Disaat semua orang secara terang-terangan mengatakan kekaguman dan keterpesonaannya pada dia, apalah diriku yang hanya bisa melihatnya dari kejauhan?Aku sadar ... aku bukanlah apa-apa jika dibanding dirinya. Aku cuma gadis biasa yang sudah jatuh hati, namun tak berani mengutarakan. Aku bagaikan angin yang mungkin bisa dia rasakan kehadirannya, tapi tak terlihat.Dia terlalu jauh untuk kugapai. Suatu bentuk kemustahilan jika aku bisa bersanding dengannya.Satria Sean Wiliiam. Salahkah jika aku berharap bisa memilikimu? Meski pada akhirnya, aku tahu itu suatu hal yang sangat tidak mungkin. Perbedaan kita bagai langit dan bumi.&bul
Aletta berjalan di koridor sekolah sambil tengok kanan-kiri, membuat Kanaya yang ikut berjalan sejajar dengan gadis itu jadi heran.“Lo kenapa, sih?” tanyanya.Aletta tak menjawab. Dia sibuk lirik kanan kiri dengan wajah cemas dan tegang.“Dia gak ada, 'kan?” Alih-alih menjawab pertanyaan Kanaya tadi, Aletta malah melontarkan pertanyaan lain. Kanaya memutar bola matanya malas.“Ditanya malah balik nanya. Nyebelin!” Kanaya mempercepat langkahnya
Aletta membuka pintu rumahnya, seketika matanya terbelalak melihat ibunya--Anna yang sudah ada di rumah dan saat ini sedang duduk di sebuah sofa. Aneh! Biasanya Ibunya itu baru akan pulang sekitar pukul delapan malam mengingat dia bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan. “Ibu!” Aletta langsung berlari cepat menghampiri Anna dan ikut duduk di sebelahnya. Dia terkejut melihat wajah Ibunya yang memucat. “Ibu, ibu kenapa? Ibu sakit, ya?” tanya Aletta cemas. Anna menatap putrinya itu sebentar, lalu menggeleng.
***Pagi harinya, disaat proses pembelajaran sedang berlangsung, Aletta tidak sepenuhnya memperhatikan materi yang sedang diajarkan gurunya itu karena fikirannya malah berkelana pada satu orang. Satria. Pagi, siang, maupun malam, cuma ada Satria saja difikirannya. Bahkan, dalam mimpi Aletta sekalipun.“Sadar, Al ... sadar ...!” Kanaya yang dari tadi memang tahu jika teman sebangkunya itu tak sepenuhnya menyimak pelajaran, mulai menegur lewat senggolan pada bahunya.Aletta merengut. “Apa, sih? Ganggu orang lagi ngayal aja, deh,” sahut Aletta sewot, tapi dengan nada berbisik.Kanaya memutar bola matanya malas.“Al, gue tahu ya lo itu nge-fans banget sama Satria, t
Aletta menelan ludah seraya mematut penampilannya sendiri melalui cermin. Hari ini dia sudah bertekad untuk memulai rencananya mengejar cinta Satria. Ragu? Itu pasti ada. Namun, Aletta sudah fikirkan semua resikonya baik-baik. Jika nanti Satria menolaknya, tak apa. Yang pasti Aletta sudah lega jika sudah mengutarakan perasaannya itu pada Aletta.“Semoga berhasil ....” Setelah menguncir rambut panjangnya seperti biasa, Aletta segera mengambil tas seraya berjalan keluar kamar. Dalam rencananya kali ini, Satria berniat tidak akan memberi tahu Kanaya dulu. Dia akan melakukan semuanya sendiri. Buat apa dia bercerita? Toh, k
Seorang wanita yang diperkirakan berusia 40-an baru saja tiba di halaman rumah megah bak istana yang bercat putih elegan itu. Dia membuka kaca mata hitamnya. Detik itu juga air matanya meluruh.“Mama kangen kamu, Satria.”“Nyonya Ahana?" Wanita yang bernama Ahana itu menoleh. Dia tersenyum pada seorang satpam yang berjaga di sana. Sejujurnya, dia cukup terkejut karena satpam di rumah itu masih mengenali dirinya. Padahal, terakhir dirinya kemari sekitar 17 tahun yang lalu. Tepat dua bulan dia baru saja melahirkan seorang putra, tetapi terpaksa harus dia tinggalkan demi mengejar karirnya di Belanda.Ahana tersenyum ramah. Satpam yang menyapanya tadi, lalu mempersilahkan majikannya itu untuk masuk. Sesampainya di dalam, Ahana langsung disapa oleh puluhan asisten rumah tangga y
“Oke, anak-anak. Sampai di sini materi yang Ibu sampaikan. Selamat siang dan sampai jumpa minggu depan.” Bu Kinan selaku guru bahasa Indonesia baru saja keluar dari kelas XI IPS-2 bersamaan dengan bel istirahat berbunyi. Yang itu artinya, waktunya bagi para murid di kelas itu untuk mengisi perut mereka yang dibiarkan kelaparan selama dua jam lebih.“Nay, lo ke kantin duluan aja, ya. Gue mau ke toilet bentar,” ucap Aletta seraya bangkit berdiri. Kanaya yang saat itu sedang merapihkan alat tulisnya mengangguk. Alettapun langsung melenggang pergi dari sana.Setelah memasukkan semua alat tulisnya dengan benar ke dalam tas, Kanaya beralih mengambil handphone-nya untuk dia bawa ke kantin.“Headshet-nya mana, ya? Aduh, kayaknya ketinggalan di rumah nih. Gimana ya?” gumam Kanaya kebingungan.
**Jantung Aletta rasanya mau meledak saat melihat Satria berjalan mendekat ke arahnya. Gadis itu menelan ludahnya dengan rasa gugup bercampur takut.“Enggak, Al. Jangan sampai kelihatan gugup. Tenang ... bersikaplah biasa. Jangan buat dia curiga,” batin Aletta menyemangati dirinya sendiri.Satria menghentikan langkahnya saat jaraknya lumayan dekat dengan Aletta. Lelaki itu terdiam sebentar. Wajahnya seperti tidak asing. Satria merasa pernah melihat wajah itu. Beberapa menit dia berfikir, akhirnya dia berhasil mengingatnya. Gadis di depannya ini
Satria membawa Aletta ke Rumah Sakit untuk mengobati kakinya. Untung saja kata Dokter, cederanya tidak terlalu parah. Saat ini, mereka berdua sedang berjalan di lorong Rumah Sakit bersiap pulang. Satria sudah menawarkan diri membantu Aletta berjalan. Dia juga sudah meminta gadis itu untuk menggunakan kursi roda saja. Namun, semuanya ditolak.***“Aww ... shh ....”Satria yang melihat itu hanya memutar bola matanya malas. Sepuluh tahun tak bertemu, sikap gadis itu masih saja belum berubah. Keras kepala dan mau seenaknya sendiri.
“Nisha mau sama Kak Aletta! Ma, Kak Tata mana? Kok gak dateng-dateng sih?” Nisha mengerucutkan bibirnya dengan tangan bersedekap dada. Kiran mencoba menenangkan putrinya itu, tapi tak berhasil. Saat ini, dia dan putrinya itu sedang duduk di undakan teras rumahnya sendiri. Kiran sudah membujuk Nisha untuk masuk, tetapi putrinya itu kekeh ingin di luar dan tidak akan masuk ke dalam jika Aletta belum datang. Kalau begini, jatuhnya Aletta seakan bukan guru les private-nya Nisha, tetapi lebih mirip sebagai baby sitter-nya.Tak lama kemudian Pak Guntur dan Satria kembali dari mengobrol ringannya di ruang tamu.“Terima
Kanaya tak henti-hentinya berdecak kagum melihat foto seorang lelaki yang dimuat di majalah hari ini. Dia sudah mendapat penghargaan sebagai CEO termuda dan tersukses se-Asia selama tiga tahun terakhir.“Gila! Satria sukses banget sekarang.”“Lagi lihatin apa, sih?” tanya Aletta yang baru masuk ke mobil Kanaya. Mereka berdua baru saja selesai membeli berbagai bahan makanan untuk keperluan di rumah makan Anna. Sekedar menghemat ongkos, Aletta tadinya meminta bantuan Gerald untuk menemaninya berbelanja. Namun, alih-alih dia sendiri yang mengantarkan, di tengah jalan tadi, Gerald tiba-tiba ada telpon dari Rumah Sakit dan alhasil Kanayalah yang harus menggantikan dirinya mengantar Aletta.Kanaya menyodorkan majalah itu ke hadapan Aletta. Awa
“Selamat ulang tahun ....”Aletta yang saat itu baru saja sampai di dalam rumahnya, terkejut ketika melihat Anna, Gerald, Kanaya, dan Nisha--murid les private-nya sebulan ini sama-sama menyanyikan lagu selamat ulang tahun ketika dia baru saja membuka pintu. Aletta membekap mulutnya sendiri dengan mata berkaca-kaca. Dia terharu sekaligus tak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini. Ditambah lagi, bersama orang-orang yang dia sayangi.Anna kemudian berjalan mendekati Aletta sambil membawa kue ulang tahun yang harus ditiu
“Aletta.”Aletta mendongak dan langsung berdecak kasar melihat Raka berdiri di depannya.“Gue tahu lo pasti udah bosen denger gue bilang kalau Satria gak pernah ngelakuin hal yang lo duga selama ini. Gue juga tahu kalau lo gak akan percaya sama gue, tapi setidaknya ... lo harus lihat video ini,” ujar Raka seraya menyodorkan handphone-nya pada Aletta. Gadis itu menyerngitkan dahinya heran.“Gue janji setelah ini gue gak akan maksa-maksa lo lagi buat percaya sama Satria. Ini yang terakhir,” sambung Raka meyakinkan Aletta.Aletta menghela nafas sebentar. Baiklah. Kali ini dia akan menuruti kemauan Raka. Gadis itu mengambil handphone Raka, lalu menyetel video yang dimaksu
“Pergi, Sat! Gue bilang pergi ...! Gue gak sudi lihat muka lo lagi. Bahkan, gue gak sudi jadi cewek lo lagi!” bentak Aletta. Satria membeku di tempat dengan pandangan shock. Hatinya hancur berkeping-keping.“Aletta.” Kanaya yang baru kembali dari toilet, terkejut melihat Aletta berteriak histeris. Langsung saja dia berlari menghampiri Aletta dan berusaha menenangkannya.“Nay, bilang sama Satria untuk pergi. Gue gak mau lihat dia lagi. Suruh dia pergi ....” Aletta terisak lirih. Kanaya terkejut. Dia menatap Aletta heran dan bergantian menatap Satria kasihan.
“Woy, pengecut!” teriak Satria kalap setelah berhasil mengejar orang itu ke atap gedung.Orang itu melirik ke bawah. Sial! Tidak ada jalan lain baginya selain melawan Satria. Tapi tunggu! Satria mengejarnya seorang diri, 'kan? Bagus! Akan lebih mudah baginya untuk menghancurkan teman sekaligus musuhnya itu bila sendirian seperti sekarang ini.“Lo udah berani sakitin Aletta, itu sama aja lo udah nyari mati sama gue!” sentak Satria. Orang itu melepas penutup kepalanya, lalu memutar tubuhnya menghadap Satria.“Hi, Sat. Nyali lo besar juga ya ngeja
Beberapa jam sebelumnya ....Karena Anna masih di Rumah Sakit dan kemungkinan di rumah Aletta tak ada siapa-siapa, Kanaya akhirnya memutuskan membawa tas sekolah Aletta ke rumahnya sendiri. Biar besok dia mengembalikan tas temannya itu.Ceklek!“Kamu kok baru pulang, Nak?” tanya Rian--Papanya Kanaya. Kanaya mengangguk, lalu menyalim tangan Papanya itu.“Iya, tadi kejebak macet, Pa.”“Yaudah. Seka
“Sialan! Kenapa cuma Satria yang dapet pujian? Padahal, gue juga ikut andil dalam olimpiade itu,” geram Zain dengan tangan terkepal. Kevin yang berdiri di sebelahnya merangkul bahunya.“Ya, mau gimana lagi, Zain? Pertandingan ini sebenarnya cuma untuk formalitas doang! Meski kita menang sekalipun, ya, tetep Satria yang akan dapat pujian,” sahutnya.Zain berdecak. Sejak awal masuk SMA, selalu dan selalu dirinya dikalahkan Satria. Meski dirinya sama-sama berasal dari kelas unggulan sama sepertinya, tetapi untuk urusan kepopuleran dan kepintaran, dirinya masih berada jauh di atas Satria, dan Zain membenci hal itu. Dia benci sekaligus iri karena Satria selalu mendapatkan semuanya tanpa susah payah. Bahkan, gadis yang dia sukai sejak awal masuk sekolah Nirwanapun juga lebih menyukai Satria ketimbang dirinya. Manda.