"Ra, panggil papamu di teras samping, udah hampir siap ini makan malemnya."
Padahal Yara baru saja menginjakkan kakinya di anak tangga paling bawah, tapi mamanya sudah memerintahnya. Nasib anak bungsu, bukan hanya orang tuanya, kedua kakaknya juga sangat luwes ketika memerintahnya melakukan sesuatu.
"Paaa ... Papaaa ...," teriak Yara di ruang keluarga. Masih ada jarak lebih dari sepuluh meter untuk sampai di teras samping, tapi teriakan Yara yang memekakkan telingan itu sudah terlebih dulu didengar papanya.
"Kamu pasti bersyukur Dam karena nggak jadi sama yang macem Yara gitu," ucap Naren sambil menjalankan bentengnya untuk menembus pertahanan yang dibangun Adam.
Adam hanya tersenyum tidak enak mendengar celotehan lelaki paruh baya di depannya. "Tapi kan itu yang membuat Yara menarik, Om. Kepolosannya dan keceriaannya."
"Tapi pacarnya nggak ada yang betah tuh sama dia."
"Belum nemu jodohnya aja, Om."
"Bantu doain, Dam. Jangan d
Aileen turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, ia hanya ingin mengambil strawberry untuk menemaninya menonton series China yang sedang diikutinya. Tapi langkahnya terhenti saat mendapati adiknya melamun di stool bar dengan penerangan yang remang. "Gimana Dek rasanya makan malam sama mantan?" "Kak Aileen ngapain jam segini turun?" "Dih, ngalihin pembicaraan, bukannya jawab pertanyaan kakak." Yara mendesah pelan. "Agak aneh sih Kak rasanya, familiar sekaligus asing." Setelah mengambil sebuah wadah yang berisi strawberry dari dalam kulkas, Aileen memutuskan untuk mengobrol sebentar dengan adiknya yang terlihat lebih gloomy daripada biasanya. "Kamu masih suka sama Adam?" Yara menggeleng cepat. "Terus? Kenapa ngelamun jam segini? Ini udah hampir jam sepuluh." Aileen melihat jam dinding yang menempel di dinding dapur. Mamanya lah yang punya ide menempatkan jam dinding di dapur, katanya untuk memantau tingkat kematangan
Yara mulai melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota menuju apartemen Adam. Mamanya duduk di sampingnya dengan gelisah, memikirkan keadaan sahabatnya yang dikabarkan terkena kanker. Semula Yara bingung harus bagaimana membuat mamanya untuk tidak ikut mengantar Tante Desi. Karena itu, akhirnya Yara menelepon Tante Desi dan bercerita kalau mamanya ingin ikut. Pada akhirnya wanita yang jauh-jauh terbang dari Pontianak ke Jakarta demi berobat itu membiarkan Rhea--sahabatnya--untuk ikut menemaninya. "Ma ..., jangan cemas gitu, nanti mama bikin Tante Desi cemas juga." "Mama deg-degan." "Kita kan juga nggak tau keadaan Tante Desi yang sebenernya gimana, Ma." Mendengarkan ucapan anak bungsunya yang tiba-tiba bisa menjadi bijak di saat tertentu itu, membuat Rhea mencoba mengatur napasnya untuk menenangkan diri. "Orang seumuran mama papa ini, bisa tiba-tiba aja kena penyakit aneh-aneh, Ra. Kayak papamu kapan itu yang darah tinggi. Mama kadang takut k
Yara berjalan bersisian dengan Adam sejak dari parkir mobil menuju ruang periksa, mengekori mamanya dan Tante Desi yang berjalan di depan. "Kamu marah sama aku?" tanya Adam dengan suara yang tidak terlalu keras karena sadar mereka sedang berada di rumah sakit. "Nggak!" jawab Yara sinis. "Trus kenapa tadi ngomongnya gitu?" "Gitu gimana?" "Ya nyolot gitu." "Aku nggak suka ya kamu sok-sokan nge-judgesiapa yang cocok buatku." "Aku cuma ngomong pendapat pribadiku, ya maaf kalo kamu tersinggung." "Emang dari dulu tu kamu nggak pernah mikir perasaan orang, Dam." Yara melangkah lebih cepat, menyusul kedua wanita paruh baya yang berjalan beberapa langkah di depan mereka. "Kenapa sih dia? Lagi PMS?" Adam hanya bisa menggeleng pasrah dengan kelakuan Yara yang masih kekanakan. Apakah salah kalau ia mencoba menyampaikan pendapat pribadinya? Hanya pendapat. Toh kalo pada akhirnya Yara berkenalan dengan anak Tan
"Kenapa lo? Muka dilipet aja kayak baru abis ditagih utang." "Sialan! Mana ada ceritanya anak Narendra Rafardhan Candra punya utang." Yara mengibaskan rambutnya dengan (sok) cantik. "Untung beneran tajir. Kalo cuma bacot doang, udah gue siram lo pake kopi panas." Yara mengabaikan ucapan Rian. Ia memilih meletakkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tangannya yang terlipat. "Pesenin gue yang enak-enak dong, Yan." Rian menghela napas pasrah melihat kelakuan sahabatnya. Ia terpaksa menyeret langkahnya menuju counter untuk memesankan minuman dan makanan ringan untuk Yara. "Lo beneran dari apartemen Adam, Ra?" tanya Rian. Meskipun ia tidak pernah sekelas dengan Adam, tapi tentu saja ia mengenalnya. Tidak ada seorang pun pacar Yara yang tidak dikenalkan Yara pada Rian. "Hmm," jawab Yara singkat. "Udah sering ke sana lo?" "Hmm." "Adam makin ganteng?" "Hmm." Yara langsung mengangkat kepalanya ketika menyad
"Kamu pengen ke mana dulu, Ra?" tanya Bisma yang tidak henti-hentinya tersenyum sejak mereka berangkat dari coffee shop miliknya hingga mereka tiba di mall. "Aku masih kenyang sih, Kak. Jadi jangan ke tempat makan ya. Selain itu, terserah Kak Bisma aja." "Tiket nonton udah pesen online dan masih lama ke waktu nonton. Hmm ... mau ke toko buku? Atau kamu mau beli sesuatu? Baju atau sepatu gitu?" Yara menimbang-nimbang sejenak. "Toko buku aja deh, Kak. Ada buku yang mau kubeli." Bisma mengangguk, setia berjalan di samping Yara tanpa melakukan kontak fisik seperti berusaha menggandengnya, karena kontak fisik yang tergesa, apalagi di pertemuan pertama seperti itu bisa dipastikan akan membuat Yara lari tunggang langgang darinya. "Kamu mau nyari buku apa?" "Komik Grey & Jingga." "Komik? Kamu bilang buku." "Lah emangnya komik bukan buku?" Bisma terkekeh. "Iya sih, komik ya buku. Komik lokal ya?' "Iya. Komiku
“Kamu mau ke mana, Ra?” “Mau ke apartemen, Pa. Nanti malem aku pergi ke pesta temen ya, Pa,” pamit Yara. “Sama siapa?” “Sama … senior di kampus. Kebetulan baru ketemu minggu lalu, jadi sekarang keep contact. Lumayan nambah ilmu juga, Pa. Kan dia lulusan luar.” “Cowok?” Yara memutar bola matanya dengan malas. Kalau papanya sudah mulai menanyainya seperti ini pasti urusannya akan lama. Ini juga yang membuatnya menyewa apartemen berdua dengan Rian, yang hanya akan disambanginya di saat tertentu, seperti saat ini contohnya. Ketika ia akan pergi ke luar dengan seseorang berjenis kelamin laki-laki, Yara yang tidak ingin dijemput di rumah dan harus memperkenalkan lelaki itu ke semua keluarganya, memilih apartemen sebagai meeting point. Sementara Rian hanya akan menempati apartemen itu jika mendekati ujian dan butuh ketenangan. Mengambil kuliah jurusan kedokteran memang membuat sahabatnya itu mengenyam pendidikan yang jauh lebih lama d
Yara mencoba mengabaikan keberadaan Adam dan calon istrinya. Tujuannya hanya menemani Bisma. Jadi ia tidak perlu mencoba berbasa-basi lagi dengan Adam. "Ayo, Ra. Kukenalin sama temen-temenku," ajak Bisma. Yara mengangguk mengiakan. Teman-teman Bisma kemungkinan memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengannya, jadi selain menambah teman, siapa tahu ia juga bisa menambah ilmu dan wawasannya. "Babe, kamu merhatiin dia banget sih!" ucap Lintang kesal. Sejak bertemu lagi di depan ballroom, mata Adam beberapa kali melirik ke arah Yara. "Nggak kok, perasaanmu aja. Orang aku lihatin kamu dari tadi, sama lihatin makanan apa yang kira-kira kamu suka." Lintang seketika tersipu. "Kukenalin ke temenku yang ulang tahun yuk. Dia temenku dari SMA. Trus kuliah di luar negeri. Walaupun jarang ketemu, tapi aku sama dia masih keep contact." Adam mengikuti langkah kekasih sekaligus calon istrinya itu, dan helaan napas kembali keluar dari bibirnya. K
Yara berdecak kesal, berusaha mengatur emosinya yang sudah naik sejak Adam menemuinya di lorong menuju toilet. Serius, sampai detik itu Yara masih belum paham, apa urusan Adam dengan kehidupannya. Yara berhak melakukan apa pun tanpa perlu direcoki olehnya yang hanya merupakan masa lalu. "Langsung pulang, Mbak Yara?" tanya orang suruhan papanya yang duduk di balik setir. Sementara seorang yang lain hanya melirik Yara melalui rear view mirror. "Iya lah, Pak. Mau ke mana lagi. Tolong bilangin supir yang standby di apartemen untuk pulang juga, Pak." Yara menghela napas lelah, tidak biasanya ia memerintah orang seperti itu. Tapi ia sudah terlalu malas, bahkan untuk mengetikkan pesan kepada supirnya. Sampai ponselnya bergetar berkali-kali pun masih diabaikannya. 'Paling papa atau Adam, biarin lah.' Baru setelah beberapa saat kemudian, getaran ponselnya tidak juga berhenti dan akhirnya Yara mengalah untuk mengecek siapa sang penelepon. "Astaga! Kak B
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa