Vanessa mengerjap dan terbangun. Terang yang masuk dari celah gorden jendela, cukup membuat alam bawah sadarnya bereaksi, memberi tahu bahwa pagi sudah datang.
Dirasa Vanessa tubuhnya keram dan sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tangan yang memeluknya semalaman sudah tak ada lagi. Ia terbangun sendiri. Tak disangka rasa lelah dan berendam sesaat malah membawanya pada tidur yang sangat nyenyak.
Diarahkan Vanessa mata ambernya menatap ke sekeliling kamar. Ia bangun, menarik selimut hingga ke dada, lalu berubah ke posisi duduk.
“Sudah bangun?”
Suara barriton berat itu mengagetkannya. Damian keluar dari pintu samping di kamar itu. Nampak segar dengan dibalut jas merah maron gelap yang berpadu dengan dasi abu-abu. Pria ini punya selera bagus dalam berpakaian. Bahkan Vanessa cukup terpesona memandangnya.
Damian mendekat. Ia duduk di samping Vanessa. Tangan itu memegang lututnya. “Maaf, harus meninggalkanmu. Aku punya urusan sebentar.”
Vanessa tak menjawab. Hanya memandang wajah segar lelaki itu, juga menikmati aroma after Shave mentol yang tercium sangat kental. Dia begitu maskulin dengan pembawaannya. Pria confident dengan sejuta pesona yang mendominasi.
Tatapan hazel Damian menyelusup ke mata amber Vanessa. Ia memegang pipi wanitanya lembut. Lalu berpindah ke rahang halus itu. Diperiksanya ada bekas biru dari jemarinya yang mencengkeram terlalu kuat semalam.
Ia menyipitkan mata sedikit. Lalu menekan ke arah lebam.
“Sshh.” Vanessa meringis sakit saat merasakan jari-jari lelaki itu di pipinya.
Damian mendesahkan napas berat. Tatapannya kembali pada mata Vanessa. “Albert akan memberikanmu obat untuk rasa sakitnya. Kamu juga bisa meminta bantuannya untuk apa pun. Lakukan apa saja yang kau inginkan saat aku pergi.”
Vanessa menyimak. Namun, ia hanya balas memandang tatapan penuh makna itu.
Jemari Damian kemudian membelai wajah mulus Vanessa. Jempolnya, menjelajah di sekitar pelipis dekat mata. “Kamu punya warna mata yang indah. Aku rasa ini dari ibumu, bukan?”
Damian lalu turun memandang ke arah bibir ranum istrinya. Ia memajukan wajah dengan perlahan, dan meski ini di luar rencana, Damian menyatukan bibirnya ke sana. Mengambil manis yang ingin ia cecap lagi pagi ini.
Vanessa berdiam saat dirinya dicium. Rasanya begitu menggoda seperti semalam. Sampai, ia terbawa menutup mata.
Damian menghentikannya. Napas itu berat seperti frustrasi. Kepalanya tertunduk. Ada rambut yang menjuntai di dahi itu. Tangan Vanessa gemas ingin mengembalikannya di posisi semula. Namun, kemudian urung saat dilihatnya sang suami terlihat makin tampan dengan untaian kecil pengganggu.
“Aku pergi!” kata itu keluar dari bibir seksi Damian. Ia merapikan rambutnya sendiri ke atas. Lalu segera beranjak dari sana.
Saat sosok tegap itu keluar. Barulah Vanessa merasa dunianya telah terhenti sejenak. Bagaimana bisa ada seorang lelaki yang dalam sekejap membuat ia lupa caranya bernapas?
Diembuskan Vanessa udara panjang dari mulut. Ia merasakan debaran jantungnya memicu cepat. Lalu perlahan-lahan kembali tenang.
Wajah itu lanjut tertekuk. Mata Vanessa jatuh pada perban yang melingkari pergelangannya. Ia hanya berharap ini segera sembuh. Sebab sesuai perjanjian yang ia ajukan. Vanessa akan menikah dengan Damian, dengan satu permintaan. Ia tetap diizinkan bekerja.
Vanessa sangat mencintai pekerjaannya sebagai guru Taman Kanak-kanak. Ia merasa hidup. Apalagi pekerjaannya itu membuat ia bisa melihat senyuman ceria anak-anak yang menggemaskan. Menyambutnya dan memanggil namanya dengan suara yang melengking lucu.
Mengingat semua itu, ada senyuman terbit di bibir manisnya. Ia bahkan sudah merindukan para murid. Melupakan sejenak kenyataan pahit yang ia alami saat ini.
Entah, nanti apa yang akan dilakukan Damian lagi padanya. Mengingat semua ancaman yang terlontar dari mulut suaminya itu saja, sudah membuat ia kembali merinding.
Vanessa memejamkan mata. Menggeleng untuk mencoba mengusir segala rasa takut yang menghantui.
Seketika itu juga ia kembali mengingat tentang Arley. Lelaki dengan senyum teduh yang selalu membuat hatinya hangat. Pria humoris dan manis yang setiap hari menunggu salah satu murid kesayangannya pulang sekolah.
Amelia Graham, gadis kecil berkuncir dengan wajah manis dan mata abu-abu yang memukau. Ia kehilangan kedua orang tuanya dua tahun lalu. Arley, menjadi kakak sekaligus orang tua bagi muridnya itu.
Mereka memulai hubungan lebih dekat dari sana, mulai sering bertemu, sampai rasa iba berubah jadi cinta. Seorang pria yatim piatu yang membesarkan sang adik sendirian.
Vanessa menarik napas panjangnya. Apa yang sedang ia pikirkan? Bahkan mengingat tentang Arley, kini membuat hatinya sedih. Vanessa harus sadar bahwa dirinya sudah menikah sekarang. Ia bukan lagi Vanessa Haven yang dulu, seorang gadis penyayang anak-anak yang mencintai pemuda biasa. Ia sudah menjadi seorang Mrs. Dalton. Pria terkaya di negara ini.
Siapa yang tidak mengenal Dalton’s enterprises. Perusahaan multinasional yang memiliki saham di banyak bidang. Mereka penguasa ekonomi. Perusahaan menengah milik ayahnya, hanya sebagian kecil dari yang bisa mereka kuasai.
Dan kini ia terjebak pada salah satu pewaris.
Sungguh sebuah ironi, di saat banyak wanita yang memimpikan semua kemewahan yang bisa didapat dengan menjadi anggota keluarga Dalton, malah gadis sepertinya yang memiliki. Padahal ia hanya ingin hidup bahagia dan sederhana. Ini mimpi orang lain, bukan mimpinya. Ia tidak ingin merenggutnya. Ini terpaksa, bahkan tidak pernah tersirat dalam otaknya yang sederhana.
Orang lain yang memiliki ambisi itu, sudah pasti akan menatapnya dengan iri. Bahkan ia bisa melihat semua pandangan penghakiman di pesta mewahnya saat menikah. Damian Dalton, pria di balik semua majalah bisnis itu sekarang menjadi suaminya.
Lelaki yang mungkin hanya wajahnya saja yang diketahui orang, tapi untuk mengenal? Tentu hanya orang-orang penting.
TokTokTok.
Tiba-tiba suara ketukan pintu kembali membuyarkan lamunannya. Vanessa mengerjap. Menatap ke arah ketukan itu.
Terdengar dari luar seseorang berucap, “Nyonya Vanessa? Ini saya Albert. Saya membawakan Anda sarapan. Apa saya bisa masuk?” Ia meminta izin terlebih dahulu.
Vanessa menarik napas panjang. Dirapikannya bathdrob yang ia kenakan semalam. Mengeratkan lagi tali ikatan di pinggang, lalu berusaha untuk menjawab.
“Masuk.” Vanessa berdeham kemudian. Baru disadari suaranya telah berubah begitu serak. Bahkan satu kata tak bisa terucap dengan benar. Kembali ia berucap dengan sedikit lebih lantang. “Masuk, Albert.”
Bunyi klik pintu terbuka pun terdengar. Pria paruh baya berwajah teduh itu pun masuk dengan senyum yang hangat. Ia membuka pintu lebih lebar, dan pelayan berseragam lain langsung mengikuti sambil membawa baki berkaki.
Di belakang gadis pelayan itu pun, muncul pula para pelayan yang lain, membawakan sebaskom air hangat beraroma lavender dan papermint. Vanessa bisa menghirupnya dari jauh.
“Ini sarapan Anda, Nyonya Vanessa,” lagi ucap Albert.
Pelayan itu pun meletakkan baki sarapan di atas kaki Vanessa. Dua tungkai meja kecil itu langsung mengurung pahanya yang merapat.
Mata amber Vanessa menyiratkan penuh tanya tanya pada Albert.
Lelaki itu tersenyum lagi, sembari menyatukan dua tangan di depan tubuh. “Mereka akan melayanimu, Nyonya Vanessa. Dokter keluarga juga akan datang tiga puluh menit lagi. Ia akan menunggu sampai Anda selesai sarapan untuk mengecek kesehatan Anda.”
Vanessa mengangguk. Mendengar kata Dokter entah kenapa membuat ia tenang. Seseorang akan mengobati, dan itu hal yang baik.
“Ah, dan jangan lupa, setelah itu Anda harus bersiap-siap, Nyonya Vanessa. Dua pelayan ini akan membantu Anda untuk menyiapkan pakaian.”
Vanessa seketika mengernyit. “Bersiap-siap ...? Untuk apa?”
Lagi senyuman manis terulas di bibir Albert. Membuat garis hidungnya nampak jelas. “Hari ini, keluarga besar Dalton akan datang untuk makan siang bersama.”
TO BE CONTINUEDVanessa menyantap sarapannya. Ia menghabiskan bubur tiram dan roti iris dengan butter yang terasa begitu menggoda selera. Selain itu, ia juga menyantap telur dan bacoon, semua makanan lezat itu pun ditutup dengan tegukan jus jeruk yang menyegarkan.Ia mungkin tak pernah makan sebanyak ini. Apa yang terjadi semalam, juga pergulatan batin, membuat ia menghabiskan banyak energi. Ia butuh kalori. Perutnya meminta lebih. Dan itulah yang terjadi.Setelah merendam kaki di air garam hangat yang mengandung essential oil. Vanessa pun pergi mandi sendiri.Sudah cukup ia menurut dan menerima pelayanan terkait perawatan kaki itu. Pelayan yang membantunya, bahkan menambahkan embel-embel akan dipecat jika tak melayani dengan baik. Ia meyakinkan Vanessa bahwa ini sudah tugasnya. Dan harus ia lakukan.Sebenarnya, merendam kaki bukan masalah, tapi Vanessa merasa tak enak saja jika area yang dipakai menginjak lantai, turut disentuh dan dipijat oleh orang lain, yang derajatn
Tubuhnya terbakar. Namun, bukan dengan api.Dalam ketidakberdayaannya, Vanessa Haven hanya bisa melemaskan diri agar rasa sakitnya berkurang. Ia tengah ditindih oleh pria berbadan besar dengan otot-otot padat yang menyembul di dadanya yang kekar. Tubuh bagian atas lelaki itu telanjang, dan ia masih mengenakan celana kain hitam yang dipakai saat acara pernikahan.Beberapa jam yang lalu Vanessa berpura-pura tidur untuk menghindari malam pertama yang tidak diinginkan. Hati gadis itu masih belum siap, ia terpaksa menikahi Damian, demi sang ayah tercinta, James Haven. Jika benar malam ini harus terjadi, ia pun berharap dapat diperlakukan secara lembut dan mesra seperti pasangan yang saling mencinta.Wanita bertubuh ramping itu jadi benar-benar terlelap setelah lama menutup mata dalam sandiwara. Dan begitu ia terbangun, tangannya sudah menyatu dengan jeruji kayu pada sandaran tempat tidur. Ikat pinggang bertepian keras menjadi pengganti tali.Vanessa terkejut. Mata
“Apa kau siap untuk ke tahap selanjutnya?”Tatapan mata amber Vanessa bergoyang mendengar bisikan itu. Hatinya terus bertanya-tanya. Hal apa yang ada di tahap selanjutnya? Apakah kenikmatan? Ataukah kesakitan?Ia bahkan tak berdaya dengan tangan terikat. Pria itu dapat bebas melucuti semua yang Vanessa kenakan jika ia mau.Sejak awal masuk ke kamar ini. Vanessa hanya diantarkan oleh salah satu pelayan Damian, Albert, setidaknya nama itu yang Vanessa ingat, pria paruh baya berambut putih yang memiliki senyum lembut. Cukup membantu menghangatkan suasana mencekam yang dengan alamiah tercipta di sini.Begitu pria itu pamit, dengan sengaja Vanessa bergegas menanggalkan pakaian pengantin. Ia menggantinya dengan piyama.Masih jelas dirasakan Vanessa, bulu roma yang berdiri saat matanya memandang ke sekeliling. Kamar tempatnya terjebak bahkan tak memiliki penerangan yang cukup. Temaram. Sekelilingnya didominasi dengan warna merah dan hitam. Ranjang tempat ia be
Vanessa mengerjap saat Damian menjauhkan lagi tangannya. Tanpa sentuhan hangat rasanya kembali meninggalkan perih. Mata Vanessa berair. Ia perlahan mulai merasakan sakit juga di tungkai dan area kewanitaannya.Air mata kembali keluar di mata amber yang indah itu. Vanessa menunduk. Bahunya semakin gemetar.Ditatap Damian wajah Vanessa dengan lekat. Lalu menaikkan sebelah tangannya menyentuh pipi lembut itu.Vanessa terjingkat dan menjauh. Refleks.Damian tak memaksa kali ini, ia malah tetap bersikap tenang. Dengan perlahan, diturunkannya kaki dari ranjang. Lelaki itu berdiri dengan tubuh telanjang. Vanessa menatap tubuh itu menjulang tinggi, dia begitu besar dan padat. Pantaslah Vanessa merasa remuk.Damian berjalan ke arah lemari hitam yang ada di sana. Ia mengeluarkan piyama dan memakainya. Keagungannya sebagai lelaki terasa begitu kental.Pemandangan berakhir. Dengan cepat ia kembali. Menatap Vanessa yang masih tertunduk sambil melindungi dada d
Vanessa menyantap sarapannya. Ia menghabiskan bubur tiram dan roti iris dengan butter yang terasa begitu menggoda selera. Selain itu, ia juga menyantap telur dan bacoon, semua makanan lezat itu pun ditutup dengan tegukan jus jeruk yang menyegarkan.Ia mungkin tak pernah makan sebanyak ini. Apa yang terjadi semalam, juga pergulatan batin, membuat ia menghabiskan banyak energi. Ia butuh kalori. Perutnya meminta lebih. Dan itulah yang terjadi.Setelah merendam kaki di air garam hangat yang mengandung essential oil. Vanessa pun pergi mandi sendiri.Sudah cukup ia menurut dan menerima pelayanan terkait perawatan kaki itu. Pelayan yang membantunya, bahkan menambahkan embel-embel akan dipecat jika tak melayani dengan baik. Ia meyakinkan Vanessa bahwa ini sudah tugasnya. Dan harus ia lakukan.Sebenarnya, merendam kaki bukan masalah, tapi Vanessa merasa tak enak saja jika area yang dipakai menginjak lantai, turut disentuh dan dipijat oleh orang lain, yang derajatn
Vanessa mengerjap dan terbangun. Terang yang masuk dari celah gorden jendela, cukup membuat alam bawah sadarnya bereaksi, memberi tahu bahwa pagi sudah datang.Dirasa Vanessa tubuhnya keram dan sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tangan yang memeluknya semalaman sudah tak ada lagi. Ia terbangun sendiri. Tak disangka rasa lelah dan berendam sesaat malah membawanya pada tidur yang sangat nyenyak.Diarahkan Vanessa mata ambernya menatap ke sekeliling kamar. Ia bangun, menarik selimut hingga ke dada, lalu berubah ke posisi duduk.“Sudah bangun?”Suara barriton berat itu mengagetkannya. Damian keluar dari pintu samping di kamar itu. Nampak segar dengan dibalut jas merah maron gelap yang berpadu dengan dasi abu-abu. Pria ini punya selera bagus dalam berpakaian. Bahkan Vanessa cukup terpesona memandangnya.Damian mendekat. Ia duduk di samping Vanessa. Tangan itu memegang lututnya. “Maaf, harus meninggalkanmu. Aku punya urusan sebenta
Vanessa mengerjap saat Damian menjauhkan lagi tangannya. Tanpa sentuhan hangat rasanya kembali meninggalkan perih. Mata Vanessa berair. Ia perlahan mulai merasakan sakit juga di tungkai dan area kewanitaannya.Air mata kembali keluar di mata amber yang indah itu. Vanessa menunduk. Bahunya semakin gemetar.Ditatap Damian wajah Vanessa dengan lekat. Lalu menaikkan sebelah tangannya menyentuh pipi lembut itu.Vanessa terjingkat dan menjauh. Refleks.Damian tak memaksa kali ini, ia malah tetap bersikap tenang. Dengan perlahan, diturunkannya kaki dari ranjang. Lelaki itu berdiri dengan tubuh telanjang. Vanessa menatap tubuh itu menjulang tinggi, dia begitu besar dan padat. Pantaslah Vanessa merasa remuk.Damian berjalan ke arah lemari hitam yang ada di sana. Ia mengeluarkan piyama dan memakainya. Keagungannya sebagai lelaki terasa begitu kental.Pemandangan berakhir. Dengan cepat ia kembali. Menatap Vanessa yang masih tertunduk sambil melindungi dada d
“Apa kau siap untuk ke tahap selanjutnya?”Tatapan mata amber Vanessa bergoyang mendengar bisikan itu. Hatinya terus bertanya-tanya. Hal apa yang ada di tahap selanjutnya? Apakah kenikmatan? Ataukah kesakitan?Ia bahkan tak berdaya dengan tangan terikat. Pria itu dapat bebas melucuti semua yang Vanessa kenakan jika ia mau.Sejak awal masuk ke kamar ini. Vanessa hanya diantarkan oleh salah satu pelayan Damian, Albert, setidaknya nama itu yang Vanessa ingat, pria paruh baya berambut putih yang memiliki senyum lembut. Cukup membantu menghangatkan suasana mencekam yang dengan alamiah tercipta di sini.Begitu pria itu pamit, dengan sengaja Vanessa bergegas menanggalkan pakaian pengantin. Ia menggantinya dengan piyama.Masih jelas dirasakan Vanessa, bulu roma yang berdiri saat matanya memandang ke sekeliling. Kamar tempatnya terjebak bahkan tak memiliki penerangan yang cukup. Temaram. Sekelilingnya didominasi dengan warna merah dan hitam. Ranjang tempat ia be
Tubuhnya terbakar. Namun, bukan dengan api.Dalam ketidakberdayaannya, Vanessa Haven hanya bisa melemaskan diri agar rasa sakitnya berkurang. Ia tengah ditindih oleh pria berbadan besar dengan otot-otot padat yang menyembul di dadanya yang kekar. Tubuh bagian atas lelaki itu telanjang, dan ia masih mengenakan celana kain hitam yang dipakai saat acara pernikahan.Beberapa jam yang lalu Vanessa berpura-pura tidur untuk menghindari malam pertama yang tidak diinginkan. Hati gadis itu masih belum siap, ia terpaksa menikahi Damian, demi sang ayah tercinta, James Haven. Jika benar malam ini harus terjadi, ia pun berharap dapat diperlakukan secara lembut dan mesra seperti pasangan yang saling mencinta.Wanita bertubuh ramping itu jadi benar-benar terlelap setelah lama menutup mata dalam sandiwara. Dan begitu ia terbangun, tangannya sudah menyatu dengan jeruji kayu pada sandaran tempat tidur. Ikat pinggang bertepian keras menjadi pengganti tali.Vanessa terkejut. Mata