Deondra bangkit bersama dengan insinyur pertanian yang baru saja bertukar pendapat dengannya. Melangkahkan kaki, sepatu pantofel crocodile miliknya sudah mulai terkena tanah yang di pihaknya, tapi Deondra tak terlalu mempedulikan hal itu dan tetap melangkah.
Dihadapannya ratusan hektare lahan perkebunan teh mulai berproduksi. Hembusan angin yang turun dari lereng bukit di sebelah timur terasa menyejukkan. Saat Deondra menghirupnya, dia seakan menemukan separuh jiwanya yang sempat terbenam.
"Cih, aku benar-benar bisa melupakan kemarahanku setelah sampai di desa ini." Deondra bergumam, masih berdiri di dataran yang lebih tinggi, menatap kearah bawah untuk memperhatikan para pekerja yang mulai mengolah tanah.
Saat sampai tadi, dirinya langsung merasakan aura kesejukan yang tak pernah di rasakannya di kota. Saat pertama kali menginjakkan kaki, keteduhan tempat ini sama seperti dia melihat pancaran mata dari Arinda.
Ah, Arinda. Rasanya
Sepeninggal Arinda mulut Deondra masih terkatup rapat. Sama sekali dirinya tak menyangka, bahwa gadis yang lemah lembut dan juga anggun seperti Arinda, bisa bicara seperti itu padanya.Menatap mangkuk yang disiapkan Arinda untuknya, asap tipis masih mengepul di atasnya. Tangannya mulai meraih sumpit dan menjepit satu potong daging yang ada di sana."Apa dia bilang tadi? Karma?" Deondra berkata santai, menatap potongan iga yang di angkatnya dari mangkuk. "Aku tidak akan terkena karma, siapa yang berani melakukannya padaku?"Senyum miring tercetak di wajahnya, sebelum akhirnya Deondra menyantap potongan daging yang di pegangnya itu. Empuk, rasa daging yang sudah di kunyahnya terasa enak. Tak pernah Deondra menyantap makanan seenak ini, walaupun hati dan egonya menyangkal ucapan pujian yang akan di keluarkannya."Lagipula soal ketampanan dan juga kekayaanku, kita lihat saja sampai kapan dia mampu bertahan jika aku terus menerus membua
Arinda membuka ikat rambutnya saat sudah sampai di kamar. Menggerakkan leher, tulangnya berderak pelan, hingga dia mengusapnya lega."Dia mengingat kejadian malam itu rupanya," ucapnya seorang diri, lalu memutar tubuh untuk mengunci pintu kamar. "Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu padaku, tidak punya harga diri," lanjutnya, kemudian menghela napas.Berjalan menuju handuk, Arinda meraihnya dan mulai berjalan ke kamar mandi. Di dalam, dirinya masih terus berpikir tentang antisipasi yang akan dia lakukan jika Deondra tetap berulah."Kau tidak mendatangiku setelah malam itu? Kenapa?"Pertanyaan dengan nada lembut dan sedikit menjijikkan dari mulut Tuan Mudanya terngiang, membuat Arinda berdecih jijik sekaligus geram."Dia kira siapa dia? Sampai aku harus mendatanginya setelah dia merenggut kesucianku. Lalu, jika benar aku mendatanginya, aku harus bersimpuh lagi di bawah kakinya? Cih, cukup sekali. Hal itu takkan pernah terjadi
Di rumah sakit, para dokter sudah bersibuk ketika melihat pergerakan kecil dari pasien di kamar nomor dua belas. Awalnya seorang suster lelaki tengah membantu membersihkan tubuh pasien itu, namun dia tak sengaja menjatuhkan washlap. Ketika berusaha meraihnya, suster langsung memposisikan dirinya separuh berjongkok karena washlap itu ada di lantai di bawah lantai. Sesaat ketika mencoba meraih washlap, sebelah tangannya yang bersangga di pinggiran ranjang seakan di sentuh oleh tangan yang basah. Hal itu sukses membuatnya kaget, hingga akhirnya suster yang sudah meraih washlap itu langsung menegakkan tubuhnya dan melihat dengan jelas pergerakan tubuh bagian tangan dari pasien yang sudah koma hampir tiga bulan. Tanpa pikir panjang, suster itu langsung berlari keluar dan melaporkan apa yang di lihatnya pada dokter.Pemeriksaan ulang di lakukan untuk mengetahui kondisi dari pasien. Setengah jam melakukan pemeriksaan, akhirnya Dokter itu menghela napasnya pelan. "Ada sedikit k
Deondra tersenyum mendengar pertanyaan Alrix, masih dengan gaya arogan, dia berkata. "Tentu saja, aku yakin ini akan menyenangkan."Setelah Deondra mengatakannya, tidak ada lagi yang bersuara di antara mereka. Hanya suara lift yang terus turun, mengantarkan keduanya menuju restoran bawah. Namun, baru saja akan keluar, dari ujung sana Deondra sudah melihat seseorang yang amat familiar di matanya. Tanpa ekspresi apapun, Deondra terus melangkah hingga jarak mereka semakin dekat."Kenapa dia kemari?" Deondra bertanya malas, masih melangkah santai dengan Alrix yang mengekor di belakangnya."Tidak tahu Tuan, tidak ada janji." Alrix meraih ponselnya, memeriksa pesan terakhir antara dirinya dengan Sudash.Ya, Sudash. Lelaki tegap tinggi itu tengah berjalan dengan snelli putihnya yang menambah pesona. Dengan penuh senyuman ramah dan wajah cerah, tentu saja. Bukankah mereka memang kumpulan pria baik hati dulu? Hanya saja Deondra berubah dan
Deondra menggerakkan lehernya yang terasa pegal, hingga bunyi tulang beradu dapat terdengar di telinganya. Sehabis mandi, tubuh yang tadinya lelah kini sudah menjadi segar. Bahkan kepalanya yang tadi terasa berat dan seakan ingin pecah sudah mulai jernih dengan pikirannya yang tenang.Meraih baju santai di lemari walk in closet, Deondra memakainya sambil menatap cermin lebar di hadapannya. Piyama tidur berwarna putih dengan kerah yang menampilkan urat-urat lehernya hingga ke dada. Setelah menyisir rambut, Deondra melangkah keluar dari walk in closet. Menutup kembali pintu kamar, Deondra melangkah santai berniat menuju ruang makan."Tuan Muda."Langkah Deondra terhenti, saat melihat Alrix justru menaiki tangga yang baru separuh di turuninya. Kelap-kelip lampu kristal yang tergantung di atas kepalanya, serta ruangan yang di dominasi berwarna cokelat muda terlihat semakin mewah. Apalagi dengan adanya tangga melingkar dengan susunan karpet merah di
"Arin!" Alrix berseru, dia langsung berlari saat mendengar teriakan Arinda yang kesekian kalinya.Dia memang tidak jauh, hanya di balik pintu. Rasa penasaran membuatnya harus menguping. Hal apa yang di bicarakan oleh kedua orang yang tertinggal di ruang makan itu. Dan, seperti tertampar keras, Alrix mendengar sendiri ungkapan Arinda dan Tuan Mudanya tentang kejadian malam kelam yang telah di lalui oleh Arinda akibat ulah dari Tuan Mudanya sendiri."Tuan Alrix ...." Lirih suara Arinda terdengar, pisau itu langsung terlepas dari tangannya ketika Alrix merampasnya dan membuangnya ke lantai.Hening, hanya isakan tangis Arinda yang terdengar mengisi ruang lenggang yang melingkupi mereka. Di belakang Alrix, Deondra sudah seperti orang yang tak bisa mengatakan apapun. Dia dapat melihat dengan jelas betapa hancurnya gadis di hadapannya ini dengan tangis dan juga tindakan bunuh diri. Sesakit itukah perasaannya?"Maafkan saya ...," ucapnya l
Setelah terdiam beberapa saat di atas tangga, Alrix memutuskan turun. Menuju kamarnya yang memang ada di rumah ini, dia memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri."Bagaimana bisa? Kenapa Anda berbuat sejauh ini Tuan Muda? Apakah ini benar-benar sebuah rasa cinta? Atau, hanya nafsu saja?"Entahlah, rasanya Alrix saja sudah seperti orang gila memikirkannya. Bagaimana keadaan Arinda? Itulah yang dia pikirkan saat ini.Berendam di jam malam yang semakin larut Alrix lakukan sambil merenung. Apa yang di dengarnya di ruang makan tadi masih terngiang-ngiang. Apakah setelah ini semua kehidupan baru Tuan Mudanya akan di mulai? Entahlah. Mendengar ucapan dan juga perkataan dari Deondra setelah di tinggalkan Arinda, rasa-rasanya Alrix kurang yakin jika Tuan Mudanya akan sadar secepat perkiraannya."Aku akan menemui gadis itu besok. Setelah kejadian ini, aku tidak akan membiarkan dia menjadi pelayan yang sebenarnya. Tuan Muda juga harus bert
Rutinitas pagi yang melelahkan kembali berjalan di rumah utama. Dua puluh orang pelayan yang terbagi antara lelaki dan perempuan sudah bergerak, mengerjakan tugas masing-masing. Tak terkecuali Arinda, walaupun malam di lewatkannya dengan sebuah kejadian yang tak mengenakkan, gadis itu tetap tahu tugasnya. Dia bertanggung jawab, takkan memperdaya siapapun untuk mendapatkan sebuah kemudahan hanya karena ulah Tuan Muda. Karena, Arinda sendiri tak pernah bisa menerima perbuatan Tuan Mudanya itu dengan lapang dada. Jadi, untuk apa dia berulah dan mencoba menjadi wanita yang hebat setelah ternoda? Bukankah Deondra sendiri pun tak ada niat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?Alrix sudah bangun sejak jam lima pagi, mengurus beberapa hal terkait urusan pertemuan dengan pengusaha besar dari luar negeri yang akan di adakan siang ini. Bergerak cepat menghubungi beberapa bawahannya untuk melakukan penelusuran, tentang Ayah Arinda yang di rawat di sebuah rumah sakit ternama.&
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi