BEBERAPA HARI KEMUDIAN...
Ira duduk di atas kursi menikmati semangkuk bubur yang terasa manis. Entah karena ada seseorang di hadapannya atau memang bubur ini terlalu banyak gula. Raga ini bergerak dengan sendirinya mengikuti bisikan hati, padahal beberapa saat lalu tekad yang dia miliki masih kuat, kesedihan pun masih menyelimutinya mengikuti setiap langkah.
Mangkuk yang di pegangnya, perlahan dia simpan, kini makanan yang di bawa Lingga lenyap dalam beberapa menit, habis tanpa sisa.
"Sudah?" tanya Lingga.
"Hmm," jawabnya dengan anggukan.
Lingga membawa nampan berisi mangkuk kotor dan secangkir air putih ke dapur. Langkah pria itu dari belakang terlihat sangat dewasa, kedua lengan kemeja yang menyingsing menambah pesona luar biasa di mata Ira.
"Huh!"
Walaupun dalam keterpurukan yang hampir menjatuhkannya dalam jurang kematian, pada akhirnya hanya karena pria itu, Ira sedikit mendapat semangat hidup. Ini memang terlihat seperti hal sederhana, perhatian kecil dari orang yang kita suka, namun bisa menyalakan api kecil yang hampir padam.
Aku kenapa? Padahal saat ini aku sama sekali tak ingin melihat siapa pun di dunia ini, tapi mengapa dia bisa mematahkan egoku? hanya karena semangkuk bubur, kenapa dia bisa membuatku kembali berharap hidup? Semakin lama aku semakin tak mengerti diriku sendiri.
BAK...
"Ira!" teriak seseorang sambil melempar pintu.
Seketika Ira mendongak melihat ke arah datangnya suara menggelegar tersebut.
"Ra..." ucapnya menggantung. Suaranya bergetar, nada yang di keluarkan pun terdengar sayu hingga menusuk lubuk hati yang terdalam.
Tanpa sadar, cairan bening mengalir deras melintas di pipi gadis itu, segera dia menyeka air mata yang tak henti terus bercucuran menutupi segala kesedihan.
"Ira, maafkan aku," ucap laki-laki itu yang tak lain teman masa kecil Ira, dia menundukan kepala di hadapan Ira dengan suara yang bergetar.
Sekuat tenaga Ira menahan air yang tak mudah dia hentikan, menggigit bibir bawah sekuat mungkin agar tangisnya tidak kembali pecah. Ingin sekali dia mengucapkan kata" aku tidak apa-apa," namun jangankan untuk satu kalimat, bahkan satu huruf saja tidak bisa dia ucapkan.
Adri perlahan mengangkat wajahnya, dia lihat sahabatnya kini berusaha sekuat mungkin untuk tegar di hadapannya, seketika Adri memeluk tubuh gadis kecil itu, membiarkannya jujur akan apa yang di rasakannya sekarang.
"Hiks...hiks..." tangis Ira pecah, begitu menyayat hati mendengar tangisan yang terdengar sangat menyakitkan.
Adri mengusap punggung Ira, sesekali dia usap pucuk kepala gadis itu, menenangkannya dalam kehangatan sesaat.
"Aku terlambat," batin Adri kecewa.
Dari balik pintu sana seseorang sedang menatap kemesraan mereka berdua, langkahnya berbalik ke arah lain, membiarkan mereka menikmati suasana haru bersama.
...
Lingga duduk di sebuah kursi di ruang tengah seraya mengambil dawai di saku celana. Hari menjelang sore, sekarang adalah waktunya untuk pulang seperti keinginannya.
Tiba-tiba Alva datang dari luar dengan wajah yang lesu, di salah satu tangannya menggantung sebuah plastik putih berisikan jajanan kaki lima. Dia melirik Lingga yang hendak beranjak pergi, namun segera Alva menghentikannya dengan sedikit basa-basi.
"Paman!" Panggil Alva.
Lingga menghentikan niatnya untuk pulang, dia kembali duduk di dampingi Alva di sampingnya.
"Paman, bolehkah aku berbicara dengan paman?" tanya Alva seraya membuka kantong plastik berisi jajanan kaki lima.
"Hmm?" Jawab Lingga seraya menyimpan kembali dawai ke dalam saku celana.
"Aku akan sedikit cerita, ini tentang kakakku.... Saat ini kakak sedang sakit, aku tak bisa melakukan apa pun untuknya, selama beberapa hari ini, kakak tidak makan, aku sudah meminta bantuan kepada beberapa orang, namun pada akhirnya hasilnya tetap sama. Tapi setelah paman datang, kakak sedikit berubah, dia mulai makan, dan membuka kembali dirinya, aku jelas merasakan perubahan itu, Kakak berubah karena paman." jelas Alva.
"Apakah benar seperti itu?" tanya Lingga menguji.
"Aku tak mungkin berbohong kepada paman bukan?"
...
"Aku tak mungkin berbohong kepada paman bukan?"Sekejap Lingga terdiam, menatap Alva.."Oke, aku percaya," jawabnya."Kalau begitu bisakah paman sedikit memerhatikan kakak, aku ingin melihat kakak bangkit dari kesedihannya, jika aku perlu memohon aku akan memohon sekarang juga," ucap Alva sembari hendak bersujud."Sudah, jangan!""Paman, bisa kan?" ucap Alva berharap."Tidak tahu, aku belum bisa memastikannya," jelas Lingga seraya menyandarkan punggungnya."Tolong, aku memohon kepada paman!" ucap Alva memegang tangan Lingga."Akan aku usahakan," ucap Lingga menghela nafas berat.Anak SMP ini begitu menyayangi Kakaknya, apakah Ira tahu sisi adiknya yang seperti ini? Jika sekiranya Ira tahu, perlakuannya beberapa hari ini mungkin akan sangat dia sesali di kemudian hari....Hari menjelang malam, Ira terbaring di ranjangnya usai bercurah perasaan yang menyakitkan kepada sahabat satu-satunya."Aku akan s
Setelah selesai mengobrak-abrik kamar Sang Adik, Ira menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan mata dengan paksa, merenungkan setiap detik kesalahan yang telah terjadi. Terlihat jelas saat ini, Ira sangat pusing menghadapi satu persatu ujian yang datang, di saat semangat ini kembali hidup, di sisi lain terjadi hal yang sama sekali tidak dia inginkan, membuat dirinya kembali merasakan jatuh untuk kedua kalinya.Dia mengingat kembali perlakuan beberapa hari lalu terhadap Alva, pasti selama ini Alva sudah cukup bersabar menghadapi Ira yang keras kepala, hingga akhirnya Alva memilih untuk pergi."Alva, maaf."Jeritan yang tak mungkin bisa di dengar oleh siapa pun, Ira tertunduk menekuk kedua lututnya, memeluk erat tubuh yang hampa dalam duka mendalam. Selintas potret Alva melintas dalam pikirannya, tawa, kesal, bahagia dia kembali mengingat semuanya, hampa begitu terasa, sekarang dirinya benar-benar sendirian, tak ada siapa pun yang bisa menjadi pengganti yang hi
DI RUMAH LINGGA...Heira Attaya, gadis itu kini sedang menggusur koper berisikan sebagian barang-barangnya menuju sebuah rumah mini malis di depan jalan raya tak jauh dari rumahnya. Di hadapannya kini terlihat sebuah rumah yang tidak begitu mewah, dengan dua lantai dan sedikit hiasan di halaman rumah, membuat rumah ini terlihat simpel namun nyaman di pandang.Tak tak...Mereka mulai melangkah menuju dalam rumah. Dalam keadaan sadar sepenuhnya Ira mengikuti langkah pria di hadapannya dengan langkah yang cepat, menyesuaikan dengan langkah Lingga yang panjang."Mengapa mereka memaksaku tinggal di sini?" batin Ira tak mengerti.Cklek...Tampaklah isi dari rumah ini, tangga berkelok di sisi dinding, ruang makan dan dapur berdampingan di lantai bawah, tak lupa ruang TV di lantai bawah juga berdampingan dengan ruang tamu. Ira melihat sekeliling, setiap sudut ruangan terasa begitu nyaman dan pas untuk di tinggali berdua atau bertiga saja.
Sekarang aku harus terbiasa dengan kehadiran dia di rumah ini, walaupun ini sedikit merepotkan, apa boleh buat, aku tak bisa melihat wanita paruh baya itu kembali memohon seperti waktu itu, sangat menyedihkan, aku sama sekali tak ingin melihatnya seperti itu lagi....Lingga menyandarkan tubuh di ranjang kesayangannya, dia memejamkan mata sembari menyisir rambut dengan sela-sela jarinya. Tak bisa di pungkiri, walaupun kini usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, namun ketampanannya masih terjaga dengan sempurna."Kapan aku bermimpi hidup dengan seorang gadis bersama tanpa ikatan seperti ini?" batin Lingga.Dengan bertelanjang dada, Lingga segera melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat berat setelah melewati hari yang panjang, air hangat bercucuran dari atas seperti hujan, membasahi tubuh gagahnya yang tidak pernah terekspos oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri, merasakan air yang menetes, dia kuatkan tekad untuk meman
Malam tiba, suasana sepi rumah ini kian terasa, setelah makan malam bersama, kini pikirannya tengah menerawang alam lain di bawah kendalinya, di atas ranjang dia memeluk sebuah bantal dengan bentuk yang imut, pandangannya lurus tertuju pada sebuah lampu di langit-langit kamar, seperti sebuah mentari kecil yang menghidupkan ruangan ini."Apakah aku benar tinggal di rumah ini?" batinnya masih tidak percaya.Ira mulai membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman."Alva..."Tiba-tiba memori singkat begitu saja melintas di benaknya, tanpa di duga cairan bening keluar dari pelupuk matanya mengelir dengan sendirinya."Semua orang sudah pergi ya, huh! wanita malang...ujian apa lagi yang akan aku terima? Semuanya sudah ku coba, apakah masih ada ujian yang lebih berat dari diriku, sekirannya ada takdir pasti dengan senang akan memberikannya kepadaku, haha...lucu juga, ternyata dunia ini memang di takdirkan untuk membuatku sakit dan semakin sakit."Ir
BAK! "Tuan!" Seketika kedua orang itu membelalakkan mata, tatapan mereka tertuju pada satu arah yang sama. "Kau?" Lingga langsung memberi sinyal dengan isyarat mata kepada seorang pria di awang pintu sana. Tanpa di ketahui gadis di hadapannya. Tahu kondisi apa yang sedang di alami sekarang, pria itu pergi dengan cepat. "Siapa dia?" batin Ira penasaran. Menatap mata pria di hadapannya dengan tatapan penuh tanya. Sepasang bola mata pria itu mengelak kesembarang arah, menghindar dari apa yang mungkin akan segera gadis itu tanyakan. "Emm...kau tunggu dulu di sini," ucap Lingga kemudian bergegas pergi. Saat Kakinya menghampiri pria yang membuat kegaduhan tadi, di lihatnya pria itu tengah duduk di atas lantai, wajahnya menampakkan raut penuh cemas dan gelisah. "Ada apa?" tanya Lingga. Suara besar itu berhasil membuat pria yang sedang menggigit jarinya langsung mendongak, dia lihat ke arah suara itu beras
Lingga menatap tingkah wanita itu di depan sana tentu hal itu membuat Lingga terdiam, sesaat wajahnya menampakkan raut dingin, yah, tak perlu tahu lagi wanita ini memang sedang melakukan aksinya. Tiba-tiba Lingga menyeringai melemahkan, menatap sepasang mata polos di depan sana dengan tatapan elang. "Haha...ternyata aku ke sini hanya membuang-buang waktu saja," ucap Lingga dengan seringai tipis. Lingga menarik hendel pintu hendak pergi, tak ada gunanya lagi berada di sini, yang terjadi malah pembicaraan yang kosong tanpa arti, itu akan terus terjadi jika dirinya berusaha seperti dulu. "Kak!" Teriak Lisya tertuju pada Lingga, berusaha untuk menghentikan langkahnya. Seketika pria itu berhenti, menoleh beberapa derajat dengan senyum tipisnya dan kembali melanjutkan kegiatannya. "Berhenti!" Bentak Lisya, namun sama sekali tidak di dengar oleh Lingga, dirinya terus melangkah hingga lantai bawah. Seakan apa yang terjadi ini jauh dari perkira
Tak...tak...Langkah kecil mulai menghampiri sebuah meja dengan laptop yang tergeletak di atasnya, dalam bayangan yang tak masuk akal, seharusnya saat ini Lingga berada di depan layar itu menatap dengan tatapan indah di tambah senyuman manis yang khusus terpancar untuk Ira layak sepasang kekasih, namun sepertinya bayangan itu terlalu tinggi, dirinya kini hanya melihat benda-benda itu tergeletak tanpa penghuni, seolah menyadarkan Ira bayangan itu tidak akan pernah terjadi."Ke mana Paman?" batin Ira seraya membawa secangkir kopi di tangannya.Dia terus melangkah menuju meja, walaupun tak menemukan Lingga di sana, Ira tetap melangkah lalu menyimpan kopi di atasnya yang telah dia buat sepenuh hati untuk Sang Paman.Tak..."Apa ini?" batin Ira dalam hati tatkala melihat layar yang masih menyala, menampakkan sebuah layar di penuhi berbagai kata di dalamnya.Tatapannya langsung tertuju pada kalimat penuh penekanan itu, semakin menarik saja, Ira ma
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan