"Hiks hiks...Ibu...ayah...jangan pergi...." tangis Heira, menggoyangkan jasad kedua orang tuanya dengan kasar.
"Sabar nak, kami mengerti perasaanmu, kamu pasti kuat," ucap Bu Rani mengelus lengan Ira.
Heira menjerit histeris kala melihat kedua orang tuanya tertutup kain batik diam membeku tak berkutik, ia genggam tangan pucat di sampingnya, terasa dingin bagai embun di pagi hari, hati ini terasa tercabik menerima takdir pahit, kenyataan telah menunjukkan arah, langit terasa runtuh, kehidupan ini seakan memudar tanpa warna, beriringan dengan kilasan memori yang terasa abu, mengapa harus dia yang merasakan semua ini, mengapa takdir tidak mengizinkan dia untuk ikut pergi? Bersama ayah, ibu dan kebahagiaannya.
"Lebih baik aku ikut kalian...jangan tinggalkan aku sendiri...hiks...hiks...." batin Ira.
Bayangan silam seketika muncul dalam pikirannya. Dia masih ingat setiap bentakan, nasehat membosankan, ataupun perintah yang menyebalkan. Sekarang semua itu sangat dia rindukan.
"Aku janji, akan menjadi anak yang baik, tidak akan membantah apa pun lagi, hiks...hiks....," ucap Ira pelan.
Tangis Ira mengeras, beberapa pelayat yang menyaksikan menyeka mata mereka, kepedihan seorang gadis muda di samping jasad kedua orang tuanya terlalu pilu untuk mereka lihat.
"Kamu kuat," ucap Bu Nina sambil menyeka air mata yang mengalir begitu saja, larut dalam kesedihan.
"Aku tidak kuat....aku ingin ikut dengan mereka, aku tidak ingin sendirian, hiks...hiks..."
"Tenangkan dirimu Ira!" ucap Bu Nina menyandarkan kepala gadis itu di bahunya, mengusap dengan penuh perasaan.
"Aku tidak ingin sendiri hiks...hiks..."
"Ira tidak sendirian, ada Bu Nina, Bu Rani, Alva dan yang lainnya juga, Ira tidak sendirian." Bu Nina berusaha meyakinkan Ira.
Bugh...
Ira tergeletak tak sadarkan diri di tengah kerumunan pelayat. Beberapa orang segera menggendong tubuh gadis kecil itu menuju kamarnya.
***
Setelah beberapa saat akhirnya dia terbangun. Dengan paksa, dia membuka matanya yang terasa sangat berat.
"Ayah, ibu!" Ira langsung teringat kedua orang tuannya.
Dia segera berlari mencari sosok yang sangat di rindukan. Berharap semua yang ada dalam ingatannya terakhir kali, hanyalah mimpi.
Bak...
Ira membanting pintu dengan keras, hingga terdengar beberapa langkah dari luar.
"Ayah, Ibu?"
Ira mencari jasad kedua orang tuanya. Di ruang tengah tidak terlihat apa pun di sana. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sedang berkumpul di sini. Seketika mereka menoleh, memberikan tatapan menyedihkan kepadanya.
"Ayah dan ibu sudah di ke bumikan." Alva datang menjelaskan.
Ira menoleh ke arah adiknya dengan mata sembab.
"Ayah, Ibu?" tanya Ira, tidak percaya.
Apakah ingatan terakhirnya benar-benar nyata? Kedua orang tua yang dia miliki sekarang sudah di makamkan. Apakah ini hanya sekedar mimpi?
Tubuh gadis itu bergetar, dia mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Perlahan tubuhnya mulai turun, hingga tertelungkup di lantai dengan kepala yang tertunduk, memejamkan mata serapat-rapatnya, menahan tangis yang mungkin saja akan kembali pecah beberapa saat lagi.
Perlahan dia kembali membuka matanya, menatap adik satu-satunya yang terdiam tak bergerak sedikit pun.
"Kenapa tidak tanya dulu padaku?" Ira menaikan volumenya, menatap Alva dengan tajam.
Alva tak bergeming sedikitpun, dia menundukkan kepala, berlari dari pertanyaan yang di lontarkan kakaknya.
"Hey!" Seketika Heira bangun dari duduknya, mencengkeram kuat kerah baju Sang Adik.
Alva hanya diam menerima perlakuan Sang kakak, dalam pikiran Alva, kakaknya hanya di landa emosi sesaat, membalasnya adalah hal yang sia-sia.
Stt....
Beberapa orang yang melihat kejadian seketika melerai kedua Adik Kakak yang terlibat cekcok.
"Sudah-sudah, Ira tenang dulu."
Ira melepas cengkeraman dengan kasar. Air mata tak bisa dia bendung lagi, terus mengalir deras dengan sendirinya. Dia menatap lekat setiap wajah menyedihkan yang duduk memperhatikan dirinya dengan rasa penuh iba. Tak lupa dia menatap Pak Ustaz dan Alva secara bergantian.
"Tenang? ...Tak ada yang bisa menenangkan aku sekarang. Semua orang egois! Tidak ada yang bisa mengerti aku," bentak Heira.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya, menggema hingga memenuhi setiap penjuru ruangan.
"Ira...." ucap Pak Ustaz terpotong, seraya menatap Ira dengan tatapan sayu. Tangannya mengapung hendak mengelus gadis yang tengah dilanda emosi, berusaha menenangkannya.
"Diam!" bentak Heira.
Seketika suasana semakin hening, tak ada sedikitpun suara yang terdengar, hanya suara jarum jam yang masih terdengar samar.
Tangan Ira mengepal kuat hingga terlihat jelas garis hijau membentang di tangannya. Dia mengambil ancang-ancang, kemudian pergi, berlari sekencang-kencangnya, menghindar dari semuanya.
Tak...tak.... Tanpa sadar, langkah Ira bergerak tak tentu arah mengiringi hingar bingar jalanan kota, langkahnya tiba-tiba terhenti di jalanan ramai di sertai Kilauan lampu yang tak terhitung jumlahnya. Bola mata Ira tak lelah menelaah setiap lalu lalang manusia yang melintas, tak tergambar satupun raut wajah sedih seperti dirinya saat ini, mereka tampak bahagia dengan pasangan di sampingnya. "Semua orang tak mengerti perasaanku, gak ada yang peduli padaku! " dalam batin kecewa, mengepalkan tangan dengan kuat. Ira menatap langit. Hari semakin gelap, awan hitam memenuhi langit dengan cepat. Lalu lalang manusia perlahan berkurang berlarian tak tentu arah, hanya terlihat beberapa orang saja dengan payung di atas mereka. Tik...tik.... Setetes air jatuh tepat dalam genggamannya. Dia kembali menatap langit, dengan memicingkan mata. Tak berselang lama, hujan turun dengan deras. Hingga membasahi sekujur tubuh mungil gadis itu di tengah keramaian kota.
Keesokan harinya, Alva kembali menyajikan makanan untuk Sang Kakak. Dia melangkah dengan penuh kekhawatiran, takut apa yang dia bawa tidak di sentuh sedikit pun oleh Kakaknya seperti waktu kemarin. Tok tok... "Kak, aku masuk," ucap Alva. Di dalam sana Ira masih tertelungkup di balik selimut tebal. Setelah hari itu, dia tak memakan apa pun, di tambah lagi kondisinya saat ini sangat menghawatirkan, sekujur tubuh bercucuran keringat, hingga membasahi tempat tidurnya. "Kak, makan dulu," ucap Alva berusaha membangunkan Ira. Ira tak bergerak sedikit pun, Alva yang merasa heran, mulai menepuk pelan tubuh Sang Kakak. "Kak," ucap Alva. Karena tak mendapat tanggapan apa pun, Alva membuka selimut yang menyelimuti Ira hingga se bahu. Stt... Alva melihat kakaknya bergetar memeluk kedua lengannya. "Kak!" ucap Alva panik. Dia menyentuh kening Ira, ternyata panasnya semakin Tinggi, Alva segera lari keluar memint
Beberapa minggu yang lalu...Saat pertama kali melihatnya, jantungku tak henti berdebar, terlebih lagi ketika pria itu tersenyum, diriku hilang kendali bersama senyumnya. Setiap kali dia melintas di hadapanku, seolah inilah wujud jiwaku yang hilang dan muncul kembali bersamanya. Aku sadar, sebagai wanita tidak memiliki standar kecantikan di atas rata-rata, namun pendirianku tak akan pernah berubah, walaupun perbedaan usia di antara kita cukup jauh, hal itu tidak akan menggoyahkanku untuk menggapainya dalam genggamanku....Di balik jendela kamar, Ira melihat seseorang melintas di hadapan rumahnya dengan ransel menggantung di punggung pria tersebut."Haha...aku sangat menyukainya," cetus Ira dari balik jendela.Ira tersenyum girang melihat pria yang dia idam-idamkan selama ini, melintas di depan rumahnya.Dia berjalan menuju dapur setelah melihat kejadian singkat yang berhasil membuat jantungnya seketika berdebar, tak
Ira menatap sepasang mata indah pria tersebut, bulu mata lentik, rahang yang tegas, di tambah rambut yang tertata, sangat serasi di padukan dengan tubuh gagah dirinya. "Dia!" batin Ira terkejut. Pria itu hendak duduk di bangku, namun tanpa sengaja pandangan mata indahnya bertemu dengan seorang gadis di sana, tanpa di sadari, saat ini mereka saling beradu tatapan. "Um...." Ira langsung membuang muka ke sembarang arah, sambil berdecak memaki dirinya sendiri. "Apa yang kamu lakukan Ira!" Pria itu langsung duduk setelah melihat Ira membuang muka. Dia melepas jaket yang di kenakannya seraya merapikan rambut yang terkena percikan hujan. "Ira, ini tehnya," ucap Mas Edo. Tanpa banyak bicara, Ira langsung mendekat mengambil barang yang dia inginkan. Dia merogoh saku celana dan langsung memberikan uang kepada si penjual. Tiba-tiba suara decing logam terdengar menggelinding, jatuh dari genggamannya. "Sial!" pekik Ira dalam
DI ACARA PENYULUHAN RT 02...Sekumpulan warga telah berkumpul di sini, Pak RT beserta jajarannya sudah bersiap di tempatnya masing-masing, tak lupa Ira yang masih sekolah juga di libatkan dalam hal ini."Ira tolong ambilkan minum untuk para tamu," perintah Pak Amar."Baik Pak, sebentar," jawab Ira kemudian pergi.Warga yang datang cukup banyak hingga memenuhi ruangan yang terbilang cukup luas ini. Beberapa orang tua juga membawa buah hati mereka menuju tempat ini.Acara akan di mulai, semua sudah siap di posisinya, namun Lingga tidak terlihat menampakkan batang hidungnya menghadiri acara ini."Bagaimana, apakah harus kita mulai sekarang?" ucap Agra."Mulai saja, kita tidak tahu dia akan datang atau tidak," jelas Pak Amar.Agra menyalakan mikrofon dan mulai mengucapkan kata."Assalamualaikum WR. WB...."Tok...tok..."Maaf, apakah saya boleh masuk?" ucap Lingga dengan nada tak beraturan. Keringat terlih
Perlahan Ira mencoba menatap pria jangkung tersebut, saat dia menatap pria itu ternyata dia berada lumayan jauh dari tempat berdirinya sekarang. "Aku kira akan seperti drama-drama gitu," batinnya telah berpikir berlebihan. Walaupun tidak sesuai dengan apa yang di pikirkan, akhirnya dia bisa melihat pria dewasa ini dengan jarak yang begitu dekat. Kesempatan yang bagus akhirnya dia temukan, pertanyaan yang berada di pikirannya sejak lama belum pernah terlontar kepada siapa pun, mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan di hadapannya langsung. "Hmm...bo-bolehkah aku tahu nama paman?" tanya Ira pelan karena terlalu gugup. "Untuk apa?" Pria itu malah balik bertanya, seketika dirinya penasaran akan beberapa hal. "Hmm..itu..." jawab Ira tidak jelas, karena bingung mencari jawaban yang masuk akal. "Itu, buat daftar nama!" Ucap Ira seraya mengambil buku yang berisikan daftar orang-orang yang hadir di acara ini.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN...Ira duduk di atas kursi menikmati semangkuk bubur yang terasa manis. Entah karena ada seseorang di hadapannya atau memang bubur ini terlalu banyak gula. Raga ini bergerak dengan sendirinya mengikuti bisikan hati, padahal beberapa saat lalu tekad yang dia miliki masih kuat, kesedihan pun masih menyelimutinya mengikuti setiap langkah.Mangkuk yang di pegangnya, perlahan dia simpan, kini makanan yang di bawa Lingga lenyap dalam beberapa menit, habis tanpa sisa."Sudah?" tanya Lingga."Hmm," jawabnya dengan anggukan.Lingga membawa nampan berisi mangkuk kotor dan secangkir air putih ke dapur. Langkah pria itu dari belakang terlihat sangat dewasa, kedua lengan kemeja yang menyingsing menambah pesona luar biasa di mata Ira."Huh!"Walaupun dalam keterpurukan yang hampir menjatuhkannya dalam jurang kematian, pada akhirnya hanya karena pria itu, Ira sedikit mendapat semangat hidup. Ini memang terlihat seperti hal sed
"Aku tak mungkin berbohong kepada paman bukan?"Sekejap Lingga terdiam, menatap Alva.."Oke, aku percaya," jawabnya."Kalau begitu bisakah paman sedikit memerhatikan kakak, aku ingin melihat kakak bangkit dari kesedihannya, jika aku perlu memohon aku akan memohon sekarang juga," ucap Alva sembari hendak bersujud."Sudah, jangan!""Paman, bisa kan?" ucap Alva berharap."Tidak tahu, aku belum bisa memastikannya," jelas Lingga seraya menyandarkan punggungnya."Tolong, aku memohon kepada paman!" ucap Alva memegang tangan Lingga."Akan aku usahakan," ucap Lingga menghela nafas berat.Anak SMP ini begitu menyayangi Kakaknya, apakah Ira tahu sisi adiknya yang seperti ini? Jika sekiranya Ira tahu, perlakuannya beberapa hari ini mungkin akan sangat dia sesali di kemudian hari....Hari menjelang malam, Ira terbaring di ranjangnya usai bercurah perasaan yang menyakitkan kepada sahabat satu-satunya."Aku akan s
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan