau kakaknya sampai tahu ia membuat Yara menangis, bisa dihajar habis-habisan dia, apalagi kakak iparnya yang overprotective ke anak-anaknya.
"Yara, kok nangis? Om cuma nanya."
"Dia mantanku, Om. Dan dia nggak mau rumahnya kukerjain karena takut aku bakal mengacau."
Ranu menepuk keningnya. "Yara ... Yara ..., kalo bukan ponakan om, udah om pites kamu."
Yara terkekeh walaupun air matanya masih mengalir.
"Ok. Kamu punya dua opsi sekarang, Ra. Kamu dapetin proyek ini lagi, atau om terpaksa ngirim kamu buat ngerjain proyek resort yang di Papua."
"Astaga, Om Ranu! Aku aja tu belum genep sebulan balik abis ngerjain resort di Manado. Kok Om jahat banget sih. Kalo gini aku resign aja lah, nyari perusahaan lain yang lebih beradab."
Ranu mengedikkan bahu. Untuk masalah pekerjaan seperti ini, Ranu yakin kakak dan kakak iparnya tidak akan ikut campur.
"Terserah kamu, Ra. Om nggak maksa. Om nunggu hasilnya minggu depan. Kamu udah harus bisa bawa kepastian. Klien kita setuju rumahnya kamu kerjain, atau kamu harus packing buat ke Papua."
Bersambung ...
Sudah lebih dari lima menit Yara terdiam di depan pintu berwarna coklat tua. Berbagai polah sudah dilewatinya, mulai dari menggaruk rambutnya yang tidak gatal, menggigiti bibirnya sendiri, sampai mondar-mandir tidak jelas di depan unit apartemen itu. Dengan helaan napas berat, akhirnya Yara memberanikan diri untuk mengetuk pintu di depannya. Sekali lagi ia mengetuknya, berharap seseorang segera membukakan pintu untuknya. "Iya?" Tampak Adam melongokkan kepalanya dari celah pintu yang sepertinya sengaja ditahannya agar tidak terbuka sepenuhnya. "Malam, Dam." Yara tersenyum ramah seperti tanpa ada masa lalu menyakitkan di antara mereka. "Ngapain kamu ke apartemenku?" tanya Adam dingin. "Aku perlu ngomong tentang proyek rumahmu, Dam." "Oooh, kamu udah dapet kabarnya dari Pak Ranu? So? Katanya kamu mau berpesta semalaman kalau aku cancel proyek ini." Yara menelan ludahnya dengan susah payah. Bolehkah ia mengumpat di depan muka laki-
Yara kembali berdiri di depan pintu apartemen Adam, dengan sangat terpaksa. "Sial! Kemaren lupa minta nomor hpnya Adam. Si Om Ranu sengaja banget lagi, nggak mau ngasih nomor hpnya Adam." Yara mengacak rambutnya dengan frustasi. Entah setelah ini, apakah stok malunya masih ada. Masih seperti malam sebelumnya, Yara menghela napas berkali-kali, baru memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Adam muncul tidak lama kemudian, dengan tatapan heran. "Kenapa nggak nunggu di coffee shop bawah aja, Ra?" "Aku nggak punya nomer hpmu kan. Om Ranu nggak mau ngasih." Hampir saja Adam terbahak, saat melihat ekspresi Yara dan bagaimana penampilan perempuan itu. Adam hampir yakin, kalau wanita di depannya itu baru saja mengacak rambutnya sendiri. Karena tidak mungkin seorang Yara Karina Candra membiarkan angin mengacak rambutnya, apalagi orang lain. "Tunggu di bawah aja, kamu pesen yang kamu nau, nanti aku nyusul. Aku mau telepon calon istriku du
Yara mematung di depan pintu apartemen Adam. Adam sudah memberikannya kartu akses agar ia bisa masuk, sementara Adam sedang menjemput tantenya di bandara. "Duh, nggak apa-apa nih gue masuk sendiri? Ntar kalo ada yang ilang, gue lagi yang kena." Memilih mengabaikan kebimbangannya, Yara masuk ke dalam apartemen Adam yang selama ini belum pernah dipijaknya. Ia mengangguk-angguk mengerti setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen yang memiliki dua kamar tidur itu. Sedikit banyak ia mempelajari tentang psikologi desain, dan dari desain interior apartemen Adam, Yara bisa sedikit menggarisbawahi sifat Adam yang masih terlihat sangat jelas. Dingin. Dengan dominasi warna hitam dan mengambil desain minimalis, apartemen itu jadi benar-benar terasa dingin. Tidak ada hiasan atau ornamen yang menghias apartemen itu, seakan apartemen itu hanya digunakan untuk tidur, bukan untuk ditinggali. Yara menjatuhkan diri di atas sofa, kemudian menyelonjo
"Yara, malam ini makan di luar aja ya, di kulkasnya Adam nggak ada stok makanan sama sekali," keluh Desi setelah melakukan screening singkat di dapur apartemen Adam. Mendengar gerutuan wanita paruh baya itu, Yara yang semula berada di depan TV beranjak menuju dapur untuk berbicara lebih dekat. "Boleh, Tante mau makan malem apa? Atau Tante mau jalan-jalan ke mana gitu?" "Makan nasi goreng kambing kebun sirih kayaknya enak deh, Ra." "Mau delivery atau makan di sana, Tante?" Setelah menimbang sesaat, Desi memutuskan untuk makan di tempat, karena menurutnya justru serunya di situ. "Beneran nggak apa-apa makan di pinggir jalan, Tante?" "Nggak apa-apa lah. Kenapa? Kamu nggak biasa ya?" tanya Desi yang jadi curiga, karena seingat dia, Adam dulu pernah bercerita kalau keluarga Yara jauh lebih kaya daripada keluarga Adam, bahkan beberapa kali membuat Adam rendah diri. Tanpa disangka Desi, Yara justru terbahak mendengar pertanya
"Tapi tante nggak keberatan kalo kamu mau ngerebut Adam lagi." Tiga pasang mata di ruangan itu langsung menatap Desi dengan tatapan tidak percaya dan penuh tanya. "Tante kok ngomongnya gitu? Nggak mau aku, Tante. Kayak nggak ada cowok lain aja." Desi terbahak melihat reaksi Yara dan kedua orang tuanya. "Iya, nggak kok, tante cuma bercanda. Kamu pasti dapet yang lebih baik dari Adam. Walaupun dulu tante mikirnya kalian bakal beneran sampe nikah, cocok soalnya." Yara mendengkus pelan. 'Cocok dari mananya?' "Des, nginep sini aja ya?" tawar Rhea. Ia masih ingin banyak mengobrol dengan temannya itu. Jadi tidak rela rasanya membiarkan Desi kembali ke apartemen Adam, meskipun Yara ikut menemani. "Hah? Nggak ngerepotin, Rhe?" "Nggak lah, kayak sama siapa aja. Nanti barang-barang kamu biar diambilin Yara." "Iya, Tante. Nanti Yara ambilin barang Tante, nunggu Kak Ervin dulu, biar nanti Kak Ervin yang nganterin ke apartemen Adam."
"Bu, ada tamu di depan," ucap salah satu ART di rumah itu kepada sang nyonya rumah. "Siapa, Bi?" tanya Rhea bingung, pasalnya memang dia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. "Saya lupa namanya, Bu, tapi kayaknya dulu sering ke sini, temennya Mbak Yara." "Oooh, Adam kayaknya." Bukan Rhea yang menjawab, melainkan Desi yang sedang duduk di samping Rhea. "Adam tadi pagi ngabarin aku, katanya kerjaannya udah beres, jadi bisa pulang lebih cepet." "Tolong suruh masuk, Bi." Rhea langsung memerintahkan ART-nya kembali ke depan. "Abis itu tolong panggilin Yara di kamarnya ya, Bi." "Aku langsung ke depan aja, Rhe. Kasihan nanti Adam ngerasa canggung." Desi langsung beranjak menuju ruang tamu demi menemui keponakannya. "Ya udah, aku ke dapur dulu, minta bibi buat nyiapin minum sama cemilan." Tidak berselang lama, Rhea menyusul sahabatnya menuju ruang tamu. Seorang pemuda yang dulu sering menyambangi rumahnya kini datang lagi, meski
"Ra, panggil papamu di teras samping, udah hampir siap ini makan malemnya." Padahal Yara baru saja menginjakkan kakinya di anak tangga paling bawah, tapi mamanya sudah memerintahnya. Nasib anak bungsu, bukan hanya orang tuanya, kedua kakaknya juga sangat luwes ketika memerintahnya melakukan sesuatu. "Paaa ... Papaaa ...," teriak Yara di ruang keluarga. Masih ada jarak lebih dari sepuluh meter untuk sampai di teras samping, tapi teriakan Yara yang memekakkan telingan itu sudah terlebih dulu didengar papanya. "Kamu pasti bersyukur Dam karena nggak jadi sama yang macem Yara gitu," ucap Naren sambil menjalankan bentengnya untuk menembus pertahanan yang dibangun Adam. Adam hanya tersenyum tidak enak mendengar celotehan lelaki paruh baya di depannya. "Tapi kan itu yang membuat Yara menarik, Om. Kepolosannya dan keceriaannya." "Tapi pacarnya nggak ada yang betah tuh sama dia." "Belum nemu jodohnya aja, Om." "Bantu doain, Dam. Jangan d
Aileen turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, ia hanya ingin mengambil strawberry untuk menemaninya menonton series China yang sedang diikutinya. Tapi langkahnya terhenti saat mendapati adiknya melamun di stool bar dengan penerangan yang remang. "Gimana Dek rasanya makan malam sama mantan?" "Kak Aileen ngapain jam segini turun?" "Dih, ngalihin pembicaraan, bukannya jawab pertanyaan kakak." Yara mendesah pelan. "Agak aneh sih Kak rasanya, familiar sekaligus asing." Setelah mengambil sebuah wadah yang berisi strawberry dari dalam kulkas, Aileen memutuskan untuk mengobrol sebentar dengan adiknya yang terlihat lebih gloomy daripada biasanya. "Kamu masih suka sama Adam?" Yara menggeleng cepat. "Terus? Kenapa ngelamun jam segini? Ini udah hampir jam sepuluh." Aileen melihat jam dinding yang menempel di dinding dapur. Mamanya lah yang punya ide menempatkan jam dinding di dapur, katanya untuk memantau tingkat kematangan
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa