Begitu pintu mobil sudah tertutup rapat, baik di sebelah kiri maupun kanannya. Yasa langsung berteriak lantang meluapkan kebahagiaannya. Pagi ini, keduanya langsung pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilan Aya.
Sebagai pasangan pengantin yang terhitung baru menikah, dan langsung diberi karunia yang begitu cepat, hal itu merupakan anugrah yang sangat luar biasa.
Tanpa ragu Yasa mencondongkan tubuh ke kursi penumpang di sebelahnya, lalu meraih tengkuk sang istri dan menciumnya begitu dalam.
“Makasih.” Ucap Yasa setelah mengurai ciuman tersebut. “Makasih sudah mau terima aku, dan mau mengandung anakku untuk yang kedua kali.”
“Tapi, Yasmm …”
Yasa tahu apa yang akan diungkapkan istrinya itu. Karenanya, ia langsung membungkam bibir Aya agar tidak meneruskan kalimatnya. Yasa tidak peduli, siapa, ayah dari janin yang dulu sempat dikandung istrinya. Karena dari lubuk hatinya yang paling dalam, Yasa yakin kalau itu adalah anaknya. Bukan anak da
Hari pertama Pras menginap di hotel prodeo, Aya meminta kepada Yasa agar mereka dapat menginap di rumah untuk menemani sang bunda. Ayapun meminta izin agar bisa tidur berdua dengan Sinar. Hanya malam ini, untuk menemani sang bunda yang pasti akan merasakan sebuah kekosongan secara tiba-tiba, karena tidak ada Pras di sisinya. Sekali lagi, Aya mengutuk Astro untuk semua yang dilakukan kepada keluarganya. Aya merasa sangat beruntung memiliki suami seperti Yasa. Suaminya itu, sangat pengertian dan selalu saja menuruti kemauannya. Yaa, meskipun nantinya, Yasa akan terus menempel dan meminta haknya hingga berulang kali. “Sayang …” Yasa menepuk sisi ranjang yang kosong, meminta Aya yang baru saja selesai mandi untuk duduk di sampingnya. Wajah Yasa terlihat serius. “Kenapa?” Aya yang sudah memakai piyama tidurnya itu langsung duduk dan menyandar pada pelukan sang suami dengan manja. “Papamu barusan nelpon.” pelukan yang tadinya erat, kini terasa melon
“No … no, no, no!” tolak Yasa. Kepala pria itu mengeleng berulang kali saat mendengar sang istri hendak terjun langsung mengelola Network. Yasa sangat yakin kalau Aya tidak kekurangan nafkah lahir, maupun batin yang berlebih darinya. Jadi, Aya tidak punya alasan untuk kembali bekerja, sedangkan semua-semua sudah dicukupi oleh Yasa. “Kenapa, no?” manik Aya memicing tajam. “Sayang, dengar baik-baik.” Yasa menyeret coffe table yang berada tepat di depan Aya dan mendudukinya. Memegang kedua telapak tangan istrinya itu dengan menatap tegas. “Kamu, HA-MIL. Dan aku gak akan kasih izin kamu kerja, dalam kondisi hamil seperti ini.” “Aku hamil, bukan sakit.” sanggah Aya. “Di luar sana, banyak ibu-ibu hamil yang perutnya udah segede gaban tapi masih aja seliweran buat kerja, kenapa aku gak boleh? Lagian, hamilku gak repot, aku sehat gak ada keluhan apapun.” “Cahaya, sebagian dari mereka melakukan itu karena tuntutan hidup, sebuah keterpaksaan demi sesuap nasi da
Setelah berdiskusi panjang dengan Elo juga Sinar, pada akhirnya semua suara memihak pada Yasa. Aya tidak diperbolehkan terjun langsung untuk menangani Network, apapun alasannya. Paling tidak selama gadis itu hamil, dan akan dikaji lagi setelah Aya melahirkan. Aya diperbolehkan datang kapanpun untuk memantau, tapi tidak untuk menempati sebuah jabatan di sana. Kedua orang tua tersebut, sangat tidak setuju. Alasan mereka sama, yakni karena Aya tengah mengandung dan butuh istirahat serta tidak boleh stress. “Ayaahh … pleaseee …” Aya mengeluarkan isak tangis yang dibuat-buat. Merengek sekaligus memohon, agar dapat menempati sebuah posisi di dalam Network. “Yasa, tolong istrimu ini, dibawa pulang aja.” “Ayaah.” “Eh, Ay. Coba ngaca, gak sampe 8 bulan lagi, kamu itu mau jadi ibu. Masa’ kelakuannya masih begini?” ejek Elo. Wajah pria itu terlihat santai, tidak tampak kalau ia tengah jengah menghadapi sikap Aya. “Malulah sama yang di dalam perut.”
Aya memasang wajah masam. Semasam-masamnya, tidak terbersit sedikitpun niat untuk memberi senyum kepada Bintang, yang duduk bersebrangan dengannya. Sore tadi, Yasa tiba-tiba mengajaknya untuk keluar makan malam. Hanya casual dinner, karena Yasa tahu kalau Aya tidak menyukai hal formal seperti fine dining. Aya lebih senang suasana yang merakyat dan sederhana. Tapi tidak disangka, Yasa ternyata sudah membuat janji dengan Bintang juga Daisy untuk makan malam bersama. Aya merasa ditipu oleh suaminya sendiri kalau seperti ini. “Apa kabar, Ay?” Aya diam, tidak menanggapi ataupun membalas pertanyaan sang papa. Bahkan, untuk sekedar menatappun, Aya tidak melakukannya. Ia hanya sempat melempar senyum tipisnya kepada Daisy, yang kini duduk di samping Bintang. “Sayang … papa nanya, kamu apa kabar?” tegur Yasa yang tidak nyaman akan sikap sang istri kepada Bintang. “Gak perlu ditanya, beliau sudah lihat aku di sini, masih bisa napas dan du
Begitu mobil sampai dan berhenti di perkarangan kediaman Bima. Aya bergegas turun dan berlari kecil menuju pintu untuk segera bertemu dengan Om-nya itu. Yasa sampai harus menggeram untuk meneriaki istrinya, agar tidak berlari, mengingat Aya tengah hamil muda. Jantungnya seakan terjun bebas ke dasar bumi. Khawatir terjadi sesuatu dengan bayi mereka. “Ayyy … sayaang!” Setelah terjadi keributan kecil antara Aya dan Kurt di restoran, selera makan gadis itu hilang. Aya tidak lagi bernafsu, untuk melanjutkan makan malam keluarga yang memang tidak ia inginkan sejak awal. Aya pun langsung berpamitan pulang kepada Daisy, namun tidak pada Bintang. Sungguh, hati Aya ternyata lebih keras daripada Sinar dahulu kala. Dan, Bintang angkat tangan untuk yang satu itu. Kali ini, Bintang lebih memilih untuk bersabar dan berharap sikap putrinya itu akan berubah dengan perlahan. “Kalian ini, gak lihat ini jam berapa, ha? Gak bisa tunggu besok kalau bertamu?” oceh B
Abraham membuang tawa sinisnya, saat melihat ada Kaisar yang mendampingi Sinar. Kedua pria tua yang merupakan rival sejak mereka muda itu, selalu saja dipertemukan dengan takdir yang rumit dalam persaingan bisnis maupun politik. Namun, tidak pernah ada yang menduga, kalau suatu saat, cucu mereka pada akhirnya menyatukan kedua keluarga dengan sebuah hubungan sakral, yang disebut pernikahan. “Kenapa sampai harus membawa bodyguard, Nar?” tanya Abraham dengan sarkas. “Kenapa? kamu takut menghadapi bodyguard, Sinar? nyalimu itu, dari dulu memang pendek, pantas, kamu gak pernah menang saat bersaing denganku.” Kaisar membalas Abraham dengan diikuti dengan sebuah decakan kecil, meremehkan. Abraham, hanya menyematkan senyum masamnya. Karena, meski keduanya selalu saja berdebat layaknya Tom and Jerry, mereka cukup fair dalam bersaing. Tidak pernah saling sikut dan menjatuhkan lawannya. Sinar melebarkan senyum gelinya. Melihat kedua pr
“Pulang sana.” “Gak mau.” “Suamimu tahu kamu ke sini?” “Mas Yasa yang ngantar kok, aku bilang mau makan siang sama ayah.” Kepala Elo langsung terantuk, ingin menjerit tapi harus menjaga image. Dan mengingat usianya yang sudah tidak lagi muda, hal itu sangatlah tidak pantas dilakukan. Menghadapi seorang Aya yang keras kepala, terkadang membuatnya pusing tujuh keliling. Untung saja putranya dengan Sinar tidak terlalu banyak mewarisi sikap keras bundanya. Elo mengangkat wajah, kemudian bersandar dengan gestur menyerah. Lebih baik berdamai dengan keadaan. “Mau apa ke sini? Bukannya kami semua sudah sepakat kalau kamu itu gak boleh kerja.” “Siapa yang mau kerja,” bibir bawah Aya terjulur panjang pada Elo. “Aku kan cuma mau berkunjung, melihat-lihat, aku pemilik saham juga di sini.” ujarnya begitu pongah. Mengingatkan Elo akan keangkuhan Pras, namun dengan mode yang menggemaskan. “Duduk di sofa, jangan di depan ayah.” “Aku ma
Helaan napas besar nan lega, terhembus dari mulut Asa yang menggembung ringan. Berbicara panjang lebar dengan adiknya yang bawel itu, sungguhlan menguras pikiran. Ikut terlibat dalam sepak terjang sebuah perusahaan, tidak pernah sama sekali menjadi minatnya. Kalau bukan Pras yang meminta langsung kepada Asa, tentu saja ia tidak akan mau menjadi seperti ini. Asa memutuskan untuk keluar dari ruangannya untuk mencari udara segar. Pergi ke rooftop gedung dan ngopi sejenak mungkin bisa menyegarkan pikirannya. Sekali lagi, Asa melihat seorang wanita yang tengah sendirian berdiri di depan lift. Menunggu pintunya untuk terbuka. “Mbak Zetta, ngapain di Network?” Wanita yang dipanggil Asa itu menoleh, menyentak kedua alisnya bersamaan. Menelisik penampilan Asa dari ujung rambut hingga kaki, yang memakai sepatu pantofel hitam mengkilap. Rambut yang biasa sengaja ditata messy kini terbingkai dengan rapi. Setelan jas mahal dan licin namun
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &