Beberapa minggu yang lalu...
Saat pertama kali melihatnya, jantungku tak henti berdebar, terlebih lagi ketika pria itu tersenyum, diriku hilang kendali bersama senyumnya. Setiap kali dia melintas di hadapanku, seolah inilah wujud jiwaku yang hilang dan muncul kembali bersamanya. Aku sadar, sebagai wanita tidak memiliki standar kecantikan di atas rata-rata, namun pendirianku tak akan pernah berubah, walaupun perbedaan usia di antara kita cukup jauh, hal itu tidak akan menggoyahkanku untuk menggapainya dalam genggamanku.
...
Di balik jendela kamar, Ira melihat seseorang melintas di hadapan rumahnya dengan ransel menggantung di punggung pria tersebut.
"Haha...aku sangat menyukainya," cetus Ira dari balik jendela.
Ira tersenyum girang melihat pria yang dia idam-idamkan selama ini, melintas di depan rumahnya.
Dia berjalan menuju dapur setelah melihat kejadian singkat yang berhasil membuat jantungnya seketika berdebar, tak lupa senyum di wajahnya belum terhapus hingga saat ini.
"Hmm... senyam-senyum," ledek Ibu tengah memasak, menoleh ke arah Ira sekilas.
"Hehe... Ibu masak apa?" jawab Ira malu-malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kasmaran ni?," ledek Ibu.
"Enggak Bu...Aku mau makan saja," jawab Ira seraya mengambil piring beserta nasi dan lauk pauknya.
"Nih!"
Ibu meletakan sayuran di atas piring Ira, masakan panas, langsung dari wajan.
"Ibu...kebanyakan!," rengek Ira.
"Sudah makan saja, biar cepat tinggi, kamu harus banyak makan sayur Ira."
"Gak enak Bu!" rengek Ira.
"Kamu sudah remaja, makan sayur sangat penting untuk kesehatanmu, nanti yang repot juga siapa, Kalau penyakit datang gara-gara kamu enggak makan sayur, bla bla....." jelas Ibu.
Tak ingin mendengar ocehan tak berguna, Ira segera menyela.
"Iya-iya, aku makan," jawab Ira dengan wajah masamnya.
Dia berjalan menuju kamar seraya menatap kembali jalanan yang di lalui pria tadi.
"15:00, aku akan menunggunya," ucap Ira dengan senyum khasnya.
...
Waktu menunjukkan Pukul 06:30, Ira segera bersiap dengan perlengkapan yang akan di bawanya menuju sekolah.
"Ibu! Aku berangkat dulu!" teriak Ira seraya memakai sepatu dengan cepat, dia segera berlari menuju ke sekolah.
"Ira, ini ketinggalan!" Teriak Ibu, berlari keluar mengejar Ira, namun gadis itu berlari bagai kilat, hingga tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Huh! Anak itu," ucap Ibu sambil menghela nafas.
***
Hari terasa panas setiap harinya, di caci karena miskin bukanlah hal yang menyakitkan lagi aku rasakan. Sudah tahu aku miskin, sangat lucu bukan jika mereka terus mengatakan aku miskin? Aku tak butuh di sadarkan oleh kalian, aku juga tak butuh kasihani kalian, aku sadar bagaimana keadaanku sekarang, tapi terima kasih atas pengertian kalian semua, kalian sudah repot-repot menyediakan waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk memikirkanku.
Dia berjalan menyusuri gang kecil di pesisir kota, bau pembuangan sangat menusuk hidung hingga dia menahan nafas sekejap, bau tak sedap memang tak mengenakan, namun inilah yang menjadi ciri khas kawasan kumuh ini.
"Harus cepat," batin Ira mulai mempercepat lajunya.
...
Sesampainya di rumah, dia membaringkan tubuh di atas ranjang, sesaat dia merasakan tubuh yang lelah ini perlahan mulai merasakan titik kenyamanannya, perlahan kantuk mulai menjalar, namun tiba-tiba dia teringat akan suatu hal.
"14:45," gumam Ira seraya menatap jarum jam di kamarnya.
Waktu terasa begitu lambat, andai saja waktu bisa berputar lebih cepat.
"Sebentar lagi."
Dia terkekeh kecil menunggu saatnya tiba, namun terlihat di luar sana hari semakin gelap, membuat Ira merasa sedikit khawatir.
"Ira, jemuran!" teriak Ibu.
Heira attalia , itulah namaku, si manja Alva Rendra itulah adikku, hidup satu keluarga di gubuk ini memang tidak begitu menyenangkan, keributan sering terjadi di kala hujan datang, bocor di mana-mana hingga tak bisa tidur semalaman sudah biasa aku rasakan.
Ira segera keluar memenuhi panggilan Sang Ibu.
"Mendung." Ira menatap langit yang mulai menghitam.
"Apakah dia akan lewat kesini?," batinnya, seraya mengambil satu persatu pakaian dari atas tali.
Stt...
Pria itu melintas tepat di hadapannya, berlari dengan gagah dan memesona, itulah yang ada di pikiran Ira sekarang.
"Pangeranku."
Ira seketika terpana melihat pria berjaket hitam melintas di hadapannya. Perlahan hujan turun, dia masih dalam posisinya melihat pria itu hingga tak terlihat lagi punggung gagahnya .
"Ira!" Teriak Ibu.
"Iya Bu, sebentar!" jawab Ira seraya membawa pakaian yang baru dia ambil ke dalam rumahnya.
Tiba di dalam rumah, adik satu-satunya tengah bermain game di kursi rumah tanpa menghiraukan Sang Kakak yang kerepotan membawa pakaian.
"Woy!" teriak Ira.
"Apa?" jawab Alva tanpa melirik Sang Kakak, hanya fokus pada game nya.
"Nih! Bawa ke kamar," perintah Ira sambil melemparkan sekeranjang pakaian.
"Kakak saja yang bawa," jawab Alva ketus.
"Cepat bawa!" perintah Ira, kemudian pergi.
"Ibu! Liat Kakak enggak mau di suruh," keluh Alva, namun tak ada yang mendengarnya.
Tak mendapat respon dari siapa pun, dengan terpaksa dia membawa keranjang pakaian tersebut ke dalam kamar.
"Huh! sudahlah."
...
Seorang gadis SMA masih setia terbaring menatap jalanan kecil di depan sana dari dalam kamar. Hujan deras perlahan mulai mereda, suasana terasa begitu sejuk di sertai suara angin yang berhembus pelan, menambah kenyamanan dalam ruangan sempit ini.
"Dingin," ucap Ira.
Dia melangkah kan kaki menuju dapur, berharap ada apa saja yang bisa mencairkan tubuh yang terasa membeku ini.
Tak...tak...
Dia mengambil gelas seraya menumpahkan air mendidih di atasnya.
"Ada yang kurang," ucap Ira.
Dia menggeledah setiap tempat, berharap apa yang ada di pikirannya berubah dalam bentuk nyata. Alhasil setelah sekian menit mencari, dia tak menemukan apa pun.
"Bu! Teh di mana?" teriak Ira dari dapur.
"Beli saja, teh habis sama Alva kemarin!" teriak Ibu entah dari mana.
Ira merogoh saku celananya, dia lihat tiga butir koin bertuliskan lima ratus di tangannya.
"Cukup."
Ira segera melangkah menuju ke luar, meninggalkan segelas air tergeletak begitu saja di dapur.
...
DI WARUNG...
"Mas, teh satu," ucap Ira.
"Tunggu sebentar," jawab Mas Edo.
Ira merapikan sedikit rambut yang terkena percikan hujan, berlari bagai kilat adalah solusinya saat pergi ke tempat ini. Sesaat dia lihat bangku di warung ini, bersih dan kosong, dia langsung duduk menunggu mas Edo menyiapkan barangnya.
Stt...
"Mas, kopi satu di seduh."
Seketika Ira menatap asal suara menggema itu, sambil berusaha melihat wajahnya dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.
***
Ira menatap sepasang mata indah pria tersebut, bulu mata lentik, rahang yang tegas, di tambah rambut yang tertata, sangat serasi di padukan dengan tubuh gagah dirinya. "Dia!" batin Ira terkejut. Pria itu hendak duduk di bangku, namun tanpa sengaja pandangan mata indahnya bertemu dengan seorang gadis di sana, tanpa di sadari, saat ini mereka saling beradu tatapan. "Um...." Ira langsung membuang muka ke sembarang arah, sambil berdecak memaki dirinya sendiri. "Apa yang kamu lakukan Ira!" Pria itu langsung duduk setelah melihat Ira membuang muka. Dia melepas jaket yang di kenakannya seraya merapikan rambut yang terkena percikan hujan. "Ira, ini tehnya," ucap Mas Edo. Tanpa banyak bicara, Ira langsung mendekat mengambil barang yang dia inginkan. Dia merogoh saku celana dan langsung memberikan uang kepada si penjual. Tiba-tiba suara decing logam terdengar menggelinding, jatuh dari genggamannya. "Sial!" pekik Ira dalam
DI ACARA PENYULUHAN RT 02...Sekumpulan warga telah berkumpul di sini, Pak RT beserta jajarannya sudah bersiap di tempatnya masing-masing, tak lupa Ira yang masih sekolah juga di libatkan dalam hal ini."Ira tolong ambilkan minum untuk para tamu," perintah Pak Amar."Baik Pak, sebentar," jawab Ira kemudian pergi.Warga yang datang cukup banyak hingga memenuhi ruangan yang terbilang cukup luas ini. Beberapa orang tua juga membawa buah hati mereka menuju tempat ini.Acara akan di mulai, semua sudah siap di posisinya, namun Lingga tidak terlihat menampakkan batang hidungnya menghadiri acara ini."Bagaimana, apakah harus kita mulai sekarang?" ucap Agra."Mulai saja, kita tidak tahu dia akan datang atau tidak," jelas Pak Amar.Agra menyalakan mikrofon dan mulai mengucapkan kata."Assalamualaikum WR. WB...."Tok...tok..."Maaf, apakah saya boleh masuk?" ucap Lingga dengan nada tak beraturan. Keringat terlih
Perlahan Ira mencoba menatap pria jangkung tersebut, saat dia menatap pria itu ternyata dia berada lumayan jauh dari tempat berdirinya sekarang. "Aku kira akan seperti drama-drama gitu," batinnya telah berpikir berlebihan. Walaupun tidak sesuai dengan apa yang di pikirkan, akhirnya dia bisa melihat pria dewasa ini dengan jarak yang begitu dekat. Kesempatan yang bagus akhirnya dia temukan, pertanyaan yang berada di pikirannya sejak lama belum pernah terlontar kepada siapa pun, mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan di hadapannya langsung. "Hmm...bo-bolehkah aku tahu nama paman?" tanya Ira pelan karena terlalu gugup. "Untuk apa?" Pria itu malah balik bertanya, seketika dirinya penasaran akan beberapa hal. "Hmm..itu..." jawab Ira tidak jelas, karena bingung mencari jawaban yang masuk akal. "Itu, buat daftar nama!" Ucap Ira seraya mengambil buku yang berisikan daftar orang-orang yang hadir di acara ini.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN...Ira duduk di atas kursi menikmati semangkuk bubur yang terasa manis. Entah karena ada seseorang di hadapannya atau memang bubur ini terlalu banyak gula. Raga ini bergerak dengan sendirinya mengikuti bisikan hati, padahal beberapa saat lalu tekad yang dia miliki masih kuat, kesedihan pun masih menyelimutinya mengikuti setiap langkah.Mangkuk yang di pegangnya, perlahan dia simpan, kini makanan yang di bawa Lingga lenyap dalam beberapa menit, habis tanpa sisa."Sudah?" tanya Lingga."Hmm," jawabnya dengan anggukan.Lingga membawa nampan berisi mangkuk kotor dan secangkir air putih ke dapur. Langkah pria itu dari belakang terlihat sangat dewasa, kedua lengan kemeja yang menyingsing menambah pesona luar biasa di mata Ira."Huh!"Walaupun dalam keterpurukan yang hampir menjatuhkannya dalam jurang kematian, pada akhirnya hanya karena pria itu, Ira sedikit mendapat semangat hidup. Ini memang terlihat seperti hal sed
"Aku tak mungkin berbohong kepada paman bukan?"Sekejap Lingga terdiam, menatap Alva.."Oke, aku percaya," jawabnya."Kalau begitu bisakah paman sedikit memerhatikan kakak, aku ingin melihat kakak bangkit dari kesedihannya, jika aku perlu memohon aku akan memohon sekarang juga," ucap Alva sembari hendak bersujud."Sudah, jangan!""Paman, bisa kan?" ucap Alva berharap."Tidak tahu, aku belum bisa memastikannya," jelas Lingga seraya menyandarkan punggungnya."Tolong, aku memohon kepada paman!" ucap Alva memegang tangan Lingga."Akan aku usahakan," ucap Lingga menghela nafas berat.Anak SMP ini begitu menyayangi Kakaknya, apakah Ira tahu sisi adiknya yang seperti ini? Jika sekiranya Ira tahu, perlakuannya beberapa hari ini mungkin akan sangat dia sesali di kemudian hari....Hari menjelang malam, Ira terbaring di ranjangnya usai bercurah perasaan yang menyakitkan kepada sahabat satu-satunya."Aku akan s
Setelah selesai mengobrak-abrik kamar Sang Adik, Ira menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan mata dengan paksa, merenungkan setiap detik kesalahan yang telah terjadi. Terlihat jelas saat ini, Ira sangat pusing menghadapi satu persatu ujian yang datang, di saat semangat ini kembali hidup, di sisi lain terjadi hal yang sama sekali tidak dia inginkan, membuat dirinya kembali merasakan jatuh untuk kedua kalinya.Dia mengingat kembali perlakuan beberapa hari lalu terhadap Alva, pasti selama ini Alva sudah cukup bersabar menghadapi Ira yang keras kepala, hingga akhirnya Alva memilih untuk pergi."Alva, maaf."Jeritan yang tak mungkin bisa di dengar oleh siapa pun, Ira tertunduk menekuk kedua lututnya, memeluk erat tubuh yang hampa dalam duka mendalam. Selintas potret Alva melintas dalam pikirannya, tawa, kesal, bahagia dia kembali mengingat semuanya, hampa begitu terasa, sekarang dirinya benar-benar sendirian, tak ada siapa pun yang bisa menjadi pengganti yang hi
DI RUMAH LINGGA...Heira Attaya, gadis itu kini sedang menggusur koper berisikan sebagian barang-barangnya menuju sebuah rumah mini malis di depan jalan raya tak jauh dari rumahnya. Di hadapannya kini terlihat sebuah rumah yang tidak begitu mewah, dengan dua lantai dan sedikit hiasan di halaman rumah, membuat rumah ini terlihat simpel namun nyaman di pandang.Tak tak...Mereka mulai melangkah menuju dalam rumah. Dalam keadaan sadar sepenuhnya Ira mengikuti langkah pria di hadapannya dengan langkah yang cepat, menyesuaikan dengan langkah Lingga yang panjang."Mengapa mereka memaksaku tinggal di sini?" batin Ira tak mengerti.Cklek...Tampaklah isi dari rumah ini, tangga berkelok di sisi dinding, ruang makan dan dapur berdampingan di lantai bawah, tak lupa ruang TV di lantai bawah juga berdampingan dengan ruang tamu. Ira melihat sekeliling, setiap sudut ruangan terasa begitu nyaman dan pas untuk di tinggali berdua atau bertiga saja.
Sekarang aku harus terbiasa dengan kehadiran dia di rumah ini, walaupun ini sedikit merepotkan, apa boleh buat, aku tak bisa melihat wanita paruh baya itu kembali memohon seperti waktu itu, sangat menyedihkan, aku sama sekali tak ingin melihatnya seperti itu lagi....Lingga menyandarkan tubuh di ranjang kesayangannya, dia memejamkan mata sembari menyisir rambut dengan sela-sela jarinya. Tak bisa di pungkiri, walaupun kini usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, namun ketampanannya masih terjaga dengan sempurna."Kapan aku bermimpi hidup dengan seorang gadis bersama tanpa ikatan seperti ini?" batin Lingga.Dengan bertelanjang dada, Lingga segera melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat berat setelah melewati hari yang panjang, air hangat bercucuran dari atas seperti hujan, membasahi tubuh gagahnya yang tidak pernah terekspos oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri, merasakan air yang menetes, dia kuatkan tekad untuk meman
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan