Begitu melihat sepasang suami istri dan anak laki-lakinya yang selalu terlihat kompak itu, memasuki restoran. Yasa segera berdiri, memasang senyum ramahnya dengan hormat.
“Rombongan nih, pak?” tanya Yasa sembari menyalami sepasang suami istri yang tertawa menanggapi pertanyaannya. Tidak lupa Yasa ber-hi five pada bocah yang berusia 14 tahun itu.
“Kebetulan nyonya besar mau nyalon di sebelah, jadi sekalian.” Bintang mengerling pada sang istri yang memberikannya cebikan bibir merahnya. Lalu mereka duduk mengitari meja dan memesan minuman. “Mereka belum datang?” tanyanya pada Daisy.
“Telat dikit, Aya sama Asa pulang ke rumah. Jadi, Sinar lagi ceramah sebentar, sebelum si kembar siam itu menghilang lagi dari rumah.”
Kalau dirunut ke belakang, justru Asa dan Aya-lah yang lebih terlihat seperti anak kembar. Kedua kakak beradik itu selalu saja kompak, dan kerap terlihat bersama-sama dari pada si kembar yang sebenarnya, yakni Akhil dan Arsya.
“Sinar protes, harusnya Aya gak perlu dibelikan apartemen biar selalu pulang ke rumah.” rungut Daisy masih melanjutkan ocehannya.
“Jarak rumahnya ke kantor itu jauh, kasihan kalau harus bolak balik, apalagi pulang malam. Lagian, apartemennya juga dekat dengan Astro, jadi ada yang ngawasin. Asa juga pulangnya ke sana, amanlah.”
Daisy berdehem, melirik pada Yasa dengan wajah tidak enak hati. “Maaf, ya Yas. Maklum ibu-ibu suka rempong ngurusin anak cewek satu-satunya ini.”
Yasa yang tidak mengerti apapun yang dibicarakan, ia hendak bertanya sebenarnya. Akan tetapi, niatnya diurungkan karena Daisy segera mengangkat ponselnya yang berdering di dalam tas. Wanita itu hanya menjawab 'oke' lalu kembali memasukkan benda persegi itu ke dalam tasnya.
“Mereka udah di depan.” Daisy menangkup wajah Cakra, putra keduanya dengan Bintang, lalu memberi kecupan pada kedua pipinya. Setelah Cakra selesai, giliran satu kecupan mendarat di pipi sang suami.
“Hati-hati, suruh Aya nginap di rumah nanti malam.”
“Aya baru pulang, pasti dikekep Sinar di rumah lah, gak boleh ke mana-mana.” Setelah berpamitan dengan ketiga lelaki yang ada di meja, Daisy tergesa pergi ke luar untuk segera menemui Sinar, Era dan Aya. Mereka harusnya pergi berempat dengan Ai, namun, karena istri Elo itu harus menemani sang suami ke luar kota maka Ai membatalkan janjinya.
Daisy datang-datang langsung melepas cepolan rambut Aya yang sama sekali tidak kelihatan rapi itu.
Ahh ... gadis itu benar-benar membuat mata Daisy jengah, bila melihat penampilannya.
“Mama! Gerah tau.” protes Aya memberengut.
“Hmm, omelin aja Dai, aku udah capek dari tadi ngoceh, cuma di jawab he’eh, iya, hu’uh.” Kepala Sinar menggeleng berulang kali, sembari melihat Aya, yang memang sangat sudah diatur jika sudah membicarakan masalah penampilan. Kecuali saat pemotretan brand DailYou, barulah gadis itu sedikit bisa diatur. Karena mau tidak mau, Aya harus menyesuaikan penampilannya dengan apa yang dikenakan pada saat pemotretan.
Sementara itu, Sinar sudah menyeret Era, istri iparnya itu, untuk masuk terlebih dahulu ke dalam salon. Lantas giliran Daisy yang menggeleng heran menatap Aya.
“Ini bukannya kaos Asa?” Daisy menarik sekilas, ujung jersey basket yang dikenakan anak tirinya itu.
Aya menarik kerah kaos itu ke atas dan menggigitnya sambil mengangguk. Meringis dengan menampilkan wajah polos, tanpa rasa bersalah sama sekali.
Daisy berdecak, mengarahkan tatapannya sekali lagi dari ujung rambut sampai ujung kaki gadis itu. Dan, tatapan Daisy berhenti pada Chelsea boots yang dipakai Aya. “Seenggaknya kamu bisa pake Peep Toe or Ankle boots, dengan itu kamu bisa kelihatan sedikit feminim, Ay.”
“Oh come on, mam. I’m a journalist, and this Chelsea just perfect!” tunjuknya dengan menunduk melihat lagi boots berwarna abu tuannya itu.
Daisy meraih siku Aya. Menuntun gadis itu untuk menyusul Sinar dan Era yang telah masuk terlebih dahulu ke dalam salon. “Tahu kan, kalau ada yang namanya flat shoes, dan dengan itu kamu bisa kelihatan lebih feminin dari pada pake boots gituan.”
“Orang-orang tahu kalau aku itu cewek, so what the heck with this feminism.”
“Ck!” Daisy lagi-lagi berdecak, berdebat dengan Aya tidak akan ada ujungnya. Gadis itu akan selalu saja memberi sanggahan, lagi dan lagi. Sama seperti sang bunda, namun lebih bebal. “Nanti gak ada cowok yang mau sama kamu.”
“Ada kok!”
Jawaban pasti Aya itu, seketika membuat Daisy tidak jadi mendorong handle pintu kaca untuk memasuki salon. Ia mengerjab-ngerjab sebentar memandang Aya. “Kamu udah punya pacar? Siapa? anak mana? Metro juga?” cecar Daisy antusias sekaligus tidak sabaran.
“Ehh, enggaak.” Aya menggeleng sekaligus mengibaskan kedua tangannya. “Aku masih jombie, mam. Tapi yang mau yaa adalah.” Kekeh Aya yang buru-buru masuk ke dalam salon menghampiri Sinar dan Era, agar tidak di introgasi lebih lanjut oleh Daisy.
--
“Jadi, sekali lagi saya mohon maaf, pak, kalau undangannya harus mendadak seperti ini. Karena pihak Kementrian Perdagangan juga baru kasih info kalau di business matching nanti akan kedatangan pihak partnership yang program bisnisnya di bawah Kementrian Luar Negeri Jepang.”
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya seorang Abraham Yasa bertemu dengan Bintang. Keduanya sudah pernah beberapa kali dipertemukan dalam forum bisnis. Namun, selama itu mereka tidak pernah berbicara empat mata seperti kali ini. Hal inilah yang membuat Yasa bersikap sangat formal kepada pria setengah baya itu.
Yasa malah lebih dulu mengenal Daisy daripada Bintang. Berawal dari pihak DailYou yang tengah mencari catering harian untuk makan siang para karyawan konveksinya. Dari situlah awal perkenalan keduanya, dan Daisy sampai saat ini masih mempercayakan makan siang para pekerjanya, pada catering milik Yasa.
“No problem, selama jadwal saya gak tabrakan sama yang lain saya usahakan datang. Dan satu lagi, kalau istri saya mengizinkan.”
Keduanya pun tertawa, namun tawa Yasa tidak lepas seperti Bintang. Itu berarti, kedatangan Bintang dalam business matching di Bali belum bisa dipastikan. Pria itu masih harus meminta pesetujuan sang istri agar bisa menghadiri pertemuan itu.
“Jadi, kira-kira Bu Daisy ngasih izin gak, Pak?”
Bintang kembali tertawa melihat air muka khawatir Yasa. “Pasti! karena saya akan ajak istri sama anak saya juga ke Bali, sekalian liburan.” Tangan Bintang terulur mengusak kepala putranya yang masih sibuk menghabiskan steaknya.
Yasa akhirnya bisa bernapas lega. Semuanya rencana yang telah disusunnya semua berjalan sesuai dengan rencana.
“Tapi Yas, kenapa tiba-tiba kamu banting setir ke dunia bisnis? Setahu saya, kamu dulu kuliah hukum dan sudah menyelesaikan semua syarat untuk menjadi pengacara.” tanya Bintang tiba-tiba, dan terlihat penasaran. Ada sesuatu di dalam diri Yasa yang membuatnya tertarik.
Ayah Yasa, dulunya adalah seorang Hakim Agung, yang pernah menjabat sebagai ketua MA -Mahkamah Agung-. Dan, tentu saja Bintang juga mengenal Hatta Kamil -ayah Yasa- karena profesinya sebagai wartawan dan konsultan politik dahulu kala.
“Jadi pengacara itu passionnya papa, bukan saya.” Yasa menjawab tanpa keraguan sedikitpun.
“Ahh! Pantas! Papamu dulu sempat curhat sampai emosi waktu ketemu saya. Dia bilang, kamu cuma menghabiskan uangnya saja.”
Yasa tertawa pelan, dengan menggelengkan kepalanya. “Yaa, begitulah papa, bukannya saya gak sanggup jadi pengacara, pak. tapi kalau bukan dari sini.” Yasa menepuk dadanya berulang kali. “Sepertinya beraaat kaki melangkah untuk menunaikan kewajiban, jadi yaa beginilah saya. Awalnya buka lapak kecil, kongsi sana sini, sampai bisa jadi seperti ini.”
“Pernah ketipu, Yas?”
“Waah, 1 M lebih, pak. semua aset sampai saya jualin semua. Satu tahun saya balik lagi tinggal sama papa, masang muka tembok karena gak punya uang sepeserpun. Tiap hari makan sindiran terus. Sampai kenyang saya.”
"Pak Abraham juga bereaksi sama dengan papa kamu?"
"Opa ketawa aja dengernya. Tapi beliau minjemin modal, dan harus balik utuh dalam waktu satu bulan. Gak lebih, gak kurang. Di situ saya muter otak, Pak. Gimana gak muter, kalau cuma dikasih uang satu juta?"
Keduanya kembali tertawa, kali ini benar-benar lepas. Sudah tidak ada rasa sungkan di hati Yasa.
"Tapi, dari situlah, saya bisa seperti sekarang." lanjut Yasa lagi.
Seketika tercetus sebuah pemikiran di otak Bintang, lantas pria itupun mengalihkan topik.
“Berapa usiamu sekarang, Yas?”
Yasa membuka mulutnya sembari memijat leher bagian belakang. “30 pak.” terkadang Yasa merasa tidak nyaman bila ada yang menanyakan perihal usianya. Itu karena sang ayah selalu saja memaksanya untuk segera menikah.
“Sudah punya pacar, atau yaa sebentar lagi mungkin mau …”
Bintang menghentikan kalimatnya saat melihat gelengan kepala Yasa.
“Saya masih single, pak. gak punya pacar ataupun sedang dekat dengan siapapun. Saya, masih sibuk ngurusin karir dulu.”
Bintang mengangguk-angguk, memberi Yasa senyuman penuh maksud. “Baiklah, kalau begitu sampai ketemu di Bali.”
Zetta menghampiri Astro yang masih berkutat dengan laptopnya di ruang tengah. Kedua tangannya mengapit dua buah piring berisi nasi goreng seafood, yang baru saja dibuatnya untuk makan malam. Ia meletakkan kedua piring tersebut berjajar dengan laptop yang ada di meja kaca.“Makan dulu.” Zetta duduk bersila di atas karpet. Meletakkan dagunya pada paha Astro yang duduk di sofa. Kelopak matanya mengerjab beberapa kali, memperhatikan layar datar yang tengah dibaca Astro. “Milliar Paper? Kenapa dari dulu kamu terus ngurusi masalah ini? Emang belum selesai-selesai gitu kasusnya?”Astro mengusap kepala Zetta dan mengecupnya sebentar. “Kasus ini bahkan selesai sudah lama, tapi banyak yang janggal di dalamnya.”“Dan, hampir sepuluh tahun kamu belum nemu di mana janggalnya?”“Lebih sepuluh tahun. Dan, yaa, aku mau buka lagi kasus ini! Sebentar lagi, sedikit lagi.” Zetta mengerucutkan bibirnya tidak
"Papi gak ngelarang kalian jatuh cinta, dan pacaran dengan siapapun di luar sana. Tapi satu yang harus kalian ingat, papi ngelarang kalian untuk jadi bodoh! Don’t let that fvcking love, ruins your future!"Sederet kalimat Pras yang kerap dilontarkan pria itu, ketika Aya dan Asa menginjak usia pubertas, seketika terngiang di kepala Aya.Kini, hasratnya harus berperang dengan logika. Kaos dan celana jeansnya kini sudah tergeletak entah ke mana. Tangan besar Astro, sudah menjelajah di tiap inchi kulit tubuhnya tanpa bisa ditolak. Raganya seakan berkhianat dengan otaknya. Nafsunya tidak sejalan dengan nalar di kepala.“Jaga kehormatanmu, Ay! Dengan begitu, suamimu juga akan menghormatimu.”Saat kalimat Pras tidak mempan menyadarkan Aya. Kini, kalimat singkat sang bunda langsung tepat menampar otak besarnya. Aya buru-buru mendorong tubuh Astro dengan keras, saat pria itu baru saja membuka pengait pakaian dalam yang berada di punggungnya
Aya menjatuhkan separuh tubuhnya di atas meja front office. Deadline kerjanya sudah selesai satu jam yang lalu, tapi Aya masih malas melangkah untuk pulang ke apartemennya. Sudah tiga hari sejak kejadian dengan Astro berlalu, tapi pria itu seolah menghilang dari jangkauanya.Astro tidak pernah lagi mampir ke unit apartemennya. Pria itu juga tidak mengangkat telepon ataupun membalas chat dari Aya. Ingin sebenarnya mendatangi kantornya, tapi, pria itu belum tentu ada di sana.Dengan menutup mata sembari menghirup napas begitu dalam, Aya memutuskan kembali mencoba untuk menelepon Astro. Namun, lagi-lagi nihil, karena pria itu tidak kunjung mengangkat teleponnya.Di satu sisi, Aya merasa begitu bodoh. Secara logika, Aya mengaku kalau ia memang sangat bodoh dalam urusan cinta. Tapi, sebagai seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaan, ia merasa semua yang dilakukannya tidaklah salah. Menghubungi pria yang dicintainya, dan menurunkan ego untuk memperbaiki sebuah h
“Sayang, bangun …”Zetta sudah berulang kali menepuk pelan pipi Astro untuk membangunkan pria tersebut. Namun yang dibangunkan, tidak kunjung menampakkan manik kelamnya untuk melihat Zetta.“Kamu gak ke kantor? Ini sudah jam delapan.”Akhirnya Astro menggumam, membuka segaris tipis kelopak matanya menatap Zetta yang sudah mengenakan pakaian kerja. “Kapan kamu mau resign?”Zetta memberi senyum hangatnya untuk Astro, yang sudah membuka maniknya dengan sempurnya. Beranjak dari tepi ranjang menuju meja rias. Menarik kursinya dan duduk di sana. “Setelah kita nikah, baru aku ajuin resign.”Gadis itu memejamkan matanya sebentar dan menyemprotkan face mist ke wajah manisnya.Masih enggan bangkit dari ranjang, Astro hanya memiringkan tubuhnya dengan malas, lalu menatap Zetta. “Aku mau dipercepat, jadi minggu depan aku lamar kamu, teruus … persiapan sebulan sepertinya cukup.” Ta
Zetta dengan wajah beceknya, melempar kumpulan foto-foto Astro dengan Aya, tepat di wajah pria itu, ketika Astro memasuki rumahnya.“Kamu itu, menjijikkan!” Muntahan kalimat yang dilemparkan oleh Zetta membuat kedua tangan Astro mengepal. Pria itu lantas berjongkok, untuk mengambil kumpulan foto yang sudah jatuh berserakan di kakinya. Rahangnya mengetat, ketika melihat kesemua foto itu berisi pose mesra dirinya dengan Aya.“Zetta …”“Aku kurang apa sama kamu selama ini!” Zetta terisak, tubuhnya terjatuh begitu saja di lantai ubin. Menatap nanar dengan pandangan yang sudah mengabur. "Belum-belum kamu sudah selingkuh!"Astro menghampiri Zetta dan berjongkok di hadapan gadis itu. “Zetta, a—ku minta ma—”“Keluar dari rumahku, bawa semua barang-barangmu dari sini dan jangan pernah temui aku lagi.”Astro menahan napasnya sejenak. Tangannya masih mengepal erat dengan ura
I Love me, my self and I ... also my family, of course!-Fernando Yeva-Aya sudah terbangun satu jam yang lalu.Namun, ia masih tidak beranjak dari ranjangnya. Gadis itu hanya meringkuk dalam tangis, terbalut selimut yang membungkus tubuhnya yang masih polos. Enggan beranjak meskipun dering ponselnya sedari tadi sudah berkali-kali memanggilnya.Pergelangan tangannya memar. Tubuhnya sakit, bagian intinya terlampau perih, hatinya terluka … Dan di atas itu semua, harga dirinya sudah hancur. Astro telah merenggut mahkotanya dengan sangat kasar. Tidak ada sedikitpun kelembutan di dalamnya.Semua sandiwara. Selama ini, sikap sempurna Astro hanyalah sandiwara belaka. Pria itu membenci dirinya juga sang bunda. Dan, Astro juga menyebut nama Pras di dalamnya.Samar-samar Aya mendengar suara pria memanggilnya. Aya menggeleng horor. Tubuhnya tremor saat suara tersebut semakin mendekat ke kamarnya. Ia meremat erat selimut yang melingku
Zetta mengambil napas melewati mulutnya yang ternganga dengan lebar, Kedua tangannya terangkat untuk menutup mulut sesegera mungkin setelah itu. Ia masih tidak percaya saat Astro menunjukkan sebuah kunci tepat di depan wajahnya. Lalu meletakkannya di tangan Zetta.“Serius kita bakal tinggal di sini setelah nikah?”“Hmm.” Anggukan kepala Astro disertai senyuman yang begitu lebar. Pria itu dengan bangga menunjukkan rumah mewah, hasil kerja kerasnya selama menjadi pengacara.Rumah dengan empat buah kamar beserta kolam renang itu memang khusus ia beli dan akan ditempati saat mereka menikah kelak. Halaman depannya memang tidak terlalu luas, tapi bagian belakang rumah itu sungguhlah luar biasa. Astro sudah menyuruh orang untuk membuatkan taman bunga untuk di rawat oleh Zetta.“Ini semua bukti cintaku sama kamu. Aku gak pernah main-main dengan itu semua.” Astro merangkul Zetta yang masih terpana dengan taman belakang rumah ter
Entah sudah berapa lama, Aya duduk di sudut kafe pojok sambil memangku wajah. Menatap deraian titik air yang jatuh dari langit, hingga ke punggung bumi. Semangkuk bakso yang ada di depannya pun, sudah tidak lagi mengepulkan asap panasnya. Dibiarkan begitu saja.Terlalu banyak yang Aya pikirkan saat ini. Jika tetap pada rencana awal, seperti yang dikatakan Melati kala itu, maka Astro akan melamar Zetta malam minggu ini.Aya menutup wajah penatnya dengan kedua siku bertumpu di meja.“Sehat, Ay?”Suara seseorang yang menepuk bahunya, sontak membuat Aya mengelus dada, terkejut.“Bang Andra! Kebiasaan, ngagetin orang!”“Tumben kusut? Lagi patah hati yaa.” Tebakan Andra yang sudah duduk di hadapannya itu, hanya dibalas Aya dengan kekehan. Andra menarik mangkuk bakso yang belum tersentuh sedari tadi ke arahnya. “Kalau gak mau biar aku yang makan.”“Makanlah, bang.”Padahal An
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &