Vanessa mengerjap saat Damian menjauhkan lagi tangannya. Tanpa sentuhan hangat rasanya kembali meninggalkan perih. Mata Vanessa berair. Ia perlahan mulai merasakan sakit juga di tungkai dan area kewanitaannya.
Air mata kembali keluar di mata amber yang indah itu. Vanessa menunduk. Bahunya semakin gemetar.
Ditatap Damian wajah Vanessa dengan lekat. Lalu menaikkan sebelah tangannya menyentuh pipi lembut itu.
Vanessa terjingkat dan menjauh. Refleks.
Damian tak memaksa kali ini, ia malah tetap bersikap tenang. Dengan perlahan, diturunkannya kaki dari ranjang. Lelaki itu berdiri dengan tubuh telanjang. Vanessa menatap tubuh itu menjulang tinggi, dia begitu besar dan padat. Pantaslah Vanessa merasa remuk.
Damian berjalan ke arah lemari hitam yang ada di sana. Ia mengeluarkan piyama dan memakainya. Keagungannya sebagai lelaki terasa begitu kental.
Pemandangan berakhir. Dengan cepat ia kembali. Menatap Vanessa yang masih tertunduk sambil melindungi dada dan tubuhnya. Berusaha menutupi ketelanjangan sebisa mungkin.
Dilihat Vanessa ada bercak darah di pahanya. Mengalir dari tempat terpenting yang selalu ia jaga. Hatinya bagai teremas melihat itu. Sesak! Namun, inilah kenyataan yang harus dihadapi. Ia resmi menjadi istri dari seseorang yang tidak ia cintai. Tubuh yang dulunya dijaga untuk Arley, kini telah dimiliki orang lain.
“Pakai lagi piyamamu. Kita obati lukanya.” Suara penuh dominasi itu kembali menggema.
Vanessa hanya terdiam. Dirinya bagai sudah dihancurkan. Seandainya bisa, ia lebih memilih tinggal dan kembali meringkuk. Menangisi kegadisannya.
Namun, Damian mendekat. Ia memeluk tubuh mungil Vanessa dan membuat istrinya itu merasanya nyaman dan hangat. Menghentikan sebentar getaran tubuh yang tercipta.
Vanessa luluh sesaat. Damian kemudian mengambil piyama Vanessa yang dibukanya tadi. Lalu dipakaikan kembali ke tubuh itu. Tanpa tendeng aling-aling, ia menyelusupkan tangannya ke bawah lutut, dan merangkul punggung itu dengan erat.
Kembali Vanessa terkejut. Dalam sekali bangkit, tubuh mungilnya sudah berpindah ke lengan kekar Damian.
Akan dibawa ke mana lagi dia?
“Turunkan aku!” Suara Vanessa parau. Hanya mencoba melawan dengan tubuh yang gemetar. Bagai anak anjing yang terjebak di jurang. Ketakutan, dan hanya bisa menyalak.
Damian tak memusingkan. Ia berjalan dengan tenang keluar dari kamar temaram berdominasi hitam dan merah tersebut.
“Kau akan membawaku ke mana? Turunkan aku,” pinta Vanessa lagi.
Damian hanya diam. Tak peduli bagaimana tubuh lemah Vanessa mencoba meronta. Tak ada arti untuk tenaga lelaki yang pastinya jauh lebih besar.
Kini wanita itu dibawa Damian ke dalam sebuah kamar yang terlihat lebih manusiawi. Terang dengan design yang lebih elegan dan nyaman. Bagai hotel bintang lima, yang dilapisi seprei putih dan gorden keemasan yang cantik.
Damian meletakkan tubuh istrinya ke atas ranjang dengan perlahan.
Vanessa terdiam dan menatap pria yang kini menjadi suaminya itu.
Damian berjalan mendekati nakas dengan laci. Ditarik lalu dikeluarkannya kotak obat dari sana. Bagai sudah tersedia semua kelengkapan di sini. Hati Vanessa pun bertanya-tanya. Apa mungkin semua ini sudah direncanakan? Tindakannya menyetubuhi Vanessa dengan tangan terikat pun, mungkin sudah diniatkan sejak awal.
Lelaki itu kembali, menuangkan cairan antiseptik ke atas kapas. Lalu menarik tangan Vanessa. Mengusapkan kapas itu di atas luka gores.
Ada perih saat benda steril berserat putih itu menyentuh. Sesekali ia refleks menarik tangan. Namun, terasa pula Damian memelankan tekanannya. Ia mengobati dengan lembut. Meski caranya memegang pergelangan, tetap saja terasa begitu erat.
Usai membubuhkan obat luka. Dilingkari Damian kain kasa di pergelangan tangan mungil itu, membentuk band tipis bagai gelang lebar.
Setelah selesai. Damian kembali menutup kotak obatnya. Ditatapnya Vanessa lagi. Mata hazel itu masih sama tajamnya. Ia bagai memeliki kemampuan untuk membuat lawan tak berdaya. Apa hal itu jugakah yang digunakan Damian untuk bisnisnya? Memikirkan lelaki ini bisa begitu sukses.
“Kamu boleh memanggilku Damian lagi,” ucapnya pelan. Lebih bersahabat.
Vanessa hanya mengedutkan alis. Apa maksud semua ini?
“Aku harap kamu menurut, agar lukamu tidak semakin banyak. Kamu sudah menjadi milikku. Dan satu perlawanan saja, kamu sudah pasti akan dihukum.”
Diangkat Vanessa kepalanya mendengarkan ancaman itu. Kenapa harus ada hukuman? Memangnya apa yang akan membuat Vanessa melawan, hingga pantas dihukum? Tatapannya penuh tanya. Namun, ia sudah terlalu lemah untuk itu.
“Kita mandi sekarang. Apa kau masih bisa berjalan?” tanya Damian. Sedikit mengernyit.
Vanessa mencoba menurunkan kakinya. Ia setengah berdiri dan ....
“Akh!” Ia meringis. Kembali terduduk. Kakinya lemah, terasa keram dan sakit di bagian dalam. Terutama di pangkal paha. Bahkan tungkai itu gemetar seperti habis memaksa diri melakukan Squad dengan repetisi beruntun.
Lelaki itu mendengkus, ia lalu mendekat, kemudian kembali mengangkat Vanessa ke atas lengannya yang kokoh.
Lagi Vanessa tak berdaya dalam pelukan itu. Berdiri saja ia tak mampu. Bagaimana ia bisa berontak? Dikutuki Vanessa ketidakberdayaannya saat ini.
***
Sebuah kamar mandi besar dengan lantai marmer dan perabot serupa ada di bagian lain kamar itu.
Damian menaruh Vanessa di dalam bath Tub, menanggalkan lagi piyamanya, kemudian menyalakan kran air yang berposisi di kaki Vanessa. Damian membiarkan tubuh itu terendam sedikit demi sedikit.
“Angkat tanganmu ke atas!” perintahnya.
Vanessa hanya memandang.
Lagi Damian mendengkus, dibawanya tangan berperban itu ke atas agar tidak terkena air.
“Pegang di sini. Atau kamu aku ikat lagi jika membantah!” tuntutnya, membawa tangan Vanessa memegang sebuah tungkai Stainless di sisi belakang bath tub itu.
Vanessa pun menurut. Ia masih membaca semua keadaan ini.
Air hangat perlahan mulai menenggelamkan kaki, lalu ke pinggul wanita bertubuh mungil itu.
Damian mengambil spons mandi yang sudah ditaruh sabun. Lalu menggosok perlahan tubuh itu dari kaki. Hingga ke dada. Beberapa kali ia meremas air hangat itu ke atas bahu Vanessa. Membiarkan busa putih menjelajah tubuh mulus sang istri.
Napas berat Damian terasa begitu dekat di telinga. Membuat Vanessa merinding dan mengencangkan pegangannya di tiang belakang kepala.
“Aku sangat menikmati apa yang kita lakukan tadi.” Tangan kekar itu kembali membelai pipi Vanessa. Ia berbicara begitu dekat. “Kamu memiliki tubuh mungil yang indah. Namun, cukup kuat untuk menahanku. Sepertinya aku tidak salah telah menikahimu.”
Napas Vanessa gemetar. “Kenapa ...? Kenapa kamu memilihku?” Wajah itu berpaling menatap Damian. “Orang sepertimu seharusnya bisa mendapatkan apa pun yang kamu mau. Kenapa harus aku?”
“Akhirnya bibir mungil ini bicara.” Ada senyum tipis di bibir Damian. “Jika aku mengatakan sudah menargetkanmu dari dulu, apa kamu percaya?” Kedipannya pelan, tapi mematikan. Tatapan dari manik hazel itu sarat akan makna.
Dahi Vanessa mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Vanessa Haven. Sudah lama aku memimpikanmu di sini. Membawamu ke ranjang spesialku, menjadikanmu tawananku. Submisifku. Menerima semua sifat dominan, dan menjadi istri di saat yang lain. Dengan demikian, kita tidak perlu kontrak untuk permainan. Biar kuingatkan.” Damian mendekat ke telinga Vanessa. Berbisik dengan suara mengintimidasi. “Khusus denganku, tidak ada kode merah. Atau apa pun untuk membuatku berhenti membuatmu menerima siksaan kenikmatan. Biar aku yang mempelajari batasanmu.” Napas itu berubah berat. “Semua agar kamu tahu, bagaimana penderitaan membawa nikmat yang berbeda. Dan kamu akan semakin ketergantungan dengan itu.”
“Penderitaan? Apa kau gila?”
“Tidak. Aku suamimu. Juga Dominant Mastermu.”
Mata Vanessa menatap dengan nanar. Bibirnya gemetar. Permainan apa yang terjadi di sini?
“Sebaiknya simpan tenagamu untuk besok. Jangan pernah berpikir untuk pergi atau apa pun itu, karena pastinya kamu tahu sendiri bagaimana posisi orang tuamu saat ini. Sebaiknya bersikap cerdas.”
Vanessa hanya bisa mengatupkan mulut kemudian.
Tangan itu kembali membelai rambut merah-oranyenya dengan sayang. “Kamu sudah melayaniku dengan baik. Meski aku banyak menahan sisi dominanku karena ini yang pertama bagimu. Ke depan, aku akan memberikanmu sesuatu yang lebih, tapi untuk sekarang biarkan aku menjadi suamimu.” Ia tersenyum, lalu melepaskan tangannya yang sudah sampai ke dagu Vanessa. “Sudah bersih. Mari keringkan tubuhmu.”
Ia mengeluarkan Vanessa dari sana. Melapisi tubuh Vanessa dengan bathdrob hangat lalu membaringkannya lagi ke ranjang empuk nan lembut itu.
“Kemarilah.” Damian ikut berbaring, kemudian menarik tubuh Vanessa dari punggung. Ia memeluk tubuh mungil itu dari belakang. Cukup erat hingga membuat Vanessa merasa lebih terlindungi.
Entahlah apa yang terjadi. Lelaki yang dinikahinya sanggup mengintimidasi. Namun, kemudian, membuat ia merasa nyaman. Ia menyakiti lalu membalut. Ia menakuti, lalu memberi rasa aman.
Jika seperti ini, apa lagi yang akan terjadi besok?
TO BE CONTINUED Hai, Tholay menulis untuk kebahagiaan & teraphy mental. Harap meninggalkan review yg positif. Jika tidak bisa, silakan pergi dengan damai tanpa menyakiti penulis dan pembaca tersayangnya. Jadilah org baik yg menghargai hasil karya org lain. Tinggalkan kritik secara personal lewat DM @Puzzle_Girl_Novel akan diterima dengan senang hati. Terima kasih dan selamat membaca bagian2 mendebarkan selanjutnya.
Vanessa mengerjap dan terbangun. Terang yang masuk dari celah gorden jendela, cukup membuat alam bawah sadarnya bereaksi, memberi tahu bahwa pagi sudah datang.Dirasa Vanessa tubuhnya keram dan sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tangan yang memeluknya semalaman sudah tak ada lagi. Ia terbangun sendiri. Tak disangka rasa lelah dan berendam sesaat malah membawanya pada tidur yang sangat nyenyak.Diarahkan Vanessa mata ambernya menatap ke sekeliling kamar. Ia bangun, menarik selimut hingga ke dada, lalu berubah ke posisi duduk.“Sudah bangun?”Suara barriton berat itu mengagetkannya. Damian keluar dari pintu samping di kamar itu. Nampak segar dengan dibalut jas merah maron gelap yang berpadu dengan dasi abu-abu. Pria ini punya selera bagus dalam berpakaian. Bahkan Vanessa cukup terpesona memandangnya.Damian mendekat. Ia duduk di samping Vanessa. Tangan itu memegang lututnya. “Maaf, harus meninggalkanmu. Aku punya urusan sebenta
Vanessa menyantap sarapannya. Ia menghabiskan bubur tiram dan roti iris dengan butter yang terasa begitu menggoda selera. Selain itu, ia juga menyantap telur dan bacoon, semua makanan lezat itu pun ditutup dengan tegukan jus jeruk yang menyegarkan.Ia mungkin tak pernah makan sebanyak ini. Apa yang terjadi semalam, juga pergulatan batin, membuat ia menghabiskan banyak energi. Ia butuh kalori. Perutnya meminta lebih. Dan itulah yang terjadi.Setelah merendam kaki di air garam hangat yang mengandung essential oil. Vanessa pun pergi mandi sendiri.Sudah cukup ia menurut dan menerima pelayanan terkait perawatan kaki itu. Pelayan yang membantunya, bahkan menambahkan embel-embel akan dipecat jika tak melayani dengan baik. Ia meyakinkan Vanessa bahwa ini sudah tugasnya. Dan harus ia lakukan.Sebenarnya, merendam kaki bukan masalah, tapi Vanessa merasa tak enak saja jika area yang dipakai menginjak lantai, turut disentuh dan dipijat oleh orang lain, yang derajatn
Tubuhnya terbakar. Namun, bukan dengan api.Dalam ketidakberdayaannya, Vanessa Haven hanya bisa melemaskan diri agar rasa sakitnya berkurang. Ia tengah ditindih oleh pria berbadan besar dengan otot-otot padat yang menyembul di dadanya yang kekar. Tubuh bagian atas lelaki itu telanjang, dan ia masih mengenakan celana kain hitam yang dipakai saat acara pernikahan.Beberapa jam yang lalu Vanessa berpura-pura tidur untuk menghindari malam pertama yang tidak diinginkan. Hati gadis itu masih belum siap, ia terpaksa menikahi Damian, demi sang ayah tercinta, James Haven. Jika benar malam ini harus terjadi, ia pun berharap dapat diperlakukan secara lembut dan mesra seperti pasangan yang saling mencinta.Wanita bertubuh ramping itu jadi benar-benar terlelap setelah lama menutup mata dalam sandiwara. Dan begitu ia terbangun, tangannya sudah menyatu dengan jeruji kayu pada sandaran tempat tidur. Ikat pinggang bertepian keras menjadi pengganti tali.Vanessa terkejut. Mata
“Apa kau siap untuk ke tahap selanjutnya?”Tatapan mata amber Vanessa bergoyang mendengar bisikan itu. Hatinya terus bertanya-tanya. Hal apa yang ada di tahap selanjutnya? Apakah kenikmatan? Ataukah kesakitan?Ia bahkan tak berdaya dengan tangan terikat. Pria itu dapat bebas melucuti semua yang Vanessa kenakan jika ia mau.Sejak awal masuk ke kamar ini. Vanessa hanya diantarkan oleh salah satu pelayan Damian, Albert, setidaknya nama itu yang Vanessa ingat, pria paruh baya berambut putih yang memiliki senyum lembut. Cukup membantu menghangatkan suasana mencekam yang dengan alamiah tercipta di sini.Begitu pria itu pamit, dengan sengaja Vanessa bergegas menanggalkan pakaian pengantin. Ia menggantinya dengan piyama.Masih jelas dirasakan Vanessa, bulu roma yang berdiri saat matanya memandang ke sekeliling. Kamar tempatnya terjebak bahkan tak memiliki penerangan yang cukup. Temaram. Sekelilingnya didominasi dengan warna merah dan hitam. Ranjang tempat ia be
Vanessa menyantap sarapannya. Ia menghabiskan bubur tiram dan roti iris dengan butter yang terasa begitu menggoda selera. Selain itu, ia juga menyantap telur dan bacoon, semua makanan lezat itu pun ditutup dengan tegukan jus jeruk yang menyegarkan.Ia mungkin tak pernah makan sebanyak ini. Apa yang terjadi semalam, juga pergulatan batin, membuat ia menghabiskan banyak energi. Ia butuh kalori. Perutnya meminta lebih. Dan itulah yang terjadi.Setelah merendam kaki di air garam hangat yang mengandung essential oil. Vanessa pun pergi mandi sendiri.Sudah cukup ia menurut dan menerima pelayanan terkait perawatan kaki itu. Pelayan yang membantunya, bahkan menambahkan embel-embel akan dipecat jika tak melayani dengan baik. Ia meyakinkan Vanessa bahwa ini sudah tugasnya. Dan harus ia lakukan.Sebenarnya, merendam kaki bukan masalah, tapi Vanessa merasa tak enak saja jika area yang dipakai menginjak lantai, turut disentuh dan dipijat oleh orang lain, yang derajatn
Vanessa mengerjap dan terbangun. Terang yang masuk dari celah gorden jendela, cukup membuat alam bawah sadarnya bereaksi, memberi tahu bahwa pagi sudah datang.Dirasa Vanessa tubuhnya keram dan sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tangan yang memeluknya semalaman sudah tak ada lagi. Ia terbangun sendiri. Tak disangka rasa lelah dan berendam sesaat malah membawanya pada tidur yang sangat nyenyak.Diarahkan Vanessa mata ambernya menatap ke sekeliling kamar. Ia bangun, menarik selimut hingga ke dada, lalu berubah ke posisi duduk.“Sudah bangun?”Suara barriton berat itu mengagetkannya. Damian keluar dari pintu samping di kamar itu. Nampak segar dengan dibalut jas merah maron gelap yang berpadu dengan dasi abu-abu. Pria ini punya selera bagus dalam berpakaian. Bahkan Vanessa cukup terpesona memandangnya.Damian mendekat. Ia duduk di samping Vanessa. Tangan itu memegang lututnya. “Maaf, harus meninggalkanmu. Aku punya urusan sebenta
Vanessa mengerjap saat Damian menjauhkan lagi tangannya. Tanpa sentuhan hangat rasanya kembali meninggalkan perih. Mata Vanessa berair. Ia perlahan mulai merasakan sakit juga di tungkai dan area kewanitaannya.Air mata kembali keluar di mata amber yang indah itu. Vanessa menunduk. Bahunya semakin gemetar.Ditatap Damian wajah Vanessa dengan lekat. Lalu menaikkan sebelah tangannya menyentuh pipi lembut itu.Vanessa terjingkat dan menjauh. Refleks.Damian tak memaksa kali ini, ia malah tetap bersikap tenang. Dengan perlahan, diturunkannya kaki dari ranjang. Lelaki itu berdiri dengan tubuh telanjang. Vanessa menatap tubuh itu menjulang tinggi, dia begitu besar dan padat. Pantaslah Vanessa merasa remuk.Damian berjalan ke arah lemari hitam yang ada di sana. Ia mengeluarkan piyama dan memakainya. Keagungannya sebagai lelaki terasa begitu kental.Pemandangan berakhir. Dengan cepat ia kembali. Menatap Vanessa yang masih tertunduk sambil melindungi dada d
“Apa kau siap untuk ke tahap selanjutnya?”Tatapan mata amber Vanessa bergoyang mendengar bisikan itu. Hatinya terus bertanya-tanya. Hal apa yang ada di tahap selanjutnya? Apakah kenikmatan? Ataukah kesakitan?Ia bahkan tak berdaya dengan tangan terikat. Pria itu dapat bebas melucuti semua yang Vanessa kenakan jika ia mau.Sejak awal masuk ke kamar ini. Vanessa hanya diantarkan oleh salah satu pelayan Damian, Albert, setidaknya nama itu yang Vanessa ingat, pria paruh baya berambut putih yang memiliki senyum lembut. Cukup membantu menghangatkan suasana mencekam yang dengan alamiah tercipta di sini.Begitu pria itu pamit, dengan sengaja Vanessa bergegas menanggalkan pakaian pengantin. Ia menggantinya dengan piyama.Masih jelas dirasakan Vanessa, bulu roma yang berdiri saat matanya memandang ke sekeliling. Kamar tempatnya terjebak bahkan tak memiliki penerangan yang cukup. Temaram. Sekelilingnya didominasi dengan warna merah dan hitam. Ranjang tempat ia be
Tubuhnya terbakar. Namun, bukan dengan api.Dalam ketidakberdayaannya, Vanessa Haven hanya bisa melemaskan diri agar rasa sakitnya berkurang. Ia tengah ditindih oleh pria berbadan besar dengan otot-otot padat yang menyembul di dadanya yang kekar. Tubuh bagian atas lelaki itu telanjang, dan ia masih mengenakan celana kain hitam yang dipakai saat acara pernikahan.Beberapa jam yang lalu Vanessa berpura-pura tidur untuk menghindari malam pertama yang tidak diinginkan. Hati gadis itu masih belum siap, ia terpaksa menikahi Damian, demi sang ayah tercinta, James Haven. Jika benar malam ini harus terjadi, ia pun berharap dapat diperlakukan secara lembut dan mesra seperti pasangan yang saling mencinta.Wanita bertubuh ramping itu jadi benar-benar terlelap setelah lama menutup mata dalam sandiwara. Dan begitu ia terbangun, tangannya sudah menyatu dengan jeruji kayu pada sandaran tempat tidur. Ikat pinggang bertepian keras menjadi pengganti tali.Vanessa terkejut. Mata