Zetta dengan wajah beceknya, melempar kumpulan foto-foto Astro dengan Aya, tepat di wajah pria itu, ketika Astro memasuki rumahnya.
“Kamu itu, menjijikkan!” Muntahan kalimat yang dilemparkan oleh Zetta membuat kedua tangan Astro mengepal. Pria itu lantas berjongkok, untuk mengambil kumpulan foto yang sudah jatuh berserakan di kakinya. Rahangnya mengetat, ketika melihat kesemua foto itu berisi pose mesra dirinya dengan Aya.
“Zetta …”
“Aku kurang apa sama kamu selama ini!” Zetta terisak, tubuhnya terjatuh begitu saja di lantai ubin. Menatap nanar dengan pandangan yang sudah mengabur. "Belum-belum kamu sudah selingkuh!"
Astro menghampiri Zetta dan berjongkok di hadapan gadis itu. “Zetta, a—ku minta ma—”
“Keluar dari rumahku, bawa semua barang-barangmu dari sini dan jangan pernah temui aku lagi.”
Astro menahan napasnya sejenak. Tangannya masih mengepal erat dengan ura
I Love me, my self and I ... also my family, of course!-Fernando Yeva-Aya sudah terbangun satu jam yang lalu.Namun, ia masih tidak beranjak dari ranjangnya. Gadis itu hanya meringkuk dalam tangis, terbalut selimut yang membungkus tubuhnya yang masih polos. Enggan beranjak meskipun dering ponselnya sedari tadi sudah berkali-kali memanggilnya.Pergelangan tangannya memar. Tubuhnya sakit, bagian intinya terlampau perih, hatinya terluka … Dan di atas itu semua, harga dirinya sudah hancur. Astro telah merenggut mahkotanya dengan sangat kasar. Tidak ada sedikitpun kelembutan di dalamnya.Semua sandiwara. Selama ini, sikap sempurna Astro hanyalah sandiwara belaka. Pria itu membenci dirinya juga sang bunda. Dan, Astro juga menyebut nama Pras di dalamnya.Samar-samar Aya mendengar suara pria memanggilnya. Aya menggeleng horor. Tubuhnya tremor saat suara tersebut semakin mendekat ke kamarnya. Ia meremat erat selimut yang melingku
Zetta mengambil napas melewati mulutnya yang ternganga dengan lebar, Kedua tangannya terangkat untuk menutup mulut sesegera mungkin setelah itu. Ia masih tidak percaya saat Astro menunjukkan sebuah kunci tepat di depan wajahnya. Lalu meletakkannya di tangan Zetta.“Serius kita bakal tinggal di sini setelah nikah?”“Hmm.” Anggukan kepala Astro disertai senyuman yang begitu lebar. Pria itu dengan bangga menunjukkan rumah mewah, hasil kerja kerasnya selama menjadi pengacara.Rumah dengan empat buah kamar beserta kolam renang itu memang khusus ia beli dan akan ditempati saat mereka menikah kelak. Halaman depannya memang tidak terlalu luas, tapi bagian belakang rumah itu sungguhlah luar biasa. Astro sudah menyuruh orang untuk membuatkan taman bunga untuk di rawat oleh Zetta.“Ini semua bukti cintaku sama kamu. Aku gak pernah main-main dengan itu semua.” Astro merangkul Zetta yang masih terpana dengan taman belakang rumah ter
Entah sudah berapa lama, Aya duduk di sudut kafe pojok sambil memangku wajah. Menatap deraian titik air yang jatuh dari langit, hingga ke punggung bumi. Semangkuk bakso yang ada di depannya pun, sudah tidak lagi mengepulkan asap panasnya. Dibiarkan begitu saja.Terlalu banyak yang Aya pikirkan saat ini. Jika tetap pada rencana awal, seperti yang dikatakan Melati kala itu, maka Astro akan melamar Zetta malam minggu ini.Aya menutup wajah penatnya dengan kedua siku bertumpu di meja.“Sehat, Ay?”Suara seseorang yang menepuk bahunya, sontak membuat Aya mengelus dada, terkejut.“Bang Andra! Kebiasaan, ngagetin orang!”“Tumben kusut? Lagi patah hati yaa.” Tebakan Andra yang sudah duduk di hadapannya itu, hanya dibalas Aya dengan kekehan. Andra menarik mangkuk bakso yang belum tersentuh sedari tadi ke arahnya. “Kalau gak mau biar aku yang makan.”“Makanlah, bang.”Padahal An
Raden, Pemimpin Redaksi -pemred- Metro Ibukota memanggil Aya ke ruangannya, setelah rapat redaksi pagi selesai dilaksanakan. Pria paruh baya itu memiliki rahang yang tegas dengan tampilan wajah yang tidak ramah. Meskipun seperti itu, pria yang usianya sama dengan Pras itu, tidak pernah marah sekalipun terhadap karyawannya. Namun, Raden begitu tegas bila terjadi sebuah pelanggaran, apalagi yang berhubungan dengan nasib tempatnya mencari nafkah."Jelaskan sama saya,apa yang terjadi di BestFinance jumat lalu?"Aya menghela napas pelan. Ia yakin kalau Raden tengah bertanya perihal dirinya dan Zetta yang beradu tamparan kala itu. Aya tidak menyangka kalau hal tersebut bisa sampai ke telinga Raden. Tapi, yang menguntungkan di sini adalah, bukan Aya yang menampar terlebih dahulu, melainkan Zetta."Maaf, tapi sejauh apa yang bapak tahu? Dan menurut saya, itu adalah masalah pribadi, jadi perusahaan gak bisa mengulik lebih dalam lagi tentang privacy saya."Be
Yasa mendesah kesal. Berjongkok melihat ban mobil belakangnya yang ternyata bocor. Padahal, ia berencana untuk pulang ke Jakarta sore ini. Ada hal yang harus dilakukannya besok bersama Abraham.Yasa sudah menghubungi seseorang untuk mengganti ban mobilnya di parkiran basement. Ia paling tidak suka memegang pekerjaan kasar seperti itu. Lebih baik menunggu orang lain untuk mengerjakannya dari pada dirinya sendiri yang turun tangan.Sambil menunggu karyawan hotel milik keluarganya yang bisa mengganti ban mobil. Ia bersandar pada badan mobil. Menyulut rokok lalu bermain game online di ponselnya.Saat benda putih yang tersulut di tangannya sudah tinggal separuh. Yasa mendengar suara berat seorang pria yang baru saja menutup pintu mobil yang bersebrangan dengan tempat ia berdiri. Beberapa saat lalu, mobil itu terdengar baru saja parkir. Dan sepertinya pria itu tengah berbicara dengan seseorang di telepon.Pria itu terkekeh. “Jadi, gadis itu sudah meminumn
Astro mengepalkan tangan dengan erat. Wajahnya berang, tertekuk masam saat melangkah keluar dari ballroom. Dasi yang membelit pada lehernya, sudah ia longgarkan. Mengabaikan panggilan masuk yang tertulis nama Zetta di dalamnya.“How come!” geram Astro menarik kerah baju Reo, sang pria bermasker suruhan Astro.“Tiba-tiba aja dia dibawa temen cowoknya, Mas. Masuk lift”Detik itu juga, Astro melepas kasar kerah baju Reo, hingga pria itu mundur selangkah.“Kenapa gak di ikutin? Hah? Salah satu dari kalian bisa masuk lift bareng!” Astro berdecak sebal, meletakkan kedua tangan di pinggang dengan napas tertarik berat. “Ke mana? Ke lantai berapa? Apa cuma berdua?” cecar Astro menatap sengit.Astro memijat pelipisnya. Memikirkan dengan siapa Aya berada saat ini dan di mana tepatnya?Lagi-lagi, rencananya berantakan. Berawal dari kedatangan Leo, yang Astro tahu adalah kakak sepupu Asa. Dan kini, ada seor
Pintu itu terbuka setelah terdengar ketukan sebanyak tiga kali. Asa masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Aya jika menginap di kediaman Elo. Asa kembali menutup pintu, dan menghampiri Aya yang berbaring dengan membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia ikut masuk ke dalam selimut yang sama, dan duduk bersandar pada headboard.“Kamu bisa bohongin semua orang, tapi aku gak.”Aya mengerjab-ngerjab dari balik selimut. Ia lalu membalik tubuhnya, memeluk kaki Asa, tapi masih membenamkan tubuhnya di dalam selimut. “Kapan kamu pulang?”“Tadi pagi, tapi aku ke rumah papa sama Om Bima dulu ngantar oleh-oleh.” Asa membuka paksa selimut Aya hingga memperlihatkan kepala adiknya itu. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Aya dengan penuh kasih sayang.Memiliki takdir hidup yang sama, membuat Asa dan Aya memiliki bonding yang kuat. Meskipun keduanya hidup dengan penuh kasih sayang dan berlimpah materi.Tapi, hati mere
Makan siang yang benar-benar canggung bagi Yasa. Namun, terlihat biasa saja bagi Bintang. Pria paruh baya itu, hanya beranggapan bahwa masalah yang terjadi antara Yasa dan putrinya hanyalah perselisihan pendapat atau sejenisnya. Mengingat watak Aya tidak terlalu jauh dengan Sinar, yang tidak pernah mau mengalah bila berdebat dengan seseorang.“Jadi, Cahaya itu anak bapak, anak kandung Pak Bintang?” tekan Yasa mengulang ucapannya, untuk lebih memastikan lagi apa yang sudah ia dengar barusan.Bintang mengangguk, menelan makanannya sebentar. “Aya itu anak saya, dari istri kedua.”“Aya? Jadi panggilannya Aya?” gumam Yasa yang selera makannya sudah hilang seketika. Namun, ia masih memaksakan untuk menelan makan siangnya untuk menghormati Bintang.Jadi yang dimaksud Aya oleh Daisy saat di restoran kala itu adalah Cahaya. Yang Yasa tahu sekilas dari Andra adalah, kalau anak-anak Metro memanggil Cahaya dengan Ayang, bukan Aya.
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &