“Aku berangkat ke kantormu ya, Ra.”
“Dam!”
“Hm?” Adam menghentikan niatnya untuk menyalakan musik. Seruan Yara terdengar sangat serius di telinganya. “Apa?”
“Hmmm …. Duh, gimana ya aku ngomongnya?”
“Apa, Yara?”
“Jadi … hari ini aku tuh site visit—”
“Baju kamu nggak proper buat makan di restoran?” sela Adam. “Trus kamu mau ganti tujuan?”
Terdengar suara kekehan dari seberang sambungan telepon yang membuat Adam menghela napas pasrah. “Jadi cancel lagi nih?”
“Kita bisa makan malam berdua, nggak perlu di restoran.”
“Makan apa? Di mana?” Adam kehilangan separuh semangatnya. Padahal ia ingin memberikan kenangan untuk Yara sebelum dirinya berangkat ke Australia.
“Mc—”
“Nggak junk food, Sayang.”
“Masak sendiri a
Getaran dari ponselnya yang bertubi membuat Adam akhirnya menyerah, meninggalkan sebentar pekerjaannya demi melihat siapa yang mengirim chat beruntun seperti itu.Adam tidak lagi kaget ketika menemukan grup anak kelas 1 SMA-nya lah yang sedang ramai membahas ingin berkumpul di tanggal merah yang membuat kebanyakan dari mereka memiliki waktu luang.Frengky: Nggak bisa di tempat gueFrengky: Bini gue lagi hamil, duh sensinya ampunHaris: Rumah gue lagi renovTyas: Di luar aja kalo gitu, makan di mana gituYanuar: Tutup nanti yang ada tempat makannya gara-gara rusuhnya kitaKalau terus begini, Adam mulai mempertimbangkan untuk menonaktifkan notifikasi grup itu. Sebenarnya, ia mulai bergabung dan tidak menonaktifkan notifikasi grup itu karena saat itu sedang mencari info tentang Yara. Sekarang, apa perlunya ia masihaktif di grup itu.Tapi entah mengapa justru jemarinya mengetikkan hal lain.Adam: Di rumah gue ajaDan
“Nggak apa-apa ya anak-anak tau?” Hari belum beranjak malam. Semua teman SMA mereka sudah pamit sejak sekitar jam tiga sore. Adam juga sudah memesankan taksi untuk mengantar ART ibunya kembali ke rumah setelah menyelesaikan beres-beres kekacauan yang ditimbulkan teman-temannya. Tersisa Adam dan Yara berdua, yang kini memilih rooftop rumah itu untuk tempat mereka bercengkerama. Yara sengaja mendesain rooftop itu dengan taman kecil dan sofa yang terlindung kanopi agar Adam bisa menghabiskan waktu santai dengan pasangannya sambil minum teh dan menunggu senja di rooftop. Yang Yara tidak sangka, pasangan yang menemani Adam melakukan hal santai seperti itu adalah dirinya. “Tapi kamu lihat sendiri kan gimana reaksi mereka tadi, Dam? Ya ampun, guru ngabarin ulangan harian dadakan aja nggak begitu amat reaksi mereka.” Adam terkekeh geli, kembali mengingat masa SMA mereka, di mana ada beberapa guru yang rajin memberikan ulangan harian dadakan sekadar untuk memb
“Baik-baik ya, kalo capek nyetir minta dianter supir aja,” ucap Adam sambil menangkup kedua pipi Yara, mengabaikan tatapan geli dari Dimas di kejauhan.“Iyaaa. Nggak ada yang ketinggalan kan?”“Hatiku.”Yara terkekeh, lantas memeluk Adam singkat. Adam harus bergegas masuk kalau tidak ingin terburu-buru menuju gate tempatnya harus menunggu. “Udah ah, malu sama Dimas. Dia yang ninggalin istri aja nggak sebegininya.”“Justru karena dia ninggalin istri, bukan pacar.”“Mulai deeeh, bukan masalah ikatannya Adam, tapi komitmen.”Kalau kemarin-kemarin Yara yang sering merengek tidak ingin Adam pergi, sekarang giliran Adam yang enggan melangkah masuk ke dalam bandara. Yara sudah berkomitmen, dia pun demikian, harusnya langkahnya lebih ringan, tapi nyatanya tidak seperti itu. “I’m gonna miss you.”“Me too.”Adam mencium puncak kepala Yar
“Kamu nggak langsung pulang tadi?”Mereka sedang terhubung melalui video call, dan dari raut wajah Adam, Yara tahu kalau Adam sedang marah padanya.“Iya, aku mampir ke tempat Rian.”“Kok tadi nggak ngomong pas di bandara?”“Pas udah di jalan aku baru kepikiran buat mampir.” Yara berusaha meninggikan sabarnya. Baru satu hari Adam pergi, tidak mungkin mereka sudah bertengkar hanya karena masalah sepele kan. “Aku agak lama di rumah Rian, ngobrol sampe tidur siang di sana. Abis itu makan siang bareng sama Rian di mall, baru pulang. Nggak apa-apa kan? Aku mau chat kamu, tapi kan posisinya kamu masih di pesawat, pasti nggak aktif juga.”“Tapi kan kesepakatan kita, mau salah satu di antara kita ngaktifin hp atau nggak, langsung balas chat atau nggak, tetep saling ngasih kabar, Ra.”Yara menggigit bibir bawahnya, menghela napas dalam-dalam. “Iya, maaf. Aku salah. Harusnya
“Ngomong di luar yuk, Bang.”“Kenapa sih? Kok kamu kayak jadi takut sama aku?”Yara mengernyitkan dahi, mencoba mengerti kalau mungkin Zayan masih menganggapnya anak kecil seperti dulu.“Mau ngomong apa sih, Bang? Serahasia itu ya? Sampe harus ngomong di kamar?”Karena tidak bisa berbuat apa-apa, Yara memilih mengambil jarak terjauh, duduk di sofa yang menempel di dinding, sementara Zayan duduk di pinggir kasur.“Sini, Ra.” Zayan menepuk sisi kasur di sebelahnya.Yara menggelen pelan. “Mau ngomong apa, Bang?” Detik itu, Yara sudah merasa aneh. Entah mengapa rasanya juga asing, padahal ia mengenal Zayan sejak kecil.“Ok, kalau gitu aku yang ke sana.” Menghela napas, Zayan berdiri dan ikut duduk di samping Yara.Bergeser ke sudut, itu yang dilakukan Yara, dengan gerakan yang tidak terlalu kentara agar Zayan tidak tersinggung. “Bang Zayan lagi ada
Adam bersama Dimas dan dua stafnya yang lain--Berdik dan Guntur--menerima undangan makan malam yang berlanjut ke sebuah club, dari Cassandra yang dalam tiga bulan ini akan berurusan secara langsung dengan mereka terkait pelebaran jaringan hotel Candra Group.Adam kelelahan, benar-benar kelelahan, ditambah hatinya yang tak tenang, padahal baru sehari ia berada di Australia. Sebisa mungkin Adam menyahuti setiap ucapan Cassandra demi sopan santun.Hingga pesan singkat dari Yara yang seperti tidak tuntas karena terburu mengirimnya membuat hati dan pikirannya semakin kacau.Yara: Acara di rumahku belum kelar, kalau kamu mau Adam membacanya berulang kali. Tidak ada pesan lanjutan dari Yara.Berpamitan dengan Cassandra dan stafnya, Adam keluar dari club untuk menghubungi Yara yang sayangnya tidak mengangkat panggilan teleponnya setelah berkali-kali ia mencoba."Kamu kenapa sih, Ra? Kirim wa nggak tuntas, bikin khawatir orang aja."***Yara bergeming, membalas tatap
"Semalem mau bilang apa, Ra? Kenapa chat kamu kayak nggak utuh gitu?”Yara terdiam, menjauhkan ponsel dari telinganya, lantas melihat isi chat terakhirnya untuk Adam. Helaan napas berat seketika keluar darinya. Ia memang tidak sempat menyelesaikan chat-nya karena terkejut dengan Zayan yang menutup pintu kamarnya. Dan setelah acara di rumahnya selesai, Yara pikir terlalu malam untuk menghubungi Adam."Maaf, aku ketiduran," dusta Yara.Tidak mungkin ia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Adam pasti akan meledak marah."Pulang jam berapa semalam, Dam?""Hmm ... lumayan malam sih, makanya aku nggak hubungin kamu lagi, takut kamu udah tidur. Sandra ngajak ke club setelah makan malam.""Berdua?""Nggaklah, Ra. Rame-rame sama yang lain. Nggak marah kan?"Yara menimbang-nimbang sesaat antara ingin mengatakan yang sebenarnya atau berpura-pura demi kebaikan hubungan mereka.“Kamu nggak suka?” tanya Adam s
"Siapa yang bertindak kurang ajar sama kamu, Dek?” "Kak Ervin?" Yara menoleh cepat, menghampiri kakaknya yang entah apa alasannya pagi itu tiba-tiba ada di lobby kantornya. Mata Ervin menyorot tajam pada Zayan yang tidak dimengerti Ervin juga, mengapa pagi itu ada di kantor Yara. "Jawab Yara! Siapa yang kurang ajar sama kamu?" "Itu ... orang yang dulu pernah deket sama aku." "Siapa?" tanya Ervin penasaran, karena sekali saja ia mendapat nama orang yang bertindak kurang ajar terhadap adiknya, bisa dipastikan ia akan mencari orang itu ke ujung dunia. "Ada lah, Kak. Nggak penting." "Ngapain kamu pagi-pagi ngomongin dia kalo gitu?" "Tadi aku kayak sekilas ngelihat orangnya di sini. Kakak ngapain ke sini?" Berusaha mengendalikan gugupnya, Yara mencoba mengalihkan pembicaraan. Zayan harus bersyukur karena Yara tidak menceritakan yang sebenarnya di depan kakaknya itu. Zayan mungkin akan pulang sebagai Zayan geprek kala
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa