Vanessa menyantap sarapannya. Ia menghabiskan bubur tiram dan roti iris dengan butter yang terasa begitu menggoda selera. Selain itu, ia juga menyantap telur dan bacoon, semua makanan lezat itu pun ditutup dengan tegukan jus jeruk yang menyegarkan.
Ia mungkin tak pernah makan sebanyak ini. Apa yang terjadi semalam, juga pergulatan batin, membuat ia menghabiskan banyak energi. Ia butuh kalori. Perutnya meminta lebih. Dan itulah yang terjadi.
Setelah merendam kaki di air garam hangat yang mengandung essential oil. Vanessa pun pergi mandi sendiri.
Sudah cukup ia menurut dan menerima pelayanan terkait perawatan kaki itu. Pelayan yang membantunya, bahkan menambahkan embel-embel akan dipecat jika tak melayani dengan baik. Ia meyakinkan Vanessa bahwa ini sudah tugasnya. Dan harus ia lakukan.
Sebenarnya, merendam kaki bukan masalah, tapi Vanessa merasa tak enak saja jika area yang dipakai menginjak lantai, turut disentuh dan dipijat oleh orang lain, yang derajatnya sama-sama manusia. Walau setelah itu, ia merasa sangat nyaman dengan perlakuan tersebut. Kakinya direfleksi. Lelahnya seakan keluar usai menyelesaikan ritual yang tidak pernah dilakukannya itu. Tidak buruk ternyata. Dan wanita berseragam itu ahli melakukannya. Ini salah satu pekerjaan, jadi Vanessa berkompromi.
Kini ia merasa semakin nyaman dengan berendam air hangat. Semalam Damian yang memandikannya dalam keadaan takut. Sekarang, ia bisa melakukannya sendiri. Tentu Vanessa yang paling tahu bagian tubuh mana yang harus dibersihkan dengan benar.
Pria itu sok tahu! Begitu pikirnya. Walau setelah itu, pipinya kembali merona, demi apa ia baru saja dimandikan seperti bayi, dalam keadaan polos oleh seorang lelaki tampan. Ehm, sebaiknya, kata tampan di-cut Vanessa dulu. Sudah sejak tadi ia tergoda dengan hal itu. Memalukan.
***
Di sisi lain.
Dalam perjalanan dengan sopir yang mengemudi tenang di depannya, Damian duduk bersandar di kursi mobil yang nyaman. Ia memangku kaki, tangannya bersandar nyaman di sandaran lengan.
Sebelah siku itu tertekuk, Damian menatap keluar jendela, dan tanpa disadari, ia sedang mengusap bibirnya dengan jari telunjuk. Membayangkan apa yang dilakukannya sebelum pergi.
Kedipan itu pertanda sesuatu. Ia menarik napas panjang. Bibir itu manis. Tak disangkanya ia memberikan ciuman dan pelukan sepanjang malam pada gadis itu.
Seharusnya Vanessa dijadikan objek balas dendam. Bukan objek kasih sayang. Namun, ia mendapatkan ekstra kepuasan di hal yang lain. Sepertinya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ia harus sedikit berimprovisasi.
***
“Katakan apa yang membuat ini begitu penting sampai aku harus menemuimu, Erica?” tanya Damian yang baru saja masuk ke dalam pintu ruangan eksklusifnya.
Di sana sudah ada seorang wanita cantik yang memiliki mata Hazle gelap yang hampir sama dengan milik Damian. Rambut dark brownnya terangkat rapi dengan model french twist. Tampilan formal itu membuat ia tampak elegan dan memukau.
Di pipi dekat samping hidung dan mulut wanita itu, juga terdapat tahi lalat kecil yang membuat wajahnya semakin manis. Hal itu membuat setiap orang yang menatap Erica, akan secara otomatis terfokus pada titik penggoda itu.
Damian membuka kancing jas merah maroon gelapnya sambil melangkah tegap. Ia membuang diri ke sofa lalu duduk memangku kaki. Ditatapnya tajam wanita di depan dengan wajah menegang.
“Kenapa? Apa aku mengganggumu? Biasanya kamu tak pernah mengeluh untuk bertemu denganku, Mr. Dalton?” Sebelah alis wanita itu terangkat naik. Sejalan dengan salah satu sudut bibir berlipstik merah kontrasnya. Ia menyeringai meledek sang lawan bicara.
“Ya, jujur saja kau memang sedikit mengganggu pagiku.”
“Kamu menikmati malam pengantinmu?”
Satu sudut bibir Damian terangkat mendengar pertanyaan yang mengingatkannya pada malam panas itu. “Ya, aku cukup menikmatinya.”
“Kamu mencambuknya?”
“Tidak,” jawab Damian langsung. Lalu memajukan tubuhnya. Dengan siku ia berpangku pada paha yang padat dan kokoh. “Aku mengikatnya dengan ikat pinggang.”
Erica membengkokkan bibir. “Hmm. Lumayan. Tangannya pasti terluka, tapi luka luar tidak begitu penting untuk seorang Dominan. Katakan padaku, apa kamu mempermainkannya di ranjang? Apa kau berhasil membuatnya memohon?”
“Ch!” Damian berdecak. “Apa kau memintaku ke sini hanya untuk menanyakan bagaimana detil malam pertamaku?”
“Hahaha.” Erica tertawa renyah. Suara itu terdengar seperti meledek. “Setelah lebih dari dua puluh tahun kamu menanti, menyimpan dendam, belajar tentang BDSM. Aku cukup kecewa kamu hanya mengikatnya dengan ikat pinggang.”
“BDSM tentang kenikmatan dan kepercayaan, juga persetujuan satu sama lain. Bukan untuk dendam. Kasusku tentunya berbeda. Dan bagaimana caraku menyiksanya, juga menggunakan apa, aku rasa itu bukan urusanmu, Erica.” Damian berucap tenang. Mata hazel itu menajam.
BDSM--Bondage and Discipline, Sadism and Masochism, merupakan praktik seksual yang melibatkan permainan kekuasaan antara yang mendominasi dan yang submisif. Biasanya permainan ini menggunakan beragam peralatan, di mana alat-alat tersebut akan menunjang kenikmatan seksual, dan peran keduanya.
Tapi, sebelum benda-benda itu digunakan, pihak yang terlibat harus memastikannya aman. Di beberapa negara hal ini dilegalkan. Termasuk di tempat Damian dan Erica.
Dalam BDSM, Kedua belah pihak harus setuju dan berkontrak. Menyatakan apa yang boleh dan tidak boleh. Membentuk sebuah kesepakatan yang saling disetujui satu sama lain secara tertulis.
Dalam praktiknya, akan ada istilah kode merah atau Red Code, di mana hal itu dikhususkan untuk submisif, agar memberi tahu Dominannya, jika ia sudah terlalu kesakitan. Si Master atau Mistress harus berhenti saat kode itu keluar dari mulut submisif. Apapun yang terjadi.
Namun, untuk Damian? Ia tidak menggunakan kode merah untuk Vanessa. Tak ada kontrak, tak ada kesepakatan. Ia melakukannya dengan sepihak. Mengajarkan wanita itu kenikmatan yang berbeda. Peralatan yang digunakan pun, sengaja untuk melukai Vanessa.
Damian melanggar semua aturan itu. Membuat hal yang berbeda dari ketentuan. Ia ingin meluaskan dan melepaskan hasrat sesukanya. Tanpa batasan. Semua hanya karena suatu dendam.
Namun, ada satu hal dari praktik legal BDSM yang justru dituruti Damian secara naluriah. Ketentuan di mana seorang dominan, harus kembali menyayangi, memeluk, dan memberikan perlakuan baik setelah selesai melakukan permainan. Semua demi terbentuknya rasa kepercayaan dan ikatan emosional yang kuat antara keduanya.
Dan saat ini, sungguh Damian tak mau diledek. Meski pada kenyataannya, jangankan Erica, ia pun sedikit terkejut dengan dirinya yang tak dapat bertindak lebih jauh untuk menyakiti Vanessa. Ia benar-benar menahan diri semalam.
“Heeeh.” Erica mendesah panjang. “Jujur, kamu membuatku penasaran, Damian. Aku hanya ingin tahu, bagaimana kamu membalas dendam. Mengingat selama ini kamu hanya menonton dan menyimpan keperjakaanmu hanya untuk tadi malam. Aku hanya khawatir kamu salah bertarung. Alat tentunya berbeda dengan sesuatu yang alami. Tak peduli seberapa hebatnya kamu dengan alat buatan.” Mata Erica turun ke tonjolan di antara paha Damian.
“Singkirkan matamu dari sana!” perintah Damian dengan dominasi. Suaranya tegas menampik. Tidak boleh ada yang bermain-main dengan kebanggaannya selain diizinkan.
Erica pun patuh, dan kembali menatap mata hazel Damian. Meski terlihat berani, dan meski ia adalah seorang mistress—panggilan untuk dominan wanita. Erica tetap saja kalah dengan aura dominasi yang dimiliki Damian. Lelaki itu bagai terlahir dengan takdir menjadi penakluk.
Sungguh, Erica tak dapat memungkiri, melihat sesuatu yang mencuat dari lelaki itu saja, sudah mengintimidasi dirinya begitu besar. Membuat jantungnya berpukul tak karuan. Dirinya terbakar hanya dengan cara itu. Oh, seandainya saja Damian adalah seorang submassive. Ia pasti akan menjebak pria itu dengan kontrak selamanya.
Namun, bahkan Damian tidak perlu menjadi submassivenya. Erica akan dengan rela menanggalkan sifat dominan, jika bayarannya adalah seorang Damian Dalton yang agung.
“Jadi, bagaimana dengan sedikit bocoran untuk sahabat lama. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Erica kembali serius. Memindahkan pemikirannya dari menginginkan Damian ke arah yang lebih profesional di antara mereka. Tidak sulit untuk wanita tangguh seperti Erica.
Kembali Damian menyandarkan punggung ke sandaran sofa. “Yang pasti aku tidak akan langsung menumpahkan semua dendamku. Dia bisa terbunuh. Aku ingin menyiksanya perlahan. Sedikit bocoran, aku memikirkan tentang rencana yang lain.”
“Rencana yang lain?” Sebelah alis Erica kembali terangkat naik. “Rencana apa?”
Damian berkedip pelan. Kedua kuncian tangannya, bersemayam di depan mulut. “Aku akan membuatnya jatuh cinta. Lalu meninggalkannya.”
“Hahahaha.” Kembali tawa itu terdengar. Kata ‘Cinta’ sungguh sangat membuat Erica geli. Namun, juga membawa ancaman. “Tidak, tidak, Damian. Kamu tidak boleh bermain dengan cinta. Biar kukatakan, itu suatu energi yang kuat. Hal itu bisa menarik semua dendammu. Dan membuatmu balik terjebak!” sindirnya lagi dengan arogan. Ia sendiri pernah mengalami hal yang sama, gara-gara satu kata itu.
“Aku? Terjebak katamu? Apa kamu lupa siapa aku?” Damian kembali mendekat ke arah Erica. “Aku memupuk dendamku, bukan untuk jatuh cinta. Karena aku tahu bagaimana rasa itu akan sangat menyakitkan dari siksaan fisik. Aku akan memadukan keduanya.”
Tatapan Damian kembali menggelap. “Aku pernah lihat bagaimana menderitanya seseorang yang diperbudak cinta, Erica. Dan hal itu akan sangat menyakitkan, hingga kamu bisa saja membunuh diri sendiri.”
Erica menegang. Napasnya tercekat dengan ucapan itu.
Hening tercipta sesaat di antara mereka. Tatapan hazel keduanya saling memberikan pemahaman. Sampai ...,
Drrt drrtt.
Hand phone Damian bergetar, menerima panggilan yang tidak ia duga.Damian mundur, mengambil benda pipih itu di dalam kantong jasnya. Ia mengangkat telepon dengan masih menatap Erica.
“Ya, hallo, Albert?”
“Tuan Damian, tadi ibu Anda, Nyonya Kathryn menelepon. Katanya mereka akan makan siang dengan Anda dan Nyonya Vanessa hari ini.”
“Apa?!” Mata Damian langsung membulat mendengar kabar itu. “Sial! Kenapa begitu tiba-tiba?!” Damian menggeram. “Apa kau sudah mengobati, Vanessa?! Aku akan segera ke sana!”
TO BE CONTINUEDUntuk selanjutnya, Follow me on I*******m:@Puzzle_Girl_Novel
Tubuhnya terbakar. Namun, bukan dengan api.Dalam ketidakberdayaannya, Vanessa Haven hanya bisa melemaskan diri agar rasa sakitnya berkurang. Ia tengah ditindih oleh pria berbadan besar dengan otot-otot padat yang menyembul di dadanya yang kekar. Tubuh bagian atas lelaki itu telanjang, dan ia masih mengenakan celana kain hitam yang dipakai saat acara pernikahan.Beberapa jam yang lalu Vanessa berpura-pura tidur untuk menghindari malam pertama yang tidak diinginkan. Hati gadis itu masih belum siap, ia terpaksa menikahi Damian, demi sang ayah tercinta, James Haven. Jika benar malam ini harus terjadi, ia pun berharap dapat diperlakukan secara lembut dan mesra seperti pasangan yang saling mencinta.Wanita bertubuh ramping itu jadi benar-benar terlelap setelah lama menutup mata dalam sandiwara. Dan begitu ia terbangun, tangannya sudah menyatu dengan jeruji kayu pada sandaran tempat tidur. Ikat pinggang bertepian keras menjadi pengganti tali.Vanessa terkejut. Mata
“Apa kau siap untuk ke tahap selanjutnya?”Tatapan mata amber Vanessa bergoyang mendengar bisikan itu. Hatinya terus bertanya-tanya. Hal apa yang ada di tahap selanjutnya? Apakah kenikmatan? Ataukah kesakitan?Ia bahkan tak berdaya dengan tangan terikat. Pria itu dapat bebas melucuti semua yang Vanessa kenakan jika ia mau.Sejak awal masuk ke kamar ini. Vanessa hanya diantarkan oleh salah satu pelayan Damian, Albert, setidaknya nama itu yang Vanessa ingat, pria paruh baya berambut putih yang memiliki senyum lembut. Cukup membantu menghangatkan suasana mencekam yang dengan alamiah tercipta di sini.Begitu pria itu pamit, dengan sengaja Vanessa bergegas menanggalkan pakaian pengantin. Ia menggantinya dengan piyama.Masih jelas dirasakan Vanessa, bulu roma yang berdiri saat matanya memandang ke sekeliling. Kamar tempatnya terjebak bahkan tak memiliki penerangan yang cukup. Temaram. Sekelilingnya didominasi dengan warna merah dan hitam. Ranjang tempat ia be
Vanessa mengerjap saat Damian menjauhkan lagi tangannya. Tanpa sentuhan hangat rasanya kembali meninggalkan perih. Mata Vanessa berair. Ia perlahan mulai merasakan sakit juga di tungkai dan area kewanitaannya.Air mata kembali keluar di mata amber yang indah itu. Vanessa menunduk. Bahunya semakin gemetar.Ditatap Damian wajah Vanessa dengan lekat. Lalu menaikkan sebelah tangannya menyentuh pipi lembut itu.Vanessa terjingkat dan menjauh. Refleks.Damian tak memaksa kali ini, ia malah tetap bersikap tenang. Dengan perlahan, diturunkannya kaki dari ranjang. Lelaki itu berdiri dengan tubuh telanjang. Vanessa menatap tubuh itu menjulang tinggi, dia begitu besar dan padat. Pantaslah Vanessa merasa remuk.Damian berjalan ke arah lemari hitam yang ada di sana. Ia mengeluarkan piyama dan memakainya. Keagungannya sebagai lelaki terasa begitu kental.Pemandangan berakhir. Dengan cepat ia kembali. Menatap Vanessa yang masih tertunduk sambil melindungi dada d
Vanessa mengerjap dan terbangun. Terang yang masuk dari celah gorden jendela, cukup membuat alam bawah sadarnya bereaksi, memberi tahu bahwa pagi sudah datang.Dirasa Vanessa tubuhnya keram dan sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tangan yang memeluknya semalaman sudah tak ada lagi. Ia terbangun sendiri. Tak disangka rasa lelah dan berendam sesaat malah membawanya pada tidur yang sangat nyenyak.Diarahkan Vanessa mata ambernya menatap ke sekeliling kamar. Ia bangun, menarik selimut hingga ke dada, lalu berubah ke posisi duduk.“Sudah bangun?”Suara barriton berat itu mengagetkannya. Damian keluar dari pintu samping di kamar itu. Nampak segar dengan dibalut jas merah maron gelap yang berpadu dengan dasi abu-abu. Pria ini punya selera bagus dalam berpakaian. Bahkan Vanessa cukup terpesona memandangnya.Damian mendekat. Ia duduk di samping Vanessa. Tangan itu memegang lututnya. “Maaf, harus meninggalkanmu. Aku punya urusan sebenta
Vanessa menyantap sarapannya. Ia menghabiskan bubur tiram dan roti iris dengan butter yang terasa begitu menggoda selera. Selain itu, ia juga menyantap telur dan bacoon, semua makanan lezat itu pun ditutup dengan tegukan jus jeruk yang menyegarkan.Ia mungkin tak pernah makan sebanyak ini. Apa yang terjadi semalam, juga pergulatan batin, membuat ia menghabiskan banyak energi. Ia butuh kalori. Perutnya meminta lebih. Dan itulah yang terjadi.Setelah merendam kaki di air garam hangat yang mengandung essential oil. Vanessa pun pergi mandi sendiri.Sudah cukup ia menurut dan menerima pelayanan terkait perawatan kaki itu. Pelayan yang membantunya, bahkan menambahkan embel-embel akan dipecat jika tak melayani dengan baik. Ia meyakinkan Vanessa bahwa ini sudah tugasnya. Dan harus ia lakukan.Sebenarnya, merendam kaki bukan masalah, tapi Vanessa merasa tak enak saja jika area yang dipakai menginjak lantai, turut disentuh dan dipijat oleh orang lain, yang derajatn
Vanessa mengerjap dan terbangun. Terang yang masuk dari celah gorden jendela, cukup membuat alam bawah sadarnya bereaksi, memberi tahu bahwa pagi sudah datang.Dirasa Vanessa tubuhnya keram dan sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tangan yang memeluknya semalaman sudah tak ada lagi. Ia terbangun sendiri. Tak disangka rasa lelah dan berendam sesaat malah membawanya pada tidur yang sangat nyenyak.Diarahkan Vanessa mata ambernya menatap ke sekeliling kamar. Ia bangun, menarik selimut hingga ke dada, lalu berubah ke posisi duduk.“Sudah bangun?”Suara barriton berat itu mengagetkannya. Damian keluar dari pintu samping di kamar itu. Nampak segar dengan dibalut jas merah maron gelap yang berpadu dengan dasi abu-abu. Pria ini punya selera bagus dalam berpakaian. Bahkan Vanessa cukup terpesona memandangnya.Damian mendekat. Ia duduk di samping Vanessa. Tangan itu memegang lututnya. “Maaf, harus meninggalkanmu. Aku punya urusan sebenta
Vanessa mengerjap saat Damian menjauhkan lagi tangannya. Tanpa sentuhan hangat rasanya kembali meninggalkan perih. Mata Vanessa berair. Ia perlahan mulai merasakan sakit juga di tungkai dan area kewanitaannya.Air mata kembali keluar di mata amber yang indah itu. Vanessa menunduk. Bahunya semakin gemetar.Ditatap Damian wajah Vanessa dengan lekat. Lalu menaikkan sebelah tangannya menyentuh pipi lembut itu.Vanessa terjingkat dan menjauh. Refleks.Damian tak memaksa kali ini, ia malah tetap bersikap tenang. Dengan perlahan, diturunkannya kaki dari ranjang. Lelaki itu berdiri dengan tubuh telanjang. Vanessa menatap tubuh itu menjulang tinggi, dia begitu besar dan padat. Pantaslah Vanessa merasa remuk.Damian berjalan ke arah lemari hitam yang ada di sana. Ia mengeluarkan piyama dan memakainya. Keagungannya sebagai lelaki terasa begitu kental.Pemandangan berakhir. Dengan cepat ia kembali. Menatap Vanessa yang masih tertunduk sambil melindungi dada d
“Apa kau siap untuk ke tahap selanjutnya?”Tatapan mata amber Vanessa bergoyang mendengar bisikan itu. Hatinya terus bertanya-tanya. Hal apa yang ada di tahap selanjutnya? Apakah kenikmatan? Ataukah kesakitan?Ia bahkan tak berdaya dengan tangan terikat. Pria itu dapat bebas melucuti semua yang Vanessa kenakan jika ia mau.Sejak awal masuk ke kamar ini. Vanessa hanya diantarkan oleh salah satu pelayan Damian, Albert, setidaknya nama itu yang Vanessa ingat, pria paruh baya berambut putih yang memiliki senyum lembut. Cukup membantu menghangatkan suasana mencekam yang dengan alamiah tercipta di sini.Begitu pria itu pamit, dengan sengaja Vanessa bergegas menanggalkan pakaian pengantin. Ia menggantinya dengan piyama.Masih jelas dirasakan Vanessa, bulu roma yang berdiri saat matanya memandang ke sekeliling. Kamar tempatnya terjebak bahkan tak memiliki penerangan yang cukup. Temaram. Sekelilingnya didominasi dengan warna merah dan hitam. Ranjang tempat ia be
Tubuhnya terbakar. Namun, bukan dengan api.Dalam ketidakberdayaannya, Vanessa Haven hanya bisa melemaskan diri agar rasa sakitnya berkurang. Ia tengah ditindih oleh pria berbadan besar dengan otot-otot padat yang menyembul di dadanya yang kekar. Tubuh bagian atas lelaki itu telanjang, dan ia masih mengenakan celana kain hitam yang dipakai saat acara pernikahan.Beberapa jam yang lalu Vanessa berpura-pura tidur untuk menghindari malam pertama yang tidak diinginkan. Hati gadis itu masih belum siap, ia terpaksa menikahi Damian, demi sang ayah tercinta, James Haven. Jika benar malam ini harus terjadi, ia pun berharap dapat diperlakukan secara lembut dan mesra seperti pasangan yang saling mencinta.Wanita bertubuh ramping itu jadi benar-benar terlelap setelah lama menutup mata dalam sandiwara. Dan begitu ia terbangun, tangannya sudah menyatu dengan jeruji kayu pada sandaran tempat tidur. Ikat pinggang bertepian keras menjadi pengganti tali.Vanessa terkejut. Mata