Setelah selesai mengobrak-abrik kamar Sang Adik, Ira menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan mata dengan paksa, merenungkan setiap detik kesalahan yang telah terjadi. Terlihat jelas saat ini, Ira sangat pusing menghadapi satu persatu ujian yang datang, di saat semangat ini kembali hidup, di sisi lain terjadi hal yang sama sekali tidak dia inginkan, membuat dirinya kembali merasakan jatuh untuk kedua kalinya.
Dia mengingat kembali perlakuan beberapa hari lalu terhadap Alva, pasti selama ini Alva sudah cukup bersabar menghadapi Ira yang keras kepala, hingga akhirnya Alva memilih untuk pergi.
"Alva, maaf."
Jeritan yang tak mungkin bisa di dengar oleh siapa pun, Ira tertunduk menekuk kedua lututnya, memeluk erat tubuh yang hampa dalam duka mendalam. Selintas potret Alva melintas dalam pikirannya, tawa, kesal, bahagia dia kembali mengingat semuanya, hampa begitu terasa, sekarang dirinya benar-benar sendirian, tak ada siapa pun yang bisa menjadi pengganti yang hi
DI RUMAH LINGGA...Heira Attaya, gadis itu kini sedang menggusur koper berisikan sebagian barang-barangnya menuju sebuah rumah mini malis di depan jalan raya tak jauh dari rumahnya. Di hadapannya kini terlihat sebuah rumah yang tidak begitu mewah, dengan dua lantai dan sedikit hiasan di halaman rumah, membuat rumah ini terlihat simpel namun nyaman di pandang.Tak tak...Mereka mulai melangkah menuju dalam rumah. Dalam keadaan sadar sepenuhnya Ira mengikuti langkah pria di hadapannya dengan langkah yang cepat, menyesuaikan dengan langkah Lingga yang panjang."Mengapa mereka memaksaku tinggal di sini?" batin Ira tak mengerti.Cklek...Tampaklah isi dari rumah ini, tangga berkelok di sisi dinding, ruang makan dan dapur berdampingan di lantai bawah, tak lupa ruang TV di lantai bawah juga berdampingan dengan ruang tamu. Ira melihat sekeliling, setiap sudut ruangan terasa begitu nyaman dan pas untuk di tinggali berdua atau bertiga saja.
Sekarang aku harus terbiasa dengan kehadiran dia di rumah ini, walaupun ini sedikit merepotkan, apa boleh buat, aku tak bisa melihat wanita paruh baya itu kembali memohon seperti waktu itu, sangat menyedihkan, aku sama sekali tak ingin melihatnya seperti itu lagi....Lingga menyandarkan tubuh di ranjang kesayangannya, dia memejamkan mata sembari menyisir rambut dengan sela-sela jarinya. Tak bisa di pungkiri, walaupun kini usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, namun ketampanannya masih terjaga dengan sempurna."Kapan aku bermimpi hidup dengan seorang gadis bersama tanpa ikatan seperti ini?" batin Lingga.Dengan bertelanjang dada, Lingga segera melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat berat setelah melewati hari yang panjang, air hangat bercucuran dari atas seperti hujan, membasahi tubuh gagahnya yang tidak pernah terekspos oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri, merasakan air yang menetes, dia kuatkan tekad untuk meman
Malam tiba, suasana sepi rumah ini kian terasa, setelah makan malam bersama, kini pikirannya tengah menerawang alam lain di bawah kendalinya, di atas ranjang dia memeluk sebuah bantal dengan bentuk yang imut, pandangannya lurus tertuju pada sebuah lampu di langit-langit kamar, seperti sebuah mentari kecil yang menghidupkan ruangan ini."Apakah aku benar tinggal di rumah ini?" batinnya masih tidak percaya.Ira mulai membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman."Alva..."Tiba-tiba memori singkat begitu saja melintas di benaknya, tanpa di duga cairan bening keluar dari pelupuk matanya mengelir dengan sendirinya."Semua orang sudah pergi ya, huh! wanita malang...ujian apa lagi yang akan aku terima? Semuanya sudah ku coba, apakah masih ada ujian yang lebih berat dari diriku, sekirannya ada takdir pasti dengan senang akan memberikannya kepadaku, haha...lucu juga, ternyata dunia ini memang di takdirkan untuk membuatku sakit dan semakin sakit."Ir
BAK! "Tuan!" Seketika kedua orang itu membelalakkan mata, tatapan mereka tertuju pada satu arah yang sama. "Kau?" Lingga langsung memberi sinyal dengan isyarat mata kepada seorang pria di awang pintu sana. Tanpa di ketahui gadis di hadapannya. Tahu kondisi apa yang sedang di alami sekarang, pria itu pergi dengan cepat. "Siapa dia?" batin Ira penasaran. Menatap mata pria di hadapannya dengan tatapan penuh tanya. Sepasang bola mata pria itu mengelak kesembarang arah, menghindar dari apa yang mungkin akan segera gadis itu tanyakan. "Emm...kau tunggu dulu di sini," ucap Lingga kemudian bergegas pergi. Saat Kakinya menghampiri pria yang membuat kegaduhan tadi, di lihatnya pria itu tengah duduk di atas lantai, wajahnya menampakkan raut penuh cemas dan gelisah. "Ada apa?" tanya Lingga. Suara besar itu berhasil membuat pria yang sedang menggigit jarinya langsung mendongak, dia lihat ke arah suara itu beras
Lingga menatap tingkah wanita itu di depan sana tentu hal itu membuat Lingga terdiam, sesaat wajahnya menampakkan raut dingin, yah, tak perlu tahu lagi wanita ini memang sedang melakukan aksinya. Tiba-tiba Lingga menyeringai melemahkan, menatap sepasang mata polos di depan sana dengan tatapan elang. "Haha...ternyata aku ke sini hanya membuang-buang waktu saja," ucap Lingga dengan seringai tipis. Lingga menarik hendel pintu hendak pergi, tak ada gunanya lagi berada di sini, yang terjadi malah pembicaraan yang kosong tanpa arti, itu akan terus terjadi jika dirinya berusaha seperti dulu. "Kak!" Teriak Lisya tertuju pada Lingga, berusaha untuk menghentikan langkahnya. Seketika pria itu berhenti, menoleh beberapa derajat dengan senyum tipisnya dan kembali melanjutkan kegiatannya. "Berhenti!" Bentak Lisya, namun sama sekali tidak di dengar oleh Lingga, dirinya terus melangkah hingga lantai bawah. Seakan apa yang terjadi ini jauh dari perkira
Tak...tak...Langkah kecil mulai menghampiri sebuah meja dengan laptop yang tergeletak di atasnya, dalam bayangan yang tak masuk akal, seharusnya saat ini Lingga berada di depan layar itu menatap dengan tatapan indah di tambah senyuman manis yang khusus terpancar untuk Ira layak sepasang kekasih, namun sepertinya bayangan itu terlalu tinggi, dirinya kini hanya melihat benda-benda itu tergeletak tanpa penghuni, seolah menyadarkan Ira bayangan itu tidak akan pernah terjadi."Ke mana Paman?" batin Ira seraya membawa secangkir kopi di tangannya.Dia terus melangkah menuju meja, walaupun tak menemukan Lingga di sana, Ira tetap melangkah lalu menyimpan kopi di atasnya yang telah dia buat sepenuh hati untuk Sang Paman.Tak..."Apa ini?" batin Ira dalam hati tatkala melihat layar yang masih menyala, menampakkan sebuah layar di penuhi berbagai kata di dalamnya.Tatapannya langsung tertuju pada kalimat penuh penekanan itu, semakin menarik saja, Ira ma
Ira mulai menggerakkan sekujur tubuh, meregangkan sendi-sendi yang terasa pegal di setiap selanya, dia lihat rupa tubuh ini di cermin, tubuh kecil di tambah wajah yang tak mendukung membuat dia berdecak heran. "Siapa yang akan melirik tubuh ini? aku saja enggan melihatnya," ucap gadis itu pelan. Dia menyingsingkan rambut yang tergerai sebahu seraya mengelusnya pelan. "Gadis ini, tidak bisakah merawat dirinya sendiri?" decaknya. Rupa wajah ini, sungguh tak memikat hati, apakah yang di lakukan gadis itu selama ini hingga wajahnya bisa seperti ini? Mungkin dia terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil semacam ini, tidak ada jalan lagi, mungkin inilah sebab kehadirannya, dia harus mengubah segalanya dengan jiwa ini. "Ira, aku akan mengubahnya, kau pasti akan senang dengan apa yang aku lakukan," ucap pribadi lain yang sekarang mengambil alih tubuh Ira. "Aku Fiolyn akan mengubahnya." Tak...tak... Langkah kaki terdenga
DI MALL.... Ira turun sambil merapatkan masker dan topi yang dia kenakan, menutupi hingga terlihat sepasang mata saja. Lingga yang tengah membereskan rambut sedikit menampakkan senyum beralih memandang Ira yang tengah celingukan. Pak... "Ayo!" ucap Lingga seraya menepuk topi yang Ira kenakan. Lingga melangkahkan kakinya dengan santai menuju dalam pusat perbelanjaan, namun hal itu jauh berbeda dengan yang Ira rasakan, dia berlari dengan kencang hanya untuk menyelaraskan langkahnya, Lingga benar-benar lupa bahwa Ira seorang gadis pendek yang tak akan pernah bisa menyelaraskan langkah dengan Lingga. "Hosh...hosh..." Di tengah keramaian pusat perbelanjaan besar ini, Ira terengah-engah menyusul langkah Lingga, pria itu sama sekali tak memedulikannya, namun karena suara lelah yang mengganggu telinga Pria itu, membuat Lingga segera berbalik menghampiri Ira. "Kau kenapa?" tanya Lingga seraya memasukkan kedua tangan di saku celananya, m
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan