Lama keduanya berdiam diri dalam keadaan berpelukan. Arinda menahan kantuk yang menyerangnya dengan mengerjabkan mata. Dia mendongak, menatap ayahnya yang seperti sedang tertidur.
"Tidurlah, Ayah .... Arin janji akan datang lagi, kita akan kemoterapi dan membuat ayah bisa berjalan," gumamnya sambil mengusap pipi ayahnya yang terdapat luka bakar di sana.
Luka itu sudah mengering, ayahnya mendapat perawatan dengan baik dari pihak rumah sakit ini. Karena mereka seakan menghargai perjuangannya yang rela melepaskan diri dari kuliah hanya untuk menjadi pelayan. Banyak suster yang membicarakannya, mereka kagum dengan perjuangan Arinda yang jika di lakukan bukanlah suatu yang mudah.
Arinda bergerak, bangkit melepaskan pelukannya. Mata ayahnya juga terbuka saat menyadari itu, dia menatap anaknya yang sedang memakai tas.
"Kamu mau kemana?"
Arinda menoleh, tak menyangka bahwa ayahnya bangun. Menatap mata ayahnya, dia menunduk dan
Merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Arinda menatap langit-langit yang masih sama seperti beberapa bulan terakhir. Dia menghela napas, seraya mengarahkan tangannya keatas perut dan mengusapnya pelan. "Apakah kamu memang ada?" Pertanyaan ragu kembali dia lontarkan kesekian kalinya. Sekali lagi wanita itu menghela napasnya berat, seakan menanggung beban yang tak tertahankan. "Jika memang ada, Bunda mohon jangan tunjukkan apapun tentang keberadaanmu pada orang-orang di rumah ini. Ayahmu, Bunda membencinya, Nak .... Dia bukan pria yang bertanggung jawab, buktinya sampai sekarang dia tak pernah meminta maaf," ucapnya dengan air mata yang mulai berurai. "Bunda akan membuatmu hadir ke dunia ini. Mungkin kamu lahir karena kesalahan, mungkin kamu hadir karena kelemahan Bunda. Hanya saja Bunda janji, kelemahan dan kesalahan itu takkan pernah kamu alami." "Bunda dan Kakekmu akan melakukan apapun padamu nanti. Kita akan hidup sederhana saja, di
Seminggu setelah kejadian itu, Arinda tetap tak peduli padanya. Gadis itu semakin menjauh, semakin membentangkan tembok tak kasat mata yang membuat mereka tak bisa bersisian.Seperti malam ini, Deondra menatapnya dari atas hingga bawah. Gadis itu tampak santai untuk berpamitan padanya bahwa dia akan pulang dan tidur di rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan rumah sakit. Di samping tempat tidur ayahnya, gadis itu biasa tidur di sofa seperti malam-malam sebelumnya."Biar aku mengantarmu.""Tidak perlu, anda majikan bukan sopir pribadi saya. Permisi, Tuan Muda."Mereka yang memang berpapasan di ruang tamu membuat gadis itu pamit sebentar. Saat mendengar jawaban Tuan Mudanya barusan, tak ada yang dia katakan selain sebuah kalimat yang semakin membentangkan jarak.Setelah ini, Deondra hanya bisa naik ke kamarnya dan menuju balkon. Dari sana dia bisa melihat tubuh gadis mungil itu timbul tenggelam di kegelapan malam. Sebenarn
Deondra menatapnya dengan menelan ludahnya kasar. "Ya, kau benar. Apapun itu, harapanku adalah itu sebuah keberuntungan yang bisa mendekatkanku padanya."Dia menegakkan tubuhnya, menatap Alrix yang mulai menutup dan menyimpan laptopnya."Coba kau cari tahu, apa yang membuatnya bertingkah aneh seperti itu, Alrix. Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau dia lebih dekat denganmu? Cobalah, ketuk isi kepalanya untuk mencari tahu penyebabnya.""Anda tidak mau melakukannya sendiri, Tuan Muda?""Ya, aku akan melakukannya juga. Kita bergerak bersama-sama. Tapi jangan terlalu mencurigakan, itu bisa membuatnya semakin jauh dan tak akan membuka mulutnya. Kau harus membantuku mencari tahu apa yang membuat gadis itu sedikit menjauh dariku."Alrix mengangguk, dia akan melakuan apapun yang di perintahkan Tuan Mudanya. Selama itu masih normal dan tak menyakiti siapapun, maka tak ada cara lain yang di lakukannya selain memberi dukungan.***
Pagi hari di rumah sakit, Arinda tengah menyuapi ayahnya dengan telaten. Mereka sesekali bicara, tentang kisah dulu, kisah cinta antara ayahnya dengan bundanya, kisah dia yang masuk sekolah dasar pertama kali. Recath bahkan merasakan baru semalam dia memberikan nama untuk putri yang ada di sampingnya ini. Namun, waktu begitu cepat berlalu. Bayi mungil yang selalu menangis, merengek dan manja itu, kini sudah duduk di samping ranjangnya. Dengan menggunakan hampir semua kecantikan ibunya dan juga ketegaran hati miliknya. Bayi mungil yang dulu selalu di timang-timangnya di lengan dengan istrinya yang memberikan dot berisi susu formula di mulutnya itu, kini sudah dewasa dan memiliki takdir hidup yang akan mengantarkannya ke dalam kehidupan yang sebenarnya.Setelah makan, Arinda akan mendengarkan beberapa arahan dokter yang menangani ayahnya untuk kemoterapi dasar. Beberapa hari ini dia selalu membantu ayahnya menggerak-gerakkan tangannya. Semuanya di lakukan perlahan, mengin
"Biar saya bantu."Adinda menahan tangan seorang wanita yang tengah hamil besar. Saat akan dia baru turun dari jembatan penyeberangan, tas wanita yang berjalan di depannya terjatuh. Susah payah dia menggapainya dengan membungkukkan sedikit tubuh karena perutnya yang sudah membesar.Arinda menggapai tas itu dalam posisi jongkok, menepuk debunya lalu bangkit berdiri."Ini Tante," ujarnya sopan, menyerahkan tas itu pada wanita yang menatapnya dalam."Arin?"Arinda menyibak rambutnya, menatap wajah wanita yang sedikit familiar."Arinda Arsymita Davatry? Putri dari Recath Davatry, 'kan?" tanyanya memastikan.Arinda tak langsung menjawab, dia menatap wajah wanita itu sambil berpikir. "Jangan-jangan ini salah satu pengagum Tuan Muda? Sudah dua kali aku di tandainya seperti ini," gumamnya malas."Maaf, Tante siapa, ya?"Wanita itu langsung menggenggam kedua tangan Arinda yang langs
Pukul sepuluh, pertemuan usai. Deondra sudah berjalan menuju ruangannya tanpa mempedulikan Alrix yang mengekor dan heboh sepanjang jalan di belakangnya."Ciee, Tuan Muda! Kapan acara pernikahannya?""Apakah saya perlu menyiapkan acaranya?""Gedung mewah mana yang Tuan pilih untuk menikahinya?""Apakah Tuan akan mengatakannya juga pada Arinda?""Saya di undang 'kan, Tuan?""Tuan! Tuan Muda!"Alrix menahan pintu ruangan yang di tahan Deondra dari dalam. Dia tertawa saat pintu itu tertutup, lalu menyugar rambutnya dan menghela napas."Kalau Arinda tahu Tuan mengaku-ngaku seperti ini. Entah apa yang akan dia lakukan." Mengusap wajahnya, Alrix melangkah pergi, menyelesaikan beberapa urusannya sebelum pulang dan mengadakan pertemuan di rumah Deondra sendiri.Bukan orang sembarangan, empat orang yang akan di bawa Deondra kitu adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam perusahaan milik Tuan Mudanya.
Membolak-balikan tubuhnya di antara ranjang, Arinda tidak bisa tidur lagi. Dia baru masuk setelah menyelesaikan tugas terakhir, menjelang malam dia yang baru beberapa saat terlelap sudah terbangun karena lapar.Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan saat dia meliriknya. Menyibak selimut, Arinda beranjak turun dan melangkah menuju pintu. Hari ini, karena dia yang di temukan hampir pingsan di dapur siang tadi, kepala pelayan melarangnya untuk pulang ke rumah sakit. Dia meminta Arinda untuk beristirahat agar tidak drop karena kelelahan.Karena desakannya itu, terpaksa dengan berat hati Arinda menganggukkan kepalanya dan melangkah menuju kamar. Lagipula itu untuk kebaikannya dan juga bayinya, bukan? Jadi, tidak ada salahnya jika dia menurut."Aku lapar," gumamnya pelan, mengusap perutnya sambil melangkah keluar kamar. "Kamu lapar, ya? Kita cari makanan di luar, oke?"Walaupun masih belum terlalu menerima, namun Arinda tak punya pilihan
"Kau tidak mau menawariku?" Deondra bertanya sesaat setelah kepergian kepala pelayan.Arinda menatapnya sekilas. "Memangnya Anda mau makanan murahan seperti ini?"Acuh, Arinda bertanya sambil menggigit paha ayam yang di penuhi saus. Gerakan lidahnya yang mengecap kepedasan, membuat Deondra seakan langsung bergelora. Dia menahannya susah payah, di tambah lagi gadis itu menjilat bibirnya dan juga jari-jari tangannya."Astaga, gadis ini seperti sengaja ingin menggoda diriku," batinnya sambil berdecak tanpa suara."Mau, tapi langsung dari tanganmu."Arinda menatapnya, lalu menggeleng tak percaya. "Sudah minta, tidak tahu diri!""Apa?"Arinda tak menjawab protes yang di layangkan Deondra. Santai, dia menghabiskan seporsi jumbo makanan cepat saji yang di pesannya."Memangnya di belakang tidak ada makanan sampai kau memesan makanan kurang sehat ini?" Deondra bertanya, mengalihkan isi kepalanya yang