Pintu itu terbuka setelah terdengar ketukan sebanyak tiga kali. Asa masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Aya jika menginap di kediaman Elo. Asa kembali menutup pintu, dan menghampiri Aya yang berbaring dengan membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia ikut masuk ke dalam selimut yang sama, dan duduk bersandar pada headboard.
“Kamu bisa bohongin semua orang, tapi aku gak.”
Aya mengerjab-ngerjab dari balik selimut. Ia lalu membalik tubuhnya, memeluk kaki Asa, tapi masih membenamkan tubuhnya di dalam selimut. “Kapan kamu pulang?”
“Tadi pagi, tapi aku ke rumah papa sama Om Bima dulu ngantar oleh-oleh.” Asa membuka paksa selimut Aya hingga memperlihatkan kepala adiknya itu. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Aya dengan penuh kasih sayang.
Memiliki takdir hidup yang sama, membuat Asa dan Aya memiliki bonding yang kuat. Meskipun keduanya hidup dengan penuh kasih sayang dan berlimpah materi.
Tapi, hati mere
Makan siang yang benar-benar canggung bagi Yasa. Namun, terlihat biasa saja bagi Bintang. Pria paruh baya itu, hanya beranggapan bahwa masalah yang terjadi antara Yasa dan putrinya hanyalah perselisihan pendapat atau sejenisnya. Mengingat watak Aya tidak terlalu jauh dengan Sinar, yang tidak pernah mau mengalah bila berdebat dengan seseorang.“Jadi, Cahaya itu anak bapak, anak kandung Pak Bintang?” tekan Yasa mengulang ucapannya, untuk lebih memastikan lagi apa yang sudah ia dengar barusan.Bintang mengangguk, menelan makanannya sebentar. “Aya itu anak saya, dari istri kedua.”“Aya? Jadi panggilannya Aya?” gumam Yasa yang selera makannya sudah hilang seketika. Namun, ia masih memaksakan untuk menelan makan siangnya untuk menghormati Bintang.Jadi yang dimaksud Aya oleh Daisy saat di restoran kala itu adalah Cahaya. Yang Yasa tahu sekilas dari Andra adalah, kalau anak-anak Metro memanggil Cahaya dengan Ayang, bukan Aya.
Asa tidak tahu, sudah berapa lama Aya menenggelamkan wajah beceknya di dadanya. Air mata gadis itu seolah tidak henti mengalir. Terisak, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.Setelah dedline pekerjaannya selesai petang tadi, Aya pergi ke hotel dan membuka sebuah kamar. Bukan hotel keluarga tentunya. Aya ingin menghabiskan tangisnya sendiri. Karena malam ini, Astro benar-benar melamar Zetta. Bintang bahkan sudah mengajak Aya untuk ikut serta. Namun gadis itu menolak, Aya beralasan sudah ada wawancara penting yang tidak bisa ditunda.Tidak lama berselang, setelah Aya merebahkan diri di kamar hotel, Asa menelepon. Sang kakak menanyakan keberadaannya, dan Aya mau tidak mau memberitahukan Asa, di mana dirinya berada.Sejak kejadian memilukan itu, Aya sudah tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di apartement. Datang ke sana hanya akan membuat hatinya sesak dan semakin pilu.“Dipuas-puasin nangisnya, buang semua rasa sakitmu malam ini. Tapi ingat, cukup mal
Sepanjang jalan mengantar sang ibu, nenek serta kakeknya pulang ke rumah. Hati Astro meradang panas. Terlebih, saat ia mengetahui bahwa yang hendak dijodohkan dengan Aya adalah juniornya sendiri saat kuliah dulu.Yasa, anak mantan ketua MA itu memang tidak diragukan kepintarannya oleh Astro. Hanya saja, Yasa tidak memiliki passion menjadi pengacara hingga pria itu banting setir menjadi pengusaha seperti sekarang.“Apa alasan papa mau jodohin Aya, Kek? Aya itu masih muda, untuk apa dijodoh-jodohkan. Kita sudah gak tinggal di zaman Siti Nurbaya lagi. Aya punya hak untuk memilih, siapa pendampingnya nanti.”Astro berusaha bersikap setenang mungkin, saat mempertanyakan hal itu pada Wira yang duduk di sebelahnya. Pandangannya masih lurus, berkonsentrasi dengan kemacetan di depan sana.“Apa kamu pernah lihat Aya dekat dengan cowok selain Asa?” bukan Wira yang menjawab, melainkan Ruby yang duduk tepat di belakang Wira. “Coba kamu li
“Mbak Cahaya, baru sampai kantor, Mas.”Detik itu juga Yasa bangkit, berdiri dan berpamitan pada keluarga besarnya yang tengah mengadakan makan malam di sebuah restoran. Sudah hampir tiga minggu ini, Yasa bolak balik ke Metro untuk menemui Aya, namun selalu berselisih jalan. Yasa sampai harus mendekati satpam Metro untuk bisa menjadi mata-matanya. Agar saat gadis itu sampai ke kantor, sang satpam yang bertugas segera mengabarinya.Sempat beberapa kali salah satu satpam mengabarinya, bahwa Aya baru saja sampai di Metro. Namun saat Yasa sudah sampai di tempat, Aya sudah pergi kembali untuk liputan.“Apa klienmu itu lebih penting daripada keluargamu? Kita lagi makan malam, Yas.” ujar Hatta dengan nada tidak ramah. Menurut pria paruh baya itu, Yasa telah bersikap tidak sopan hendak pergi ditengah-tengah makan malam seperti ini.“Sorry, Dad. But I’ve been dying to meet her.” jawab Yasa tanpa berpikir dulu, karena otakn
Kedua telapak tangannya terjatuh di atas bibir. Menutup erat, menahan suara tangis yang bisa saja pecah, karena sesak yang hampir meledak di dalam dada. Tetes bening itu tumpah, bersamaan dengan tubuh Aya yang merosot jatuh di lantai kamar mandi.Positif!Terlihat ada dua buah garis sejajar yang muncul, beberapa saat setelah Aya melakukan tes pada urinenya sendiri. Hal itu membuat dunianya runtuh detik itu juga.Bukan … tapi bukan kehamilan yang jadi masalah Aya. Sudah ada Yasa yang ingin bertanggung jawab atas kehamilannya itu. Tapi, siapa ayah dari janin yang dikandungnya?Kedua pria yang memasukinya dalam jangka waktu seminggu, sama sekali tidak memakai pengaman.Kepala Aya menggeleng berkali-kali.Tidak … tiba-tiba saja Aya tidak menginginkan janin tersebut. Jalan satu-satunya adalah dengan menggugurkannya. Sebelum semua orang tahu, kalau dirinya telah mengandung.Segera, Aya mengusap wajahnya. Bangkit dan m
Rencana Yasa untuk mengajak Aya ke apotik, gagal seketika. Ia juga tidak bisa mengejar Aya, karena terjebak dengan kedua pria yang punya pengaruh besar dalam kehidupan gadis itu. Mau tidak mau, Yasa haruslah mengakrabkan diri dengan kedua pria setengah baya yang sudah duduk di depannya.“Jadi, kamu Yasa anaknya Pak Hatta, cucu Pak Abraham?” Elo yang sudah tahu sebelumnya dari cerita Bintang, hanya ingin sedikit berbasa-basi dengan pria muda itu.Ketiga pria itu kini berada di sebuah ruang khusus pembicara yang hadir dalam business meeting tersebut. Ketiganya tengah berbicara duduk mengitari sebuah meja kayu berbentuk oval.“Iya, Pak. Sebuah kehormatan bisa ketemu dan bicara langsung dengan Pak El.” Yasa berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun jantungnya saat ini telah berguncang heboh. Anggaplah ini latihan, sebelum Yasa bertemu dengan Pras. Seorang pengacara yang terkenal dan sangat disegani dikalangan petinggi negara.Elo me
Dengan wajah yang dibanjiri air mata, Aya melajukan mobilnya memasuki tol. Ia tidak lagi tahu ke mana arah tujuannya. Aya hanya ingin menginjak pedal gasnya sekuat tenaga.“Harusnya, kamu itu gak lahir ke dunia! Karena kamu, papa gak lagi menghabiskan waktunya sama aku.”“Aku yang akan hancurin kamu lebih dulu.”“Kamu yakin itu anakku?”“Kamu mau jadi istri kedua?”“Go to the hell.”Semua ucapan dan kenangan bersama Astro, dari sifat manis pria itu, sampai sebuah perlakuan bejat yang diterima Aya, berputar-putar di benaknya. Selain itu, bayangan bersama Yasa malam itu juga bercampur aduk melintasi pikirannya.Kalau Aya ingin jujur, ia sebenarnya juga tidak tahu, anak siapa yang dikandungnya saat ini. Aya bingung, tidak tahu ke mana harus mengadu. Menunggu tes DNA seperti saran Astro sungguhlah tidak mungkin. Semua keluarga besar ya
Dari balik meja kerjanya, pria tua itu tengah menatap satu persatu foto, yang baru saja ia terima dari mantan asistennya.“Cepat sekali kamu dapat semua informasi ini, Van.” Kalimat pernyataan yang dilayangkan Abraham hampir terkesan seperti sebuah pertanyaan yang menelisik. “Cantik, tapi, apa gak ada perempuan lain lagi? Hanya perempuan tomboy ini? Apa kamu yakin?” cecarnya yang terlihat ragu dengan beberapa foto yang diserahkan Zevan.“Kalau perempuan lain, ya banyak, Pak.” kekeh Zevan. “Tapi cuma Cahaya itu, satu-satunya perempuan yang didatangi sama Mas Yasa.”Wajah Zevan yang tiba-tiba serius, membuat Abraham diam, dan menunggu mantan asistennya itu menjelaskan semua perihal yang diketahuinya.“Namanya Cahaya Bhanuresmi, sering dipanggil Aya, profesinya wartawan dari surat kabar harian Metro Ibukota. Dan gadis itu adalah anak kandung dari Pak Bintang Galexia dan Ibu Sinar Bhanuresmi.”
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &